Surya keluar dari kamar dengan sedikit berlari. Pria itu tidak ingin, menantunya melihat bahwa dirinya tertawa saat ini. "Kenapa papa keluar?" Mita bertanya, ketika melihat suaminya yang keluar dari dalam kamar. "Papa sakit perut ma, ha... ha..... ha...," jawab Surya. Akhirnya, ia bisa juga tertawa lepas seperti ini. "Daffin, memang nggak ada akhlaknya. Sudah tahu kondisi istrinya sakit seperti itu, masi saja dikerjain juga. Ha... Ha... ," kesalnya. Meskipun begitu sangat kesal melihat tingkah putranya, namun wanita itu tidak mampu menahan ketawanya ketika melihat wajah menantunya yang begitu sangat lucu. "Lihat itu kerjaan Daffin, wajah istrinya jadi seperti itu bentuknya." Surya teringat pipi Hana yang merah karena blush on."Hana seperti onde-onde, mama lihat lihat. Pipinya merah seperti itu, alisnya tebal, nggak sama tinggi lagi." Mita mengomentari wajah menantunya."Kurang kerjaan sekali itu anak. Papa mau ke coffee shop yang di bawah dulu, cari Daffin." Surya tidak sanggu
"Daffin." Surya memanggil putranya yang saat ini sedang duduk di coffee shop yang berada di rumah sakit. Daffin tersedak ketika papanya memanggil dengan wajah yang tampak marah."Kamu buat apa Hana?" tanya surya yang marah. Namun tetap senyum tetap tercetak di di bibirnya."Menantu papa tuh, yang salah," jawab Daffin yang ingin membela dirinya."Kenapa Hana yang kamu salahin?" Surya mendaratkan tubuhnya di kursi yang berada di depan Daffin."Hana minta aku makeup kan, pa. Aku sudah tawarkan untuk sama pengawal Nia, tapi Hana tetap maksa, agar aku yang make up kan. Ya udah, aku make up-in lah," jawabnya."Dia udah lihat cermin belum?""Belum, aku langsung lari tadi, ketika Mama datang," jawab Daffin yang senyum-senyum. Ia harus siap menerima kemarahan Hana nanti, ketika kembali ke kamar. Dan saat ini, ia harus meminum kopi dulu untuk menenangkan hati dan pikirannya."Tamatlah riwayat kamu, Fin. Nanti bila Hana lihat mukanya seperti onde-onde, dengan alis naik turun, macam baju vir
Mita membersihkan wajah menantunya, dengan mengunakan toner pembersih. Setelah selesai membersihkan sisa makeup, ia Mulai merias wajah cantik milik Hana.Tidak butuh waktu lama baginya untuk membuat wajah menantu menjadi semakin cantik."Sudah cantik sayang." Mita menunjukkan cermin kecil di depan wajah menantunya. Hana tersenyum saat melihat wajahnya yang sudah terlihat sangat cantik. "Mama, terima kasih.""Iya sayang." Mita. Mencium kening Hana dengan penuh kasih sayang. "Untung aja, mama memberi tahu Hana, kalau makeup Hana, tidak cocok untuk di sini. Kalau tidak Hana pasti ditertawakan sama dokter dan perawat di sini." Hana tersenyum."Iya sayang, Mama tadi mikirnya juga seperti itu. Kalau Mama nggak ngasih tahu, nanti Hana malah malu." Mita merasa lega karena sudah berhasil memperbaiki riasan wajah menantunya."Tapi Hana lupa," ucapnya dengan Bibir yang maju ke depan."Apa itu?" tanya Mita."Minta difotoin, biar bisa disimpan jadi kenang-kenangan. Soalnya itu hasil dari makeup
Hana merasa sangat senang, ketika dokter mengatakan bahwa dirinya sudah boleh, turun dari atas tempat tidur. Namun tidak diperbolehkan untuk banyak bergerak dan disarankan untuk duduk di kursi roda setiap kali akan keluar dari kamar. "Abang, Hana senang, akhirnya dibolehin juga turun dari atas tempat tidur. Rasanya sungguh tidak enak, pipis aja harus ditampung," keluhan Hana. "Iya dek, ini sudah boleh turun dari tempat tidur. Cuman infus, belum boleh dilepas, sabar ya." Daffin mengusap pipi istrinya.Hana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Abang, Hana bingung, sebenarnya Hana merasa sangat sehat. Yang bermasalah cuman tangan aja. Tapi kenapa tidak diperbolehkan bergerak sama sekali. Apa Hana punya penyakit lain yang berbahaya? "Melihat cara dokter yang mengecek kondisinya setiap saat, kemudian menyuntikan obat lewat selang infus dan memeriksa bagian intinya, membuat Hannah merasa cemas."Nggak, itu semua agar tangan Adek cepat sehat." Daffin mencoba untuk meyakinkan istrinya da
Daffin duduk di tepi tempat tidur. Pria itu sedang menyuapi istrinya sarapan pagi."Kapan sih tangan Hana boleh digerakkan? Pengen makan sendiri," ucapnya. Sudah hampir dua minggu ini, ia tidak bisa melakukan apa-apa dan selalu menyusahkan orang-orang yang di dekatnya. Hal ini yang membuat Hana merasa tidak enak hati dan tidak nyaman."Sebentar lagi, bakalan dilepas gendongan dan skor penyanggahnya, adek sabar ya." Daffin tersenyum. "Sejak kemarin katanya gitu terus." Hana memajukan bibirnya."Semalam dokter Irwan memberitahu Abang, katanya, hari ini gendongan sama penyangganya bakalan dilepas," jelasnya."Abang beneran? "Hana bertanya dengan mata yang terbuka lebar."Iya, nanti akan dicek dulu kondisi tangannya." Daffin kembali memasukkan bubur ayam ke mulut Hana."Hana beneran nggak sabar pengen dilepas ini gendongan. Abang Hana sudah kenyang." Hana berkata ketika Daffin akan memasukkan bubur ayam lagi ke mulutnya. "Satu lagi ya." Daffin mengangkat satu jarinya. "Iya," jawabnya y
Hana terbangun, setelah puas tertidur. Tidur di rumah sakit dan tidur di rumah sendiri, terasa jauh berbeda. Tidur di kamar sendiri, seperti ini, terasa begitu sangat nyaman dan nyenyak.Senang rasanya bila bisa pulang ke rumah, namun bayangan ketika berada di rumah ini, masih sangat menakutkan untuknya. "Seharusnya, bukan bayangan di rumah ini yang bikin aku takut, tapi dia." Hana memandang wajah suaminya yang saat ini tertidur dengan lelap.Selama berada di rumah sakit, sikap suaminya begitu sangat berbeda. Namun sampai saat ini, Hana tidak bisa percaya dengan ini semua. Ia takut, sikap baik Daffin, hanya karena berada di rumah sakit saja dan ketika sudah berada di rumah, akan kembali seperti dulu lagi. "Abang, bangun." Hana sudah tidak takut lagi membangunkan suaminya, karena dirinya memang sudah terbiasa membangunkan Daffin ketika berada di rumah sakit."Abang, bangun." Hana menggoyang-goyangkan tangan suaminya.Daffin membuka sedikit matanya dan tersenyum memandang istrinya. "M
"Tadi minta hati, sudah dikasih hati, malah minta jantung, sudah dikasih jantung malah ngelunjak." Hana mengomel dalam hati. "Kenapa diam?" Daffin memandang istrinya sambil menunggu.Hana tersenyum dan kemudian mencium bibir suaminya. "Terima kasih ya sayang."Mendengar ucapan Daffin yang memanggil sayang seperti ini, membuat hatinya senang. Meskipun masih ada keraguan akan sikap pria itu. "Iya," jawabnya dengan raut wajah yang masih tampak penuh keraguan.Daffin mencium punggung tangan istrinya. Ia kemudian menempelkan hidung mancungnya di hidung kecil dan mancung milik Hana. "Kita mulai lagi ya dari awal."Hana dapat merasakan hembusan nafas suaminya. Posisi yang begitu sangat dekat seperti ini, membuat mereka saling bertukar karbondioksida yang keluar dari lubang hidungnya masing-masing. Dengan sangat sabar, Daffin menunggu jawaban istrinya.Hana menganggukkan menganggukkan kepalanya, setelah berpikir sejenak. entah mengapa nyalinya begitu menciut setiap kali mendengar suaminy
Hana menganggukkan kepalanya. Bila seandainya istri-istri di luar sana, mendapatkan suami yang seperti ini, pasti sangat senang. Karena memiliki suami yang cerdas, Kaya raya, ganteng, pengertian serta perhatian. Namun dirinya mendapatkan perhatian seperti ini selalu menimbulkan pertanyaan besar di hatinya.Daffin menatap istrinya. Dengan jantung yang berdegup dengan sangat hebatnya. Kini matanya tertuju kea6 bibir istrinya. Hana hanya diam ketika melihat bibir suaminya semakin dekat dengan bibirnya. Ia tetap membuka matanya meskipun bibir Daffin, sudah semakin dekat dengan bibirnya. Apa yang menjadi perintah suaminya masih sangat diingatnya. Daffin tidak suka bila ia, memejamkan mata ketika akan dicium. Apa yang dulu diperintahkan Daffin kepadanya, kini teringat kembali dan dilakukannya dengan patuh. Hana tahu, disini, tidak ada mama serta papa mertuanya, yang akan selalu membela dan menjadi tempat mengadu.Daffin tidak mencium istrinya. Ia hanya menatap mata Hana dengan sangat