“Gue nggak bisa datang,” ujar Tami sambil sesenggukan sambil memilah pakaian untuk dikenakan ke acara pesta. Yah, mau tidak mau dia harus merombak ulang rencana yang telah dia susun sejak semalam. Air matanya mengalir membasahi pipi kemerahannya. “Tolong bilang ke Ruben ..., gue minta maaf karena belum bisa bertemu sama dia.”“Ya ampun, Tam!” Di layar ponsel tersebut, terlihat jelas kemarahan Gina. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala tegas, seolah hendak memakan hidup-hidup pria yang sudah membuat sahabatnya menderita. “Memang ya, cowok itu keterlaluan banget. Bisa-bisanya dia berbuat kayak gini ke lo. Nggak punya empati itu orang. Bukan manusia deh kayaknya.”Tami menyeka air matanya menggunakan kaos. “Gue juga bingung, Gin.”“Memangnya nggak bisa kalau misalnya kita laporin dia ke polisi?”“Kalau saja bisa, Gin, sudah pasti sejak awal gue akan lapor polisi.” Tami mendudukkan dirinya di meja, mengambil bedak dan memoles wajahnya tipis. Dia tent
Mobil yang dikendarai oleh Juna melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta. Baik dirinya maupun Tami, tak ada satupun yang berniat membuka pembicaraan. Dan sejujurnya, Juna jauh lebih suka seperti ini. Sebab baginya, interaksi dengan Tami hanya akan membuat hubungan keduanya lebih dekat. Berteman tampaknya bukan cara yang bagus, sebab Juna bisa saja menjadi berwelas asih kepadanya nanti.Sementara itu, Tami memilih diam dan menatap lurus ke jalanan beraspal yang mereka lalui. Tampaknya, kesibukan pagi akan membuat keduanya agak terlambat. “Iya, Ma.” Juna sengaja membesarkan volume teleponnya, membiarkan sang ibu mengomel di seberang telepon. Lebih tepatnya, agar dia tak sendirian sakit telinga. “Jalanannya macet banget. Kami masih dalam perjalanan ke sana.”“Ya ampun, Juna!” Nyonya Anggara terdengar kecewa. “Tapi, kamu datang kan? Tami juga bisa datang kan?”Juna menoleh ke arah Tami, memberinya kode untuk bicara. Mau tidak mau, Tami pun akhirnya mendekatkan dirinya
Tuan Anggara telah meninggal cukup lama dan sudah seharusnya mereka tidak merayakaan hari-hari konyol semacam ini, setidaknya begitulah Arjuna menganggapnya. Meskipun kesal dengan apa yang dilakukan oleh ibunya, akan tetapi dia sama-sekali tidak keberatan. Yah, bagaimanapun juga dia hanya ingin sang mama bahagia. Sebab dia paham betapa besar cinta yang disimpan oleh Nyonya Anggara kepada mendiang suaminya. Berbeda dengan sang kakak, Anjamara memiliki pemikiran yang sama dengan ibu keduanya. Yah, meskipun kematian telah merenggut dan memisahkan keluarga ini, tetapi tidak seharusnya mereka membiarkan kenangannya hilang begitu saja. Bagaimanapun juga ayah mereka tetaplah bagian dari keluarga. “Anak kita akan menikah, Mas!” ujar Nyonya Anggara dengan lembut seolah suaminya ada di depan matanya. “Kau tahu, kekasih Juna sangat cantik. Persis seperti yang selalu kita bayangkan dahulu.”Bukannya Juna bersikap egois –seperti bagaimana yang dikatakan oleh Tami –dengan membuat cerita palsu kar
Duduk bersama dengan keluarga besar Anggara, nyatanya justru menjadi sesuatu yang sangat asing bagi Tami. Keluarga, yah, keluarga. Sebuah kenyataan yang barangkali sudah hilang darinya sejak puluhan belasan tahun lamanya. Terakhir kali dia memiliki kehangatan seperti ini, tidak lain dan tidak bukan adalah saat di mana mendiang ayahnya masih ada, sebelum pada akhirnya mati dalam timbunan sampah. Sebuah ironi dan bukan sekadar retorika semata. “Tami, mau makan ini?” Nyonya Anggara membuyarkan lamunan Tami, beliau mengambilkan lauk untuk calon menantunya tersebut. Yah, Tami bahkan belum mengisi apapun di piringnya sejak tadi. “Kamu sedang diet kah, Tami?”“Eh, tidak kok!” jawabnya kikuk. “Kok dari tadi malah bengong?” sahut Tante Sesil yang sejak tadi diam menyahut. “Atau jangan-jangan kamu tidak suka dengan makanannya ya?” Buru-buru Tami menggeleng. “Saya suka sekali, Tan.”“Terus, kenapa tidak ambil?”“Eh.”“Sudahlah, Sil!” Nyonya Anggara menyela pembicaraan adiknya dan menoleh kemb
“Tam, keluarga kamu tinggal di mana?” Pertanyaan ini menyambung dari Nyonya Anggara ketika mereka duduk berdua di halaman restoran. Para tamu telah pulang, menyisakan keluarga inti saja. Nyonya Anggara sengaja membiarkan Juna, Anjas dan Viviane menikmati pemandangan pegunungan di sana. Tangan Tami menggenggam cangkir berisi cokelat hangat. “Eh, orang tua saya sudah meninggal, Tante.”“Papa atau Mama?”“Keduanya, Tante!” jawabnya getir. “Mereka sudah meninggal saat usia saya masih kecil.”Nyonya Anggara terdiam, ada rasa empati di dalamnya. “Maaf ya,” ucapnya penuh sesal. “Mama sama sekali tidak tahu. Terus kamu sekarang tinggal dengan siapa?”Tami diam sejenak. Tentu saja dia tak mungkin jujur atas kondisinya. Mana mungkin dia bilang kalau tinggal bersama Ruben? Itulah kenapa, lagi dan lagi dia harus kembali ke buku panduan buatan Tama. “Saya tinggal di apartemen dengan paman serta bibi saya.”“Oh.” Nyonya Anggara manggut-manggut. “Jadi, kapan Mama bisa bertemu dengan mereka?” lanjut
Bukannya Juna tidak siap menjalankan rencananya, hanya saja menikahi perempuan asing meskipun dalam perjanjian adalah sesuatu yang berat. Dia mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri, tapi demi Viviane apapun akan dia lakukan. Kebahagiaan Viviane di atas segalanya. Yah, dia hanya ingin Viviane bahagia. Dia menatap hamparan laut malam itu sambil memegang buku catatan kecil untuk novel terbarunya. Yah, dia akan membuat kisah baru nantinya, tentang seseorang yang baragkali terjebak cinta terlarang atau sejenisnya. Yang jelas, Juna hanya ingin menuangkan kegelisahannya dalam bentuk sebuah karya. Luapan emosi. “Mas Juna!” “Ya, Bi.”“Makan malamnya sudah siap.”“Nanti saya ke sana.”“Kalau kelamaan sayurnya dingin, Mas.”“Saya suka sayur dingin, Mbok!”“Sejak kapan?” tanya Bi Minah serius. “Bukannya Mas Juna suka sup ayam panas?” Arjuna mau tak mau menoleh, dia menatap wanita paruh baya itu cukup lama sebelum akhirnya melontarkan sebuah pertanyaan, “Menurut Bibi, orang yang lari dari ta
Arjuna dan keluarganya berangkat bersama menggunakan mobil. Hanya Juna, Nyonya Anggara, Anjasmara dan Paman Romi lah yang datang ke acara. Ini memang hari efektif sehingga tak banyak yang bisa datang. Lagipula, Juna memang tak mau membuat repot siapapun. “Ini kan hanya lamaran bisa, Ma.” Begitulah dia bicara saat itu. Meskipun sebenarnya, sama sekali berbeda. Dia akan meminang perempuan yang tak pernah dia cintai, tidak dia kenal tapi atas persetujuan bersama. Benar-benar gila. “Kak Juna?”“Ya, Anjas?”“Kakak sudah telepon Kak Tami, bahwa kita akan tiba sebentar lagi?”Juna mengangguk. “Dia dan keluarganya sudah menunggu.”“Mama tidak sabar bertemu dengan keluarga Tami,” ujar Nyonya Anggara. “Aku juga, Mbak!” Paman Romi ikut menyahut. “Oh iya, rumahnya di apartemen Swastika kan?”“Iya, Om.”“Kawasan elit, bukan?”Juna mengangguk. “Benar.”“Orang tuanya kerja di mana?” “Dia tinggal bersama paman dan bibinya.” Juna menjawab dengan alibi, lagi. Dia menatap lurus ke jalanan yang rama
Tami duduk di antara Pak Burhan dan Bu Fitri, membiarkan dirinya dalam suasana tak nyaman dan dingin. Yah, meskipun sebenarnya dia tampil memesona, sama sekali tak merasakan demikian. Justru dia merasa bahwa kini dirinya macam badut yang dipertontonkan. Air matanya bahkan tertahan di pelupuk mata, menghasilkan rasa panas yang menyesakkan dada.“Tami?” Bu Fitri berbisik, “kamu kenapa?”“Tidak apa, Bu.”“Tahan ya.”“Baik, Bu.”“Langsung saja, Pak, Bu,” Om Romi membuka pembicaraan di tengah keheningan. “Saya selaku perwakilan dari keluarga Anggara datang kemari untuk membicarakan permasalahan serius dengan wali dari Tami. “Sebelumnya, kami sangat berterima kasih karena keluarga Tami mau menerima kedatangan saya dan keluarga di rumah yang nyaman ini. Kami juga sangat berterima kasih atas penyambutan yang kalian dan keluarga berikan.” Pak Burhan menjawab, “Terima kasih kembali kepada Bapak, Ibu dan keluarga sudah mau berkunjung ke apartemen kami yang sederhana ini.”“Sebelumnya, barangka
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu
“Kamu serius, Mas?”Mata Tami membelalak saat menerima uang tersebut. Lebih tepatnya, tidak percaya denga napa yang dia lihat. Juna mengangguk. “Ya. Tentu saja, Tami.”“Astaga!” Tami menggeleng tegas, lalu mendorong tangan Juna dan uang itu menjauhinya. “Aku nggak bisa menerima uang ini.”“Kenapa?”“Mas, uang ini bukan hak aku,” jawab Tami. “Uang ini jelas berada di luar kontrak kita. Aku nggak mau melanggar kontrak apapun, Mas Juna.”“Tami ini bukan pelanggaran kontrak sama sekali.” Juna terkekeh, lalu menghela napas panjang. “Anggap saja ini sebagai kompensasi atas perbuatanku selama ini. Maksudku, kerja kamu bagus. Ini bonus.”Tami menggeleng kembali. “Mas, aku nggak melakukan apa-apa.”“Sayang, sarapan dulu!” Nyonya Anggara dari dalam rumah memanggil, dengan penuh semangat wanita paruh baya itu menghampiri keduanya. “Kalian sedang apa?” lanjutnya bertanya.Tami diam, tidak menjawab. Begitupun dengan Juna.“Eh, apa ini?” tanya Nyonya Anggara saat menyadari bungkusan di tangan anak
Selepas makan malam, Tami memilih untuk menemani Juna di kamar pribadinya, sebab tak ingin membuat Nyonya Anggara curiga. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Tami hanya duduk dan membaca buku-buku koleksi suaminya, sementara Juna mengerjakan tugasnya mengetik di meja kerja.Suasana di sana sangat cerah pada saat itu. Tami bisa merasakan taburan bintang di atas langit menyapanya, seolah memintanya datang. Namun, dia juga tahu bahwa semuanya tak seserhana cuaca. Dia diam-diam merasa getir karena merindukan Ruben. Yah, setelah pertengkaran mereka kemarin, Ruben bahkan tak ada usaha untuk meminta maaf. Apa-apaan ini?“Kenapa kamu murung, Tami?”Pertanyaan Juna sontak membuat perempuan itu menoleh, tidak menyangka bahwa Juna akan menanyainya. Dia kemudian menggeleng. “Saya baik-baik saja, Pak.”“Jangan bohong!” tegas Juna. “Masalahmu dengan Ruben belum selesai kah?”Tami menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Dia kayaknya nggak ada niatan bakal minta maaf,” jawab perempuan itu dengan getir
Ombak yang menggulung di hadapannya, seolah menggambarkan isi kepala Tami hari ini. Perempuan mud aitu kini terduduk di teras kamar pribadinya, di teras rumah kayu biasa dia beristirahat. Namun kali ini, dia agak terganggu oleh pemikiran aneh yang terjadi sejak kedatangan Pandu tadi. Dia tahu bahwa hubungannya dengan Juna hanyalah kepura-puraan tapi membiarkan pria itu mati rasanya Tami juga tidak tega. Dia meraih ponsel pintarnya, menimbang sebentar lalu meletakkannya kembali. Sebenarnya, dia ingin sekali menghubungi Ruben tapi rasa gengsinya datang kembali, lagi dan lagi. Apa yang bisa dia harus dia lakukan sekarang? Tami bingung, kalut.Tami mengirup napas panjang lewat hidung sebelum menghelanya pelan lewat mulut. Apa-apaan ini? Rasanya nyeri sekali. Juna menjadikannya tokoh utama dalam buku karangannya, tapi bukankah ini tidak ada dalam kontrak? Tami merasa apa yang dilakukan suaminya sudah keterlaluan tapi anehnya Tami pun tak bisa mengelak apalagi marah. Lebih tepatnya, dia t