Prita merasa kepalanya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Semakin keras dia berusaha melawan bisikan bisikan di telinga dengan membaca shalawat di dalam hati, semakin kuat pula tusukan itu menghujam kepalanya. Prita memijit pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit, keringat dingin mengucur deras diiringi wajahnya yang kian memucat.
Kesadaran Prita semakin memudar, ingin dia menjelaskan apa yang sedang dirasakannya pada Tante Amanda tapi matanya seakan tak mampu lagi terbuka. "Gimana ini Tante? Apa gara-gara rencana Tante itu jadi bikin kondisi Prita begini?" bisik Johan pelan ditelinga Tante Amanda."Nggak mungkin, Tante yakin bukan karena itu!" Ada sedikit keraguan di hati Tante Amanda, tapi dia menepis semua itu karena sangat yakin yang dicampurkannya tadi hanya air putih berapal mantra sang dukun sakti. Apalagi air kemasan itu dia sendiri yang membeli dan melihat langsung apa yang dilakukan dukun pada air itu."Trus, kenapa bisa begini, Tante? Tante yakin, kan, kalau air itu nggak berbahaya?" Johan merasa was was, dia nggak mau gagal memiliki Prita."Tenang saja, Tante yakin bukan karena itu! Ini juga, kenapa Prita nggak sadar dari pingsannya, sih!" keluh Tante Amanda mulai resah dan gelisah."Akh, mana Tante tahu kalau bakalan jadi begini. Bikin susah orang saja Prita ini, pakai acara pingsan segala!" rutuk Tante Amanda kesal dengan rencananya yang berantakan. Bukannya menolong Prita terlebih dahulu, Tante Amanda malah sibuk berdebat dengan Johan."Anggita! Anggita!" teriak Tante Amanda dengan suaranya yang cempreng.Dari arah dalam rumah, Anggita tergopoh-gopoh sambil menggendong Aldi berjalan ke ruang tamu. Dia baru saja selesai memandikan dan memakaikan pakaian Aldi saat mendengar suara teriakan Tante Amanda.Diruang tamu, Anggita tak menyangka melihat Prita tak sadarkan diri didalam pelukan Tante Amanda. Anggita spontan menurunkan Aldi dari gendongannya sebelum mendekati Prita."Aldi main dulu ke kamar, ya, nak. Mama mau bantuin Nenek dulu," pinta Anggita pada Aldi seraya mengelus pucuk rambutnya."Iya, Ma!" sahut Aldi yang langsung masuk kamar sambil berlari kecil dengan riang. "Ibu kenapa, Nek? Padahal tadi sebelum pergi, Ibu kelihatan segar bugar seperti biasa tapi sekarang pucat pasi begini?" tanya Anggita sangat khawatir, namun Tante Amanda hanya diam tak menghiraukannya sama sekali. Beberapa menit berlalu, Tante Amanda berulang kali mencoba menepuk pelan pipi Prita yang berada dalam pelukannya berharap sang keponakan bisa tersadar. Anggita mengamati apa yang dilakukan Tante Amanda, perlahan dia mengusap kepala Ibunya sambil mengucap istighfar dan shalawat berulang-ulang."Cepat, ambilkan minyak kayu putih!" titah Tante Amanda pada Anggita begitu menyadari tak ada respon sedikitpun dari Prita.Anggita bergegas masuk ke kamarnya mengambil minyak kayu putih kemudian memberikannya pada Tante Amanda. Dengan bantuan Anggita, Tante Amanda membalur beberapa anggota tubuh Prita. Terakhir menciumkan aroma minyak kayu putih itu di bagian hidung Prita, keduanya sangat cemas berharap Prita segera sadar.Anggita meminta Tante Amanda untuk membaringkan Prita disofa panjang, dia memangku bagian kepala ibunya. Perlahan dia memijit-mijit kepala Prita, shalawat terus dilantunkan Anggita yang sesekali memperbaiki hijab yang dipakai Prita.Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Anggita, harusnya dia bergegas memandikan Aldi saat dia mendengar perdebatan sengit antara Prita dan Tante Amanda. Semula dia berpikir, Tante Amanda sudah pergi karena tiba-tiba saja keadaan menjadi hening beberapa menit."Kalau beberapa menit lagi Ibu nggak sadar juga, tolong bantu Anggita bawa Ibu ke Klinik, ya, Nek!" pinta Anggita dengan sorotan tajam ke Tante Amanda dan Johan."Ish, apa sih kamu ini! Tuh mata, nggak perlu melotot ke arah Nenek begitu! Kamu nuduh Nenek yang bikin Ibu kamu jadi pingsan? Kamunya aja kali, kurang perhatian sama Ibu sendiri! Ibumu sakit aja, kamu nggak tahu!" fitnah Tante Amanda tak terima dengan tatapan tajam Anggita."Siapa bilang Ibu sakit! Tadi sebelum ketemu Nenek, Ibu baik-baik saja! Memangnya tau darimana Nenek kalau Anggita tak perhatian sama Ibu, baru juga dua kali datang ke rumah ini sudah sok menilai sikap orang lain!" tegas Anggita penuh emosi."Masih muda, kok, ya, emosian! Persis kayak Ibumu, ngeyel dan nggak sopan sama orang tua! Lah, itu buktinya kamu nggak tau kalau Ibumu sakit. Mana mungkin tiba-tiba pingsan, Nenek aja nggak apa-apain Ibumu!" nyinyir Tante Amanda."Gimana Anggita nggak emosi, sejak kecil setiap kali anggota keluarga Kakek Yoga Prawiro Hartadi datang kesini selalu saja memberi Ibu masalah. Kenapa kalian nggak membiarkan Ibu hidup bahagia tanpa gangguan dari kalian lagi!" cecar Anggita dengan mata berkaca-kaca."Sekarang, Nenek Amanda datang tiba-tiba kesini trus Ibu malah pingsan! Gimana Anggita nggak curiga! Sebenarnya apa yang sudah kalian lakukan sama Ibuku!" hardik Anggita sangat kesal."Ish... ish! Benar-benar kloningannya Prita ini! Begini, nih, kalau menikah dan hidup dengan orang tak berpendidikan tinggi. Anaknya jadi ikut-ikutan semprul pikirannya! Tuh mulut main tuduh sembarangan pula, apes bener nasibmu Prita!" "Maksud Nenek apa bilang kayak gitu, hah!" tantang Anggita yang level kesabarannya sudah setipis selembar tisu sekarang."Nggak ada maksud apa-apa! Cuma ngomong kenyataan aja! Lama-lama ngeladenin omonganmu, Nenek pula nanti yang semaput disini! Gimana, jadi mau dibawa ke Klinik nggak, nih, Ibumu?" Tante Amanda mencoba mengalihkan perhatian Anggita."Ya, jadilah. Nenek sama teman Nenek ini harus tanggung jawab karena sudah bikin Ibuku pingsan!" "Ayo, Johan. Bawa Prita kemobilmu!" perintah Tante Amanda pada Johan.Johan yang sedari tadi salah tingkah dan hanya diam dengan perdebatan Anggita dan Tante Amanda, langsung semangat begitu diminta menggendong tubuh Prita ke mobilnya."Stop! Dia bukan muhrim Ibuku! Tolong Ambilkan saja kursi roda yang ada di kamar belakang," pinta Anggita pada Johan.Johan melirik kearah Tante Amanda meminta persetujuan, begitu mendapat anggukan kepala dengan sangat terpaksa Johan mengambil kursi roda ke kamar belakang. Gagal sudah kesempatannya menyentuh tubuh Prita yang amat sangat diidamkannya.Anggita mengambil ponsel Prita, dia mengirim pesan pada April tetangga sebelah rumah yang biasa membantu menjagakan Aldi kalau dia sedang kerepotan di warung. Bersamaan dengan datangnya April, Johan tampak susah payah mendorong kursi roda ke ruang tamu."April, tolong jagain Aldi, ya! Kakak mau bawa Ibu ke klinik, Aldi sekarang ada dikamar. Kalau kalian lapar dan haus, ada susu dan cemilan di dalam kulkas." "Iya, Kak Anggita. Mau April bantu memapah Ibu ke kursi roda?" tanya April menawarkan bantuannya."Iya, tolong bantu Kakak. Itu, buka dulu pengunci rodanya. Pantesan lama ngambilnya, kirain tersesat kemana didalam rumah!" sinis Anggita pada Johan.Johan merasa serba salah, dengan langkah gontai dia menuju mobil. Menyalakan mesin dan membuka pintu bagian tengah, setelahnya dia duduk manis di belakang kemudi.'Tak semudah itu rupanya mendekati Prita, tapi aku tak akan menyerah! Prita harus menjadi milikku bagaimanapun caranya,' monolog Johan sembari mendengarkan musik.Dalam waktu singkat, April dan Anggita bersama-sama menaruh Prita keatas kursi roda. Setelahnya April mendorong, sedangkan Anggita sambil berjalan memegangi bagian atas tubuh Prita agar tak terjatuh."Dasar ngeyelan! Kalau digendong Johan tadi, kan, sudah berangkat ke klinik dari tadi!" oceh Tante Amanda yang menjatuhkan bobotnya di jok depan sebelah Johan.Anggita mengabaikan perkataan Tante Amanda, dia fokus dengan Prita yang kini sudah berhasil masuk kedalam mobil dengan bantuan April."Cepat, berangkat Nek!" ucap Anggita begitu April menutup pintu mobil."Iya, iya! Ini mau berangkat! Kamu aja yang kelamaan! Keadaan darurat begini, kok, ya masih permasalahkan muhrim!""Cukup, Nek! Katanya takut semaput meladeni omongan Anggita. Tapi nggak apa-apa sih, biar adil bukan Ibu saja yang pingsan!" sahut Anggita sambil menahan tawa."Hush, kualat kamu doakan yang nggak baik! Amit-amit punya cucu kayak kamu!" Tante Amanda komat kamit tak jelas, sebelah tangannya mengurut dada menahan kesal.Sekitar 10 menit perjalanan, mereka tiba di klinik. Johan parkir tepat di depan ruangan bertuliskan UGD. Melihat Johan dan Tante Amanda yang hanya diam di tempat duduk mereka masing-masing, Anggita kembali geram. Setelah berhasil membuka kaca jendela mobil dengan sebelah tangan, Anggita berteriak kencang ke arah pintu UGD.***"Tolong! Tolong saya, Mas atau Mbak yang ada di ruang UGD!" jerit Anggita dengan suara yang cukup memekakkan telinga."Anggita! Apa-apaan kamu, bisa budek telinga Nenek! Bikin malu aja!" bentak Tante Amanda mengucek-ngucek telinganya sambil celingukan memperhatikan keadaan dibalik kaca jendela mobil. Rasa malunya lebih besar dibandingkan rasa empatinya pada Prita dan Anggita."Sengaja! Abisnya dua manusia yang seharusnya menolong, malah kayak orang hilang ingatan lagi ada dimana sekarang! Lebih baik Anggita teriak memanggil bantuan. Kalian berdua itu ngapain dari tadi, Anggita perhatikan cengangas cengenges nggak jelas? Bukannya membantu Ibu yang jadi korban Nenek, malah asyik main ponsel!" ketus Anggita hingga terdengar deru nafasnya yang memburu.Tante Amanda dan Johan tak menyangkal apa yang dikatakan Anggita barusan, mereka memang sedang sibuk saling mengirim pesan karena kalau bicara langsung akan ketahuan Anggita."Kenapa diam? Sudah tua bangka bukannya insyaf malah makin nggak
"Kenapa, Nak? Siapa yang menelpon?" tanya Prita lirih setelah menggeser posisi tubuhnya agar nyaman berbaring."Hmm.. I.. Ini. Anu, Bu," gagap Anggita semakin salah tingkah."Dijawab saja telponnya, siapa tau penting." Prita tak berkedip memperhatikan sikap Anggita yang sedikit aneh."Anggita boleh jawab telpon ini?" tanya Anggita meminta izin pada Prita."Iya, jawab saja," sahut Prita mengizinkan Putrinya itu."Tapi, Bu...," Anggita benar-benar merasa serba salah, dia sedang mempertimbangkan apakah orang yang menelpon ke ponsel Ibunya ini berniat baik atau tidak."Apa Ibu saja yang menjawabnya?" ucap Prita yang sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.Karena dibiarkan terlalu lama, akhirnya panggilan masuk itu terhenti dengan sendirinya. Anggita menghela nafas panjang, dia berharap orang itu tak lagi menelpon Prita."Tuh, keburu mati teleponnya. Ada apa, sih? Ibu perhatikan, tingkahmu aneh banget! Sini, duduk dekat Ibu!" pinta Prita, tangan kanannya menepuk-nepuk bagian tepi brank
"Ya.. Allah!" lirih Prita dengan kedua tangan menutup mulutnya. Benarkah ini, batin Prita meyakinkan dirinya.Berjuta rasa berkecamuk didalam hati Prita, bayangkan bagaimana rasanya harus terpisah puluhan tahun dengan Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.Prita sampai mencubit keras tangannya, karena tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. "Bun.. Bunda!"Bulir demi bulir air mata menetes tak tertahan, Prita membuka pintu lebar-lebar kemudian bersimpuh di depan kursi roda yang diatasnya duduk seorang Wanita usia senja dengan paras cantik mirip dengannya. Berulang Kali diciumnya tangan serta pipi wanita itu sebelum akhirnya memeluk penuh rasa mengharu biru.Di Belakang kursi roda, tampak seorang Pria paruh baya yang dengan setia menunggu sambil memegang kursi roda. Prita sempat bertanya didalam hati, dimana Yoga? Kenapa tak turut serta kesini bersama Bunda?.Dihadapan Prita sekarang adalah sosok Wanita yang selama ini sangat dirindukan.
"Rencana apa Bunda? Kalau itu akhirnya akan membahayakan Ayah dan Bunda, Prita tidak mau melakukannya!" "Meski Ayah dan Bunda selama ini selalu patuh dan tunduk pada kemauan Kakek Damar, toh, pada kenyataannya kalian tetap terus saja mendapat masalah dari Keluarga Besar Prawiro Hartadi! Mulai dari Amanda, Hendri, Tissa bahkan Kakek Damar sendiri seolah tak puas hati kalau belum membuat hidupmu tersiksa!" sanggah Marsya."Kami ini sudah tua, Nak! Mungkin saja sebentar lagi sang malaikat maut menyapa. Apakah salah, Ayah dan Bunda ingin mengganti waktu kebersamaan kita yang telah dirampas oleh keegoisan Kakek Damar. Puluhan tahun kita terpisah, selama itu pula Bunda merasa tak utuh menjadi seorang Ibu dan Nenek.Bunda ingin, sebentar... saja! Di Akhir usia ini merasakan kebersamaan dengan kalian, merasakan berperan jadi sosok Ibu dan Nenek yang sebenarnya!" Bulir air mata kembali mengalir membasahi pipi Marsya. Dirinya kembali merasa putus asa saat Prita menolak keinginannya."Tapi Bund
"Apa maksudmu menceritakan masalah rumah tangga kita ke Tante Mahda, hah!" Tak lagi Prita memanggil Suami yang baru dinikahinya dua bulan lalu itu dengan panggilan Mas. Rasa benci, kecewa dan amarah jadi satu membuat gejolak emosi Prita tak terkendali.Tante Mahda adalah sepupu dari Bapak Prita. Apapun cerita yang sampai ke Tante Mahda, pasti akan dengan cepat tersebar ke Keluarga Besar Prita. Tak peduli cerita itu adalah aib besar yang seharusnya dirahasiakan, Tante Mahda malah menganggap itu adalah hal yang paling penting untuk disebarluaskan dengan penuh semangat. Sepertinya mulut Tante Mahda akan sangat gatal bila sehari saja tak menggibahi orang lain meski itu kerabat dekatnya sendiri."Loh, kan, wajar saja aku menjawab pertanyaan Tante Mahda. Kamu aja yang aneh! Masalah kita itu buat apa ditutup-tutupi, biar mereka tahu yang sebenarnya. Disini aku yang jadi korban, jadi berhenti seolah-olah kamu yang paling tersakiti. Enak aja mau menyalahkanku! Kamu yang jadi istri nggak becu
"Ayo masuk, Tante minta maaf soal yang tadi. Kamu sih, apa susahnya menurut apa yang Tante minta!" Niat hati Tante Amanda memujuk Prita dengan meminta maaf, tapi mulutnya yang terbiasa berucap semaunya meluncur begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaan lawan bicaranya.Meski masih memendam amarah, Prita mencoba tenang dan tidak meladeni ucapan Tante Amanda yang tetap menyalahkannya. Tante Amanda membantu Prita yang berjalan pincang masuk kedalam rumah, dan berusaha mendudukkannya di sofa dengan sedikit memaksa.Prita yang awalnya masuk kedalam rumah dengan perasaan biasa saja, tiba-tiba terperanjat saat menyadari ada tamu yang sudah menunggu di ruang tamunya. Amarahnya kembali terpancing, saat Tante Amanda memaksanya untuk duduk disebelah tamu itu.***"Tante!" teriak Prita tanpa memperdulikan tamu yang sama sekali tak dikenalnya itu. Dengan sedikit terpincang, Prita menjauh menghindari Tante Amanda. Apalagi Prita merasa sangat jijik dengan tatapan penuh nafsu tamu itu padanya."Ma
"Pergi! Cepat pergi dari sini!" teriak Prita geram."Nggak bisa gitu, dong, Prita! Tante, kan, lagi mikirin apa kata yang pas biar kamu nggak salah paham terus dengan yang Tante maksud nanti. Ngomong sama kamu itu, kan, harus mengikuti pola pikirmu yang rada semprul itu. Walau bagaimanapun sikap Tante dulu sama kamu, hargai sedikitlah Tantemu ini! Jadi orang, kok, nggak sabaran banget," umpat Tante Amanda."Dengar, ya, duhai Tante Amanda yang sangat ingin dihargai oleh orang lain. Sejatinya orang yang datang dengan niat baik, pasti akan Allah mudahkan urusannya. Nah, Tante bilang tadi punya niat baik datang kesini tapi yang Tante lakukan malah justru menghina dan menyakiti fisik Prita! Jadi, sangat jelas tidak ada kebaikan yang Tante bawa kerumah ini, tolong lebih baik pergi sekarang juga," lirih Prita tak ingin memperpanjang keributan yang terjadi."Tenang dulu, lah, Prita. Tante benar-benar minta maaf kalau kamu merasa tidak suka dan tersinggung dengan kehadiran Tante disini. Tante