"Diani akan ikuti permintaan Kakak," ucap Diani diiringi dengan tawa getir yang bisa Samudera lihat dengan jelas. Wajah Diani terlihat lelah sekali di mata Samudera saat ini.
Samudera terdiam untuk sesaat. Bingung, gelisah, dan seluruh perasaan aneh menghinggapi hatinya. Diani menerimanya, padahal hati Samudera masih bimbang. Sejujurnya sedari tadi Samudera hanya ingin menyemangatinya untuk mengatakan iya dulu, Sekedar menyenangkan hati Riani. walaupun tak tahu bagaimana kedepannya. Namun, setelah Diani menjawab iya, perasaannya gamang.
Apa ini beneran keputusan yang tepat? Tanya Samudera dalam hati.
“Sam,” panggil Riani lirih.
Samudera mengalihkan pandangannya pada Riani. Ia tersenyum tipis dan mencondong
*Samudera POV*Aku bingung harus bagaimana sekarang. Menikahi Diani? Bisakah aku melakukannya disaat aku belum bisa menghilangkan jejak-jejak kenangan soal kepergian Tania dalam diriku. Belum bisa menyimpannya rapi dan mengikhlaskan semua yang terjadi.Bagaimana bisa aku menjalani pernikahan seperti ini? Tapi, sampai kapan aku akan siap menerima kejadian bertahun-tahun lalu? Apa memang cara Tuhan untukku agar menjalani hidupku lebih baik lagi?Kepalaku terasa penuh saat ini. Aku ingin menolak permintaan Riani, tapi aku tidak bisa. Aku tahu soal kenyataan bahwa dirinya memang sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Dokter sudah memvonis bahwa Riani tak akan bisa sembuh. Aku masih tetap percaya, bahwa Tak ada yang tak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.Hingga tanpa Diani sadari, aku t
Samudera memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, Samudera berjalan lesu masuk ke dalam rumah itu.Embun yang menyadari bahwa semalam putranya itu tak pulang, bergegas menghampiri. Ia melihat baju Samudera yang kusut dan terlihat agak kotor.Apa semalaman di tidur di makam? tanya Embun dalam hatinya sambil mengamati anaknya dengan seksama. Dirinya cemas seketika melihat tampilan Samudera yang begitu berantakan dengan noda tanah di beberapa bagian. Apakah pertengkaran mereka tempo lalu begitu membebani Samudera? Hubungan mereka yang begitu hangat pun kini merenggang.Apakah aku terlalu kasar padamu, Nak? ucap Embun dalam hati dengan tatapan sendunya.
Kepergian Samudera tak membuat Embun beranjak. Wanita paruh baya itu lebih memilih untuk menatap punggung anaknya yang berlalu semakin menjauh. Hatinya bimbang soal keputusan anaknya. Hingga tak terasa ia sudah bermenit-menit duduk di sofa itu dan memandangi kamar Samudera dengan segala pikiran di kepalanya.“Oma!” teriak Ruby melengking yang kemudian menabrakkan tubuhnya kepada neneknya.Embun tentu saja berjengit kaget dengan tingkah Ruby. Jantungnya sampai berdetak kencang karena tingkah Ruby.Lian hanya terkekeh geli melihat ekspresi Mamanya yang begitu kaget. Lian yang menggendong Elle segera saja duduk di sebelah Mamanya dan mencium sebelah Pipi Mamanya.“Ya ampun, Ruby. Suaranya bisa bikin Oma jantungan,” ucap Embun sambil mengurut dadanya
Samudera berjanji bahwa hari ini, ia akan membawa Mama dan Kakaknya dengan Riani. Mengingat sampai dengan saat ini, ia belum juga meminta nomor telepon Diani walaupun ia sangat ingin menghubungi wanita itu. Ia jadi tak bisa menjanjikan keluarganya untuk bertemu dengan Diani terlebih dahulu.Bagi Samudera, sebenarnya memiliki nomor Diani adalah perkara mudah. Hanya saja sebagai bentuk sopan santunnya, ia ingin meminta nomor Diani secara langsung saja. Mengingat ia dan Diani sama-sama sibuknya, hingga keduanya tak bisa bertemu lagi dari terakhir kali merek membicarakan soal Diani yang mau untuk menikah dengan dirinya.Sepanjang perjalanan yang hanya diisi oleh Samudera, Embun, dan Lian itu terasa hening. Samudera dan Embun berpikir akan seperti apa pertemuan mereka nanti, sedangkan Lian sedang memikirkan Elle yang ditinggal hanya dengan suster hari ini.
Riani yang mengabaikan tanggapan Mama Samudera soal kesembuhan, menghirup nafas banyak-banyak sebelum menolak keinginan mereka untuk Riani menjalani pengobatan di luar negeri. Selain karena itu semua sia-sia, mereka juga tak ada kewajiban untuk membantu RIani sampai sedemikian rupa."Tante, maaf sebelumnya. Tapi, saya rasa cukup buat saya dengan keluarga Tante bisa menerima Diani menjadi anggota keluarga Adnan. Saya rasa, Ini saja sudah cukup buat tubuh saya menerima semua pengobatan yang diberikan. Saya hanya tidak ingin membuat harapan palsu dengan iming-iming kesembuhan dengan persentase yang lebih besar," ucap Riani tenang."Kok lo ngomongnya gitu sih, Ri!!" ucap Samudera dengan ada tak terima. Kilatan amarahnya soal ucapan Riani tentang harapan hidup membuatnya kesal.Ia tahu bahwa harapan kesembuhan sang
Nafas Diani terengah-engah. Dadanya bergemuruh melihat pemandangan Samudera menangis di hadapannya. Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa kacau hatinya saat ini.Tanpa pertimbangan dan aba-aba. Diani membuka pintu kamar di depannya hingga hampir membantingnya. Suara benturan pintu dengan tembok itu terdengar memekakkan telinga. Membuat siapa saja yang mendengarnya pasti terkejut.“Kak!” pekik Diani lantang.Riani yang sedang menerima suapan dari wanita paruh baya di sampingnya menatap Diani dengan kebingungan. Begitu juga Embun yang terkejut dengan pekikan lantang Diani serta suara pintu yang begitu keras.“Dek? Ada apa?” tanya Riani yang kini mulai cemas, takut terjadi sesuatu dengan Diani. Jantungnya ikut bertalu dengan kencang melihat pen
Embun tak pernah menyangka ia melihat pemandangan bahwa anak lelakinya bisa bersikap menggemaskan seperti itu di hadapan wanita. Seingatnya waktu Samudera bersama dengan almarhumah menantunya dulu, Samudera adalah laki-laki yang bersikap dewasa dan tak pernah bersikap manja. Ia terlihat seperti lelaki yang selalu bisa diandalkan dan tak pernah merajuk. Ia selalu menjadi nahkoda di kapalnya.“Syukurlah, ternyata kalian memang sudah sangat akrab. Tante awalnya takut saat Samudera bilang bahwa dia akan menikah dalam waktu dekat. Apa dia hanya main-main atau memang dia–”“Pernikahan bukan main-main buat aku Ma,” potong Samudera cepat.“Melihat kalian, Mama setidaknya yakin satu hal. Ada ketertarikan diantara kalian. Meskipun waktunya singkat untuk kalian saling mengenal. Tapi, semoga
“Diani, maaf untuk semuanya yang serba mendadak. Kamu pasti kaget. Aku juga kaget waktu Mama bilang mau ngelamar kamu. Padahal kita belum bicarain ini sebelumnya,” ucap Samudera sambil menatap jauh hamparan bunga di depannya.Diani hanya mengangguk dan menghela nafas panjang.“Kamu pasti gak lupa permintaan Kakakmu beberapa hari lalu kan?” tanya Samudera ragu.Mana mungkin Diani lupa. Ia bahkan tak bisa tidur beberapa hari setelahnya. Kata-kata istri dan berumah tangga seolah berputar-putar di kepalanya.“Dia ingin kita nikah. Gimana menurutmu?”Apanya yang gimana?! Rutuk Diani dalam hati. Laki-laki dihadapannya ini terlihat sedikit kurang pintar sekarang, Padahal dihadapannya adal
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap