“Pa–Pak Samudera. Saya ti–tidak tahu, kalau Diani ini–” Pria itu berucap terbata saat tahu siapa yang ia hadapi. Rekanan dengan nilai investasi miliaran untuk perusahaannya. Pria itu tak pernah menyangka bahwa pria yang harus dihadapi untuk mendapatkan hati Diani adalah seorang bos besar yang tak akan mampu ia lawan.
“Pak Sandy. Saya harap ini terakhir kalinya anda mengusik Istri saya. Apalagi sampai membuat anak saya ketakutan. Jika sekali lagi saya–”
“Pak! Saya benar-benar tidak tahu. Mari tetap melanjutkan kerjasama kita. Saya pamit dulu,” ucap pria yang ternyata bernama Sandy itu memotong ucapan Samudera. Sandy bergerak cepat dengan tangan terkepal meninggalkan ketiganya.
Seingat Sandy, istri Samudera meninggal beberapa tahun lalu. Ia jelas tahu bukan D
Walaupun lehernya tak bisa menoleh sempurna, namun kini ia dapat melihat orang lain tanpa melalui ekor matanya lagi. Ia sudah bisa menggerakkan lehernya sehingga tak lagi berkomunikasi dengan tatapan kosong ke depan.Itu juga yang membuat Riani bisa menatap adiknya dan menemukan Diani tengah menatap layar ponselnya dengan serius.“Dek, kamu kenapa?” tanya Riani sambil menatap adiknya.Riani yang sejak tadi memandangi ponselnya tersentak kaget dan mengalihkan pandangannya. Matanya beradu pandang dengan Riani yang penuh tanya."Kenapa Kak?""Kamu yang kenapa? diem-diem aja. Ada masalah?"“Engghh.. Gak apa-apa Kak,” ucap Riani yang mengurungkan niatnya untuk m
Ruby berlari kecil agar bisa segera masuk ke dalam rumahnya. Bahkan sebelum Samudera turun, gadis itu sudah lebih dulu membuka seatbeltnya dan turun dengan sedikit melompat dari mobil Samudera. Samudera hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Ruby. Buru-buru ia turun dari mobilnya dan mengunci mobil. “Ruby! Jangan lari-lari, Nak!” peringat Samudera yang ngeri kalau-kalau Ruby jatuh terjerembab. “Mami!” teriak Ruby dari ruang tamu dengan suara nyaring. Lian yang awalnya menggendong anaknya dengan tenang merubah mimik wajahnya jadi kesal. Anak keduanya itu benar-benar cerminan dirinya yang tak bisa diatur dan berjiwa bebas. Padahal baru saja ia bisa menidurkan Elle, tapi Ruby sudah berteriak seperti di hutan. ia pu
"Sumpah lo deket sama cewek, Sam?! Beneran? Oh my God! Siapa itu Diani?!" Lian histeris mengetahui adiknya mengenal wanita lain dan sepertinya mereka cukup dekat untuk mengatakan itu kepada orang lain. Lian berjalan mendekat ke arah adiknya duduk.Ia mengambil kursi untuk bisa duduk disamping adiknya. Matanya berbinar menatap adik semata wayangnya itu.Lian sangat tahu, Sam bukanlah orang yang suka ikut campur masalah orang lain. Seterdesak apapun keadaannya. Mata Lian menatap takjub Samudera. Ia benar-benar tak menyangka ada perempuan yang bisa membuatnya berempati."Nanti gue kenalin. Lo gak perlu cari tahu. Kalau sampai ada yang mau ikut campur. Siapapun itu. Gue mending gak perlu kenalin lagi deh," ancam Samudera sambil memperhatikan Ruby yang masih nyaman memeluk pingguln
Langkah setengah berlari Diani, membuatnya hampir saja terjerembab. Tak ada yang lain di otaknya selain sampai secepat mungkin di kamar rawat Kakaknya. Tak peduli bagaimana penampilannya kini, ia terus saja berjalan dengan langkah lebarnya.Klak!Setelah ia membuka ruang rawat inap kakaknya. Ia melihat Riani sedang memuntahkan isi perutnya dibantu Grace yang dengan telaten memegang tempat sampah dan memijat tengkuk Riani. Tak lama setelahnya, Riani meminum air putih dan memejamkan matanya.“Di, ikut gue ke station depan ya,” ucap Grace setelah membantu menyelimuti Riani.Diani hanya menganggukkan kepalanya.Setelah Grac
Setelah Menangis beberapa saat, Diani kini terduduk dengan pandangan kosong menatap lantai ruang rawat inap itu. Ia sendiri karena Samudera pamit untuk membeli kue dan minuman.Riani yang sempat tertidur lagi setelah mendengar keluhan Diani, kini ia kembali terbangun. Matanya menatap sekeliling dan mendapati Diani sedang duduk termenung di sofa. Wajah Diani nampak pucat dan lelah dengan pandangan kosong.“Dek,” panggil Riani lirih.Diani segera mengarahkan matanya menuju Kakaknya. Ia sedikit terkejut karena sedang melamun. Tanpa Kata, Diani beranjak untuk mendekat ke ranjang Kakaknya.“Kakak butuh sesuatu? Ada yang sakit?” tanya Diani tenang.Walaupun suaranya tak terdengar sengau, ta
"Diani akan ikuti permintaan Kakak," ucap Diani diiringi dengan tawa getir yang bisa Samudera lihat dengan jelas. Wajah Diani terlihat lelah sekali di mata Samudera saat ini.Samudera terdiam untuk sesaat. Bingung, gelisah, dan seluruh perasaan aneh menghinggapi hatinya. Diani menerimanya, padahal hati Samudera masih bimbang. Sejujurnya sedari tadi Samudera hanya ingin menyemangatinya untuk mengatakan iya dulu, Sekedar menyenangkan hati Riani. walaupun tak tahu bagaimana kedepannya. Namun, setelah Diani menjawab iya, perasaannya gamang.Apa ini beneran keputusan yang tepat? Tanya Samudera dalam hati.“Sam,” panggil Riani lirih.Samudera mengalihkan pandangannya pada Riani. Ia tersenyum tipis dan mencondong
*Samudera POV*Aku bingung harus bagaimana sekarang. Menikahi Diani? Bisakah aku melakukannya disaat aku belum bisa menghilangkan jejak-jejak kenangan soal kepergian Tania dalam diriku. Belum bisa menyimpannya rapi dan mengikhlaskan semua yang terjadi.Bagaimana bisa aku menjalani pernikahan seperti ini? Tapi, sampai kapan aku akan siap menerima kejadian bertahun-tahun lalu? Apa memang cara Tuhan untukku agar menjalani hidupku lebih baik lagi?Kepalaku terasa penuh saat ini. Aku ingin menolak permintaan Riani, tapi aku tidak bisa. Aku tahu soal kenyataan bahwa dirinya memang sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Dokter sudah memvonis bahwa Riani tak akan bisa sembuh. Aku masih tetap percaya, bahwa Tak ada yang tak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.Hingga tanpa Diani sadari, aku t
Samudera memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, Samudera berjalan lesu masuk ke dalam rumah itu.Embun yang menyadari bahwa semalam putranya itu tak pulang, bergegas menghampiri. Ia melihat baju Samudera yang kusut dan terlihat agak kotor.Apa semalaman di tidur di makam? tanya Embun dalam hatinya sambil mengamati anaknya dengan seksama. Dirinya cemas seketika melihat tampilan Samudera yang begitu berantakan dengan noda tanah di beberapa bagian. Apakah pertengkaran mereka tempo lalu begitu membebani Samudera? Hubungan mereka yang begitu hangat pun kini merenggang.Apakah aku terlalu kasar padamu, Nak? ucap Embun dalam hati dengan tatapan sendunya.
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap