“Kamu benar-benar tidak perlu merasa bersalah, Sam. Kenyatannya kamu memang tidak salah. Suami Riani itu terlalu pengecut dan pencemburu. Kamu pasti tahu itu kan? Kamu gak perlu merasa terbebani,” jelas Sita di lobby rumah sakit.
Sita bersiap untuk kembali ke hotel dimana suaminya menginap. Ia memang tak bisa lama-lama untuk menjenguk keponakannya itu. Selain ia diam-diam menemui Riani, hubungan Suami Sita dengan keluarga Abhimaya memang tak bagus.
Dulu Papa Riani dan Diani yang merupakan Kakak kandung Sita, begitu membenci Suami Sita yang hanya seorang abdi negara di pulau kecil di timur Indonesia. Sita diberi pilihan untuk memilih keluarganya atau suami pilihannya. Sita memilih suami pilihannya. Hingga akhirnya, ia tak lagi dianggap sebagai keturunan Abhimaya dan tak lagi dianggap dapat menerima warisan keluarga Abhimaya.
Samudera mengambil ponselnya di atas nakas. Tangannya bergerak lincah mengetik sesuatu hingga nada sambung tanda terhubung ke nomor lain terdengar. Wajahnya terlihat dingin dengan tatapan membunuh.“Ran, gue butuh cari seseorang. nanti gue bakalan kirim datanya secepatnya.”Tak ada tanggapan lain setelah Samudera mengatakan itu. Ia segera menutup teleponnya dan berjalan menuju ke kamar mandi untuk bersiap ke kantor.Setelah siap dengan setelan formalnya, Samudera bergegas turun ke lantai satu untuk sarapan terlebih dahulu.Sesampainya di dapur, ia melihat ibunya sedang sarapan sendirian. Sepertinya Papanya telah berangkat menuju kantor.Sejujurnya Samudera masih merasa canggung untuk bertemu dengan Mamanya. Hingga
Gavin tak fokus selama rapat berlangsung karena sibuk memperhatikan anak laki-lakinya yang juga tak fokus sepanjang rapat mengenai sekolah amal yang akan mereka dirikan di Bali. Anak lelakinya fokus memperhatikan arsitek yang sedang menjelaskan tentang inovasi-inovasi tertentu yang mereka gunakan untuk bangunan sekolah itu. Walaupun nantinya sekolah ini didirikan untuk amal dan tidak memungut biaya sepeserpun, mereka juga tak ingin membuat sekolah ini asal-asalan.Putranya itu adalah orang yang sangat fokus. Tak memperhatikan rapat, berarti dia sudah mempelajari bagaimana proposal yang mereka ajukan. Tak ada pertanyaan, berarti anaknya sudah cukup puas akan hasil kerja mereka.Gavin jadi bertanya-tanya, siapa arsitek muda yang berdiri dihadapannya? Gadis dihadapannya ini memang cantik. Auranya seperti istrinya sebelum menikah, tegas dan sepertinya tak tersentuh
Samudera melepaskan sepatunya dan berjalan ke arah ranjangnya. Ia segera merebahkan tubuhnya masih dengan baju seragamnya yang tampak kusut. Satu kancingnya bahkan sudah terbuka, menampilkan sedikit dada bidangnya.Ia mencoba memejamkan matanya sebentar berharap bisa mengembalikan energi yang terkuras habis hari ini. Tak biasanya ia merasakan kelelahan yang membuat badannya terasa tak nyaman.“Sam, kalau gak ada gue nanti. Gak akan ada yang bisa jaga Diani. Makanya gue titip dia ya, Sam. Gak cuma jagain, kasih pengertian dia bahwa di dunia yang kejam ini. Masih ada cinta. Masih ada kasih sayang buat dia. Maaf kalau gue ngerepotin lo. Tapi, cuma itu yang mau gue minta tolong ke elo.”Kata-kata Riani dengan tatapan memohonnya tiba-tiba terngiang dalam benak Samudera. Setelahnya, bayangan Diani yan
*Samudera POV*Aku membuka mataku dan menemukan Ruby dalam dekapanku. Dia tidur dengan tenang semalaman. Mungkin karena kami berdua sedang sama lelahnya. Hingga posisi tidur kami tak berubah. Aku mengecup dahi Ruby sebelum memposisikan Ruby untuk tak tidur di lenganku.Saat aku sudah memposisikan Ruby dengan nyaman. Aku segera beranjak menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap bekerja. Setelah beberapa menit aku mengguyur tubuhku, aku kembali memakai baju kerjaku yang aku pakai kemarin. Tak sempat membawa baju ganti membuatku memakai yang ada saja dan menggantinya nanti di kantor.Baru saja aku selesai merapikan penampilanku, suara ketukan pintu membuatku beranjak dan membukanya.“Sam, udah mau berangkat? Ruby udah bangun belum?” tanya Kak Lian sambil melongok ke dalam kamar tamu
*Author’s POV*Diani sedang bersiap-siap saat Aleya masuk dengan terburu-buru. Ia terlihat seperti dikejar sesuatu. Hal itu membuat Diani yang sedang mempersiapkan presentasinya berhenti sejenak memperhatikan sahabatnya itu.“Ada apa, Al?” tanya Diani dengan rasa ingin tahunya.“Gue mau ngecek materi gue sebelum presentasi nanti. Pak Samudera telat, jadi dia gak bisa cek materi presentasi dia dan nyuruh gue lagi nanti yang presentasi. Ngomongnya dadakan pula,” gerutu Aleya yang hanya ditanggapi dengan kekehan Diani.Fatma tak terkejut dengan sikap ramah Diani. Namun, rekan kerja yang lain melihat Diani dan mengartikan bahwa Diani sedang cari muka pada sekertaris Samudera.“Gue duduk sebelah lo ya, Di
Samudera makin gila kerja setelah beberapa waktu ini pikirannya kacau. Dia tak lagi banyak menemui Riani kecuali di jam makan siang atau di sela-sela waktu senggangnya. Itu pun sangat jarang ia lakukan.Bahkan Samudera kadang pulang sangat larut dan pergi sangat pagi. Hal itu tentu saja membuat kedua orang tuanya khawatir. Ingin menegur pun tak bisa karena jadwal mereka yang tak bersinggungan. Satu rumah namun terasa jauh.Samudera yang terbiasa sibuk, siang itu melamun karena sebagian besar tugasnya sudah selesai. Kini ia bingung apa yang harus dilakukan. Matanya menatap kosong jalan raya yang nampak padat dari balik jendelanya.Beberapa detik kemudian jarinya sudah lincah menari diatas layar. Setelah selesai mengetikkan sesuatu, matanya tak beralih dari layar ponselnya.
Ruby yang berjalan sendiri menuju toilet lalu masuk dan mendapati toilet itu agak padat. Dia tak menyangka bahwa hari itu banyak pengunjung, karena biasanya, saat ia dan Maminya ke mall ini, toilet itu jarang seramai ini.Maminya adalah orang yang mengajari Ruby untuk mandiri jika sedang keluar dengan Omnya. Lian mengatakan pada Ruby bahwa laki-laki dan perempuan memiliki bagian privatnya masing-masing, sehingga perempuan dan laki-laki tidak bisa berada di kamar mandi atau toilet yang sama. Jika Ruby ingin ke kamar kecil, maka Ruby harus bisa menggunakan toilet sendiri. Karena apa yang diajarkan Maminya itulah, Ruby bersikukuh tak mau ke toilet dengan Omnya.Ruby kebingungan melihat begitu banyak orang. Matanya sudah hampir berair karena rasa ingin buang air kecilnya namun ruangan itu nampak padat. Tak sengaja matanya bersitatap dengan seorang perempuan cantik
“Pa–Pak Samudera. Saya ti–tidak tahu, kalau Diani ini–” Pria itu berucap terbata saat tahu siapa yang ia hadapi. Rekanan dengan nilai investasi miliaran untuk perusahaannya. Pria itu tak pernah menyangka bahwa pria yang harus dihadapi untuk mendapatkan hati Diani adalah seorang bos besar yang tak akan mampu ia lawan.“Pak Sandy. Saya harap ini terakhir kalinya anda mengusik Istri saya. Apalagi sampai membuat anak saya ketakutan. Jika sekali lagi saya–”“Pak! Saya benar-benar tidak tahu. Mari tetap melanjutkan kerjasama kita. Saya pamit dulu,” ucap pria yang ternyata bernama Sandy itu memotong ucapan Samudera. Sandy bergerak cepat dengan tangan terkepal meninggalkan ketiganya.Seingat Sandy, istri Samudera meninggal beberapa tahun lalu. Ia jelas tahu bukan D
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap