Sasmita merasakan jika aliran darahnya terhenti, jantungnya kian berdegup kencang, bahkan kini tangannya bergetar di bawah meja. Tidak mungkin, bukan. Tidak mungkin Elvano dan Leana melakukan sampai sejauh itu. Sasmita sangat mengenal Elvano, selama menjalin hubungan dengannya. Elvano bahkan hanya memegang tangannya, dan itu juga yang membuat Sasmita kesal serta sempat meragukan perasaan Elvano terhadapnya. "Aku kenal Elvano, jangan berbohong Leana. Leluconmu sama sekali tak ada lucunya!" Leana mengerjap polos. "Eum, ya sudah jika Kakak tidak percaya. Aku bisa apa?" celetuk Leana dengan senyuman lebar, bahkan sekarang dia berlagak seperti adik kecil yang lugu. "Tutup mulutmu Leana, aku semakin tidak mengenalmu sekarang!" Sasmita dengan cepat menyambar tasnya kasar, lalu mendekat ke arah Leana sembari berbisik lirih. "Tunggu saja adik kecil, aku akan merebutnya kembali." Perempuan itu melenggang santai, meninggalkan Leana yang menegang di tempatnya.Bunyi ponsel menyadarkannya, dia b
Dua hari setelah pertemuannya dengan Sasmita, Leana merasa cukup lega. Karena nyatanya Sasmita tak muncul lagi di hadapannya. Dan Leana akan memastikan apakah Sasmita pulang ke Italia atau tidak. "Kak Lea!" Leana tersenyum lebar melihat Arsen. "Kok sore-sore begini datangnya? Memangnya Mas Elvano izinin Kakak?" tanya Arsen sembari mengambil alih paper bag yang Leana bawa. "Tenang, kakak udah izin. Jadi, aman terkendali," canda Leana sembari melepas sepatunya, dan masuk ke dalam rumahnya. "Ibu di mana?" "Tidak tahu, katanya mau ke Batam besok sore." Leana yang sudah mendudukkan bokongnya langsung menoleh ke arah Arsen. "Ada urusan apa sampai Ibu ke luar kota?" Arsen hanya mengangkat bahu. Leana yang melihatnya hanya terdiam, lalu menepuk pundak Arsen pelan. "Tolong ambil piring, sama air dingin di kulkas." Arsen mengangguk, tapi langkahnya terhenti kala mengingat sesuatu. Dia pun berbalik sembari menatap Leana. "Kakak minum air dingin?" "Iya, kenapa?" jawab Leana dengan tatapan b
Tubuh Elvano menegang, lalu menarik tangannya yang sedari terus mengelus perut datar Leana. "Ayo tidur, aku juga mau lanjut bekerja." Leana menelan ludah susah payah, dia tahu jika Elvano sedang mengalihkan pembicaraan."Ya, aku juga mengantuk sehabis makan." Leana berucap serak, dia merasa malu sekaligus tersakiti disaat yang bersamaan. Bukankah mereka sudah sepakat untuk tak melibatkan hati? Lantas mengapa perasaannya melampaui batas? Dan akhirnya Leana kecewa akan ekspektasinya sendiri. Sementara itu, Elvano kembali mengusap perut datar Leana. "Hai, Little Bunny. Mama kamu sudah mengantuk. Jadi, kamu juga harus tidur, ya?" Elvano berucap gugup, terlihat jelas jika pria itu sudah tak nyaman dengan suasana yang terjadi."Okay, Papa!" celetuk Leana sambil memasang senyuman lebar, tetapi tidak dengan sorot matanya yang berkaca-kaca.Pria itu pun membantu Leana menuju kasur, lalu membaringkan sang istri penuh kehati-hatian. "Selamat tidur, little bunny." Elvano mengusap perut Leana perl
Leana tak henti-hentinya mengutuki kecerobohannya. "Mas Elvano pasti marah karena aku tidak mengangkat panggilannya," gumam perempuan itu resah, dia melihat ponselnya yang baru terisi lima persen. "Kak Lea, makan dulu, yuk. Sudah pukul sepuluh, nanti kemalaman." Leana menatap Arsen yang berada di ambang pintu. "Arsen, apa Mas Elvano belum balik juga? Coba tolong lihat sekali lagi mobilnya, siapa tahu sudah datang." Arsen menggeleng pelan. "Sudah lima kali aku bolak-balik, dan mobil Mas Elvano belum datang juga." Leana menghembuskan nafas berat. "Ya sudah, kamu duluan saja ke meja makan. Nanti Kakak menyusul." Arsen terlihat ragu-ragu. Namun, tak urung mengiyakan. Leana kembali menelpon Elvano, tapi nihil. Perempuan itu tak kehabisan akal, sekarang justru dia mencari kontak Zion, dan langsung menghubungi pria itu. "Halo, maaf mengganggu malam-malam, Mas, Zion. Saya mau tanya, apakah Mas Elvano masih di rumah sakit?""Hah? Vano? Tidak, Vano sudah pamit pulang sebelum dia makan mala
Bukankah aku terlalu percaya diri? Aku selalu mengatakan jika kamu akan mencintaiku suatu saat nanti. Tetapi apa? Justru aku yang semakin terjatuh dan terjebak dalam cinta sepihak ini. ~Leana Pramita~●●● "Pasiennya perempuan, dan tadi aku ikut membantunya karena dia akan terjatuh. Aku tahu jika pernikahan yang kita jalani tidak ada cinta, tetapi aku tidak mungkin menghianatimu." Ingin rasanya Leana berteriak di depan wajah Elvano jika dirinya mencintai pria itu. Namun, Leana tahu pada akhirnya Elvano akan menghindari pembicaraannya, seperti malam kemarin. Saat pernyataan cinta keluar dari bibirnya. "Mas Elvano tidak perlu khawatir, aku hanya bertanya. Dan aku juga percaya sama papanya little bunny ini." Leana tersenyum simpul sembari menepuk lembut punggung Elavno. Ya, benar, wangi parfum seperti itu bukan hanya satu orang yang pakai. Dan Leana tidak boleh berprasangka buruk pada Elvano. "Terima kasih, sudha percaya." Pria itu tersenyum tulus, tapi tidak dengan pikirannya yang
Tak terasa kini kandungan Leana menginjak tiga bulan, tetapi entah kenapa Leana semakin merasa sikap Elvano sedikit berubah sekarang. Bahkan Elvano kerap kali tak pulang karena terlalu sibuk di rumah sakit. "Lea, kalau perut kamu sudah kelihatan membesar nantinya, apa kamu akan cuti?" Cila berbisik seraya menatap perut Leana. "Tidak tahu, Cila. Nanti aku omongin sama Mas Elvano."Cila hanya mengangguk, tapi tidak dengan pikirannya yang berkelana ke mana-mana. "Lea, jujur aku masih shock sampai sekarang mengenai pernikahan kamu. Saat aku di rumah kamu dan menanyakan perihal ini, tapi kamu hanya diam tak menjawab. Jika boleh jujur—" Cila menggantungkan ucapannya, lalu menatap Leana penuh raut penasaran. "Apakah kamu bahagia dengan pernikahan kamu ini?" lanjutnya.Leana menegang, tapi tak urung menjawab, "Tentu, aku sangat bahagia." "Lea, aku tahu jika pernikahan kalian disembunyikan dari publik, 'kan? Sejak kamu memperkenalkan Elvano padaku, aku langsung mencari tahu tentang pria itu.
Elvano masih terpaku atas semua yang terjadi, tak mungkin mamanya berbohong padanya, bukan? "Vano, kamu kenapa? Kamu kesal karena aku telat?" "Bukan, aku hanya bingung. Bukankah aku akan makan malam bersama, Mama? Lalu mengapa kamu juga ada di sini?" Sasmita tersenyum lembut. "Ah, karena itu ternyata, tadi Mama Sania nelpon aku. Katanya beliau ada urusan mendadak, jadi aku yang disuruh menemani kamu makan di sini." Sasmita mengubah raut wajahnya menjadi sendu. "Kamu keberatan, ya? Atau kamu mau aku pulang saja?" "Tidak perlu, kita lanjutkan saja makan malamnya," potong Elvano cepat, walaupun di dalam hatinya dia terus bertanya-tanya. Apa tujuan mamanya melakukan ini semua. "Okay, selamat makan. Eh, sebentar, aku pisahin kepala udangnya dulu. Aku tahu kamu tidak suka kepalanya, bukan?" Elvano mengangguk singkat. "Terima kasih." Sasmita tersenyum lebar. "Sama-sama, Vano. By the way aku akan kontrol minggu depan, kamu mau nemenin aku,'kan?" Tubuh Elvano menegang untuk sesaat, namu
Zion tak mau kalah, dia dengan segera menguasai diri dan memukul balik Elvano. Pria itu terkapar karena balasan yang Zion layangkan. "Mas Zion, sudah. Saya mohon!" Leana melindungi tubuh Elvano dengan tubuhnya sebagai tameng, sedangkan Arsen memegang bahu Zion erat. "Vano." Zion terengah sembari mengusap darah di ujung bibirnya. "Aku tidak tahu kalau kamu sebodoh dan seceroboh ini. Besok-besok gunakan otakmu sebelum bertindak, jangan diisi dengan masa lalu saja. Kalau suatu hari Leana memilih untuk pergi, baru tahu rasa!" Zion melepas kasar tangan Arsen dari bahunya, lalu menyambar jaketnya yang ada di sofa. Sebelum benar-benar pergi. Zion melirik singkat ke arah Leana. " Leana, jaga diri kamu baik-baik. Saya permisi dulu." setelahnya Zion berlalu dengan langkah lebar. "Lepas!" Leana yang masih terisak langsung melepaskan tangannya dari pundak Elvano. "Aku akan ke kamar. Malam ini aku butuh waktu sendiri, kamu tidur saja di kamarmu yang dulu." Elvano melenggang pergi dengan sempoyong