Sejujurnya Angga sedikit merasa kurang cocok dengan gaya pengasuhan Tami, menurutnya perempuan itu terlalu kasar dan tidak menampakkan sisi kelembutan seorang perawat pada umumnya. Mengingat selama bertahun-tahun terakhir keluarga mereka telah mempekerjakan banyak orang dari berbagai yayasan sudah tentu Angga sedikit banyak paham bagaimana seorang pekerja harusnya menangani orang-orang dengan kondisi spesial seperti anaknya. Akan tetapi, dia juga tidak bisa berbuat banyak dikarenakan Andini telah sepenuhnya mempercayakan putra sulung mereka kepada Tami. Sebagai suami, Angga tidak mau jikalau dia tampak seperti pria kolot yang membatasi pasangannya, terlebih selama ini Andini sudah berjuang keras merawat Arjuna, dan tidak mungkin istrinya itu hendak mencelakai anak mereka.Seminggu sebelum akhirnya Tami tinggal di rumah mereka, Andini terus menerus membicarakan soal keajaiban dalam diri gadis itu. Utami telah berhasil memulihkan banyak orang, juga testimoni dari bekas kliennya. Dikataka
Dan pagi itu, ketika dia hendak menuju meja makan Angga melihat anak bungsu serta istrinya telah lebih dulu berada di sana. Juan hanya mengaduk-aduk piring, sedangkan Andini memakan nasi goreng dengan tatapan kosong. Keduanya terdiam. Tidak ada obrolan satu sama lain.“Kenapa ini?” tanya Angga sambil menarik kursi di ujung meja untuk dia duduki. “Apakah kalian sedang sakit gini?” lanjutnya mencoba memecah keheningan.Juan mendengkus. “Candaan Papa garing banget.”“Jadi, kenapa kalian semua diam?” Angga kembali bertanya, lalu membalik piring makan di depannya sebelum diisi dengan nasi goreng tanpa kecap buatan Andini. “Ini sangat tidak biasa, bukan?”“Perempuan itu menyebalkan!” ungkap Juan. “Dia bahkan belum genap sehari tinggal di sini tapi sudah berani melarangku datang ke kamar Kak Juna. Awas saja, aku akan membuat peringatan untuknya.”“Juan!” Andini memeloti putra kecilnya. “Jangan buat masalah! Kita harusnya senang karena Tami mau bekerja di rumah ini. Memangnya kamu tidak mau ka
“Nanti aku hubungi lagi.”Tami menutup pintu mobil, lalu tanpa berbalik dia melangkahkan kaki menuju gerbang rumah keluarga Anggara yang tinggi menjulang. Sebenarnya butuh keberanian baginya untuk mengambil langkah mengingat kredibilitasnya sedang dipertaruhkan. Dia telah dicaci-maki orang kemarin, karena dengan sepihak membatalkan kontrak kerja sama, untungnya Andini mau membayarkan uang ganti rugi kepada calon pasien Tami yang jatahnya diambil oleh Arjuna.Terlihat jelas betapa Andini mencintai putranya, membuat Tami terkadang sangat iri mengingat dia dan anak-anak di panti hidup tanpa genggaman orang tua. Kedatangannya pun langsung disambut oleh Andini Anggara, dia dibawa ke bangunan besar penuh pegawai rumah tangga.“Asrama ini bahkan lebih baik dari panti asuhan kami.”Pernyataan Tami tentu membuat Andini tersenyum. “Kalau begitu bukankah artinya Anda akan betah?”“Sayangnya, kalau boleh saya ingin tinggal di rumah utama,” katanya. “Maaf, Nyonya. Bukannya saya hendak lancang tetap
“Sarapannya sudah habis?”Tanpa perlu Tami menjawab, Andini sudah tahu dari banyaknya makanan sisa makanan di dalam mangkuk. Namun, sebagaimana telah dikatakan pada kontrak awal, dia memutuskan untuk diam dan tidak berkomentar sama sekali. Hanya senyuman tipis di bibir saja yang digunakan sebagai tanda bahwasa ibu tiga anak itu tidak senang dengan situasi tersebut. Lalu, dia melihat Tami menuangkan air hangat ke dalam wadah besar yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh Juna.“Tunggu! Dia akan diseka?”Tami mengangguk. “Benar, Nyonya.”“Bahkan sebelum makan?”“Dia akan makan saat lapar. Anda tenang saja,” jawab gadis berambut panjang tersebut sebelum meninggalkan dapur.Sesampai di kamar Juna, Tami justru mendapati penolakan dari Juna. Seperti biasa pria itu enggan dibersihkan, sayangnya, lagi dan lagi Tami tidak banyak menjawab dan justru membawa kembali peralatan mandi tersebut ke luar.“Kenapa?” tanya Juna. “Kenapa tidak membujukku?”Tami melebarkan senyumannya. “Buat apa?”“Lo diba
Apakah aku sudah di surga? Bintang berkelip di atas langit, membentuk pemandangan yang sangat menenangkan. Aku terbaring, dan pipiku mendadak hangat. Aku menoleh ke kanan, ada api unggun yang menyala dengan aroma ikan bakar yang manis. Aku tidak pernah tahu kalau di surga juga akan ada yang memasak ikan bakar. Aku lapar, perutku kering. Kukira, di surga semua tersedia tapi kenapa masih harus memasak? Hendak bangun, aku merasa bahuku masih sakit. “Bahkan di surga pun aku masih merasakan sakit!” gumamku. “Sialan!” Ah, bahuku sudah dibungkus menggunakan kain. Mungkinkah malaikat yang melakukannya? Gina! Apa yang harus kukatakan padanya? Dia pasti sangat bersedih karena aku sudah mati. Dengan siapa gadis itu bisa menggantungkan hidup ke depannya? Mbok Yem dan Pak Mus, siapa yang akan membiayai kehidupan mereka? “Jangan banyak gerak dulu!” Seorang pria muncul dari balik semak-semak, membuatku waspada. Tetapi begitu cahaya api menyentuh wajahnya, aku bisa memastikan bahwa aku masih h
“Mau mampir?” kataku saat sampai di depan gerbang rumah. Juna menggeleng. “Salam buat nyokap lo.” “Sebenarnya, gue tinggal di sini sama saudara gue.” “Bu Galuh nggak tinggal di sini?” Aku menggeleng. “Bunda tinggal di panti. Banyak anak yang harus diurus.” “Oh, oke! Tapi, salam ya. Sampaikan salam untuknya.” “Ya.” Kami berpisah di sini. Aku masuk ke rumah dengan masih menahan nyeri, disambut Gina yang segera mengomel perihal kondisiku. Sialan! *_* Gina memaksaku membawa luka ini ke rumah sakit. Demi kebaikanku. Dia juga melarangku keluar kamar apalagi banyak bergerak. Seolah aku benar-benar penyakitan parah. “Gue suapi!” Dia bahkan terdengar seperti perawat di panti jompo. Mau tak mau, aku menurut. Padahal hampir seumur hidup aku tak pernah dia perlakukan begini. “Omong-omong, Ben nggak ke sini lagi?” “Dia sudah dapat duit.” “Lo kasih berapa?” “Lumayan. Cukup buat dia nggak balik seminggu ke depan.” “Sialan!” umpatku. “Omong-omong, Angga ke sini?” Gina mengangguk. “D
“Gue nggak bisa datang,” ujar Tami sambil sesenggukan sambil memilah pakaian untuk dikenakan ke acara pesta. Yah, mau tidak mau dia harus merombak ulang rencana yang telah dia susun sejak semalam. Air matanya mengalir membasahi pipi kemerahannya. “Tolong bilang ke Ruben ..., gue minta maaf karena belum bisa bertemu sama dia.”“Ya ampun, Tam!” Di layar ponsel tersebut, terlihat jelas kemarahan Gina. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala tegas, seolah hendak memakan hidup-hidup pria yang sudah membuat sahabatnya menderita. “Memang ya, cowok itu keterlaluan banget. Bisa-bisanya dia berbuat kayak gini ke lo. Nggak punya empati itu orang. Bukan manusia deh kayaknya.”Tami menyeka air matanya menggunakan kaos. “Gue juga bingung, Gin.”“Memangnya nggak bisa kalau misalnya kita laporin dia ke polisi?”“Kalau saja bisa, Gin, sudah pasti sejak awal gue akan lapor polisi.” Tami mendudukkan dirinya di meja, mengambil bedak dan memoles wajahnya tipis. Dia tent
Mobil yang dikendarai oleh Juna melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta. Baik dirinya maupun Tami, tak ada satupun yang berniat membuka pembicaraan. Dan sejujurnya, Juna jauh lebih suka seperti ini. Sebab baginya, interaksi dengan Tami hanya akan membuat hubungan keduanya lebih dekat. Berteman tampaknya bukan cara yang bagus, sebab Juna bisa saja menjadi berwelas asih kepadanya nanti.Sementara itu, Tami memilih diam dan menatap lurus ke jalanan beraspal yang mereka lalui. Tampaknya, kesibukan pagi akan membuat keduanya agak terlambat. “Iya, Ma.” Juna sengaja membesarkan volume teleponnya, membiarkan sang ibu mengomel di seberang telepon. Lebih tepatnya, agar dia tak sendirian sakit telinga. “Jalanannya macet banget. Kami masih dalam perjalanan ke sana.”“Ya ampun, Juna!” Nyonya Anggara terdengar kecewa. “Tapi, kamu datang kan? Tami juga bisa datang kan?”Juna menoleh ke arah Tami, memberinya kode untuk bicara. Mau tidak mau, Tami pun akhirnya mendekatkan dirinya
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu
“Kamu serius, Mas?”Mata Tami membelalak saat menerima uang tersebut. Lebih tepatnya, tidak percaya denga napa yang dia lihat. Juna mengangguk. “Ya. Tentu saja, Tami.”“Astaga!” Tami menggeleng tegas, lalu mendorong tangan Juna dan uang itu menjauhinya. “Aku nggak bisa menerima uang ini.”“Kenapa?”“Mas, uang ini bukan hak aku,” jawab Tami. “Uang ini jelas berada di luar kontrak kita. Aku nggak mau melanggar kontrak apapun, Mas Juna.”“Tami ini bukan pelanggaran kontrak sama sekali.” Juna terkekeh, lalu menghela napas panjang. “Anggap saja ini sebagai kompensasi atas perbuatanku selama ini. Maksudku, kerja kamu bagus. Ini bonus.”Tami menggeleng kembali. “Mas, aku nggak melakukan apa-apa.”“Sayang, sarapan dulu!” Nyonya Anggara dari dalam rumah memanggil, dengan penuh semangat wanita paruh baya itu menghampiri keduanya. “Kalian sedang apa?” lanjutnya bertanya.Tami diam, tidak menjawab. Begitupun dengan Juna.“Eh, apa ini?” tanya Nyonya Anggara saat menyadari bungkusan di tangan anak
Selepas makan malam, Tami memilih untuk menemani Juna di kamar pribadinya, sebab tak ingin membuat Nyonya Anggara curiga. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Tami hanya duduk dan membaca buku-buku koleksi suaminya, sementara Juna mengerjakan tugasnya mengetik di meja kerja.Suasana di sana sangat cerah pada saat itu. Tami bisa merasakan taburan bintang di atas langit menyapanya, seolah memintanya datang. Namun, dia juga tahu bahwa semuanya tak seserhana cuaca. Dia diam-diam merasa getir karena merindukan Ruben. Yah, setelah pertengkaran mereka kemarin, Ruben bahkan tak ada usaha untuk meminta maaf. Apa-apaan ini?“Kenapa kamu murung, Tami?”Pertanyaan Juna sontak membuat perempuan itu menoleh, tidak menyangka bahwa Juna akan menanyainya. Dia kemudian menggeleng. “Saya baik-baik saja, Pak.”“Jangan bohong!” tegas Juna. “Masalahmu dengan Ruben belum selesai kah?”Tami menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Dia kayaknya nggak ada niatan bakal minta maaf,” jawab perempuan itu dengan getir
Ombak yang menggulung di hadapannya, seolah menggambarkan isi kepala Tami hari ini. Perempuan mud aitu kini terduduk di teras kamar pribadinya, di teras rumah kayu biasa dia beristirahat. Namun kali ini, dia agak terganggu oleh pemikiran aneh yang terjadi sejak kedatangan Pandu tadi. Dia tahu bahwa hubungannya dengan Juna hanyalah kepura-puraan tapi membiarkan pria itu mati rasanya Tami juga tidak tega. Dia meraih ponsel pintarnya, menimbang sebentar lalu meletakkannya kembali. Sebenarnya, dia ingin sekali menghubungi Ruben tapi rasa gengsinya datang kembali, lagi dan lagi. Apa yang bisa dia harus dia lakukan sekarang? Tami bingung, kalut.Tami mengirup napas panjang lewat hidung sebelum menghelanya pelan lewat mulut. Apa-apaan ini? Rasanya nyeri sekali. Juna menjadikannya tokoh utama dalam buku karangannya, tapi bukankah ini tidak ada dalam kontrak? Tami merasa apa yang dilakukan suaminya sudah keterlaluan tapi anehnya Tami pun tak bisa mengelak apalagi marah. Lebih tepatnya, dia t