Nafas Diani terengah-engah. Dadanya bergemuruh melihat pemandangan Samudera menangis di hadapannya. Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa kacau hatinya saat ini.
Tanpa pertimbangan dan aba-aba. Diani membuka pintu kamar di depannya hingga hampir membantingnya. Suara benturan pintu dengan tembok itu terdengar memekakkan telinga. Membuat siapa saja yang mendengarnya pasti terkejut.
“Kak!” pekik Diani lantang.
Riani yang sedang menerima suapan dari wanita paruh baya di sampingnya menatap Diani dengan kebingungan. Begitu juga Embun yang terkejut dengan pekikan lantang Diani serta suara pintu yang begitu keras.
“Dek? Ada apa?” tanya Riani yang kini mulai cemas, takut terjadi sesuatu dengan Diani. Jantungnya ikut bertalu dengan kencang melihat pen
Embun tak pernah menyangka ia melihat pemandangan bahwa anak lelakinya bisa bersikap menggemaskan seperti itu di hadapan wanita. Seingatnya waktu Samudera bersama dengan almarhumah menantunya dulu, Samudera adalah laki-laki yang bersikap dewasa dan tak pernah bersikap manja. Ia terlihat seperti lelaki yang selalu bisa diandalkan dan tak pernah merajuk. Ia selalu menjadi nahkoda di kapalnya.“Syukurlah, ternyata kalian memang sudah sangat akrab. Tante awalnya takut saat Samudera bilang bahwa dia akan menikah dalam waktu dekat. Apa dia hanya main-main atau memang dia–”“Pernikahan bukan main-main buat aku Ma,” potong Samudera cepat.“Melihat kalian, Mama setidaknya yakin satu hal. Ada ketertarikan diantara kalian. Meskipun waktunya singkat untuk kalian saling mengenal. Tapi, semoga
“Diani, maaf untuk semuanya yang serba mendadak. Kamu pasti kaget. Aku juga kaget waktu Mama bilang mau ngelamar kamu. Padahal kita belum bicarain ini sebelumnya,” ucap Samudera sambil menatap jauh hamparan bunga di depannya.Diani hanya mengangguk dan menghela nafas panjang.“Kamu pasti gak lupa permintaan Kakakmu beberapa hari lalu kan?” tanya Samudera ragu.Mana mungkin Diani lupa. Ia bahkan tak bisa tidur beberapa hari setelahnya. Kata-kata istri dan berumah tangga seolah berputar-putar di kepalanya.“Dia ingin kita nikah. Gimana menurutmu?”Apanya yang gimana?! Rutuk Diani dalam hati. Laki-laki dihadapannya ini terlihat sedikit kurang pintar sekarang, Padahal dihadapannya adal
Gavin menatap kebun rumahnya dari balik jendela ruang kerja miliknya. Ditemani anak lelakinya yang berpakaian santai dengan kaos dan celana pendeknya. Berbeda dengan beberapa hari lalu, rambut Samudera kini sudah rapi dengan cambang dan kumis tipis miliknya yang sudah dibabat habis.Sesekali Gavin mendesah lelah mengingat jalan jodoh anak bungsunya yang begitu rumit. Gavin meneguk habis minuman di tangannya sebelum menatap putra semata wayangnya dengan pandangan tak terbaca.“Sam, kamu tahu bahwa pernikahan bukan permainan kan? Apalagi sekedar menyenangkan hati Riani,” ucap Gavin dengan nada datar, namun pandangannya cukup menyiratkan perasaan yang ada di dalamnya.Samudera tak terkejut bahwa pria di hadapannya lebih dari tahu keadaan yang terjadi. Papanya memang bagaikan orang sakti yang bisa membaca ja
Mata Embun terlihat berbinar, sedangkan Gavin, suaminya terlihat kagum melihat calon menantu perempuan mereka.“Cantik banget, Di. Mama tahu kalau kebaya ini pasti cocok banget kamu pakai,” ucap Embun dengan binar bahagia di matanya. Ia segera memeluk Diani dan kemudian bersalaman dengan Sita dan suaminya.“Jadi ini anak bungsunya Rian dan Dyanti? Nama kamu Diani? Kita pernah bertemu waktu rapat kan?” tanya Gavin dengan senyuman lembut menghiasi bibirnya. Gavin mana mungkin lupa dengan gadis yang sanggup membuat anaknya mengalihkan pandangannya tanpa berkedip.“I–iya Om..” jawab Diani yang segera mengulur tangannya untuk bisa bersalaman dengan Gavin.“Benar-benar mirip Rian saat masih muda. Kenapa baru sadar sekarang ya? Pa
Fatma memperhatikan Diani yang hari ini terlihat tak rapi. Sesekali atasannya itu terlihat menguap dan mengerjapkan matanya berulang kali seolah benar-benar menahan kantuk. Padahal kemarin hari minggu, tapi sepertinya atasannya itu tetap dalam mode bekerja.Ia akhirnya teringat akan Kakak Diani yang berada di rumah sakit. Mungkin alasan itulah yang membuat bosnya tampak sangat kelelahan.“Mbak, mau kopi?” tawar Fatma yang mulai tak tahan melihat Diani menguap untuk kesekian kalinya. Bahkan beberapa kali fatma ikut menguap.“Boleh deh fat,” ucap Diani tanpa memandang si empunya suara. Tangannya masih setia menari di atas keyboard putih komputernya.Segera saja Fatma beranjak dari kursinya menuju pantry kantor. Diani sendiri menumpukan wajahnya di k
*Diani POV* Lalu disinilah aku. Berkali-kali mematut penampilanku di cermin. Memadupadankan semua baju yang aku punya. Argh! Untuk pertama kalinya aku bodoh soal menata pakaianku. Walaupun aku bukan orang yang begitu tergila-gila dengan fashion. Tapi berpenampilan menarik menarik untuk diriku sendiri adalah ciri khasku. Kenapa aku mendadak bodoh? “Sudah sejam Diani. Sejam! Dan lo belum mutusin mau pakai baju apa?! Gue bisa telat kalau kayak gini!” Tak berapa lama aku mendengar nada pesan masuk dari ponselku. Membuatku bergegas mengeceknya Berharap rapat hari ini dibatalkan. Aku tak siap melihat Samudera sekarang! Aku merasa kacau karena kurang tidur. Kurang persiapan. Namun semua harapanku pupus saat mendapati ada nomer Kepala Tim Marke
Semua terperangah melihat Frans terjerembab ke belakang setelah pukulan Samudera berhasil menghantam pipi kiri Frans dengan kuat. Begitu juga dengan Diani yang bahkan ikut terhuyung ke belakang karena terkejut dengan gerakan cepat Samudera menumbangkan Frans.“Apa-apaan ini Pak?!” teriak Frans dengan sekuat tenaga. Amarahnya sudah di ubun-ubun, tapi ia tak bisa melampiaskan amarahnya karena ia hanya sendiri di perusahaan kliennya ini.Tanpa aba-aba, Samudera kembali mengarahkan kakinya untuk menendang Frans yang masih bergeming pada posisinya.“Pak Samudera!” Frans masih meninggikan nada suaranya dan dengan kepayahan mencoba untuk berdiri.“Apa-apaan ini Pak! Apa salah –”BR
*Diani POV*Aku bersyukur hari ini tak perlu berangkat ke kantor dan hanya perlu menuju tempat pembangunan gedung yang juga ku tangani. Aku melakukan beberapa pengecekan proyek antara aku, penanggung jawab sipil, dan mandor tentang kesesuaian pembangunan.Sepanjang perjalanan membawa mobil, beberapa kali aku tak fokus untuk menyetir. Daripada terjadi sesuatu karena jalanan yang begitu padat dan aku tak bisa berkonsentrasi. Aku akhirnya memutuskan untuk mampir di sebuah restoran siap saji dan memesan satu porsi pancake juga segelas kopi.Aku memakan pesananku sambil menikmati suasana pagi Jakarta yang selalu ramai dengan hiruk pikuk kendaraan. Tiba-tiba aku terpikirkan bagaimana besok aku akan masuk ke kantor. Aku yakin suasananya pasti chaos walaupun k
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap