Kemudian Andra menggeleng dengan tegas.
"Tidak! Kalian berdua salah. Sejak hari dimana Alana sudah membuat hidupku hancur, saat itu aku sudah melenyapkannya dari hati dan pikiranku. Bagiku Alana yang dulu sudah mati. Dan Andra yang dulu pun juga sudah mati. Tidak ada satu pun yang tersisa dalam diriku selain kebencian yang mendalam padanya!" Andra berkata dengan rahang yang merapat.
Entah mengapa membuat senyum miring tersungging di bibir Nita.
Sedangkan Darma, wajahnya masih menatap Andra dengan datar dan tegas.
"Dan tentang Sherly, semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan Alana. Jadi aku minta, jangan pernah membawa-bawa nama Alana. Di saat kita sedang memperdebatkan tentang perjodohan ini!" air muka Andra tampak begitu serius. Kedua matanya m
"Apa yang sedang Alana lakukan di sana? Seenaknya saja dia mau bersantai sementara tenggorokanku kering menunggu kopi pahit darinya?!" desis Andra menatap tajam pada layar monitornya."Ck! Alana. Kamu harus diberi pelajaran!" Andra bangkit berdiri dari duduknya.Dan sekarang ia sudah melangkah lebar keluar dari ruangannya.Tentu saja kakinya mengarah menuju ke pantry kantor. Dimana Alana tengah duduk manis menikmati kesantaiannya. Setidaknya itulah yang Andra pikirkan.Begitu kaki Andra tiba di ambang pintu, ia langsung berseru pada Alana."Begini yang kamu lakukan di pantry saat aku sedang sibuk di ruanganku, Alana? Apa kamu tidak tahu kalau sekarang belum jam istirahat?" sentak Andra dengan waj
Andra terdiam dengan menghunuskan tatapan dinginnya pada Alana yang tertunduk. Lalu Andra menghembuskan napas kasar, kemudian menurunkan kaki Alana dan ia bangkit berdiri.'Aduh, apa kelancanganku tadi sudah membuat Andra marah? Kenapa Andra menatapku dengan cara seperti itu?' batin Alana bertanya-tanya.Manik mata Alana memerhatikan punggung tegap Andra yang bergerak menuju sebuah laci. Andra mengeluarkan sesuatu dari sana lalu ia kembali berbalik menatap Alana."Terima itu!" kata Andra sembari melempar sesuatu dan refleks Alana menangkapnya."Olesi salep itu di pergelangan kakimu yang bengkak. Jika kamu merasa sudah bisa berdiri dan melangkah, maka segera pergi dari ruanganku! Ingat, Alana. Jangan merasa senang dengan apa yang ku lakukan padamu
“Mama harus banyak makan. Karena tenaga Mama pasti terkuras setelah bekerja. Sini Rehan suapin Ma. Aaak..”Alana membuka mulutnya saat tangan mungil itu menyodorkan sesendok makanan. Lalu Alana menerima suapan Rehan dengan senyum yang tersungging di bibir.“Wah, ternyata Mama hebat makannya. Rehan senang kalau Mama banyak makan,” kata Rehan mengacungkan jempol kanannya pada Alana.Winarti tersenyum menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menyuap makanan ke dalam mulut.Sementara Alana menatap lurus pada Rehan yang juga mulai mengunyah makanannya. Terbesit perasaan berat dalam hatinya, apakah Alana harus memberitahu Rehan dan Winarti sekarang. Kalau besok Alana akan pergi ke bali dalam beberapa hari?
Andra yang sedang bersandar pada hardboard ranjang sembari memainkan ponsel, kini mengangkat kepalanya dan menatap Alana dengan mata yang menyipit.“Mengapa panggilan ‘Pak’ itu selalu hilang dari mulutmu saat kita sedang berada di luar kantor, Alana?” tanya Andra dan Alana masih membisu di tempatnya. Kedua kaki wanita itu seakan telah dipaku dan ia tak bisa lari kemanapun.“Tapi tidak masalah. Aku memang lebih suka jika kamu memanggilku dengan nama saat kita tak sedang bekerja.” Andra menaruh ponselnya di atas nakas. Kemudian ia turun dari ranjang dan bergerak mendekati Alana.Yang membuat Alana menahan napas adalah, lelaki bertubuh jangkung itu juga sama-sama menggunakan bathrobe hotel. Hingga Alana berpikir, apakah tubuh Andra juga sama-sama polos di balik bathrobe itu?
Tatapan Alana yang berurai air mata membuat Andra mengumpat dan segera bangkit dari tubuh wanita itu.“Ah, Siall!” Andra menggeram. Dan tanpa melihat lagi kearah Alana, Andra bergerak cepat meraih ponselnya yang ada di atas nakas lalu keluar dari kamar hotel itu dan menutup pintu dengan membantingnya.BRAK!Alana bangkit duduk dan terhenyak menatap kearah pintu. Ia juga membetulkan bathrobe-nya.“Kenapa Andra tiba-tiba pergi dan marah seperti itu?” gumam Alana, tapi kemudian ia menarik napasnya lega. “Syukurlah. Karena dia tidak jadi menyentuhku. Meski sejujurnya aku sangat merindukan sentuhan Andra. Tapi jika ia menyentuhku dengan penuh penghinaan, maka lebih baik dia tidak melakukannya. Apalagi saat ini kita s
Tiba-tiba saja secarik senyum tipis terukir di bibir Andra. Melihat betapa cantik dan manisnya wajah itu meski dalam keadaan polos dan tanpa balutan make-up.“Wajah bantalmu ternyata masih secantik dulu. Dan aku selalu senang memandanginya,” Andra bergumam tanpa sadar. Matanya sempurna menatap pada Alana, masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Andra berkata dengan sedikit berbisik.“Kulitmu juga sangat halus, Alana. Dulu aku selalu senang mengecupmu di sini,” Andra menunduk dan mendaratkan bibirnya di kening Alana. Mengecupnya dengan pelan agar gerakannya tak membangunkan wanita itu.“Matamu yang bulat. Selalu terlihat indah. Dan aku suka memandanginya,” Andra melarikan telunjuknya, mengusap-usap pelan kedu
Andra mendengus tak percaya. Lalu ia membalikan tubuhnya melangkah kearah pintu. Alana pikir Andra akan pergi dari kamarnya. Tetapi ternyata Alana salah besar. Andra justru menutup pintu kamar hotelnya dengan rapat, kemudian menguncinya.“Kenapa kamu mengunci pintunya, Andra?!” tanya Alana dengan wajah panik.Andra menoleh dan menampilkan senyum miring.“Agar tidak ada satu orang pun yang akan mengganggu kita. Bukankah tadi malam kesenangan kita belum tuntas, Alana?” Andra berjalan semakin mendekat menuju ranjang tempat dimana Alana berada.Dengan waspada, Alana beringsut mundur dan menepikan punggungnya pada hardboard ranjang. Sambil menekuk lututnya dengan kedua tangan.“Janga
Andra menatap lurus ke depan. Ia tak mengelak akan tuduhan Nita, ataupun membenarkannya.‘Andra!’“Sudah dulu ya, Ma. Aku belum sarapan dan siang ini harus melakukan pertemuan lagi dengan klien-ku.”TUT!Tanpa menunggu sahutan dari ibunya, Andra langsung memutuskan sambungan telponnya begitu saja. Setelah itu Andra bangkit dari sofa dan ia menarik napas pelan. Kini matanya menatap pada cermin yang ada di hadapannya.“Apa yang Mama bilang itu memang benar, Ma. Aku dan Alana sudah melakukan hubungan suami istri lagi. Aku sudah kembali menyentuhnya. Dan sialnya, tubuh Alana justru membuatku makin haus dan merindukan sentuhannya lagi,” gumam Andra sambil berkaca pinggang dan m