Nia membuka kelopak matanya ketika mendengar suara berisik dari para anak tetangganya yang berteriak di depan rumah atau sekitar rumahnya.Gadis itu menguap lebar dan menatap sekeliling kamar yang ia tahu ini adalah kamarnya sendiri.Nia menarik jam weker yang berada di atas nakas dan melihat sudah pukul sembilan pagi. Samar-samar Nia ingat jika ada seorang pria yang mengantarnya pulang entah dengan cara apa pria itu bisa tahu alamat rumahnya, Nia tidak tahu.Nia mengerut keningnya karena melupakan wajah pria yang mengantarnya pulang. Matanya memindai tubuhnya sendiri dan menghela napas lega karena ia masih berpakaian utuh.Nia turun dari tempat tidur tak sengaja matanya menatap dinding kamar yang penuh dengan foto Ramon dan dirinya. Ada juga beberapa fotonya dan juga Sarah.Nia mendengkus sambil menunjuk foto-foto tersebut dengan jari tengahnya."Awas kalian berdua tunggu pembalasan dariku," gumamnya sebelum memutuskan unjuk masuk ke dalam kamar mandi.Dua jam kemudian.Nia berjalan keluar rumahnya hingga berdiri di depan sebuah kotak sampah terbuat dari semen dengan membawa kardus besar berisi foto dan barang kenangannya bersama Ramon."Awas kalian berdua, tunggu pembalasan dari Arrania Wilati ini," gumamnya penuh dendam.Nia memasukkan foto yang sudah ia cabut dari bingkainya dan melemparnya ke dalam kotak sampah. Setelah itu ia mengeluarkan barang-barang pemberian Ramon padanya berupa kotak perhiasan, bandana yang sudah patah, jepit yang sudah patah atau berkarat, lalu, gelang tangan yang di beli lima belas ribuan, serta pernak-pernik tak berharga lainnya.Setelah memasukkan itu semua, Nia kemudian mulai menghidupkan api dan membakar semua sampah yang berada di dalam kotak sampah."Kalian berdua memang pantas di bakar seperti ini," gumamnya seolah ia membakar Ramon dan Sarah.Setelah itu, Nia melangkah masuk dan tak lama ia membawa tumpukan boneka yang diberikan Ramon serta Sarah padanya."Yuk, semuanya! Di beli bonekanya! Murah meriah dan masih bagus semua. Cuma dua puluh ribu satu boneka ukuran sedang. Tiga puluh ribu boneka ukuran besar. Siapa cepat dia dapat!" teriak Nia di depan rumahnya yang tak berpagar.Suara Nia yang lumayan keras tanpa menggunakan toa menarik perhatian orang-orang di sekitar termasuk anak kecil. Semua berkumpul dan membeli boneka jualan Nia. Bonekanya masih sangat bagus tanpa kotor dan rusak sedikitpun karena Nia memang rajin merawat barang.Setelah semua bonekanya habis, Nia masuk ke dalam dan keluar dengan membawa tas, jam tangan, serta beberapa koleksi sepatu miliknya yang diberikan dari hasil pacaran dengan Ramon selama bertahun-tahun.Cukup butuh waktu tiga jam semua barang pemberian Ramon sudah Nia jual dan laku keras."Dari pada di bakar jadi abu, mending di jual jadi duit," ujarnya santai. Setelah itu, Nia kemudian masuk ke dalam sambil menghitung jumlah uang yang ia dapatkan dalam beberapa jam terakhir ini."Lumayanlah dapat 4 juta seratus ribu," ujarnya setelah selesai menghitungnya.Nia kemudian melangkah masuk ke dalam kamarnya dan tertegun melihat kamarnya sudah hampir kosong. Bahkan, lemari bajunya pun sudah sedikit berkurang karena baju yang di berikan Ramon padanya cukup banyak dan sudah terjual.Nia menatap tumpukan uang pecahan sepuluh ribuan yang ia pegang, kemudian menghela napas sejenak."Uang ini akan aku belikan tas dan baju di pasar nanti," gumamnya sambil tersenyum. ________"Selamat pagi, Pak.""Pagi Pak CEO.""Pagi."Sapaan terdengar di penjuru lobi ketika seorang pria turun dari mobil di depan lobi kantor.Pria tampan yang sudah memiliki seorang istri dan tiga orang putra itu merapikan jasnya sambil berjalan memasuki kantor."Pak CEO, Pak Saeful dan Pak Abdullah sudah menunggu di ruang rapat pagi ini," ujar seorang pria pada pria itu.Pria yang tak lain adalah Bima Sanjaya menatap pria yang sudah menjadi asistennya sejak sepuluh tahun yang lalu itu membuka lembar jurnal lainnya. Pria yang bernama lengkap Jeremy Hilman atau kerap di sapa Jery menatap tuannya dengan tatapan tenang."Hm." Bima mengangguk tanpa menatap pria itu. Kemudian ia meneruskan langkahnya menuju ruang rapat yang sudah di siapkan.Saat sudah mendekati ruang rapat, Bima menghentikan langkahnya sejenak membuat beberapa anak buah di belakangnya ikut berhenti dan menunggu instruksi yang akan di katakan Bima."Katakan pada dua karyawan yang membuat heboh kemarin jika aku akan menunggu mereka di ruanganku," ujarnya dingin."Baik, Pak," sahut Jery pada Bima.Seperti itulah kesibukan seorang Bima Sanjaya. Ia tidak hanya direpotkan dengan urusan rumah tangga dan anak-anaknya, tapi juga di repotkan dengan urusan perusahaan yang tidak ada habisnya.Pukul sebelas siang Bima baru keluar ruang rapat dan langsung menuju ruangannya di lantai tiga.Beberapa karyawan yang sibuk bekerja tidak menyadari Bima yang berjalan melewati ruangan mereka menuju ruangan paling ujung yang merupakan ruangannya sendiri.Beberapa karyawan yang menyadari kehadiran Bima menunduk hormat sebagaimana mestinya ketika mereka melihat Bima melalui pantulan kaca."Pak CEO, dua orang karyawan sudah menunggu Anda," ujar sekretaris Bima. Wanita cantik berusia 23 tahun itu menunduk sebentar kemudian menatap Bima dengan tatapan tenangnya."Suruh mereka masuk," perintah Bima segera dilaksanakan sang sekretaris.Bima melangkah masuk di ikuti Jery sebagai sekretaris utama dan juga asisten pribadi Bima."Urus surat pembelian lahan atas nama perusahaan di kampung Juara," perintah Bima pada Jery."Baik, Pak." Jery mencatat apa yang di perintahkan Bima dalam note book miliknya. "Ah, iya, Pak nanti jam tiga sore bapak ada meeting dengan klien di restoran Borez dekat sekolah Tuan Arga," ujar Jery memberitahu."Hm." Bima berdeham. "Ngomong-ngomong tidak biasanya tidak ada surat panggilan dari sekolahnya. Apa dia sudah berhenti membuat ulah?" Bima menatap Jery dengan tatapan bertanya."Belum pernah berhenti, Pak. Kali ini surat tidak lagi datang ke bapak karena surat tersebut akan berada di meja kerja Pak Juan." Jery memberitahu hal yang seharusnya ia beritahu pada Bima sejak satu minggu yang lalu."Juan? Bagaimana bisa?" Kening Bima mengerut menatap Jery heran.Jery melirik sekitar kemudian menundukkan sedikit tubuhnya untuk berbisik pada Bima."Dengar dari Tuan Arga jika Pak Juan sedang mengincar murid kelas dua belas di sekolah tuan Arga."Bima sedikit terbelalak mendengar ucapan konyol Jery. Pria itu menggeleng pelan sebagai tanggapannya, kemudian ia meminta Jery membukakan pintu untuk dua tamu yang akan ia berikan pelajaran hari ini."Pak, ada yang bisa kami bantu?"Sarah yang meski melakukan kesalahan fatal di perusahaan tetap bersikap tenang seolah yang membuat masalah bukan dirinya. Hal serupa berlaku juga pada Ramon yang merasa dirinya hebat karena sudah masuk perusahaan melewati jalur orang dalam."Ini surat kalian berdua. Dari kepala HRD kamu di turunkan menjadi staf biasa di bagian pemasaran." Bima menyerahkan sebuah amplop pada Sarah. Kemudian ia menarik amplop lainnya dan di dorong ke arah Ramon yang terlihat membeku di tempat. "Anda, saya turunkan menjadi staf biasa. Anda bisa bergabung dengan tim produksi yang berada di PT Sajay Corp," katanya menatap Ramon datar.Kedua tangan Bima berpangku di bawah dagunya seraya menatap kedua orang yang terlihat shock dengan wajah pucat mereka."Tapi, Pak, saya hanya melakukan satu kesalahan. Apa baik kalau bapak menurunkan posisi saya terlalu mencolok seperti ini?" Sarah menatap Bima dengan tatapan protes yang terlihat dari wajahnya."Satu kesalahan dan itu sangat fatal." Bima menyahut datar. "Anda tentu masih ingat dengan slogan perusahaan kita, kan? Jangan ada nepotisme atau main dalam kegelapan. Lalu, Anda melakukan kesalahan yang tidak bisa di maafkan.""Tapi, Pak, bukannya saya sudah lama bekerja di perusahaan ini. Apa enggak ada keringanan untuk saya?" Sarah masih berusaha untuk membujuk Bima agar membatalkan keputusannya."Karena Anda sudah mengabdi bertahun-tahun dengan perusahaan, ini adalah hukuman paling ringan yang saya berikan." Bima berujar tenang. "Jika Anda berdua menolak, kalian bisa pergi dari perusahaan dan tidak perlu kembali lagi."
Nia menatap ketiga pria di hadapannya dengan tatapan melas berharap pria-pria dengan wajah sangar tersebut untuk luluh pada wajah melasnya."Enggak ada tunda menunda lagi, Mbak Nia. Jatuh tempo sudah lewat tiga hari yang lalu dan kami minta mbak Nia buat melunasi cicilan bulan ini, hari ini juga," ujar seorang pria menatap Nia tegas."Yah, bagaimana ini? Aku enggak punya uang bulan ini. Aku hanya punya uang lima juta. Aku bayar seperempatnya dulu, ya?" pinta Nia menatap melas ketiga anak buah rentenir tersebut. "Enggak bisa, Mbak Nia. Cicilannya dua puluh juta. Kalau mbak Nia kasih hanya lima juta, itu enggak akan cukup," tolak pria itu tegas. Nia menggigit bibirnya menatap para pria itu cemas. Pasalnya ia tidak memiliki uang lagi. Mau mengambil uang di toko emasnya? Huh, lebih baik ia di pukul dari pada harus mengambil modal untuk tokonya.Ini semua gara-gara Ramon! Gara-gara pria pengkhianat itu ingin memasuki kantor dan menyogok Sarah agar menerima pria bodoh itu bekerja, ia har
Nia memarkirkan kendaraannya di parkiran mobil yang tersedia. Nia kemudian beralih menatap pemuda yang duduk di sampingnya. "Kamu mau ikut saya turun atau tunggu di mobil aja? Ah, apa kamu mau pulang aja?" tanya Nia pada sosok pemuda yang tidak banyak bicara sejak tadi. Pemuda itu menatap sekeliling dan menggeleng pelan. "Gue ikut lo aja, Tante. Pengap gue kalau nunggu lo di mobil." Pemuda itu berbicara dengan sangat tidak sopan menurut Nia. "Apalagi mobil lo enggak ada AC-nya. Ini apartemen tempat lo tinggal?" tanya pemuda itu pada Nia.Nia kesal mendengar nada bicara anak SMA yang tidak ada sopan santunnya. Kesal, Nia dengan gemas memcubit lengan pemuda itu seraya melotot."Sopan kamu bicara dengan yang lebih tua. Pakai 'Aku-kakak' bukan 'Lo-gue." "Ish, sakit, Tante. Oke-oke, gue maksudnya aku ngalah!" teriak pemuda itu ketika Nia semakin mengencangkan cubitannya. "Nah, gitu dong. Harus sopan sama yang lebih dewasa dari kamu," ucap Nia. Setelah itu ia keluar dari mobil diikuti o
Nia makan dengan lahap dan tidak memedulikan lagi keberadaan bocah bernama Arga itu. Nia bahkan sampai melupakan keberadaan anak itu. Pikirannya hanya fokus pada makanan di hadapannya. Rasa pedas membakar lidah membuat Nia harus menahannya dengan keringat bercucuran serta air kental yang mengalir keluar dari hidungnya. Beruntung penjual bakso dan mie ayam menyediakan tisu sehingga membuat Nia bisa bebas melap ingusnya. Ieuh! Arga, pemuda 16 tahun itu sampai berjengit jijik melihat cara makan Nia yang mirip setan jahat. "Ck, ck. Patah hati bisa buat orang stres ternyata. Heran gue. Kalau tahu sakitnya patah hati kenapa coba-coba buat jatuh cinta," ujar Arga, sambil menatap Nia prihatin. Sejak tadi wanita dewasa di hadapannya hanya fokus menyantap bakso saja tanpa memerhatikan sekeliling. Arga tidak mengerti dengan jalan pikiran manusia. Sudah tahu risiko jatuh cinta itu sakit kalau sedang patah hati, masih saja ada manusia yang tetap keukuh ingin tetap jatuh cinta. Katanya jatuh
Bima Sanjaya melangkah masuk ke dalam kamar Hera sambil membawa sarapan untuk wanita itu. Pria berusia 37 tahun itu menatap istrinya yang tengah duduk di tempat tidur dengan novel sebagai teman bacaannya. Pria itu berdeham guna menyadarkan Hera akan kehadirannya hingga perempuan dengan tubuh yang teramat kurus itu menoleh dan tersenyum padanya. "Selamat pagi, Mas. Maaf, aku terlalu asyik membaca buku," katanya tersenyum manis. "Tidak masalah." Bima meletakkan nampan berisi sarapan pagi di atas meja samping tempat tidur sang istri. "Sarapan untukmu," katanya datar. Melihat makanan yang di buat khusus untuknya membuat Hera tersenyum."Mas, bagaimana dengan keinginanku? Bisa kamu menurutinya?" Bima menghela napas berat karena lagi dan lagi Hera membahas hal yang sama dengannya. Hal yang sulit untuk ia lakukan. "Kamu tahu aku tidak akan bisa melakukan itu, Hera," gumam Bima menatap tajam istrinya. "Mas." Hera memasang ekspersi melas yang membuat dirinya tampak semakin tidak be
Keputusan yang di ambil Bima untuk menikahi seorang perempuan tidak terlalu di kenal akhirnya di ambil. Meskipun ia harus meminta anak buahnya untuk mencari detail tentang kehidupan perempuan yang ia incar. Di sinilah akhirnya Bima berada. Duduk dengan tenang di dalam ruang kerjanya. Matanya menatap lekat wajah perempuan yang saat ini tengah menampilkan ekspresi shock. Bagaimana tidak shock jika di lamar oleh laki-laki yang bahkan belum terlalu di kenal. "Jadi, bagaimana?" tanya Bima ulang. Bima berharap perempuan satu ini akan menganggukkan kepalanya. Namun, yang ia dapatkan justru gelengan tegas dari perempuan ini. "Jadi, kamu menolak?" Bima tersenyum miring seraya bangkit dari duduknya. Bima berjalan pelan mengitari mejanya dan berdiri di depannya. Bokong seksi Bima bersandar pada ujung meja dengan mata menatap tajam Nia yang terlihat pucat. "Maaf, Pak, dua orang menikah di dasari oleh cinta atau perjodohan yang di lakukan kedua pihak keluarga." Nia menjeda kalimatnya sebent
PART 1 Arrania atau kerap disapa sebagai Nia menghela napas untuk yang kesekian kalinya kala sambungan teleponnya tidak diangkat sama sekali oleh kekasihnya, Ramon. Sudah hampir tiga bulan belakangan ini Ramon jarang berkomunikasi dengannya. Padahal sebelumnya Ramon jarang atau tidak pernah mengabaikan dirinya seperti ini. Mereka menjalin hubungan sudah lebih dari tujuh tahun dan Ramon berjanji akan menikahinya ketika Ramon sukses. . Awalnya Nia tidak ingin curiga terhadap kekasih yang sudah lama ia pacari ini, namun belakangan ini ia merasakan perasaan tak nyaman yang menghantui dirinya. Nia bangkit berdiri dengan wajah dingin seperti biasa. perempuan dewasa itu belum mencapai pintu terkejut ketika tubuhnya ditabrak oleh remaja yang mengenakan seragam SMA di depannya. "Bisa jalan hati-hati biar enggak nabrak orang sembarangan?" ketus Nia."Sorry deh, Tan, gue enggak sengaja." Remaja lelaki itu mengibas tangannya dengan ekspresi santai seolah ia tidak merasa bersalah."Santai b
Nia terkikik sendirian sambil mengingat bagaimana ekspresi kedua pasang selingkuhan itu ia permalukan dan bagaimana ekspresi kedua orang itu ketika ia memilih membuka aib mereka di depan orang banyak. Sekali lagi Nia terbahak-bahak ketika membayangkan kedua orang itu pasti mendapatkan masalah setelah ia membongkar keburukan mereka.Setidaknya Nia berpikir jika ia tidak akan hancur sendirian. Ada dua orang lain juga yang akan ikut hancur bersamanya. "Itu akibatnya karena sudah mengkhianati aku. Ha-ha!" Sekali lagi Nia meneguk vodka langsung dari botolnya, sementara sloky yang ada di depannya ia abaikan begitu saja.Suara hentakan yang dimainkan seorang DJ terkenal membuat Nia larut dalam kebahagiaan dan juga kesedihan. Di tempat ini ia melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan juga rasa gundah atas pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang terdekatnya. Nia bangkit dari duduknya, berjalan menuju lantai dansa dan bergabung dengan orang-orang yang meliukkan tubuh mereka dengan bahagia.
Keputusan yang di ambil Bima untuk menikahi seorang perempuan tidak terlalu di kenal akhirnya di ambil. Meskipun ia harus meminta anak buahnya untuk mencari detail tentang kehidupan perempuan yang ia incar. Di sinilah akhirnya Bima berada. Duduk dengan tenang di dalam ruang kerjanya. Matanya menatap lekat wajah perempuan yang saat ini tengah menampilkan ekspresi shock. Bagaimana tidak shock jika di lamar oleh laki-laki yang bahkan belum terlalu di kenal. "Jadi, bagaimana?" tanya Bima ulang. Bima berharap perempuan satu ini akan menganggukkan kepalanya. Namun, yang ia dapatkan justru gelengan tegas dari perempuan ini. "Jadi, kamu menolak?" Bima tersenyum miring seraya bangkit dari duduknya. Bima berjalan pelan mengitari mejanya dan berdiri di depannya. Bokong seksi Bima bersandar pada ujung meja dengan mata menatap tajam Nia yang terlihat pucat. "Maaf, Pak, dua orang menikah di dasari oleh cinta atau perjodohan yang di lakukan kedua pihak keluarga." Nia menjeda kalimatnya sebent
Bima Sanjaya melangkah masuk ke dalam kamar Hera sambil membawa sarapan untuk wanita itu. Pria berusia 37 tahun itu menatap istrinya yang tengah duduk di tempat tidur dengan novel sebagai teman bacaannya. Pria itu berdeham guna menyadarkan Hera akan kehadirannya hingga perempuan dengan tubuh yang teramat kurus itu menoleh dan tersenyum padanya. "Selamat pagi, Mas. Maaf, aku terlalu asyik membaca buku," katanya tersenyum manis. "Tidak masalah." Bima meletakkan nampan berisi sarapan pagi di atas meja samping tempat tidur sang istri. "Sarapan untukmu," katanya datar. Melihat makanan yang di buat khusus untuknya membuat Hera tersenyum."Mas, bagaimana dengan keinginanku? Bisa kamu menurutinya?" Bima menghela napas berat karena lagi dan lagi Hera membahas hal yang sama dengannya. Hal yang sulit untuk ia lakukan. "Kamu tahu aku tidak akan bisa melakukan itu, Hera," gumam Bima menatap tajam istrinya. "Mas." Hera memasang ekspersi melas yang membuat dirinya tampak semakin tidak be
Nia makan dengan lahap dan tidak memedulikan lagi keberadaan bocah bernama Arga itu. Nia bahkan sampai melupakan keberadaan anak itu. Pikirannya hanya fokus pada makanan di hadapannya. Rasa pedas membakar lidah membuat Nia harus menahannya dengan keringat bercucuran serta air kental yang mengalir keluar dari hidungnya. Beruntung penjual bakso dan mie ayam menyediakan tisu sehingga membuat Nia bisa bebas melap ingusnya. Ieuh! Arga, pemuda 16 tahun itu sampai berjengit jijik melihat cara makan Nia yang mirip setan jahat. "Ck, ck. Patah hati bisa buat orang stres ternyata. Heran gue. Kalau tahu sakitnya patah hati kenapa coba-coba buat jatuh cinta," ujar Arga, sambil menatap Nia prihatin. Sejak tadi wanita dewasa di hadapannya hanya fokus menyantap bakso saja tanpa memerhatikan sekeliling. Arga tidak mengerti dengan jalan pikiran manusia. Sudah tahu risiko jatuh cinta itu sakit kalau sedang patah hati, masih saja ada manusia yang tetap keukuh ingin tetap jatuh cinta. Katanya jatuh
Nia memarkirkan kendaraannya di parkiran mobil yang tersedia. Nia kemudian beralih menatap pemuda yang duduk di sampingnya. "Kamu mau ikut saya turun atau tunggu di mobil aja? Ah, apa kamu mau pulang aja?" tanya Nia pada sosok pemuda yang tidak banyak bicara sejak tadi. Pemuda itu menatap sekeliling dan menggeleng pelan. "Gue ikut lo aja, Tante. Pengap gue kalau nunggu lo di mobil." Pemuda itu berbicara dengan sangat tidak sopan menurut Nia. "Apalagi mobil lo enggak ada AC-nya. Ini apartemen tempat lo tinggal?" tanya pemuda itu pada Nia.Nia kesal mendengar nada bicara anak SMA yang tidak ada sopan santunnya. Kesal, Nia dengan gemas memcubit lengan pemuda itu seraya melotot."Sopan kamu bicara dengan yang lebih tua. Pakai 'Aku-kakak' bukan 'Lo-gue." "Ish, sakit, Tante. Oke-oke, gue maksudnya aku ngalah!" teriak pemuda itu ketika Nia semakin mengencangkan cubitannya. "Nah, gitu dong. Harus sopan sama yang lebih dewasa dari kamu," ucap Nia. Setelah itu ia keluar dari mobil diikuti o
Nia menatap ketiga pria di hadapannya dengan tatapan melas berharap pria-pria dengan wajah sangar tersebut untuk luluh pada wajah melasnya."Enggak ada tunda menunda lagi, Mbak Nia. Jatuh tempo sudah lewat tiga hari yang lalu dan kami minta mbak Nia buat melunasi cicilan bulan ini, hari ini juga," ujar seorang pria menatap Nia tegas."Yah, bagaimana ini? Aku enggak punya uang bulan ini. Aku hanya punya uang lima juta. Aku bayar seperempatnya dulu, ya?" pinta Nia menatap melas ketiga anak buah rentenir tersebut. "Enggak bisa, Mbak Nia. Cicilannya dua puluh juta. Kalau mbak Nia kasih hanya lima juta, itu enggak akan cukup," tolak pria itu tegas. Nia menggigit bibirnya menatap para pria itu cemas. Pasalnya ia tidak memiliki uang lagi. Mau mengambil uang di toko emasnya? Huh, lebih baik ia di pukul dari pada harus mengambil modal untuk tokonya.Ini semua gara-gara Ramon! Gara-gara pria pengkhianat itu ingin memasuki kantor dan menyogok Sarah agar menerima pria bodoh itu bekerja, ia har
Nia membuka kelopak matanya ketika mendengar suara berisik dari para anak tetangganya yang berteriak di depan rumah atau sekitar rumahnya. Gadis itu menguap lebar dan menatap sekeliling kamar yang ia tahu ini adalah kamarnya sendiri. Nia menarik jam weker yang berada di atas nakas dan melihat sudah pukul sembilan pagi. Samar-samar Nia ingat jika ada seorang pria yang mengantarnya pulang entah dengan cara apa pria itu bisa tahu alamat rumahnya, Nia tidak tahu. Nia mengerut keningnya karena melupakan wajah pria yang mengantarnya pulang. Matanya memindai tubuhnya sendiri dan menghela napas lega karena ia masih berpakaian utuh. Nia turun dari tempat tidur tak sengaja matanya menatap dinding kamar yang penuh dengan foto Ramon dan dirinya. Ada juga beberapa fotonya dan juga Sarah. Nia mendengkus sambil menunjuk foto-foto tersebut dengan jari tengahnya. "Awas kalian berdua tunggu pembalasan dariku," gumamnya sebelum memutuskan unjuk masuk ke dalam kamar mandi. Dua jam kemudian. Nia b
Nia terkikik sendirian sambil mengingat bagaimana ekspresi kedua pasang selingkuhan itu ia permalukan dan bagaimana ekspresi kedua orang itu ketika ia memilih membuka aib mereka di depan orang banyak. Sekali lagi Nia terbahak-bahak ketika membayangkan kedua orang itu pasti mendapatkan masalah setelah ia membongkar keburukan mereka.Setidaknya Nia berpikir jika ia tidak akan hancur sendirian. Ada dua orang lain juga yang akan ikut hancur bersamanya. "Itu akibatnya karena sudah mengkhianati aku. Ha-ha!" Sekali lagi Nia meneguk vodka langsung dari botolnya, sementara sloky yang ada di depannya ia abaikan begitu saja.Suara hentakan yang dimainkan seorang DJ terkenal membuat Nia larut dalam kebahagiaan dan juga kesedihan. Di tempat ini ia melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan juga rasa gundah atas pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang terdekatnya. Nia bangkit dari duduknya, berjalan menuju lantai dansa dan bergabung dengan orang-orang yang meliukkan tubuh mereka dengan bahagia.
PART 1 Arrania atau kerap disapa sebagai Nia menghela napas untuk yang kesekian kalinya kala sambungan teleponnya tidak diangkat sama sekali oleh kekasihnya, Ramon. Sudah hampir tiga bulan belakangan ini Ramon jarang berkomunikasi dengannya. Padahal sebelumnya Ramon jarang atau tidak pernah mengabaikan dirinya seperti ini. Mereka menjalin hubungan sudah lebih dari tujuh tahun dan Ramon berjanji akan menikahinya ketika Ramon sukses. . Awalnya Nia tidak ingin curiga terhadap kekasih yang sudah lama ia pacari ini, namun belakangan ini ia merasakan perasaan tak nyaman yang menghantui dirinya. Nia bangkit berdiri dengan wajah dingin seperti biasa. perempuan dewasa itu belum mencapai pintu terkejut ketika tubuhnya ditabrak oleh remaja yang mengenakan seragam SMA di depannya. "Bisa jalan hati-hati biar enggak nabrak orang sembarangan?" ketus Nia."Sorry deh, Tan, gue enggak sengaja." Remaja lelaki itu mengibas tangannya dengan ekspresi santai seolah ia tidak merasa bersalah."Santai b