Dua tahun kemudian….Aku kembali menjalani kehidupan di pesantren setelah kejadian kecelakaan itu. Kujalani semuanya dengan sabar meski rasanya seperti hidup di penjara. Sebelumnya, yang menjadi momok kebebasanku adalah Ayah dan Ibu. Tapi kini setelah berpisah dengan mereka, hidupku malah semakin terkekang.Saat aku melintasi papan poster di gedung Unit Kegiatan Mahasiswa, aku terbelalak tidak percaya. Wajah perempuan itu dipajang besar-besar di dalam poster. Tanganku meraba poster itu memastikan apa yang kulihat tidak salah. Ini wajah peremapuan itu, perempuan yang membuat hidupku jungkir balik. Mbak Fatma?Ia akan menjadi bintang tamu seminar di kota sebelah. Tanganku bergetar, ada rasa yang membuatku sakit hati melihat foto wajahnya. Aku tahu empat tahun lalu Mbak fatma memang belum terkenal sama sekali, tapi hari ini aku melihat sendiri Ia digandrungi banyak orang. 'Jadilah bintang, maka kamu akan dipandang', quote dari poster itu.Rasa iri menyelimutiku, kakiku mendadak lemah be
Setelah memutar otak untuk mencari tahu apapun tentang Mbak Fatma dan Mas Rizki, aku membuat Instagram fake account. Postingan Instagram pribadi Mas Rizki kebanyakan diisi dengan foto-foto anaknya dan istrinya tentu saja. Ia telah memiliki anak lagi dari Mbak Fatma beberapa bulan lalu.Ada Mbak Fatma di following-nya, termasuk akun kepenulisannya. Hal inilah yang membuatku ciut, tapi aku tidak akan menyerah. Lihat saja nanti. Sebenarnya aku lebih tahu apapun tentang Mas Rizki, aku tahu selera makannya, lagu favoritnya, alasan dijodohkan dengan Mbak Fatma pun aku tahu. Kata Abah dan Umminya, Mbak Fatma itu orangnya baik, sholeha, pintar, sabar, hadehhh pokoknya apapun yang baik-baik tentang Mbak Fatma, Ummi bicarakan kepada Mas Rizki. Padahal menurutku Mbak Fatma biasa saja, nggak cantik-cantik amat, malah jauh di bawahku. Ah, sudahlah bisa stress aku kalau mikirin orang itu terus.Aku melanjutkan menyusun rencana program kerja untuk magang nanti. Tiba-tiba ada deretan chat dari Mas A
Hari ini aku dan teman-teman yang akan magang di luar kota mengurus perizinan di pesantren. Aku dan Sahla juga sedang dalam proses mencari kontrakan secara online. Seminggu lagi, aku akan magang dan itu berlangsung dua bulan. Sungguh waktu yang cukup lama untuk menghirup udara segar. Setelah semua proses administratif beres, aku mengurus hal lain yang berkaitan dengan akomodasi untuk magang nanti. "Sahla, Lu udah lihat profil pegawai-pegawai di sana belum?" tanyaku. "Udah, keren-keren. Hampir semua pegawainya masih muda," jawabnya. "Atasan kita Bu Delta, kan? Aku lihat rekam jejaknya hampir menyamai orang yang dua kali lipat umurnya," papar Sahla. "Bu Delta itu yang mana, ya?" Aku membuka website perusahaan tempatku magang nanti.Wuihhh, cantik banget. Orang kayak gini kenapa jadi manajer, sih? Kenapa nggak jadi model saja? Gila, cantik banget. Bikin insecure."By the way beliau lagi hamil lima bulan," Sahla tahu kalau aku sedang mengamati profil Bu Delta. Namanya juga cantik, Delt
Kehidupan baruku sangat menyenangkan di kontrakan tempatku magang. Hari pertamaku juga sangat mengesankan. Aku, Sahla, dan Hilal magang di satu manajemen. Manajerku adalah perempuan perfeksionis yang sangat supel. Ia akrab dengan staf-staf manapun di perusahaan ini.Pembimbing lapanganku bernama Bu Retno, aku ditugaskan di front office sebagai resepsionist. Bu Retno mengajariku bagaimana cara mengangkat dan berbicara di telepon, menyapa tamu serta menangkap apa maksud kedatangannya, dan masih banyak hal lain.Jika di pesantren kegiatanku setiap hari monoton kuliah, mengaji, dan mengerjakan tugas maka di sini masih ada sisa waktu untuk sekedar jalan-jalan sore atau malam. Jadi aku sangat bertekad mendatangi acara launching bukunya Mbak Fatma dua minggu lagi. Rencananya aku akan naik travel dari pusat kota setelah naik ojek online. Jadi, aku tidak perlu koar-koar mengajak Sahla yang IPK oriented.Sesuai rencanaku, aku pergi ke tempat di mana launching buku itu dilaksanakan, tiket masuk
Mas Alvian tahu alamat rumah dan data diriku yang lainnya karena aku pernah mengikuti program Paket C di lembaganya. Aku benar-benar geram, ini penyalahgunaan data. Diam-diam Ia menggunakan data diriku untuk kepentingannya.Aku tidak habis pikir ada orang yang melakukan hal seperti ini padaku, jiwaku seakan hilang. Aku merasa sebagian hidupku dirampas namun aku tidak tahu secara pasti apa itu. "Falen, kok akhir-akhir ini sering jadi pendiam?" Bu Retno membicarakanku. "Mm, eng, enggak Bu," jawabku. "Mungkin Lu mau tukeran tempat, Fan? Gue yang di front office, Lu yang di ruang manajer," ujar Sahla. Hampir tiap pagi hari sebelum jam kerja mulai, Sahla mampir ke front office karena Ia sudah terlanjur nyaman ngobrol dengan Bu Retno.Aku melihat Bu Retno menyetujui usul Sahla, "Nanti saya bilang Bu Siska."Bu Siska sekretarisnya Bu Delta. Saat Sahla sudah naik ke ruang manajer, Bu Retno berbisik padaku. "Padahal Ibu milih kamu buat ditempatkan di meja resepsionist karena wajahmu memang
Kuakui faktor pendukung utama aku bisa berkuliah adalah Mas Alvian. Ia membantuku mengikuti program paket C di tempat kerjanya. Mungkin jika aku tidak bertemu Mas Alvian dan menerima tawarannya untuk ikut program paket C, hari ini aku bukan sedang mengikuti magang di perusahaan ternama. Tapi jalan hidupku begitu menjebakku. Aku dilamar oleh orang yang tidak kuharapkan sama sekali.Tiba-tiba aku rindu masa remajaku, masa di mana aku memiliki banyak pilihan, masa di mana aku meng-eksplore diriku habis-habisan hingga aku bertemu dengan Mas Rizki. Aku tahu benar pernikahan Mas Rizki dan Mbak Fatma hanyalah pernikahan perjodohan yang hanya menguntungkan pihak perempuan.Awalnya aku iseng masuk ke kelab malam sendirian dan ada ibu-ibu bercerita tentang kebutuhan. Ia menilaiku bahwa diriku kurang berani dalam berdandan, lalu Ia berkata bahwa Ia maklum. "Dandan kan butuh uang," ujarnya kala itu. Ibu-ibu yang akhirnya jadi Mommy-ku itu supel sekali pas ngobrol. Aku ketagihan berkunjung ke kela
Beberapa hari ini aku merasa sering sakit perut, padahal aku makan dengan teratur dan tidak pernah berlagak diet. Lidahku juga terasa pahit untuk merasakan makanan apapun. Semangat hidupku turun drastis semenjak aku tahu kebusukan Mas Alvian yang dibalut dengan modus-modus rapih.Mungkin gurauan Hilal benar jika aku sedang mengalami stress, tapi aku menepis semua itu. Aku harus tetap waras, cantik-cantik kok stress. Sepertinya aku berlebihan sakit hati melihat Mas Rizki sekarang bahagia dengan Mbak Fatma. Dadaku selalu sesak jika teringat mereka.Aku pulang magang dengan gontai, Sahla mengajakku jalan-jalan ke alun-alun dan menikmati matahari terbenam tapi aku tidak tergugah. Aku menuju balkon setelah turun dari ojek online, motorku masih di pesantren dan terlalu jauh untuk dibawa ke tempat magang. Tiba-tiba perutku terasa mual dan kerongkonganku semakin terasa pahit."Fan, Lu kenapa, Fan?"Aku tidak memedulikan suara itu, tanganku memegang tiang balkon erat-erat agar tidak limbung. N
Saat aku datang ke kantor, Bu Siska sedang menata berkas-berkas di meja Bu Delta, aku menyapanya dan membantunya. "Eh, Falen. Kemarin gimana?" "Alkhamdulillah lancar, Bu," jawabku. Aku menyembunyikan jika Bu Delta mengeluhkan jadwalnya untuk satu pertemuan dengan yang namanya Hannan."Makasih, ya. Ibu kemarin habis ngurusin anak Ibu khitan. Mungkin nanti juga pulang lebih awal dari biasanya," ujar Bu Siska."Oh, Ibu punya anak laki-laki?" Tanyaku berbasa-basi. Padahal tidak penting urusan itu untukku."Iya, satu. Dia anak bungsu, saya senang akhirnya bisa punya anak laki-laki, jadi lengkap. Kakak-kakaknya semua perempuan, yang sulung seumuran kamu," ujar Bu Siska. Anak perempuannya yang seumuranku pasti tidak sebobrok diriku yang sampai dikeluarkan dari sekolah. Mengetahui jika Bu Siska memiliki anak seumuran denganku, aku sedikit khawatir jika akan dibanding-bandingkan dengannya. Hal yang paling kutakuti, dibanding-bandingkan. Apalagi jika aku sudah jelas-jelas tidak sepadan dengan
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka