Beberapa hari ini aku merasa sering sakit perut, padahal aku makan dengan teratur dan tidak pernah berlagak diet. Lidahku juga terasa pahit untuk merasakan makanan apapun. Semangat hidupku turun drastis semenjak aku tahu kebusukan Mas Alvian yang dibalut dengan modus-modus rapih.Mungkin gurauan Hilal benar jika aku sedang mengalami stress, tapi aku menepis semua itu. Aku harus tetap waras, cantik-cantik kok stress. Sepertinya aku berlebihan sakit hati melihat Mas Rizki sekarang bahagia dengan Mbak Fatma. Dadaku selalu sesak jika teringat mereka.Aku pulang magang dengan gontai, Sahla mengajakku jalan-jalan ke alun-alun dan menikmati matahari terbenam tapi aku tidak tergugah. Aku menuju balkon setelah turun dari ojek online, motorku masih di pesantren dan terlalu jauh untuk dibawa ke tempat magang. Tiba-tiba perutku terasa mual dan kerongkonganku semakin terasa pahit."Fan, Lu kenapa, Fan?"Aku tidak memedulikan suara itu, tanganku memegang tiang balkon erat-erat agar tidak limbung. N
Saat aku datang ke kantor, Bu Siska sedang menata berkas-berkas di meja Bu Delta, aku menyapanya dan membantunya. "Eh, Falen. Kemarin gimana?" "Alkhamdulillah lancar, Bu," jawabku. Aku menyembunyikan jika Bu Delta mengeluhkan jadwalnya untuk satu pertemuan dengan yang namanya Hannan."Makasih, ya. Ibu kemarin habis ngurusin anak Ibu khitan. Mungkin nanti juga pulang lebih awal dari biasanya," ujar Bu Siska."Oh, Ibu punya anak laki-laki?" Tanyaku berbasa-basi. Padahal tidak penting urusan itu untukku."Iya, satu. Dia anak bungsu, saya senang akhirnya bisa punya anak laki-laki, jadi lengkap. Kakak-kakaknya semua perempuan, yang sulung seumuran kamu," ujar Bu Siska. Anak perempuannya yang seumuranku pasti tidak sebobrok diriku yang sampai dikeluarkan dari sekolah. Mengetahui jika Bu Siska memiliki anak seumuran denganku, aku sedikit khawatir jika akan dibanding-bandingkan dengannya. Hal yang paling kutakuti, dibanding-bandingkan. Apalagi jika aku sudah jelas-jelas tidak sepadan dengan
Aku menyelesaikan sisa magangku dengan cukup konsentrasi. Hari-hariku hanya magang, mengerjakan laporan, dan tidur. Tak ada lagi acara jalan-jalan untuk menunggu malam tiba. Tubuhku tak lagi kebal udara dingin. Aku beruntung karena Sahla tidak bertanya macam-macam kepadaku, kecuekannya sungguh menguntungkan.Hingga akhirnya magang berakhir dan menggoreskan rasa kangenku pada orang-orang di kantor, terutama Bu Delta, Bu Siska, dan Bu Retno. Aku masih penasaran dengan Bu Delta, Sang Perempuan misterius dengan wajah cantik jelita. Ia menyimpan banyak cerita hidupnya. Bisik-bisik dari Bu Retno, Ia adalah muallaf. Benarkah?Aku dan Sahla menaiki kereta yang sama dengan bangku berdekatan, sedangkan Hilal kembali ke kota tempat kami kuliah dengan sepeda motor. Hening menemani perjalanan kami, aku tidak menemukan topik yang pas untuk dibicarakan dengan Sahla sementara Ia memang tidak banyak berbicara.Monic yang lebih dulu tiba di pesantren, segera menjemputku dan Sahla. Seperti biasa Ia hebo
Aku bangun di kasur UKS (Usaha Kesehatan Santri) dengan seorang petugas piket kesehatan berada di samping dipan. Tidak ada siapa-siapa selain petugas ini, Monic dan Sahla juga tidak ada. "Dek, makan dulu, ya. Mbak cariin makan di kantin. Biasanya makan apa?" Ucapnya."Nggak usah repot-repot, Mbak," jawabku."Pesannya Mbak Sabila kalau kamu sadar harus makan soalnya udah pucat banget wajahmu," ujarnya. Jika sudah berurusan dengan Mbak Sabila mau tidak mau aku harus mau."Ya udah, Mbak. Nasi sayur aja yang nggak pedas. Makasih banyak, Mbak," ucapku kemudian.Aku membiasakan diri untuk makan makanan yang tidak pedas, rasanya memang hambar tapi jauh lebih baik untuk perutku. Setelah menghabiskan nasiku, Monic dan Sahla masuk dengan menggendong tas masing-masing. Mereka selesai mengikuti kelas mengaji. "Sorry, Fan. Gue bongkar tas, Lu. Itu obatnya," ucap Sahla. "Nggak apa-apa, makasih, La," jawabku. Monic melihatku prihatin. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air dispenser di sud
