"Pergi! Cepat pergi dari sini!" teriak Prita geram.
"Nggak bisa gitu, dong, Prita! Tante, kan, lagi mikirin apa kata yang pas biar kamu nggak salah paham terus dengan yang Tante maksud nanti. Ngomong sama kamu itu, kan, harus mengikuti pola pikirmu yang rada semprul itu. Walau bagaimanapun sikap Tante dulu sama kamu, hargai sedikitlah Tantemu ini! Jadi orang, kok, nggak sabaran banget," umpat Tante Amanda."Dengar, ya, duhai Tante Amanda yang sangat ingin dihargai oleh orang lain. Sejatinya orang yang datang dengan niat baik, pasti akan Allah mudahkan urusannya. Nah, Tante bilang tadi punya niat baik datang kesini tapi yang Tante lakukan malah justru menghina dan menyakiti fisik Prita! Jadi, sangat jelas tidak ada kebaikan yang Tante bawa kerumah ini, tolong lebih baik pergi sekarang juga," lirih Prita tak ingin memperpanjang keributan yang terjadi."Tenang dulu, lah, Prita. Tante benar-benar minta maaf kalau kamu merasa tidak suka dan tersinggung dengan kehadiran Tante disini. Tante cuma prihatin sama hidup kamu sekarang, harus bersusah payah hanya untuk bisa bertahan hidup. Makanya, Tante punya niat baik mau mengenalkan Johan. Siapa tau, kan, kalian berjodoh!" terang Tante Amanda penuh semangat dan senyum sumringah.Prita mengucek-ucek telinganya karena merasa mungkin pendengarannya yang salah. Bisa-bisanya Tante Amanda bilang barusan bahwa dia berniat baik menjodohkannya karena prihatin atas kondisi kehidupannya. Yang membuat Prita semakin heran, kenapa Tante Amanda tak menunjukkan rasa penyesalan atas tindakannya. Jelas terlihat, ada udang dibalik batu atas niat baik yang dimaksudnya tadi."Prita nggak salah dengar, kan, Tante? Kenapa Tante bisa prihatin sama hidup Prita, memangnya Tante tau seperti apa hidup yang Prita jalani selama ini? Jangan mengada-ada, deh!" sahut Prita ingin tahu sejauh mana Tante Amanda menilai tentang hidupnya sepeninggal Ibrahim Suaminya."Ya, jelas tau lah. Buktinya, sumber penghasilanmu cuman dari warung itu saja, kan? Itupun masih harus menanggung hidup Anggita beserta Suami dan anaknya. Siapa yang nggak bakalan prihatin sama kamu, sedangkan keluargamu yang lain hidup sejahtera bergelimang harta."Memang selama ini Prita dan Ibrahim hidup sederhana, tentu saja itu karena ibrahim bukanlah berasal dari kalangan orang kaya yang bisa bergaya hidup mewah. Prita sama sekali tak mempermasalahkan hal itu, dia sangat bahagia meskipun harus hidup sederhana. Toh, semua kebutuhan mereka sangat tercukupi, bahkan memiliki tabungan yang jumlahnya tidak sedikit."Oh... Jadi hanya karena kami hidup sederhana, trus Tante beranggapan kami selama ini hidup sangat kekurangan? Satu lagi, Prita sangat benci keadaan seperti ini. Bukannya belajar dari pengalaman dimasa lalu, malah mau mengulang kesalahan yang sama. Prita tegaskan, tak ada hak Tante untuk menjodoh-jodohkan Prita dengan siapapun!""Ya, jelas berhak, dong! Jangan lupa, kamu itu keponakan Tante. Nanti apa kata orang-orang kalau Tante membiarkan saja hidupmu kesusahan seperti sekarang. Yang malu nanti Keluarga Besar kita juga, masa keluarga terpandang di kota ini keturunannya ada yang hidupnya melarat kayak kamu gini," sindir Tante Amanda.Prita jadi teringat saat dulu dia menentang keinginan Orang Tuanya untuk dijodohkan dengan rekan bisnis keluarganya. Prita sudah terlanjur jatuh cinta pada Ibrahim yang sangat memenuhi kriteria pria idamannya.Kakek Prita begitu sakit hati atas penolakannya, belum lagi sang Kakek didukung oleh Saudara Kandung Bapak Prita yang lain termasuk Tante Amanda. Hingga keluarlah ucapan bahwa Prita tak lagi diakui sebagai bagian keluarga besar Prawiro Hartadi.Sepanjang perjalanan hidupnya bersama Ibrahim tak ada masalah yang berarti dalam rumah tangga mereka, justru semua masalah selalu datang dari Keluarga besar Bapak Prita. Hinaan, caci maki hingga perlakuan kasar lainnya harus Prita alami bertahun-tahun lamanya. Hingga wajar akhirnya Prita begitu sangat jengah jika harus berurusan dengan semua anggota keluarga dari pihak Bapak Kandungnya."Duh, Tante ini gimana sih! Bukannya Tante sendiri yang bilang, kalau Prita sudah dicoret dari daftar nama Keluarga besar Prawiro Hartadi. Kenapa justru baru sekarang mau peduli dan memikirkan apa anggapan orang lain diluar sana.Bukannya Tante sangat senang saat orang lain turut menghina kehidupan Prita yang kalian nilai sangat menyedihkan hanya karena tak punya harta. Jadi sangat aneh kalau Tante merasa takut dipermalukan karena hidup Prita yang kata Tante melarat." Prita menjawab dengan nada sedikit mengejek, agar Tante Amanda tak lupa atas perlakuan diskriminatifnya selama ini pada dirinya."Ckck... Anak ini, pendendam sekali! Itu, kan, dulu! Kamu benar-benar nggak mau lagi dianggap sebagai bagian Keluarga Besar kita? Berpikirlah jernih, kesampingkan dulu egomu itu, Nak." rayu Tante Amanda selembut mungkin tentu saja bermaksud melunakkan hati Prita agar menuruti keinginannya."Minumlah dulu, tenangkan hatimu. Tante benar-benar minta maaf, kita lupakan masalah di masa lalu. Sekarang berpikir sedikit realistislah, pikirkan juga masa depan Aldi cucu kesayanganmu," ucap Tante Amanda terlihat tulus, tangan kanannya membantu Prita menggenggam gelas berisi teh spesial buatan Tante Amanda. Tanpa sepengetahuan Prita, Tante Amanda mengerlingkan mata pada Johan dengan senyum picik.Prita yang setengah sadar karena kalut dengan pikiran dan hatinya, menerima begitu saja uluran gelas teh dari Tante Amanda. Bahkan Prita terkesan pasrah saat Tantenya itu membantunya untuk meminum teh itu.Begitu banyak hal berkecamuk dipikirannya saat ini. Bayangan masa lalu begitu mencengkram kuat dalam ingatan Prita, tapi pesan almarhum Ibrahim di detik-detik terakhir nafasnya meminta Prita untuk mengikhlaskan dan memaafkan masa lalu."Sudah, terimakasih Tante. Prita sudah sedikit lebih tenang sekarang, maaf kalau Prita begitu emosi tadi."Dalam hati Tante Amanda bersorak girang, dia berhasil meminumkan teh yang telah dicampurkan dengan air pemberian dukun sakti untuk menaklukkan hati Prita. Sebentar lagi dia pasti akan berhasil menjodohkan keponakannya itu dengan Johan. Bayangan imbalan yang dijanjikan Johan membuat senyum sumringah terus menghiasi wajah Tante Amanda."Iya, nggak apa-apa. Tante mengerti apa yang kamu rasakan. Kalau kamu nggak mau berkenalan dengan Johan sekarang, lain waktu saja kita buat janji untuk ketemu," tawar Tante Amanda karena melihat sikap Prita yang mulai berubah."Sekarang aja Tante, Prita nggak apa-apa. Lagian, Tante sudah meluangkan waktu untuk jauh-jauh datang kesini."Netra Tante Amanda berbinar-binar, dukun sakti itu benar-benar bisa diandalkan. Terbukti, Prita yang beberapa menit lalu membangkang dan penuh emosi, sekarang begitu penurut padanya."Oh, ya. Ini Johan, dia ini pria sejati, loh! Dengan beraninya dia datang kerumah Tante untuk minta diperkenalkan denganmu. Percaya, deh, sama Tante. Setelah ini hidup kamu akan bahagia, hanya perlu jadi istri yang baik semua kebutuhan dan keinginanmu akan diwujudkan Johan. Benar begitu, kan, Johan?" tanya Tante Amanda pada Johan meminta dukungan."Tentu saja, Tante. Prita tak perlu lagi memikirkan soal uang, Johan akan memberinya harta berlimpah," jawab Johan bangga."Tuh, dengar sendiri, kan? Tante jadi saksinya disini, Johan ini CEO perusahaan makanan ringan yang pabriknya besar di jalan Mawar itu." Tante Amanda mulai membayangkan bakalan kecipratan banyak keuntungan dari pernikahan Prita dan Johan."Ayo Prita, berkenalan dulu sama Johan," bujuk Tante Amanda sedikit menarik pergelangan tangan Prita dan mengarahkannya ke depan Johan.Melihat kesempatan langka ada di hadapannya, dengan sigap Johan menyambut uluran tangan Prita."Terimakasih Prita, sudah mau berkenalan dengan saya," ucap Johan tersipu menahan gejolak hatinya."Iya, sama-sama," sahut Prita datar."Hmm... Gimana kalau kalian pergi berdua jalan-jalan atau makan malam? Biar tambah saling mengenal. Betul, kan, Johan?" umpan Tante Amanda pada Johan yang memberi kesempatan untuk mendekati Prita."Tentu saja, Tante. Bagaimana kalau sekarang, waktunya pas sekali untuk makan siang," sahut Johan dengan senang hati."Gimana Prita, bisa, kan?" tanya Tante Amanda sangat antusias.Prita menggeleng lemah, kata hatinya berkata tak ingin pergi tapi bisikan demi bisikan terus terdengar ditelinga membuat rancu pikirannya. Prita merasa ada yang aneh dengan dirinya, tapi seolah tak kuasa menahan sesuatu yang seperti mengendalikan pikirannya."Kenapa Prita? Kamu nggak apa-apa, kan, Nak?" ucap Tante Amanda bersandiwara memberikan perhatian.Tante Amanda dan Johan saling berpandangan, mereka berdua kebingungan dengan sikap Prita."Kamu kelihatan tidak sehat, wajahmu pucat sekali!" pekik Tante Amanda menyadari ada yang salah dengan Prita."Nggak tau, Tante. Prita...,""Loh, Prita!" teriak Tante Amanda panik.***Prita merasa kepalanya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Semakin keras dia berusaha melawan bisikan bisikan di telinga dengan membaca shalawat di dalam hati, semakin kuat pula tusukan itu menghujam kepalanya. Prita memijit pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit, keringat dingin mengucur deras diiringi wajahnya yang kian memucat. Kesadaran Prita semakin memudar, ingin dia menjelaskan apa yang sedang dirasakannya pada Tante Amanda tapi matanya seakan tak mampu lagi terbuka. "Gimana ini Tante? Apa gara-gara rencana Tante itu jadi bikin kondisi Prita begini?" bisik Johan pelan ditelinga Tante Amanda."Nggak mungkin, Tante yakin bukan karena itu!" Ada sedikit keraguan di hati Tante Amanda, tapi dia menepis semua itu karena sangat yakin yang dicampurkannya tadi hanya air putih berapal mantra sang dukun sakti. Apalagi air kemasan itu dia sendiri yang membeli dan melihat langsung apa yang dilakukan dukun pada air itu."Trus, kenapa bisa begini, Tante? Tante yakin, kan, kalau air
"Tolong! Tolong saya, Mas atau Mbak yang ada di ruang UGD!" jerit Anggita dengan suara yang cukup memekakkan telinga."Anggita! Apa-apaan kamu, bisa budek telinga Nenek! Bikin malu aja!" bentak Tante Amanda mengucek-ngucek telinganya sambil celingukan memperhatikan keadaan dibalik kaca jendela mobil. Rasa malunya lebih besar dibandingkan rasa empatinya pada Prita dan Anggita."Sengaja! Abisnya dua manusia yang seharusnya menolong, malah kayak orang hilang ingatan lagi ada dimana sekarang! Lebih baik Anggita teriak memanggil bantuan. Kalian berdua itu ngapain dari tadi, Anggita perhatikan cengangas cengenges nggak jelas? Bukannya membantu Ibu yang jadi korban Nenek, malah asyik main ponsel!" ketus Anggita hingga terdengar deru nafasnya yang memburu.Tante Amanda dan Johan tak menyangkal apa yang dikatakan Anggita barusan, mereka memang sedang sibuk saling mengirim pesan karena kalau bicara langsung akan ketahuan Anggita."Kenapa diam? Sudah tua bangka bukannya insyaf malah makin nggak
"Kenapa, Nak? Siapa yang menelpon?" tanya Prita lirih setelah menggeser posisi tubuhnya agar nyaman berbaring."Hmm.. I.. Ini. Anu, Bu," gagap Anggita semakin salah tingkah."Dijawab saja telponnya, siapa tau penting." Prita tak berkedip memperhatikan sikap Anggita yang sedikit aneh."Anggita boleh jawab telpon ini?" tanya Anggita meminta izin pada Prita."Iya, jawab saja," sahut Prita mengizinkan Putrinya itu."Tapi, Bu...," Anggita benar-benar merasa serba salah, dia sedang mempertimbangkan apakah orang yang menelpon ke ponsel Ibunya ini berniat baik atau tidak."Apa Ibu saja yang menjawabnya?" ucap Prita yang sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.Karena dibiarkan terlalu lama, akhirnya panggilan masuk itu terhenti dengan sendirinya. Anggita menghela nafas panjang, dia berharap orang itu tak lagi menelpon Prita."Tuh, keburu mati teleponnya. Ada apa, sih? Ibu perhatikan, tingkahmu aneh banget! Sini, duduk dekat Ibu!" pinta Prita, tangan kanannya menepuk-nepuk bagian tepi brank
"Ya.. Allah!" lirih Prita dengan kedua tangan menutup mulutnya. Benarkah ini, batin Prita meyakinkan dirinya.Berjuta rasa berkecamuk didalam hati Prita, bayangkan bagaimana rasanya harus terpisah puluhan tahun dengan Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.Prita sampai mencubit keras tangannya, karena tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. "Bun.. Bunda!"Bulir demi bulir air mata menetes tak tertahan, Prita membuka pintu lebar-lebar kemudian bersimpuh di depan kursi roda yang diatasnya duduk seorang Wanita usia senja dengan paras cantik mirip dengannya. Berulang Kali diciumnya tangan serta pipi wanita itu sebelum akhirnya memeluk penuh rasa mengharu biru.Di Belakang kursi roda, tampak seorang Pria paruh baya yang dengan setia menunggu sambil memegang kursi roda. Prita sempat bertanya didalam hati, dimana Yoga? Kenapa tak turut serta kesini bersama Bunda?.Dihadapan Prita sekarang adalah sosok Wanita yang selama ini sangat dirindukan.
"Rencana apa Bunda? Kalau itu akhirnya akan membahayakan Ayah dan Bunda, Prita tidak mau melakukannya!" "Meski Ayah dan Bunda selama ini selalu patuh dan tunduk pada kemauan Kakek Damar, toh, pada kenyataannya kalian tetap terus saja mendapat masalah dari Keluarga Besar Prawiro Hartadi! Mulai dari Amanda, Hendri, Tissa bahkan Kakek Damar sendiri seolah tak puas hati kalau belum membuat hidupmu tersiksa!" sanggah Marsya."Kami ini sudah tua, Nak! Mungkin saja sebentar lagi sang malaikat maut menyapa. Apakah salah, Ayah dan Bunda ingin mengganti waktu kebersamaan kita yang telah dirampas oleh keegoisan Kakek Damar. Puluhan tahun kita terpisah, selama itu pula Bunda merasa tak utuh menjadi seorang Ibu dan Nenek.Bunda ingin, sebentar... saja! Di Akhir usia ini merasakan kebersamaan dengan kalian, merasakan berperan jadi sosok Ibu dan Nenek yang sebenarnya!" Bulir air mata kembali mengalir membasahi pipi Marsya. Dirinya kembali merasa putus asa saat Prita menolak keinginannya."Tapi Bund
"Apa maksudmu menceritakan masalah rumah tangga kita ke Tante Mahda, hah!" Tak lagi Prita memanggil Suami yang baru dinikahinya dua bulan lalu itu dengan panggilan Mas. Rasa benci, kecewa dan amarah jadi satu membuat gejolak emosi Prita tak terkendali.Tante Mahda adalah sepupu dari Bapak Prita. Apapun cerita yang sampai ke Tante Mahda, pasti akan dengan cepat tersebar ke Keluarga Besar Prita. Tak peduli cerita itu adalah aib besar yang seharusnya dirahasiakan, Tante Mahda malah menganggap itu adalah hal yang paling penting untuk disebarluaskan dengan penuh semangat. Sepertinya mulut Tante Mahda akan sangat gatal bila sehari saja tak menggibahi orang lain meski itu kerabat dekatnya sendiri."Loh, kan, wajar saja aku menjawab pertanyaan Tante Mahda. Kamu aja yang aneh! Masalah kita itu buat apa ditutup-tutupi, biar mereka tahu yang sebenarnya. Disini aku yang jadi korban, jadi berhenti seolah-olah kamu yang paling tersakiti. Enak aja mau menyalahkanku! Kamu yang jadi istri nggak becu
"Ayo masuk, Tante minta maaf soal yang tadi. Kamu sih, apa susahnya menurut apa yang Tante minta!" Niat hati Tante Amanda memujuk Prita dengan meminta maaf, tapi mulutnya yang terbiasa berucap semaunya meluncur begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaan lawan bicaranya.Meski masih memendam amarah, Prita mencoba tenang dan tidak meladeni ucapan Tante Amanda yang tetap menyalahkannya. Tante Amanda membantu Prita yang berjalan pincang masuk kedalam rumah, dan berusaha mendudukkannya di sofa dengan sedikit memaksa.Prita yang awalnya masuk kedalam rumah dengan perasaan biasa saja, tiba-tiba terperanjat saat menyadari ada tamu yang sudah menunggu di ruang tamunya. Amarahnya kembali terpancing, saat Tante Amanda memaksanya untuk duduk disebelah tamu itu.***"Tante!" teriak Prita tanpa memperdulikan tamu yang sama sekali tak dikenalnya itu. Dengan sedikit terpincang, Prita menjauh menghindari Tante Amanda. Apalagi Prita merasa sangat jijik dengan tatapan penuh nafsu tamu itu padanya."Ma
"Rencana apa Bunda? Kalau itu akhirnya akan membahayakan Ayah dan Bunda, Prita tidak mau melakukannya!" "Meski Ayah dan Bunda selama ini selalu patuh dan tunduk pada kemauan Kakek Damar, toh, pada kenyataannya kalian tetap terus saja mendapat masalah dari Keluarga Besar Prawiro Hartadi! Mulai dari Amanda, Hendri, Tissa bahkan Kakek Damar sendiri seolah tak puas hati kalau belum membuat hidupmu tersiksa!" sanggah Marsya."Kami ini sudah tua, Nak! Mungkin saja sebentar lagi sang malaikat maut menyapa. Apakah salah, Ayah dan Bunda ingin mengganti waktu kebersamaan kita yang telah dirampas oleh keegoisan Kakek Damar. Puluhan tahun kita terpisah, selama itu pula Bunda merasa tak utuh menjadi seorang Ibu dan Nenek.Bunda ingin, sebentar... saja! Di Akhir usia ini merasakan kebersamaan dengan kalian, merasakan berperan jadi sosok Ibu dan Nenek yang sebenarnya!" Bulir air mata kembali mengalir membasahi pipi Marsya. Dirinya kembali merasa putus asa saat Prita menolak keinginannya."Tapi Bund
"Ya.. Allah!" lirih Prita dengan kedua tangan menutup mulutnya. Benarkah ini, batin Prita meyakinkan dirinya.Berjuta rasa berkecamuk didalam hati Prita, bayangkan bagaimana rasanya harus terpisah puluhan tahun dengan Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.Prita sampai mencubit keras tangannya, karena tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. "Bun.. Bunda!"Bulir demi bulir air mata menetes tak tertahan, Prita membuka pintu lebar-lebar kemudian bersimpuh di depan kursi roda yang diatasnya duduk seorang Wanita usia senja dengan paras cantik mirip dengannya. Berulang Kali diciumnya tangan serta pipi wanita itu sebelum akhirnya memeluk penuh rasa mengharu biru.Di Belakang kursi roda, tampak seorang Pria paruh baya yang dengan setia menunggu sambil memegang kursi roda. Prita sempat bertanya didalam hati, dimana Yoga? Kenapa tak turut serta kesini bersama Bunda?.Dihadapan Prita sekarang adalah sosok Wanita yang selama ini sangat dirindukan.
"Kenapa, Nak? Siapa yang menelpon?" tanya Prita lirih setelah menggeser posisi tubuhnya agar nyaman berbaring."Hmm.. I.. Ini. Anu, Bu," gagap Anggita semakin salah tingkah."Dijawab saja telponnya, siapa tau penting." Prita tak berkedip memperhatikan sikap Anggita yang sedikit aneh."Anggita boleh jawab telpon ini?" tanya Anggita meminta izin pada Prita."Iya, jawab saja," sahut Prita mengizinkan Putrinya itu."Tapi, Bu...," Anggita benar-benar merasa serba salah, dia sedang mempertimbangkan apakah orang yang menelpon ke ponsel Ibunya ini berniat baik atau tidak."Apa Ibu saja yang menjawabnya?" ucap Prita yang sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.Karena dibiarkan terlalu lama, akhirnya panggilan masuk itu terhenti dengan sendirinya. Anggita menghela nafas panjang, dia berharap orang itu tak lagi menelpon Prita."Tuh, keburu mati teleponnya. Ada apa, sih? Ibu perhatikan, tingkahmu aneh banget! Sini, duduk dekat Ibu!" pinta Prita, tangan kanannya menepuk-nepuk bagian tepi brank
"Tolong! Tolong saya, Mas atau Mbak yang ada di ruang UGD!" jerit Anggita dengan suara yang cukup memekakkan telinga."Anggita! Apa-apaan kamu, bisa budek telinga Nenek! Bikin malu aja!" bentak Tante Amanda mengucek-ngucek telinganya sambil celingukan memperhatikan keadaan dibalik kaca jendela mobil. Rasa malunya lebih besar dibandingkan rasa empatinya pada Prita dan Anggita."Sengaja! Abisnya dua manusia yang seharusnya menolong, malah kayak orang hilang ingatan lagi ada dimana sekarang! Lebih baik Anggita teriak memanggil bantuan. Kalian berdua itu ngapain dari tadi, Anggita perhatikan cengangas cengenges nggak jelas? Bukannya membantu Ibu yang jadi korban Nenek, malah asyik main ponsel!" ketus Anggita hingga terdengar deru nafasnya yang memburu.Tante Amanda dan Johan tak menyangkal apa yang dikatakan Anggita barusan, mereka memang sedang sibuk saling mengirim pesan karena kalau bicara langsung akan ketahuan Anggita."Kenapa diam? Sudah tua bangka bukannya insyaf malah makin nggak
Prita merasa kepalanya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Semakin keras dia berusaha melawan bisikan bisikan di telinga dengan membaca shalawat di dalam hati, semakin kuat pula tusukan itu menghujam kepalanya. Prita memijit pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit, keringat dingin mengucur deras diiringi wajahnya yang kian memucat. Kesadaran Prita semakin memudar, ingin dia menjelaskan apa yang sedang dirasakannya pada Tante Amanda tapi matanya seakan tak mampu lagi terbuka. "Gimana ini Tante? Apa gara-gara rencana Tante itu jadi bikin kondisi Prita begini?" bisik Johan pelan ditelinga Tante Amanda."Nggak mungkin, Tante yakin bukan karena itu!" Ada sedikit keraguan di hati Tante Amanda, tapi dia menepis semua itu karena sangat yakin yang dicampurkannya tadi hanya air putih berapal mantra sang dukun sakti. Apalagi air kemasan itu dia sendiri yang membeli dan melihat langsung apa yang dilakukan dukun pada air itu."Trus, kenapa bisa begini, Tante? Tante yakin, kan, kalau air
"Pergi! Cepat pergi dari sini!" teriak Prita geram."Nggak bisa gitu, dong, Prita! Tante, kan, lagi mikirin apa kata yang pas biar kamu nggak salah paham terus dengan yang Tante maksud nanti. Ngomong sama kamu itu, kan, harus mengikuti pola pikirmu yang rada semprul itu. Walau bagaimanapun sikap Tante dulu sama kamu, hargai sedikitlah Tantemu ini! Jadi orang, kok, nggak sabaran banget," umpat Tante Amanda."Dengar, ya, duhai Tante Amanda yang sangat ingin dihargai oleh orang lain. Sejatinya orang yang datang dengan niat baik, pasti akan Allah mudahkan urusannya. Nah, Tante bilang tadi punya niat baik datang kesini tapi yang Tante lakukan malah justru menghina dan menyakiti fisik Prita! Jadi, sangat jelas tidak ada kebaikan yang Tante bawa kerumah ini, tolong lebih baik pergi sekarang juga," lirih Prita tak ingin memperpanjang keributan yang terjadi."Tenang dulu, lah, Prita. Tante benar-benar minta maaf kalau kamu merasa tidak suka dan tersinggung dengan kehadiran Tante disini. Tante
"Ayo masuk, Tante minta maaf soal yang tadi. Kamu sih, apa susahnya menurut apa yang Tante minta!" Niat hati Tante Amanda memujuk Prita dengan meminta maaf, tapi mulutnya yang terbiasa berucap semaunya meluncur begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaan lawan bicaranya.Meski masih memendam amarah, Prita mencoba tenang dan tidak meladeni ucapan Tante Amanda yang tetap menyalahkannya. Tante Amanda membantu Prita yang berjalan pincang masuk kedalam rumah, dan berusaha mendudukkannya di sofa dengan sedikit memaksa.Prita yang awalnya masuk kedalam rumah dengan perasaan biasa saja, tiba-tiba terperanjat saat menyadari ada tamu yang sudah menunggu di ruang tamunya. Amarahnya kembali terpancing, saat Tante Amanda memaksanya untuk duduk disebelah tamu itu.***"Tante!" teriak Prita tanpa memperdulikan tamu yang sama sekali tak dikenalnya itu. Dengan sedikit terpincang, Prita menjauh menghindari Tante Amanda. Apalagi Prita merasa sangat jijik dengan tatapan penuh nafsu tamu itu padanya."Ma
"Apa maksudmu menceritakan masalah rumah tangga kita ke Tante Mahda, hah!" Tak lagi Prita memanggil Suami yang baru dinikahinya dua bulan lalu itu dengan panggilan Mas. Rasa benci, kecewa dan amarah jadi satu membuat gejolak emosi Prita tak terkendali.Tante Mahda adalah sepupu dari Bapak Prita. Apapun cerita yang sampai ke Tante Mahda, pasti akan dengan cepat tersebar ke Keluarga Besar Prita. Tak peduli cerita itu adalah aib besar yang seharusnya dirahasiakan, Tante Mahda malah menganggap itu adalah hal yang paling penting untuk disebarluaskan dengan penuh semangat. Sepertinya mulut Tante Mahda akan sangat gatal bila sehari saja tak menggibahi orang lain meski itu kerabat dekatnya sendiri."Loh, kan, wajar saja aku menjawab pertanyaan Tante Mahda. Kamu aja yang aneh! Masalah kita itu buat apa ditutup-tutupi, biar mereka tahu yang sebenarnya. Disini aku yang jadi korban, jadi berhenti seolah-olah kamu yang paling tersakiti. Enak aja mau menyalahkanku! Kamu yang jadi istri nggak becu