maaf cuma sedikit, buat absen aja. setelah ini upload lagi ya.
Raya menyimpan di meja sekretaris Andro dan mulai memasang lilin di sana. Setelahnya dia membawanya menuju pintu ruangan Andro. Sayangnya, pintu itu tidak tertutup rapat, membuat Raya mendengar suara tawa Prabu di dalam sana. “Woho! Ha ha ha ha! Kau menang Kakak. Selamat, ini sudah lebih dari enam bulan. Kau hebat, kata-katamu terbukti. Istrimu masih bertahan di sisimu.” Raya menegang disana. “Ini artinya aku menang taruhan denganmu lagi?” “Ya, Kak. Kau selalu menang, aku bahkan gagal menikah tahun ini. Selamat, kau mendapatkan kapal pesiarku.” “Kapalnya sudah aku ambil.” “Aku tahu, itu milikmu.” Seketika itu pula Raya merasa pusing, mula dan sesak. Penglihatannya tidak bisa fokus. Menelan semua kepahitan yang ada. Kenyataan bahwa Andro pernikahan mereka hanyalah taruhan Andro demi mendapatkan kapal pesiar. Raya merasa bingung, marah dan ingin berteriak. Jadi selama ini, ini alasan Andro setuju menikahinya menggantikan Yarina. Perasaan itu dia telan semua sendirian, sampai akh
Perlahan, pemilik bulu mata lentik itu membuaka matanya. Dia merasa silau dengan sinar matahari, sampai tangan Raya otomatis menyentuh perutnya yang datar. Saat itulah Andro yang senantiasa siaga di samping Raya tersenyum. “Sayang, kau sudah sadar?” “Bayiku?” “Mereka baik-baik saja,” ucap Andro mencium tangan Raya yang masih dia genggam. Sadar akan apa yang terjadi, Raya menarik tangannya dari Andro dan mendudukkan dirinya seketika. Wajah Raya memperlihatkan jelas ketakutannya. “Sayang, tenanglah. Ada apa?” “Pergi! Pergi kamu laki-laki jahat!” “Sayang, tenang!” “Aa! Jangan sentuh aku!” Raya histeris saat Andro hendak menyentuhnya, air matanya jatuh mengingat apa yang telah diperbuat laki-laki itu. “Sayang…” “Berhenti memanggilku seperti itu, kamu jahat!” Teriak Raya dengan air mata yang terus mengalir. Tatapan matanya memperlihatkan rasa sakit yang amat mendalam. “Raya…” “Keluar!” “Dengarkan penjelasanku dulu.” “Keluar!” “Aku mohon.” Tangan Andro terus ditepis, Raya eng
“Raya benci Andro, Oma.” “Oma tahu Sayang, Oma tahu. Oma tidak akan membelanya, sekarang yang kau perlukan hanyalah sembuh lebih dulu, pulihkan tenaga supaya bayi mu sehat. Ingat, kau sedang mengandung.” Raya diam tidak memberikan banyak respon, yang mana membuat Oma memilih untuk memberi ruang padanya. Oma duduk di sofa yang ada di kamar itu, menatap Raya yang tak bergerak seperti mayat hidup. Raya berjalan ke kamar mandi di tuntun oleh Jeta. ketika Raya masuk dan Jeta menunggu di luar, Oma memnaggil Jeta. “Jeta, apa dia mengatakan sesuatu padamu?” “Hanya beberapa kalimat tentang bagaimana dirinya membenci tuan muda, Nyonya.” Oma menarik napas dalam. “Apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin keduanya berpisah, tapi aku mengerti perasaan Ria. Dai pasti sakit hati.” “Saran saya, Nyonya Besar. Anda bantu pertemukan mereka sebentar saja. Beri pengertian pada Nona Muda agar mendengarkan penjelasan dari Tuan Muda.” Oma berdecak. “Aku saja enggan mendengar penjelasan bodohnya, apal
Sore ini, Raya mendengar jika dirinya sudah boleh pulang. Namun Raya tidak ingin kembali ke kediaman Prakarsa. Ia berniat untuk kabur ketika tidak ada siapapun di kamarnya. Raya sangat sensitif akhir-akhir ini karena kehamilannya, selain itu, ada kejadian yang semakin mendorongnya ingin pergi menjauh. Raya tidak berpikir panjang, akal dan logikanya seolah lenyap oleh amarah sesaat. Dia lupa akan bayinya, dia melupakan nasib kedua anaknya kelak jika tanpa suaminya. Untuk saar ini, yang Raya inginkan hanya menjauh dari Andro. “Nona Muda, Anda mau kemana?” Tanya Jeta melihat Raya memasukkan beberapa kue ke dalam tas. “Nona Muda?” “Diam, Jeta, aku akan pergi dari sini. “Tidak. Hentikan Nona anda hanya akan memperburuk keadaan.” “Lepaskan aku!” “Nona Muda…” Jeta melepaskan tangannya. “Pikirkan anak-anak Anda, apa yang akan terjadi pada mereka kelak? Apa mereka akan hidup tanpa sosok Papanya? Apa anda tega melihat mereka terlantar. Harta memang bukan segalanya, Nona. Tapi setidaknya h
"Ria, kau membuang ponselmu?" Raya mengangguk, karena kesal dengan foto layarnya yang menampilkan keseksian Andro, Raya membuangnya begitu saja ponselnya keluar dari jendela mobil. "Bagaimana ini, Jeta? Sudah malam, kau bisa keluar membeli ponsel?" "Tidak apa, Oma. Raya bisa membelinya sendiri." "Sebenarnya, Nona Muda..." Jeta menggantungkan ucapannya. "Ada apa, Jeta?" Tanya Raya. "Katakan," ucap Oma menggertak. Jeta mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Ini adalah ponsel bekasku, setidaknya ini berfungsi dengan baik dan ju--" "Tidak apa, Jeta. Aku menyukainya, lagipula dengan begini pria itu tidak bisa melacak keberadaan ku. Terima kasih." Oma menatap miris ponsel jadul bermerk nama buah yang hanya memili satu slot sim itu. "Ria sayang..." "Oma tidak apa, aku mohon." Raya tahu apa yang ada dalam benak Oma. "Baiklah," ucap Oma menarik napas panjang. Setelah Jeta selesai berbenah, mereka akhirnya berpamitan. "Sayang..." "Oma, tidak apa. Di sini ada televisi," ucap Raya
Andro tertidur di lantai dengan alkohol berserakan, puntung rokok masih tergeletak di berbagai sisi. Semua ini diluar kebiasaannya. Andro terbangun oleh suara dering ponsel. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya, Andro segera mengangkatnya. "Hallo?" "Kak, ini aku Prabu." Dada Andro seketika berdetak kencang, dia benar benar tidak belum ingin berhubungan dengan adiknya ini dulu. "Berhenti menghubungiku." Andro enggan membahas hal lain, apalagi kini dirinya masih mengalami sisa sisa kemabukan. "Tunggu, Kak," ucap Prabu saat Andro hendak menutup telepon. "Aku harus mengatakannya sendiri pada is--" Andro memutuskan panggilan, dia menelentangkan tubuhnya merasa pening. Saat telpon kembali menyala, dan Andro tahu itu dari Prabu, Andro melempar ponselnya sampai mati. Dia berteriak kesal sebelum akhirnya berdiri. Andro merasa pusing, dia bergegas ke kamar mandi dengan langkah gontai. Menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya sungguh kacau. Tidak terlihat segar lagi, benar-bena
Tiga bulan kemudian.... Alarm membangunkan Raya, dia membuka matanya pelan dan menggeliat. Raya mengusap perutnya yang mulai membuncit, senyuman terpatri di wajahnya, dia menyambut dunia dengan berkata, "Selamat pagi, anak-anak mama." Kemudian Raya bangun, dia keluar apartemen untuk mendapatkan bahan makanan yang seperti biasa sudah ada di sana. Kali ini Raya akan memasak sayur bening sesuai instruksi dokter jika dirinya harus lebih sering makan sayur. Raya memang selalu rutin memeriksa kandungannya ke sebuah klinik di dekat apartemen selama satu bulan sekali. Dan itu menggunakan uangnya sendiri dari hasil bekerja. Raya enggan memakai uang dari kartu yang Oma berikan, mengingat Andro mungkin bisa melacak keberadaannya. Sambil memasak, Raya memutar musik klasik untuk didengarkan pada janin yang ada dalam perutnya. Beruntungnya, Raya kini tidak pernah muntah atau merasa mual lagi, meski perasaan sensitif nya tetap ada. Saat sedang memasak, telpon jadul milik Raya berdering seperti
Raya mengedit foto sedemikian rupa hingga menjadi apa yang diinginkan Radit. Dia menguap lebar saat pengeditannya selesai. Raya meregangkan tubuh kemudian mengusap perutnya yang mulai membuncit karena ada dua janin di dalam tubuh Raya. "Astaga, aku lelah," ucap Raya membaringkan tubuh di atas sofa depan televisi, kakinya dia sengaja naikan ke atas meja untuk meluruskan tubuh. Raya mengusap perutnya yang membuncit. "Apa kalian juga lelah?" Di usianya yang akan menginjak dua puluh tahun, Raya akan menjadi seorang ibu. Dia tahu dirinya masih muda, tapi dia akan menjadi sosok yang selalu ada untuk anak anaknya nanti. "Mama akan selalu bersama kalian." Sambil tiduran, Raya membaca sebuah novel bahasa Inggris. Membuatnya semakin paham kosakata. Hingga Raya berandai-andai jika dirinya bertemu dengan orang luar. "Jika aku bertemu dengan orang asing nanti, aku akan bisa menjawab dan berbicara dengan mereka." Raya yakin pada dirinya. "Kita akan memulai percobaan," ucapnya lagi. "Hallo, Tu