"Apa maksudmu menceritakan masalah rumah tangga kita ke Tante Mahda, hah!" Tak lagi Prita memanggil Suami yang baru dinikahinya dua bulan lalu itu dengan panggilan Mas. Rasa benci, kecewa dan amarah jadi satu membuat gejolak emosi Prita tak terkendali.
Tante Mahda adalah sepupu dari Bapak Prita. Apapun cerita yang sampai ke Tante Mahda, pasti akan dengan cepat tersebar ke Keluarga Besar Prita. Tak peduli cerita itu adalah aib besar yang seharusnya dirahasiakan, Tante Mahda malah menganggap itu adalah hal yang paling penting untuk disebarluaskan dengan penuh semangat. Sepertinya mulut Tante Mahda akan sangat gatal bila sehari saja tak menggibahi orang lain meski itu kerabat dekatnya sendiri."Loh, kan, wajar saja aku menjawab pertanyaan Tante Mahda. Kamu aja yang aneh! Masalah kita itu buat apa ditutup-tutupi, biar mereka tahu yang sebenarnya. Disini aku yang jadi korban, jadi berhenti seolah-olah kamu yang paling tersakiti. Enak aja mau menyalahkanku! Kamu yang jadi istri nggak becus, percuma wajah cantik tapi jadi istri pembangkang!" ucap Johan dengan entengnya."Ya sudah, kenapa nggak mau ceraikan aku kalau memang dianggap istri yang nggak becus!" tantang Prita."Enak saja mau cerai! Jangan harap itu terjadi!" ancam Johan dengan tatapan nyalang. Dia tak terima harus melepaskan Prita, mendapatkannya saja sangat susah.Sungguh Prita tak menyangka rupanya Johan adalah manusia bermuka dua dan sangat munafik. Sebenarnya Prita sangat penasaran, dimana dan bagaimana Johan bisa mengenal Tante Amanda--saudara kandung Bapak Prita yang telah menjodohkan mereka berdua. Prita sangat menyesal telah menuruti keinginan Tante Amanda, bahkan pernikahan itu terkesan terburu-buru hanya dalam waktu tiga minggu saja sejak Johan diperkenalkan pada Prita.Sempat terlintas pikiran buruk, apakah dia sudah diguna-guna oleh Johan. Prita tak habis pikir, kenapa dulu dia dengan mudahnya langsung menerima perjodohan itu tanpa pikir panjang. "Kamu bilang wajar sudah memfitnahku, bahkan bilang aku aneh! Yang aneh itu kamu, tau nggak! Mana ada orang waras yang bangga mengumbar aib rumah tangga meski itu ke keluarga sendiri! Harusnya mulutmu itu memang perlu dikasih sambel sekilo biar tahu rasa! Mulut bukan digunakan buat ngomong yang baik, malah lemes kayak perempuan!" Emosi Prita semakin membara mendengar jawaban Johan.Satu lagi keburukan laki-laki yang dinikahinya baru seumur jagung ini, ternyata Johan memiliki mulut yang sangat lemes seperti emak-emak. Netra Prita memindai wajah Johan, laki-laki bertubuh pendek dengan rupa yang biasa saja ini pasti sudah menggunakan jasa dukun untuk mendapatkan dirinya.Prita wanita dewasa dengan wajah cantik nan rupawan. Sejak muda, Prita sangat suka berolahraga baik itu jogging di pagi hari ataupun bersepeda. Tubuh Prita sangat proporsional karena dia juga menjaga pola makan dengan alasan untuk lebih menjaga kesehatannya di usia senja.Banyak pria yang menyukai Prita, termasuk salah satunya Johan yang sangat terobsesi memiliki Prita. Bukan tidak mungkin, Johan akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan pujaan hatinya."Hahahaha! Udah, jangan banyak omong lagi. Ikuti saja semua keinginanku! Tak akan ada yang percaya dengan semua pembelaanmu itu! Jadilah istri yang penurut, hidupmu akan tenang dan nyaman bersamaku hingga akhir hayat kita!" ucap Johan jumawa."Cih, nggak sudi! Kalau kamu nggak mau menceraikanku, biar aku yang