Hari ini aku sengaja tidak menghindari Mas Alvian walaupun tidak juga mencarinya. Sudah pasti Ia tahu aku ke kampus untuk bimbingan."Aku ingin bicara," ujar Mas Alvian."Aku juga ingin bicara," tanggapku."Kamu dulu," ucapnya."Perempuan seperti apa yang dikehendaki Mas Alvian," aku langsung bertanya untuk mengawali pembicaraanku."Seperti kamu, sempurna," jawabnya sembari tersenyum. "Tapi sayangnya aku tidak sempurna seperti yang Mas Alvian kira," tanggapku. Aku tidak peduli dengan senyuman Mas Alvian dan bersikeras menuntunnya ke pembicaraan yang serius."Kamu cantik," ujarnya."Memang," tanggapku ketus. Aku selalu jengkel jika diberi label cantik oleh orang yang tidak kukehendaki."Cerdas, pintar bersosialisasi, punya semangat hidup," lanjutnya."Aku punya semangat hidup, tapi harapan hidupku tidak terjamin lama," sanggahku. Ini hampir tiba saatnya."Kenapa memangnya?" Tanyanya tidak memedulikanku."Aku mengidap GERD, Mas. Rawat jalan sejak dua bulan yang lalu," ucapku."Kamu ber
Monic memiliki ide menemui Mas Alvian untuk bicara, tapi aku sudah tidak peduli padanya. Aku kira mungkin lebih baik jika perkara ini aku bicarakan dengan Ibu dan Ayahku. Karena yang membukakan pintu rumah untuk Mas Alvian adalah mereka. Mungkin Monic terlalu geram pada laki-laki yang telah memperlakukanku seperti itu. Bagaimanapun kerasnya kemauan Monic untuk berbicara dengan Mas Alvian, aku yakin usahanya tidak membuahkan hasil yang berarti. Mas Alvian terlalu bebal untuk menerima masukan orang lain."Saya nggak ada urusan sama kamu, meski kamu temannya Fani tetapi kamu tidak berhak mengatur-ngatur saya. Hubungan saya dengan Fani adalah urusan saya," semprotan Mas Alvian kepada Monic tak jauh beda dengan pedasnya ucapannya padaku."Bukan begitu, Mas. Kalau Mas Alvian memang laki-laki yang tanggung jawab, sebaiknya Mas Alvian temui kedua orangtuanya. Sampaikan secara terus terang mau dibatalkan atau diteruskan," ujar Monic. Suaranya cukup jelas terdengar olehku dari balik tembok.Sah
Tempat pertama yang kami tuju setelah menaiki mobil adalah masjid, kami akan sholat 'ashar terlebih dahulu sebelum bersama-sama ke hotel. Monic dan Bu Delta berkenalan secara singkat di dalam mobil. Setelah sampai di masjid, aku dan Bu Delta memilih sholat terlebih dahulu karena Monic dan Sahla mabuk pesawat, mereka membeli air mineral dingin di minimarket sebelah masjid."Sebenarnya kamu sedang ada masalah apa, Falen? Sakitmu sudah terlalu parah?" Tanya Bu Delta setelah selesai sholat. Mungkin Bu Delta sengaja mengatur sholat kami bergantian agar Ia bisa berbicara empat mata denganku."Bukan, Bu. Sakit nggak membuat hari-hari saya terganggu, kok," jawabku."Lalu?" Ujarnya tidak puas dengan jawabanku."Saya mencintai seseorang yang menurut orang-orang adalah terlarang bagi saya, Bu," ucapku. "Terlarang karena apa? Hubungan darah, beda agama?" Tanyanya dengan suara lembut. Ia tampak peduli denganku."Karena Ia milik perempuan lain," jawabku lemas."Mereka sudah hidup bahagia," lanjut
Kami mengobrol ngalor ngidul dan rencana kami untuk berkeliling mall seketika batal karena ternyata kami kelelahan setelah menempuh perjalanan udara. Monic yang awalnya takut kepada Bu Delta akhirnya juga berbicara dengan nyaman. Besok kami akan jalan-jalan ke wisata industri keramik dan kaca. Sorenya, kami akan mampir ke pantai dan menyaksikan matahari tenggelam. Rencana yang indah, obrolan kami membuat pikiranku bebas hingga akhirnya seseorang kulihat dari jarak yang cukup dekat."Putri, sudah malam. Mau pulang jam berapa?" Seru Pak Hikam dari jarak sekitar lima meter dari kami. Oh, ternyata Ia memanggil istri keduanya dengan panggilan 'Putri'. Anaknya yang jika kutebak masih umuran Sekolah Dasar menggandeng tangan Sang Ayah. Perempuan yang kutahu sebagai istri pertamanya memandang ke arah kami dengan pandangan tidak suka, aku bisa membaca itu."Mas Hikam mau pulang sama aku kan, Mas?" Ujar istri pertamanya lebih tepat disebut permintaan dari pada pertanyaan."Aku mau ngantar Fale