“Ia menolakmu, Nak? Alasan apa yang dikatakan oleh gadis itu?” tanya Ummi setelah Rizki menjelaskan panjang lebar kemajuannya meminang anak Pak Omar.
“Aku tidak tahu alasan yang sesungguhnya, Ummi. Tapi Ia berkata bahwa Ia akan melanjutkan kuliah lagi,” jawab Rizki.
“Lho, kalau cuma mau kuliah lagi kan bisa sambil menikah. Lagi pula Kamu juga bisa membiayai kuliahnya, ‘kan?” Abah ikut menimpali.
“Iya, tapi Febi masih tetap ketus padaku, Abah.”
“Itu namanya jual mahal. Mungkin karena Ia belum mengenalmu. Coba Kamu ajak jalan-jalan atau apalah.”
“Pak Omar sendiri bagaimana?”
Febi melangkah dengan mantap menuju ruangan yang ditunjuk oleh resepsionis. Hari ini adalah seleksi masuk kerja tahap akhir. Sudah berpuluh-puluh surat lamaran Ia layangkan ke mana-mana namun hasilnya zonk, seleksi administrasi pun Ia gagal. Ini adalah satu-satunya hasil yang paling baik di antara kesempatan sebelumnya. Ia lolos administrasi dan seleksi tertulis, kini Ia akan seleksi wawancara."Lho, bukannya itu Mas Alvian yang itu? Ck, semoga tidak kenal denganku," Febi bergumam sendiri saat menunggu gilirannya tiba."Kakaknya kenal yang mewawancarai kita?" pelamar kerja yang duduk di sebelah Febi berbisik sembari menunjuk pewawancara lelaki di depan sana."Beliau kampusnya satu yayasan dengan saya, tapi saya tidak kenal, hanya kebetulan tahu namanya," jawab Febi.
"Hallo, Selamat malam, Pak." Rizki mengangkat telepon pimpinan tim IT sembari mengucek kelopak matanya.Tangannya yang lain memencet jam digital di sisi ranjang lalu empat angka di sana menunjukkan jam satu malam."Pak, mohon maaf menelpon tengah malam, tetapi ini benar-benar gawat." Suara lelaki itu terdengar sangat panik."Ada masalah apa, Pak?" Seketika konsentrasi Rizki terkumpul."Sistem keamanan internet kita dibobol, tidak hanya itu, informasi keuangan perusahaan juga sudah dibobol," papar lelaki di seberang sana dengan terburu-buru."Astaghfirullohal 'adziim." Rizki tidak punya bayangan bagaimana persisnya kejadian itu tetapi ketika mendengar sistem keuangan yang dibobol, Ia langsung mengerti.
Dengan memaksakan akal sehatnya, Febi mengambil pekerjaan itu daripada menganggur terus. Ia berangkat menggunakan motor matic-nya seperti biasa. Di ruangan yang ditujunya, beberapa karyawan baru seperti dirinya sudah berkumpul. Ia pun berkenalan dengan karyawan baru yang duduk di sebelahnya.Pengenalan umum tentang perusahaan berlangsung cukup singkat dan dilanjutkan dengan menuju divisi masing-masing. Febi pun menuju bagian suplai barang, lokasi kantor divisinya cukup strategis meskipun berada terpisah dari ruangan lainnya. Ada satu karyawan baru yang juga diterima di bagian yang sama dengannya, bagian pencatat suplai barang."Baik, teman-teman. Gedung di samping adalah gedung transit barang. Jadi barang apapun yang baru datang akan dimasukkan kesini. Setelah terdata, baru kita pindahkan ke tempat yang seharusnya." Senior dari bagian yang sama menjelaskan kepa
Hikam menyembunyikan keterkejutannya dari hadapan orang-orang yang ramai membicarakan Rizki dan perusahaan lelaki itu. Belum diketahui alasan mengapa tiba-tiba perusahaan tersebut mem-PHK karyawan secara besar-besaran. "Apa lagi kalau bukan karena rugi," ujar seseorang."Ada yang menggelapkan uang katanya. Saudaraku ada yang kerja di sana, untung nggak kena PHK," timpal yang lain."Iya? Yang nggelapin siapa? Pasti kalau nggak dimuat di media pelakunya petinggi perusahaan itu," tanggap seseorang.Hikam menguping pembicaraan itu tanpa komentar sepatah kata pun. Siapa lagi yang kena kalau bukan Rizki, lelaki itu adalah eksekutor tertinggi perusahaan yang dikelolanya, perusahaan penyuplai barang terbesar di kota ini. Tentang Rizki yang dituduh menggelapkan uang perusahaan, Hikam sebenarnya tidak percaya karena Ia tahu Rizki bukan tipe seperti itu. Tetapi kejahatan bisa dilakukan siapa saja, buktinya dulu Rizki juga pernah selingkuh sampai cerai. Bukan tidak mungkin jika Rizki menggelapk
Saat Rizki tiba di rumah dan kedua anak-anaknya tengah menikmati makan malam, ada notifikasi pesan dari mertuanya, orangtuanya almarhum Fani. Ikhda dan Itsna menikmati makan malam seperti biasa layaknya tidak ada apapun di keluarga kecilnya. Rizki memaklumi mereka karena mereka hanyalah anak-anak. Mereka belum layak menanggung beban pikiran apapun seperti yang tengah Ia hadapi saat ini."Ayah, ada telepon itu." Ikhda mengingatkan."Oh, iya, ayah angkat dulu ya," ujar Rizki sembari beranjak dari meja makan."Assalamu'alaikum." Rizki mengucapkan salam dan langsung terdengar suara ibu mertuanya di seberang sana meskipun tidak terlalu jelas. Rizki sampai mengerutkan dahi untuk menerka apa yang sebenarnya pasangan suami istri itu katakan, mereka terdengar seperti sedang bercerita.
Dari Putri, Rizki mendapat sedikit angin segar. Perempuan itu sudi membantunya dengan pinjaman uang tanpa bunga sedikitpun. Ia pun kembali ke kantornya untuk melanjutkan pekerjaan. Dengan suntikan dana dari Putri Ia bisa memperbesar peluang untuk memperbaiki segalanya. Diam-diam Ia menyewa beberapa orang untuk menyelidiki siapa sebenarnya pelaku pembobolan di perusahaan. Ketika Ia tengah menyandarkan badannya di punggung kursi, handphonenya berdering, ummi melakukan panggilan video."Assalamu'alaikum, Ummi," sapa Rizki dengan memaksakan wajahnya untuk tersenyum."Wa'alaikumsalam. Ada kabar apa di sana, Riz? Kok Ikhda sama Itsna jadi jarang main ke rumah simbah lagi?" tanya ummi."Alkhamdulillah sehat, Ummi. Ikhda 'kan sudah mulai banyak kegiatan di sekolahnya. Kalau Itsna aku rasa harus banyak beradaptasi dengan teman-temannya, jadi kalau bisa lebih baik bermain dengan teman-teman daripada dititipkan ke tempat ummi terus," ujar Rizki panjang lebar demi menyembunyikan alasan yang seben
Setelah berpikir matang-matang selama nyaris semalam suntuk, akhirnya Febi memutuskan untuk menerima tawaran Mas Alvian yang ingin menjemputnya berangkat ke kantor. Pelan-pelan, Ia membuka kamar ayahnya dan mengintip untuk memastikan ayahnya masih tertidur, biasanya ayahnya memang tidur lagi setelah sholat shubuh.Febi menyembunyikan motor matic-nya di garasi setelah mengeluarkan mobil ayahnya. Lalu Ia mengunci gerbang garasi supaya ayahnya tidak perlu masuk ke garasi dan melihat motor yang biasanya Ia pakai ke mana-mana masih ada di rumah. Untuk sementara dan mungkin selamanya, ayahnya tidak boleh tahu bahwa ada cowok yang datang ke rumah menjemputnya. Ia pun bernapas lega setelah semuanya beres. Tak jauh dari tempatnya berdiri di depan pintu gerbang rumahnya, motor Mas Alvian nampak mendekat."Assalamu'alaikum. Ini rumahmu?" tanya Mas Alvian saat menghentikan
Merasa sedikit tersentuh oleh apa yang disampaikan Pak Omar tentang pencapaian kehidupan lelaki single father itu, Rizki menepiskan rasa bersalahnya. Apapun yang terjadi di masa lalu biarlah berlalu. Entah mengapa jika sudah menyinggung pilihan hidup, Rizki merasa bersalah pada Fatma. Pak Omar juga seperti dirinya yang ditinggal oleh perempuan yang sangat dicintainya. Lelaki itu membesarkan anaknya seorang diri, Rizki pun juga demikian."Ikhda, lain kali nggak usah ngotot untuk berebut hal yang nggak penting ya," ucapnya pada anaknya yang masih duduk terdiam di sampingnya."Tapi ayah, anak ingusan itu terus membuliku. Katanya aku lahir dari batu seperti kera sakti karena nggak punya ibu. Padahal Bunda 'kan emang udah meninggal," jawab Ikhda."Nah, itu tahu kalau pendapatnya salah. Ya sudah nggak usah diladenin
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka