Tak terasa kini kandungan Leana menginjak tiga bulan, tetapi entah kenapa Leana semakin merasa sikap Elvano sedikit berubah sekarang. Bahkan Elvano kerap kali tak pulang karena terlalu sibuk di rumah sakit. "Lea, kalau perut kamu sudah kelihatan membesar nantinya, apa kamu akan cuti?" Cila berbisik seraya menatap perut Leana. "Tidak tahu, Cila. Nanti aku omongin sama Mas Elvano."Cila hanya mengangguk, tapi tidak dengan pikirannya yang berkelana ke mana-mana. "Lea, jujur aku masih shock sampai sekarang mengenai pernikahan kamu. Saat aku di rumah kamu dan menanyakan perihal ini, tapi kamu hanya diam tak menjawab. Jika boleh jujur—" Cila menggantungkan ucapannya, lalu menatap Leana penuh raut penasaran. "Apakah kamu bahagia dengan pernikahan kamu ini?" lanjutnya.Leana menegang, tapi tak urung menjawab, "Tentu, aku sangat bahagia." "Lea, aku tahu jika pernikahan kalian disembunyikan dari publik, 'kan? Sejak kamu memperkenalkan Elvano padaku, aku langsung mencari tahu tentang pria itu.
Elvano masih terpaku atas semua yang terjadi, tak mungkin mamanya berbohong padanya, bukan? "Vano, kamu kenapa? Kamu kesal karena aku telat?" "Bukan, aku hanya bingung. Bukankah aku akan makan malam bersama, Mama? Lalu mengapa kamu juga ada di sini?" Sasmita tersenyum lembut. "Ah, karena itu ternyata, tadi Mama Sania nelpon aku. Katanya beliau ada urusan mendadak, jadi aku yang disuruh menemani kamu makan di sini." Sasmita mengubah raut wajahnya menjadi sendu. "Kamu keberatan, ya? Atau kamu mau aku pulang saja?" "Tidak perlu, kita lanjutkan saja makan malamnya," potong Elvano cepat, walaupun di dalam hatinya dia terus bertanya-tanya. Apa tujuan mamanya melakukan ini semua. "Okay, selamat makan. Eh, sebentar, aku pisahin kepala udangnya dulu. Aku tahu kamu tidak suka kepalanya, bukan?" Elvano mengangguk singkat. "Terima kasih." Sasmita tersenyum lebar. "Sama-sama, Vano. By the way aku akan kontrol minggu depan, kamu mau nemenin aku,'kan?" Tubuh Elvano menegang untuk sesaat, namu
Zion tak mau kalah, dia dengan segera menguasai diri dan memukul balik Elvano. Pria itu terkapar karena balasan yang Zion layangkan. "Mas Zion, sudah. Saya mohon!" Leana melindungi tubuh Elvano dengan tubuhnya sebagai tameng, sedangkan Arsen memegang bahu Zion erat. "Vano." Zion terengah sembari mengusap darah di ujung bibirnya. "Aku tidak tahu kalau kamu sebodoh dan seceroboh ini. Besok-besok gunakan otakmu sebelum bertindak, jangan diisi dengan masa lalu saja. Kalau suatu hari Leana memilih untuk pergi, baru tahu rasa!" Zion melepas kasar tangan Arsen dari bahunya, lalu menyambar jaketnya yang ada di sofa. Sebelum benar-benar pergi. Zion melirik singkat ke arah Leana. " Leana, jaga diri kamu baik-baik. Saya permisi dulu." setelahnya Zion berlalu dengan langkah lebar. "Lepas!" Leana yang masih terisak langsung melepaskan tangannya dari pundak Elvano. "Aku akan ke kamar. Malam ini aku butuh waktu sendiri, kamu tidur saja di kamarmu yang dulu." Elvano melenggang pergi dengan sempoyong
Bukankah gengsi seorang pria begitu tinggi? Elvano Mahendra, buktinya. Bahkan setelah seminggu berlalu saat pertengkarannya malam itu. Dia sama sekali tak kunjung meminta maaf pada Leana. "Cara meminta maaf yang baik dan benar." Elvano mengetik dikolom pencarian, sedetik kemudian dia menggeleng kuat kala membaca kata demi kata yang terdapat di sana. "Memberikan bunga? Dan apa ini! Mengucapkan aku mencintaimu sebanyak seratus kali. Serta— " Elvana tak bisa melanjutkan kalimatnya, karena menurutnya itu sangat berlebihan. "Ya sudahlah, sekalian saja tidak usah meminta maaf." Pasalnya Elvano kesal sendiri, semua kalimat itu terdengar menggelikan menurutnya. Elvano keluar dari kamarnya, sementara Leana juga tak pernah lagi kembali ke kamar ini. Perempuan itu seperti menghindarinya, membuat Elvano sedikit kesal. Mengapa Leana tidak bisa berinisiatif untuk tidur di kamarnya lagi? Namun, Elvano juga cukup salut pada Leana, dia tetap menyediakan keperluan Elvano sehari-hari."Mas Elvano akan
Elvano tidak tenang semalaman, dia pulang dari rumah Sasmita sekitar pukul satu dini hari. Dan menemukan rumah sudah sepi, tak ada tanda-tanda keberadaan Leana yang menunggunya. Membuat Elvano mendesah kecewa.Pria itu mencoba memejamkan mata hingga pagi menjelang, dan alhasil Elvano sangat mengantuk karena tidurnya tak nyenyak. Setiap beberapa menit sekali dia terbangun dengan bayang-bayang wajah kecewa Leana."Permisi, Pak. Sarapannya sudah siap di bawah." Elvano yang baru menutup pintu kamarnya menjadi terhenti ketika melihat mbok Sumi berdiri di hadapannya. "Di mana Leana, Mbok? Biasanya dia yang akan menyiapkan semua kebutuhan saya." "Bu Leana sudah pergi bersama Mas Arsen, katanya mau bertemu keluarga jauh yang datang ke Jakarta." Elvano semakin kecewa mendengar pernyataan mbok Sumi, mengapa Leana tak meminta izin padanya. "Ya sudah, Mbok. Saya makan di rumah sakit saja jika begitu. Sudah pukul delapan, takutnya telat." "Baik, Pak." Setelahnya mbok Sumi pamit undur diri, meni
Sore harinya, setelah Elvano pulang kerja. Kening pria itu berkerut ketika mendapat sambutan hangat dari Leana, Elvano adalah sanksi jika Leana benar-benar cantik sore ini. Kesan manis dan lugu menambah pesona perempuan itu. "Mas Elvano sudah pulang? Sini tasnya, biar aku yang bawain," ucap Leana lembut sembari menuntun Elvano menuju kamar. "Mas Elvano mau makan apa malam ini?" Elvano yang masih kebingungan akan sikap Leana hanya bisa tergugu di tempatnya. "Mas Elvano denger aku, tidak?" Ulangnya sembari memasang senyum cantik." "I-iya, kenapa?" Elvano berujar gugup, Jujur saja selama ini Elvano bahkan tak pernah merasa gugup di hadapan Sasmita, walaupun saat menyatakan perasaannya dulu. Leana terkekeh lembut mendengar jawaban dari Elvano. "Aku tanya Mas Elvano mau makan apa malam ini?" Elvano Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, berdehem sejenak sebelum menjawab, "Terserah, apapun masakan kamu akan aku makan," jawabnya cepat sembari melihat jam yang terdapat pada pojok kamarnya y
Elvano berdehm, guna menghilangkan rasa gugup yang mendera. "Apa maksud kamu, Leana? Aku tidak mengerti." Perempuan itu tersenyum simpul sembari memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya. "Jangan di pikirkan, aku hanya asal bicara. Lebih baik Mas Elvano lanjut makan saja." Elvano mengangguk kaku, tanpa sadar memegang garpu di tangannya begitu kuat. Entah mengapa sekarang dia seperti suami yang ketahuan selingkuh. Padahal bukan seperti itu kenyataannya. "Omong-omong aku sudah kontrol tadi pagi." Leana memasang raut santai, tapi tidak pada getaran yang terdengar dari nada bicaranya. Sementara Elvano kini memusatkan pandangannya pada Leana. "Kenapa tidak memberitahuku? Agar bisa kita berdua ke rumah sakit, atau panggil Dokter Dilla ke rumah.""Dan membiarkan semua orang tahu kalau Mas Elvano sudah menikah?" Elvano tercekat, dia tak tahu harus menjawab apa. "Mas Elvano tenang saja, aku juga sama Arsen ke rumah sakitnya ""Untuk kedepannya jika ingin kontrol di rumah saja."Leana me
Dua hari setelah pembicaraan Leana serta Elvano malam itu, Leana pun tak pernah mengungkit lagi soal Sasmita. Kini Elvano juga sudah kembali perhatian padanya, walaupun menurut Leana perhatian yang Elvano berikan sedikit berlebihan. Seperti Leana harus ditemani orang suruhan pria itu jika bepergian. Leana yang sedang menyisir rambutnya dikagetkan oleh dringan ponsel, dengan cepat perempuan itu menyambar benda pipihnya yang berada di atas nakas. "Mama?" Monolognya tak percaya. "Halo, Ma. Selamat sore." "Ya, sore. Leana, kamu bisa datang di acara nanti malam?"Leana membenarkan posisi duduknya sebelum menjawab, "Maaf, acara apa ya, Ma?" "Makan malam biasa di rumah, Vano sudah saya kasih tahu juga."Leana terdiam, lantas mengapa Elvano tak memberitahunya? "Baik, Ma. Aku akan ke rumah nanti malam." "Oke."Belum sempat Leana menjawab, panggilan sudah terputus dari seberang sana. Leana hanya menghela nafas pelan sebelum beranjak dari duduknya, tapi lagi-lagi ponselnya berbunyi. Dan kali