Hai, terima kasih sudah mengikuti perjalanan Leana sampai sejauh ini ❤️ IG : @na_anaaa26
Elvano berdehm, guna menghilangkan rasa gugup yang mendera. "Apa maksud kamu, Leana? Aku tidak mengerti." Perempuan itu tersenyum simpul sembari memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya. "Jangan di pikirkan, aku hanya asal bicara. Lebih baik Mas Elvano lanjut makan saja." Elvano mengangguk kaku, tanpa sadar memegang garpu di tangannya begitu kuat. Entah mengapa sekarang dia seperti suami yang ketahuan selingkuh. Padahal bukan seperti itu kenyataannya. "Omong-omong aku sudah kontrol tadi pagi." Leana memasang raut santai, tapi tidak pada getaran yang terdengar dari nada bicaranya. Sementara Elvano kini memusatkan pandangannya pada Leana. "Kenapa tidak memberitahuku? Agar bisa kita berdua ke rumah sakit, atau panggil Dokter Dilla ke rumah.""Dan membiarkan semua orang tahu kalau Mas Elvano sudah menikah?" Elvano tercekat, dia tak tahu harus menjawab apa. "Mas Elvano tenang saja, aku juga sama Arsen ke rumah sakitnya ""Untuk kedepannya jika ingin kontrol di rumah saja."Leana me
Dua hari setelah pembicaraan Leana serta Elvano malam itu, Leana pun tak pernah mengungkit lagi soal Sasmita. Kini Elvano juga sudah kembali perhatian padanya, walaupun menurut Leana perhatian yang Elvano berikan sedikit berlebihan. Seperti Leana harus ditemani orang suruhan pria itu jika bepergian. Leana yang sedang menyisir rambutnya dikagetkan oleh dringan ponsel, dengan cepat perempuan itu menyambar benda pipihnya yang berada di atas nakas. "Mama?" Monolognya tak percaya. "Halo, Ma. Selamat sore." "Ya, sore. Leana, kamu bisa datang di acara nanti malam?"Leana membenarkan posisi duduknya sebelum menjawab, "Maaf, acara apa ya, Ma?" "Makan malam biasa di rumah, Vano sudah saya kasih tahu juga."Leana terdiam, lantas mengapa Elvano tak memberitahunya? "Baik, Ma. Aku akan ke rumah nanti malam." "Oke."Belum sempat Leana menjawab, panggilan sudah terputus dari seberang sana. Leana hanya menghela nafas pelan sebelum beranjak dari duduknya, tapi lagi-lagi ponselnya berbunyi. Dan kali
Setelah makan malam yang berlangsung akward, Elvano serta Leana pulang dalam keadaan sunyi, tak ada pembicaraan diantra keduanya. Baik Elvano maupun Leana sama-sama tidak ada yg memulai obrolan. Elvano berdehem sejenak, lalu melirik sekilas ke arah Leana. "Apa kamu mau mampir ke butik dulu?" tanya pria itu pelan, sekaligus memecah keheningan. "Tidak." Singkat padat dan jelas, membuat Elvano semakin canggung untuk memulai percakapan kembali. Jujur saja dia begitu bingung akan perasannya sendiri, Elvano tak tahu mengapa Leana mempengaruhinya begitu besar. "Soal tadi, aku sungguh tidak tahu mengapa ada Sasmita yang ikut makan malam." Leana hanya tersenyum datar sebagai respon, perempuan itu justru membuang pandangan ke arah jendela sembil menyeka air matanya yang tiba-tiba mengalir. Suasana kembali menjadi hening, setelah sampai di kediamannya—Leana langsung membuka pintu dengan cepat. Dia melenggang pergi, tanpa menghiraukan Elvano sedikit pun. Di sisi lain, ada Sasmita serta S
'Jika kamu tidak mencintainya, mengapa harus memberikan perhatian lebih? Seolah-olah kamu menaruh rasa terhadapnya' _Unknown_●●●"Sudah, kamu tidak perlu khawatir. Leana akan baik-baik saja." Sagara mencoba menenangkan, Cila. Tapi sama sekali tak digubris oleh oleh perempuan itu.Cila sesenggukan, bahkan kini bajunya sudah basah oleh keringat serta air mata. "Leana itu tidak pernah pingsan, Pak. Ini kali pertama saya melihatnya seperti itu." Sagara mengambil duduk di samping, Cila. Dia memberikan perempuan itu tisu, yang langsung diterima oleh sang empu, lalu membersihkan hidungnya yang tersumbat. "Terima kasih, Pak."Sagara mengangguk singkat. "Sudah mulai tenang?" Cila tak menjawab, dia hanya menggeleng seraya menatap kosong ke depan. "Cila, percaya sama saya jika Leana akan baik-baik saja. Dia mungkin hanya kelelahan, serta butuh istirahat total." Cila kembali terisak, entah mengapa prasaannya menjadi melow saat melihat Leana berbaring tak berdaya. "Kamu sudah menghubungi suamin
'Aku tidak tahu mengapa jalan yang kulalui begitu terjal. Terkadang aku berpikir, hadiah apakah yang akan Tuhan siapkan sehingga mengujiku begitu hebat'"Leana Pramita"●●●"Leana baik-baik saja di sini, kalau Ayah gimana?" Leana memperlihatkan setengah wajahnya, dia tidak mau jika sang ayah khawatir. "Ayah baik-baik saja, Sayang. Tadi Ayah juga sempat telpon Arsen." Leana tersenyum simpul Namun, raut keceriaannya hilang ketika ayahnya tak sengaja mengangkat telapak tangannya. "Ayah beneran kerja di kantor? Aku tidak mau Ayah berbohong, apalagi sampai bekerja kasar." Bagus tersentak kecil, dan itu tak lepas dari pengamatan Leana. Tetapi dengan segera Bagus mengubah raut wajahnya. Tak ingin membuat sang putri curiga. "Tentu, Sayang. Ayah sedang istirahat. Ini juga—" Perkataan Bagus terhenti kala ada yang memanggilnya. "Kesayanganku, maaf. Ayah harus menutup panggilannya. Nanti Ayah hubungi lagi, ya?" Mata Leana berkaca-kaca, entah mengapa dia begitu rindu pada sosok ayahnya. "Ri
Aku bagaikan berjalan di atas tumpukan duri. Sakit, begitu sakit. Gelombang nestapa yang menerpaku seolah-olah tiada henti. Lantas aku harus menjalani cobaan apa lagi agar mencicipi sebuah kebahagiaan?"Leana Pramita"●●● "Arsen! Arsen! "Leana!" Elvano mengambil alih tubuh Leana yang akan limbung. "Biarkan dulu dokter memeriksanya, jika kamu begini terus. Yang ada konsentrasi para dokter bisa pecah." Leana menangis pilu dalam dekapan Elvano. "Mas ... bagaimana bisa Arsen seperti ini. Bukankah Mas Elvano mengatakan jika Arsen tidak akan ke sini!" Leana memukul dada Elvano, dia meraung kesetanan. Leana tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri. Menurut orang yang membawa Arsen ke rumah sakit, lokasi Arsen kecelakaan tak jauh dari rumah sakit ini. "Leana." Elvano mengusap surai perempuan itu. "Jangan seperti ini, tolong. Lebih baik kita doakan Arsen." Elvano menelan ludah susah payah, dia tak berani mengatakan jika kemungkinan Arsen selamat begitu kecil, karena Elvano melihat s
Aku hidup.Tetapi rasanya seakan mati. Belenggu rasa sakit ini seperti menyayatku secara perlahan."Leana Pramita" ●●●"Memang keluarga mereka begitu menyusahkan, ya!" Alvaro menatap istri tercintanya dengan pandangan tak percaya, dia baru saja menerima pesan dari Elvano bahwa ayah Leana meninggal dunia, serta Arsen yang kecelakaan saat sedang menuju ke rumah sakit tempat Leana dirawat. "Ma, tolong. Aku tidak mau berantem gara-gara ini, dan jangan pernah mengatakan hal seperti ini lagi." Sania langsung mengatupkan bibirnya, dia kasihan serta kesal di saat yang bersamaan. Bagaimana tidak, padahal Sania akan pergi ke Itali untuk menyusul Sasmita, tapi dengan berita ini membuat keberangkatannya tertunda. "Maaf, Pa. Mama sedang banyak pikiran." Alvaro membuang pandangan ke arah lain, jujur saja dia begitu mencintai Sania. Apapun yang wanita itu lakukan Alvaro selalu mendukungnya, walau hal yang dia tak suka sekalipun. Tetapi untuk sekarang, rasanya dia tak mengenali sosok istrinya
Aku hidupTetapi serasa mati.~Leana Pramita~****Gundukan tanah merah segar itu tempat kedua orang tercintanya, Leana mengusapnya perlahan. Rasanya begitu sakit dan perih, setiap detakan jantungnya sangat menyakitkan. Sesak menghimpit dada, sampai-sampai rasanya mati rasa. Dulu ketika ibunya selalu melimpahkan Sasmita dengan kasih sayang serta materi, Leana hanya bisa melihatnya, lalu bersembunyi pada pojok kamarnya untuk menumpahkan tangisnya. Lambat laun, dengan adanya kehadiran Arsen, Leana sudah merasa tak sendiri. Adik kecilnya adalah pelipur lara ketika Leana diterpa gelombang kesedihan. Sedangkan ayahnya selalu menenangkannya dengan kata-kata lembutnya. Leana tak apa jika kehilangan segalanya, asalkan jangan ayahnya serta Arsen. Karena mereka berdua adalah hidupnya. Kehilangan mereka sama saja membunuhnya secara perlahan. Rasanya tak adil, kadang dia ingin mengeluh dan memberontak. Mengapa hidupnya begitu banyak terjangan badai. Apakah dirinya memang pantas mendapatkan sem