menggugat ke pengadilan!" Prita meremas ujung pashminanya menahan gejolak dalam hati. Deru nafasnya kian memburu, ingin sekali rasanya Prita mencakar-cakar wajah Johan yang menatapnya dengan angkuh."Dengar! Aku nggak akan pernah menceraikanmu!Yah, terserah kamu, sih. Siap-siap saja, aku akan mempersulitmu di pengadilan nanti. Siap lahir batin, ya, jangan menyesal nanti! Oh, ya. Jangan nangis karena bakalan tiap hari dengerin nyinyiran dari keluargamu sendiri! Lebih baik pulanglah kerumah! Mas kangen mengulang malam itu, Istriku!" Senyuman licik mengembang di bibir Johan sembari berjalan menuju pintu keluar. Langkahnya terhenti saat melihat Anggita sedang di dalam warung yang terletak didepan rumah."Anggi, Bapak pulang, ya! Jangan biarkan, Ibumu itu berlama-lama menginap disini. Ingat! Dia sekarang seorang Istri, yang wajib melayani dan patuh sama saya Suaminya!" Pamit Johan seraya melangkah pergi meninggalkan halaman rumah. Ia bergegas mengendarai mobil, tujuannya mengunjungi rumah anak pertamanya Hera.Anggita yang sedang melayani pembeli hanya bisa menatap heran pada Johan. Suara lantangnya mengundang perhatian tetangga sekitar, Johan sengaja melakukan itu untuk mempermalukan Prita. Untungnya Aldi yang sedang tidur di kasur kecil di dalam warung tidak terbangun.Suara perdebatan Prita dan Johan sebenarnya juga terdengar hingga ke dalam warung. Anggita ingin melindungi Prita, tapi dia tak mungkin meninggalkan warung apalagi Aldi sedang tertidur."Ini kembaliannya, terima kasih Titi," ucap Anggita tulus. "I ..iya. Sabar, ya, Anggi." Titi menerima uang kembalian dari tangan Anggita dengan tatapan kasihan dan segera beranjak pergi.Anggita mengurut dadanya, berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sakit mengetahui Prita diperlakukan sangat kasar oleh Johan. Anggita melangkah ke depan warung untuk membersihkan beberapa sampah yang berserakan karena tertiup angin. Sesekali ia mengedarkan pandangan ke sekitar rumah tetangga yang mungkin kepo karena keributan tadi. Hal yang dikhawatirkan nya tidak terjadi, tak ada satu tetangga pun yang masih berada di depan rumah mereka masing-masing.Rumah ini adalah warisan almarhum Ibrahim suami pertama Prita yang meninggal setahun yang lalu, sekarang dihuni oleh Anggita Putri semata wayangnya yang sudah menikah. Di halaman rumah dibangun sebuah warung kelontong yang dikelola Anggita sambil menjaga anaknya Aldi yang baru berusia 3 tahun. Kamal, suami Anggita bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik.Sebelum menikah dengan Johan, Prita dan Anggita bekerjasama mengelola warung. Penghasilan dari warung sangat membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan gaji Kamal lebih banyak ditabung untuk pendidikan Aldi dimasa mendatang. ***Dua bulan yang lalu.Antrian kasir sebuah grosir besar tampak ramai. Sebentar lagi giliran Prita untuk membayar semua belanjaannya. Terdengar suara pesan masuk dari ponsel Prita didalam Tas. Saat membacanya, Prita merasa sedikit aneh, ada apa Tante Amanda mengirimkan pesan.[Assalamu'alaikum, Prita. Tante ada dirumahmu nih, cepetan pulang! Ada hal penting yang mau Tante sampaikan!][Wa'alaikumsalam. Iya, Prita segera pulang. Ini masih antri di kasir, belanja stok untuk di warung.][Iya, cepetan pulang! Jangan mampir kemana-mana! Bisa bulukan Tante nungguin kamu disini!]Prita mengabaikan pesan balasan dari Tante Amanda. Tangannya dengan gesit mengeluarkan semua barang belanjaannya ke meja kasir. Tak berselang lama transaksi pembayaran selesai, Prita bergegas menuju parkiran dan menyusun rapi semua barang di bagasi mobil. Perlahan Prita mengendarai mobilnya, jarak antara grosir kerumah sekitar 30 menit. Suara pesan di ponsel terdengar berulang kali, namun Prita membiarkannya saja. Hingga tak terasa Prita sampai didepan rumah dan segera memarkirkan mobilnya di halaman.Baru saja Prita membuka pintu mobil dan hendak turun. Tak disangka Tante Amanda setengah berlari menghampiri dan menarik lengan Prita. Hampir saja Prita terjengkang, tangannya sempat berpegangan pada pintu mobil.Anggita sedang berada didalam rumah memandikan Aldi yang baru saja selesai makan, sedangkan Kamal masih di tempat kerjanya. Anggita tak tahu kalau Ibunya sudah pulang, warung memang ditutupnya karena tidak ada yang menjaga. Tak mungkin menitipkannya pada saudara Kakeknya, apalagi ada tamu yang turut datang bersamanya.Anggita tengah bercengkrama dengan Aldi yang sedang bermain air, sedang di halaman rumah terjadi pertengkaran antara Tante Amanda dan Prita."Tante! Apa yang Tante lakukan!" Prita berteriak kencang, jantungnya berdegup kencang karena hampir terjatuh tadi."Heh! Tante yang seharusnya marah sama kamu! Disuruh pulang cepat, malah keluyuran kemana-mana!" hardik Tante Amanda dengan suara menggelegar."Siapa yang keluyuran! Ini hidup Prita, apa hak Tante mengatur apa yang harus Prita lakukan?" Prita menatap tajam Tante Amanda, tak sedikitpun ada rasa takut dihatinya. Bukan ingin melawan, tapi Prita merasa Tante Amanda sudah sangat keterlaluan.Prita dengan santai hendak beranjak membuka pintu bagasi mobilnya. Langkah Prita terhenti, tak sempat menghindar karena tiba-tiba saja Tante Amanda meremas lengan Prita sangat kuat. Meski Tante Amanda melihat wajah Prita meringis menahan sakit, Tante Amanda malah tersenyum sinis."Satu jam lebih Tante nungguin kamu, dasar nggak punya akhlak sama orangtua! Ayo, cepetan masuk! Barang-barang itu biar Anggita yang urus!" Tante Amanda menarik paksa lengan Prita, menyeretnya masuk kedalam rumah. Tubuh Prita terhuyung-huyung mengimbangi langkah Tante Amanda yang sangat tergesa-gesa."Lepas, Tante! Prita bisa jalan sendiri!" Prita berusaha melepaskan diri dari cekalan Tante Amanda.Tante Amanda melepas cekalannya dari lengan Prita dengan kasar begitu tiba di depan pintu masuk. Tante Amanda memperbaiki penampilannya yang sedikit berantakan. Ekspresi wajah Tante Amanda yang tadinya penuh amarah, tiba- tiba berubah penuh dengan senyuman manis.Tubuh Prita menghantam pegangan kursi karena cekalan yang dilepas tiba-tiba dan sangat kuat. Lutut Prita terasa sangat nyeri, karena bagian kaki itulah yang terbentur lebih dulu.Saat sudah bisa sedikit menenangkan diri, Prita terhenyak saat melihat perubahan pada ekspresi wajah Tante Amanda. "Ayo, perbaiki penampilanmu itu. Apa perlu Tante bantu?" ucap Tante Amanda dengan suara lembut. Mereka berdua masih berada di depan pintu masuk. Tante Amanda tampak menahan amarahnya, karena Prita tak kunjung memperbaiki penampilannya yang berantakan ."Nggak perlu! Sebenarnya apa sih mau Tante? Sampai sebegitunya memaksa hingga menyakiti Prita seperti ini?" keluh Prita sambil bersedekap dada.Tante Amanda tampak salah tingkah, tak dihiraukannya ucapan Prita. Sesaat Tante Amanda tampak berpikir, rencana yang sudah disusunnya harus tetap terlaksana apapun yang terjadi."Ayo masuk, Tante minta maaf soal yang tadi. Kamu sih, apa susahnya menurut apa yang Tante minta!" Niat hati Tante Amanda memujuk Prita dengan meminta maaf, tapi mulutnya yang terbiasa berucap semaunya meluncur begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaan lawan bicaranya.Meski masih memendam amarah, Prita mencoba tenang dan tidak meladeni ucapan Tante Amanda yang tetap menyalahkannya. Tante Amanda membantu Prita yang berjalan pincang masuk kedalam rumah, dan berusaha mendudukkannya di sofa dengan sedikit memaksa.Prita yang awalnya masuk kedalam rumah dengan perasaan biasa saja, tiba-tiba terperanjat saat menyadari ada tamu yang sudah menunggu di ruang tamunya. Amarahnya kembali terpancing, saat Tante Amanda memaksanya untuk duduk disebelah tamu itu.***"Ayo masuk, Tante minta maaf soal yang tadi. Kamu sih, apa susahnya menurut apa yang Tante minta!" Niat hati Tante Amanda memujuk Prita dengan meminta maaf, tapi mulutnya yang terbiasa berucap semaunya meluncur begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaan lawan bicaranya.Meski masih memendam amarah, Prita mencoba tenang dan tidak meladeni ucapan Tante Amanda yang tetap menyalahkannya. Tante Amanda membantu Prita yang berjalan pincang masuk kedalam rumah, dan berusaha mendudukkannya di sofa dengan sedikit memaksa.Prita yang awalnya masuk kedalam rumah dengan perasaan biasa saja, tiba-tiba terperanjat saat menyadari ada tamu yang sudah menunggu di ruang tamunya. Amarahnya kembali terpancing, saat Tante Amanda memaksanya untuk duduk disebelah tamu itu.***"Tante!" teriak Prita tanpa memperdulikan tamu yang sama sekali tak dikenalnya itu. Dengan sedikit terpincang, Prita menjauh menghindari Tante Amanda. Apalagi Prita merasa sangat jijik dengan tatapan penuh nafsu tamu itu padanya."Ma
"Pergi! Cepat pergi dari sini!" teriak Prita geram."Nggak bisa gitu, dong, Prita! Tante, kan, lagi mikirin apa kata yang pas biar kamu nggak salah paham terus dengan yang Tante maksud nanti. Ngomong sama kamu itu, kan, harus mengikuti pola pikirmu yang rada semprul itu. Walau bagaimanapun sikap Tante dulu sama kamu, hargai sedikitlah Tantemu ini! Jadi orang, kok, nggak sabaran banget," umpat Tante Amanda."Dengar, ya, duhai Tante Amanda yang sangat ingin dihargai oleh orang lain. Sejatinya orang yang datang dengan niat baik, pasti akan Allah mudahkan urusannya. Nah, Tante bilang tadi punya niat baik datang kesini tapi yang Tante lakukan malah justru menghina dan menyakiti fisik Prita! Jadi, sangat jelas tidak ada kebaikan yang Tante bawa kerumah ini, tolong lebih baik pergi sekarang juga," lirih Prita tak ingin memperpanjang keributan yang terjadi."Tenang dulu, lah, Prita. Tante benar-benar minta maaf kalau kamu merasa tidak suka dan tersinggung dengan kehadiran Tante disini. Tante
Prita merasa kepalanya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Semakin keras dia berusaha melawan bisikan bisikan di telinga dengan membaca shalawat di dalam hati, semakin kuat pula tusukan itu menghujam kepalanya. Prita memijit pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit, keringat dingin mengucur deras diiringi wajahnya yang kian memucat. Kesadaran Prita semakin memudar, ingin dia menjelaskan apa yang sedang dirasakannya pada Tante Amanda tapi matanya seakan tak mampu lagi terbuka. "Gimana ini Tante? Apa gara-gara rencana Tante itu jadi bikin kondisi Prita begini?" bisik Johan pelan ditelinga Tante Amanda."Nggak mungkin, Tante yakin bukan karena itu!" Ada sedikit keraguan di hati Tante Amanda, tapi dia menepis semua itu karena sangat yakin yang dicampurkannya tadi hanya air putih berapal mantra sang dukun sakti. Apalagi air kemasan itu dia sendiri yang membeli dan melihat langsung apa yang dilakukan dukun pada air itu."Trus, kenapa bisa begini, Tante? Tante yakin, kan, kalau air
"Tolong! Tolong saya, Mas atau Mbak yang ada di ruang UGD!" jerit Anggita dengan suara yang cukup memekakkan telinga."Anggita! Apa-apaan kamu, bisa budek telinga Nenek! Bikin malu aja!" bentak Tante Amanda mengucek-ngucek telinganya sambil celingukan memperhatikan keadaan dibalik kaca jendela mobil. Rasa malunya lebih besar dibandingkan rasa empatinya pada Prita dan Anggita."Sengaja! Abisnya dua manusia yang seharusnya menolong, malah kayak orang hilang ingatan lagi ada dimana sekarang! Lebih baik Anggita teriak memanggil bantuan. Kalian berdua itu ngapain dari tadi, Anggita perhatikan cengangas cengenges nggak jelas? Bukannya membantu Ibu yang jadi korban Nenek, malah asyik main ponsel!" ketus Anggita hingga terdengar deru nafasnya yang memburu.Tante Amanda dan Johan tak menyangkal apa yang dikatakan Anggita barusan, mereka memang sedang sibuk saling mengirim pesan karena kalau bicara langsung akan ketahuan Anggita."Kenapa diam? Sudah tua bangka bukannya insyaf malah makin nggak
"Kenapa, Nak? Siapa yang menelpon?" tanya Prita lirih setelah menggeser posisi tubuhnya agar nyaman berbaring."Hmm.. I.. Ini. Anu, Bu," gagap Anggita semakin salah tingkah."Dijawab saja telponnya, siapa tau penting." Prita tak berkedip memperhatikan sikap Anggita yang sedikit aneh."Anggita boleh jawab telpon ini?" tanya Anggita meminta izin pada Prita."Iya, jawab saja," sahut Prita mengizinkan Putrinya itu."Tapi, Bu...," Anggita benar-benar merasa serba salah, dia sedang mempertimbangkan apakah orang yang menelpon ke ponsel Ibunya ini berniat baik atau tidak."Apa Ibu saja yang menjawabnya?" ucap Prita yang sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.Karena dibiarkan terlalu lama, akhirnya panggilan masuk itu terhenti dengan sendirinya. Anggita menghela nafas panjang, dia berharap orang itu tak lagi menelpon Prita."Tuh, keburu mati teleponnya. Ada apa, sih? Ibu perhatikan, tingkahmu aneh banget! Sini, duduk dekat Ibu!" pinta Prita, tangan kanannya menepuk-nepuk bagian tepi brank
"Ya.. Allah!" lirih Prita dengan kedua tangan menutup mulutnya. Benarkah ini, batin Prita meyakinkan dirinya.Berjuta rasa berkecamuk didalam hati Prita, bayangkan bagaimana rasanya harus terpisah puluhan tahun dengan Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.Prita sampai mencubit keras tangannya, karena tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. "Bun.. Bunda!"Bulir demi bulir air mata menetes tak tertahan, Prita membuka pintu lebar-lebar kemudian bersimpuh di depan kursi roda yang diatasnya duduk seorang Wanita usia senja dengan paras cantik mirip dengannya. Berulang Kali diciumnya tangan serta pipi wanita itu sebelum akhirnya memeluk penuh rasa mengharu biru.Di Belakang kursi roda, tampak seorang Pria paruh baya yang dengan setia menunggu sambil memegang kursi roda. Prita sempat bertanya didalam hati, dimana Yoga? Kenapa tak turut serta kesini bersama Bunda?.Dihadapan Prita sekarang adalah sosok Wanita yang selama ini sangat dirindukan.
"Rencana apa Bunda? Kalau itu akhirnya akan membahayakan Ayah dan Bunda, Prita tidak mau melakukannya!" "Meski Ayah dan Bunda selama ini selalu patuh dan tunduk pada kemauan Kakek Damar, toh, pada kenyataannya kalian tetap terus saja mendapat masalah dari Keluarga Besar Prawiro Hartadi! Mulai dari Amanda, Hendri, Tissa bahkan Kakek Damar sendiri seolah tak puas hati kalau belum membuat hidupmu tersiksa!" sanggah Marsya."Kami ini sudah tua, Nak! Mungkin saja sebentar lagi sang malaikat maut menyapa. Apakah salah, Ayah dan Bunda ingin mengganti waktu kebersamaan kita yang telah dirampas oleh keegoisan Kakek Damar. Puluhan tahun kita terpisah, selama itu pula Bunda merasa tak utuh menjadi seorang Ibu dan Nenek.Bunda ingin, sebentar... saja! Di Akhir usia ini merasakan kebersamaan dengan kalian, merasakan berperan jadi sosok Ibu dan Nenek yang sebenarnya!" Bulir air mata kembali mengalir membasahi pipi Marsya. Dirinya kembali merasa putus asa saat Prita menolak keinginannya."Tapi Bund
"Rencana apa Bunda? Kalau itu akhirnya akan membahayakan Ayah dan Bunda, Prita tidak mau melakukannya!" "Meski Ayah dan Bunda selama ini selalu patuh dan tunduk pada kemauan Kakek Damar, toh, pada kenyataannya kalian tetap terus saja mendapat masalah dari Keluarga Besar Prawiro Hartadi! Mulai dari Amanda, Hendri, Tissa bahkan Kakek Damar sendiri seolah tak puas hati kalau belum membuat hidupmu tersiksa!" sanggah Marsya."Kami ini sudah tua, Nak! Mungkin saja sebentar lagi sang malaikat maut menyapa. Apakah salah, Ayah dan Bunda ingin mengganti waktu kebersamaan kita yang telah dirampas oleh keegoisan Kakek Damar. Puluhan tahun kita terpisah, selama itu pula Bunda merasa tak utuh menjadi seorang Ibu dan Nenek.Bunda ingin, sebentar... saja! Di Akhir usia ini merasakan kebersamaan dengan kalian, merasakan berperan jadi sosok Ibu dan Nenek yang sebenarnya!" Bulir air mata kembali mengalir membasahi pipi Marsya. Dirinya kembali merasa putus asa saat Prita menolak keinginannya."Tapi Bund
"Ya.. Allah!" lirih Prita dengan kedua tangan menutup mulutnya. Benarkah ini, batin Prita meyakinkan dirinya.Berjuta rasa berkecamuk didalam hati Prita, bayangkan bagaimana rasanya harus terpisah puluhan tahun dengan Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.Prita sampai mencubit keras tangannya, karena tak percaya melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. "Bun.. Bunda!"Bulir demi bulir air mata menetes tak tertahan, Prita membuka pintu lebar-lebar kemudian bersimpuh di depan kursi roda yang diatasnya duduk seorang Wanita usia senja dengan paras cantik mirip dengannya. Berulang Kali diciumnya tangan serta pipi wanita itu sebelum akhirnya memeluk penuh rasa mengharu biru.Di Belakang kursi roda, tampak seorang Pria paruh baya yang dengan setia menunggu sambil memegang kursi roda. Prita sempat bertanya didalam hati, dimana Yoga? Kenapa tak turut serta kesini bersama Bunda?.Dihadapan Prita sekarang adalah sosok Wanita yang selama ini sangat dirindukan.
"Kenapa, Nak? Siapa yang menelpon?" tanya Prita lirih setelah menggeser posisi tubuhnya agar nyaman berbaring."Hmm.. I.. Ini. Anu, Bu," gagap Anggita semakin salah tingkah."Dijawab saja telponnya, siapa tau penting." Prita tak berkedip memperhatikan sikap Anggita yang sedikit aneh."Anggita boleh jawab telpon ini?" tanya Anggita meminta izin pada Prita."Iya, jawab saja," sahut Prita mengizinkan Putrinya itu."Tapi, Bu...," Anggita benar-benar merasa serba salah, dia sedang mempertimbangkan apakah orang yang menelpon ke ponsel Ibunya ini berniat baik atau tidak."Apa Ibu saja yang menjawabnya?" ucap Prita yang sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.Karena dibiarkan terlalu lama, akhirnya panggilan masuk itu terhenti dengan sendirinya. Anggita menghela nafas panjang, dia berharap orang itu tak lagi menelpon Prita."Tuh, keburu mati teleponnya. Ada apa, sih? Ibu perhatikan, tingkahmu aneh banget! Sini, duduk dekat Ibu!" pinta Prita, tangan kanannya menepuk-nepuk bagian tepi brank
"Tolong! Tolong saya, Mas atau Mbak yang ada di ruang UGD!" jerit Anggita dengan suara yang cukup memekakkan telinga."Anggita! Apa-apaan kamu, bisa budek telinga Nenek! Bikin malu aja!" bentak Tante Amanda mengucek-ngucek telinganya sambil celingukan memperhatikan keadaan dibalik kaca jendela mobil. Rasa malunya lebih besar dibandingkan rasa empatinya pada Prita dan Anggita."Sengaja! Abisnya dua manusia yang seharusnya menolong, malah kayak orang hilang ingatan lagi ada dimana sekarang! Lebih baik Anggita teriak memanggil bantuan. Kalian berdua itu ngapain dari tadi, Anggita perhatikan cengangas cengenges nggak jelas? Bukannya membantu Ibu yang jadi korban Nenek, malah asyik main ponsel!" ketus Anggita hingga terdengar deru nafasnya yang memburu.Tante Amanda dan Johan tak menyangkal apa yang dikatakan Anggita barusan, mereka memang sedang sibuk saling mengirim pesan karena kalau bicara langsung akan ketahuan Anggita."Kenapa diam? Sudah tua bangka bukannya insyaf malah makin nggak
Prita merasa kepalanya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Semakin keras dia berusaha melawan bisikan bisikan di telinga dengan membaca shalawat di dalam hati, semakin kuat pula tusukan itu menghujam kepalanya. Prita memijit pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit, keringat dingin mengucur deras diiringi wajahnya yang kian memucat. Kesadaran Prita semakin memudar, ingin dia menjelaskan apa yang sedang dirasakannya pada Tante Amanda tapi matanya seakan tak mampu lagi terbuka. "Gimana ini Tante? Apa gara-gara rencana Tante itu jadi bikin kondisi Prita begini?" bisik Johan pelan ditelinga Tante Amanda."Nggak mungkin, Tante yakin bukan karena itu!" Ada sedikit keraguan di hati Tante Amanda, tapi dia menepis semua itu karena sangat yakin yang dicampurkannya tadi hanya air putih berapal mantra sang dukun sakti. Apalagi air kemasan itu dia sendiri yang membeli dan melihat langsung apa yang dilakukan dukun pada air itu."Trus, kenapa bisa begini, Tante? Tante yakin, kan, kalau air
