Tapi ia tak urung mengikuti langkah Darma dari belakang. Sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kaki panjang Andra melangkah, hendak masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke perusahaan.
Saat tiba di perusahaannya, Andra melihat suasana di dalam kantornya sudah berubah. Ruang Aula yang luas itu kini telah disulap menjadi sebuah ruangan yang dihias dengan balon-balon berwarna. Juga bunga-bunga yang cantik di beberapa sudut. Terhampar meja-meja panjang yang menyajikan makanan dan berbagai dessert, serta minuman yang akan memanjakan para tamu undangan yang hadir di acara malam ini.
Karena malam ini adalah acara ulang tahun perusahaan, maka sebuah kue yang berukuran cukup besar juga sudah siap sedia di sana. Rencananya nanti Andra dan Darma lah yang akan memotong kue itu.
‘Di mana Alana? Apa dia belum datang? Atau justru tidak akan datang?’ gumam Andra bertanya-tanya dalam hati. Matanya celingukan kesana-kemari mencari sosok wanita yan
Namun saat matanya hendak melirik pada tempat dimana Alana berdiri tadi, kening Andra berkerut mendapati Alana sudah tidak ada di sana.‘Ke mana perginya Alana? Padahal tadi dia masih berdiri di dekat meja ini.’ Andra celingukan mencari Alana.Dan Darma yang memerhatikan itu langsung saja menyikut lengan Andra dan memberinya tatapan peringatan.“Jaga sikapmu, Andra! Tuan Arwen sedang berjalan kearah kita. Kamu sedang mencari siapa? Wanita murahan itu sudah pergi menjauh. Mungkin dia sudah sadar dimana derajatnya!” bisik Darma ke telinga Andra. Tangan Andra terkepal dan rahangnya mengetat ketika mendengar ucapan Darma barusan.Tapi sapaan Tuan Arwen dan suara centil Sherly membuat Darma segera menoleh dan bangkit untuk menyapa.“Selamat malam Tuan Arwen! Mari silakan duduk.” Darma menjabat tangan Arwen kemudian menunjuk kursi yang bersebrangan dengannya. Mengisyaratkan agar Arwen duduk di sana. Sementara Nit
Membayangkan rencananya yang akan berhasil. Nita juga membayangkan bagaimana marahnya Andra saat melihat Alana mempermalukan dirinya sendiri."Aku yakin, rencanaku ini pasti akan berhasil. Aku pastikan kalau Andra akan merasa ilfeel dan menendang Alana dari pekerjaannya!" lanjut Nita, kemudian matanya mulai melirik kearah pelayan catering. Menggerakan tangannya sebagai isyarat agar pelayan itu mendekat."Apa kamu mau uang? Saya bisa kasih kamu uang, tapi kamu harus melakukan sesuatu untuk saya," ucap Nita yang membuat pelayan catering itu mengerutkan keningnya dengan bingung. Tapi sepertinya uang yang Nita tawarkan terlihat tampak menggiurkan."Apa yang harus saya lakukan untuk Nyonya?" tanya pelayan catering itu dengan berbisik."Berikan segelas jus pada wanita muda yang sedang berdiri di sana," tunjuk Nita pada Alana. "Tapi campurkan ini di dalam minumannya!" lanjut Nita sambil memberikan sebuah botol kecil berisi sebuah cairan y
“Enghh..” bibir Andra masih mengunci rapat bibir Alana. Tangannya yang kekar mendekap punggung Alana hingga merapat padanya.“Apa mereka tidak malu berciuman di depan umum?” bisik-bisik para tamu undangan.Sementara Sherly menghentakan kakinya kesal, ia cemburu melihat Andra berciuman—di depan matanya.“Ck! Aku tidak bisa biarkan ini. Kenapa Andra malah menciumi Alana di hadapan para tamu?!” Sherly hendak beranjak menghampiri Andra dan Alana, akan tetapi Arwen menahannya.“Jangan!”“Kenapa, Pa? Wanita murahan itu sudah menggoda calon suamiku! Apa Papa tidak melihat kalau mereka sedang berpagutan dengan mesra? Hhh.. menjijikan!” kesal Sherly mengetatkan giginya.Arwen mengangguk. “Papa tahu. Hanya saja menurut Papa sebaiknya kamu tidak usah ke sana. Karena Papa tidak mau kamu membuat keributan yang akhirnya malah mempermalukan diri kamu sendiri.”
“Anda mau apa Pak? Mau ikut berenang ya?” tanya Alana yang belum sadar dari mabuknya.“Iya. Kita akan berenang menyelami nikmatnya surga dunia. Aku akan membuatmu hanya menjeritkan namaku saja, Alana!” sahut Andra tepat di depan wajah Alana. Kemudian Andra meraup bibir ranum Alana.“Enghh.. Pak?”“Kamu tahu, Alana? Kamu selalu membuatku tak bisa mengendalikan naluri kelelakianku! Tubuhmu selalu membuatku candu untuk menyentuhnya,” kata Andra.“Kamu mau berpesta denganku malam ini ‘kan, Alana?” tanya Andra.“Mari kita melakukannya dengan penuh penghayatan.”Kini dua insan itu sudah siap untuk mulai bergelung di peraduan.“Engh, Pak. Apa yang Anda lakukan?” .“Sudah ku bilang kita akan berenang. Kamu hanya perlu diam dan menikmati. Sebut saja namaku berkali-kali, Alana! Aku hanya ingin mendengar nama
Bahkan pelukan Andra membuat hidung mancung mereka nyaris bersentuhan. Napas Andra mendesau, menyapu permukaan kulit wajah Alana.“Apa kamu benar-benar tidak ingin terus memelukku seperti ini, Andra? Apa kamu benar-benar tidak ingin aku pergi?” Alana bergumam pelan. Bibirnya mengukir senyum yang tak dapat ia tahan.Disentuhnya hidung mancung Andra dengan telunjuknya.“Aku tahu ini salah. Aku sadar sekali kalau apa yang sudah terjadi di antara kita ini tidak dibenarkan, Andra. Karena kita sudah bukan lagi suami istri. Tidak seharusnya kita tidur satu ranjang. Tapi, entah mengapa aku malah merasa bahagia saat terbangun di dalam pelukanmu. Aku tidak sadar dengan apa yang sudah terjadi semalam. Yang jelas, aku tidak kuasa saat hatiku sangat merindu pada sentuhanmu.” pelan sekali Alana bicara. Karena ia sangat takut jika Andra bangun lantas mendengar apa yang dia katakan.Alana menarik napasnya pelan. Lalu ia mengarahkan pandangan
Di dalam kamar mandi, Alana mengamati tubuhnya di depan cermin. Alana dapat melihat pantulan dirinya sendiri dari balik cermin itu.Sambil menahan napasnya, jemari tangan Alana terangkat menyentuh lehernya yang terdapat noda merah di sana. Itu adalah bekas ciuman Andra. Tanda kepemilikan yang Andra tinggalkan di leher Alana yang jenjang.“Aku sudah menyerahkan tubuhku begitu saja pada Andra. Aku tidak berdaya menolaknya. Sepertinya apa yang Andra katakan tentangku itu benar. Aku memang wanita yang murahan. Aku sudah tidak memiliki harga diri.” Alana menyeka air di sudut matanya.Terbersit rasa penyesalan yang amat dalam di hati untuk Winarti.Ya. Tak seharusnya Alana membiarkan dirinya terlena dengan sentuhan Andra. Padahal sudah jelas laki-laki itu merenggut kehormatannya dengan sesuka hati dan seringkali merendahkan harga dirinya tanpa perasaan.Akan tetapi Alana selalu saja tidak berdaya. Rasa cinta yang masih mengg
“Maaf, Pak. Daripada ribut, kenapa Anda tidak ajak saja pacar Anda untuk duduk di kursi itu sama-sama. Ya, mungkin memang akan sedikit sempit karena berhimpitan di atas satu kursi. Tapi keromantisannya akan lebih terasa,” usul kernet bus sambil bersiul dan menaik-turunkan alisnya pada Andra dan Alana.Sementara Andra dan Alana saling pandang satu sama lain.Alana menahan senyum. Melirik kearah sampingnya dimana Andra tampak setengah mengantuk sambil menyender di pundaknya.Ya. Akhirnya Andra dan Alana melakukan apa yang diusulkan oleh kernet bus itu. Mereka duduk berhimpitan bertiga dengan salah satu penumpang yang lain. Kursi yang kecil itu membuat Andra mau tak mau harus merapat pada Alana agar ia tidak terjatuh.‘Kamu tampan sekali, Andra. Wajah kamu selalu terlihat tenang saat tidur. Dan aku selalu suka memandanginya sejak dulu,’ batin Alana.Alana tidak tahu, jika sebenarnya Andra mengantuk karena lelaki i
“Ke mana saja kamu semalam? Dan kenapa telpon Papa selalu kamu reject, Andra?” Andra seperti sedang disidang. Saat ini Andra tengah duduk di sofa ruang tengah. Tampak di hadapannya telah duduk Darma dan Nita yang menatapnya dengan tatapan dingin dan tajam.Saat sebelum pulang pun Andra sudah menduga jika hal ini pasti akan terjadi. Interogasi dan ceramah dari orang tuana memang selalu melekat dalam kehidupan Andra sehari-hari. Hingga membuat Andra merasa muak dan bosan.“Aku habis dari Club, Pa. Aku pergi dengan teman-temanku dan menginap di hotel.” Andra pun berdusta. Karena tak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya pada kedua orang tuanya.Mata Darma memicing menatap Andra tak yakin. “Club Mana yang kamu maksud? Dan siapa teman-teman kamu itu?”“Kenapa Papa harus bertanya sedetile itu? Apa perlu aku menjelaskan hingga ke tektek bengeknya? Sudah jelas aku pergi ke Club yang biasa aku kunjungi. Dan Papa pun tidak
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it