"Pergi! Cepat pergi dari sini!" teriak Prita geram."Nggak bisa gitu, dong, Prita! Tante, kan, lagi mikirin apa kata yang pas biar kamu nggak salah paham terus dengan yang Tante maksud nanti. Ngomong sama kamu itu, kan, harus mengikuti pola pikirmu yang rada semprul itu. Walau bagaimanapun sikap Tante dulu sama kamu, hargai sedikitlah Tantemu ini! Jadi orang, kok, nggak sabaran banget," umpat Tante Amanda."Dengar, ya, duhai Tante Amanda yang sangat ingin dihargai oleh orang lain. Sejatinya orang yang datang dengan niat baik, pasti akan Allah mudahkan urusannya. Nah, Tante bilang tadi punya niat baik datang kesini tapi yang Tante lakukan malah justru menghina dan menyakiti fisik Prita! Jadi, sangat jelas tidak ada kebaikan yang Tante bawa kerumah ini, tolong lebih baik pergi sekarang juga," lirih Prita tak ingin memperpanjang keributan yang terjadi."Tenang dulu, lah, Prita. Tante benar-benar minta maaf kalau kamu merasa tidak suka dan tersinggung dengan kehadiran Tante disini. Tante
"Ayo masuk, Tante minta maaf soal yang tadi. Kamu sih, apa susahnya menurut apa yang Tante minta!" Niat hati Tante Amanda memujuk Prita dengan meminta maaf, tapi mulutnya yang terbiasa berucap semaunya meluncur begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaan lawan bicaranya.Meski masih memendam amarah, Prita mencoba tenang dan tidak meladeni ucapan Tante Amanda yang tetap menyalahkannya. Tante Amanda membantu Prita yang berjalan pincang masuk kedalam rumah, dan berusaha mendudukkannya di sofa dengan sedikit memaksa.Prita yang awalnya masuk kedalam rumah dengan perasaan biasa saja, tiba-tiba terperanjat saat menyadari ada tamu yang sudah menunggu di ruang tamunya. Amarahnya kembali terpancing, saat Tante Amanda memaksanya untuk duduk disebelah tamu itu.***"Tante!" teriak Prita tanpa memperdulikan tamu yang sama sekali tak dikenalnya itu. Dengan sedikit terpincang, Prita menjauh menghindari Tante Amanda. Apalagi Prita merasa sangat jijik dengan tatapan penuh nafsu tamu itu padanya."Ma
"Apa maksudmu menceritakan masalah rumah tangga kita ke Tante Mahda, hah!" Tak lagi Prita memanggil Suami yang baru dinikahinya dua bulan lalu itu dengan panggilan Mas. Rasa benci, kecewa dan amarah jadi satu membuat gejolak emosi Prita tak terkendali.Tante Mahda adalah sepupu dari Bapak Prita. Apapun cerita yang sampai ke Tante Mahda, pasti akan dengan cepat tersebar ke Keluarga Besar Prita. Tak peduli cerita itu adalah aib besar yang seharusnya dirahasiakan, Tante Mahda malah menganggap itu adalah hal yang paling penting untuk disebarluaskan dengan penuh semangat. Sepertinya mulut Tante Mahda akan sangat gatal bila sehari saja tak menggibahi orang lain meski itu kerabat dekatnya sendiri."Loh, kan, wajar saja aku menjawab pertanyaan Tante Mahda. Kamu aja yang aneh! Masalah kita itu buat apa ditutup-tutupi, biar mereka tahu yang sebenarnya. Disini aku yang jadi korban, jadi berhenti seolah-olah kamu yang paling tersakiti. Enak aja mau menyalahkanku! Kamu yang jadi istri nggak becu