Tapi getok dulu kepalanya ... biar nyadar ...
Sambil menyesap kopinya, Reno memandang rintik hujan dari ruang makan. Duduk dengan satu tangan bersandar pada ujung meja dan memikirkan banyak hal. Salah satunya ialah, perihal pembicaraannya dengan Lita tadi malam.Apa sebenarnya yang Reno inginkan?Mengapa belakangan ini sosok Lita begitu mengusik pikirannya? Sampai-sampai, Reno melakukan beberapa hal yang dirasa tidak masuk akal. Yang terjauh adalah, Reno sampai mengaku-ngaku dirinya adalah calon suami Lita di depan Zaldy."Dah sarapan?"Suara Fathiya seketika memecah lamunan Reno. Ia menoleh pelan dan melihat sang mama duduk berseberangan dengannya."Belum." Pandangan Reno kembali beralih pada rintik hujan di luar sana. "Kemarin, aku ke rumah Lita."Fathiya hanya menarik napas panjang. Tidak berniat merespons, karena mereka pasti akan kembali berdebat. Fathiya bukannya tidak menyukai Lita, hanya tidak ingin wanita itu memiliki hubungan dengan Reno. Menurutnya, biarlah hubungan yang ada hanya seperti saat ini dan tidak berubah sa
“Aku mau ngelamar Lita.”Fathiya menghentikan saluran televisi yang ditontonnya di kamar. Menoleh pada Reno yang datang larut malam ke kamarnya dan belum mengganti pakaian. Putranya pasti baru pulang dari kantor dan langsung mendatangi Fathiya untuk membicarakan hal yang cukup mengejutkan tersebut.“Pergilah.” Fathiya melambai tangan dengan gestur mengusir Reno. “Mama nak tidur. Dah malam ni.”Bukannya pergi, Reno justru menghampiri tempat tidur Fathiya lalu duduk bersandar pada headboard. Di samping sang mama.“Gimana kalau aku ngelamar minggu depan?” tanya Reno menoleh pada sang mama yang berbaring dan menarik selimut memunggunginya. “Kalau Mama nggak bisa hadir, aku bisa bawa Dewa sama om Abraham ke rumahnya. Karena aku bisa nebak, tante Maria pasti juga nggak bisa datang.”“Kau kahwin dengan Lita, Mama pegi balik ke KL.”Reno mengambil remote teve, lalu mematikan benda elektronik yang masih menyala itu.“Itu artinya, kalau nanti aku punya anak, pasti diatur-atur sama tante Maria.”
“Kenapa nggak masuk?” tanya Dewa sambil menggendong Dewi dan menuruni tangga menghampiri Reno. Pria itu duduk di atas kap mobil sedannya di halaman rumah dan menggeleng.“Kenapa bawa Dewi?” Reno berdiri dan sedikit menjaga jarak. “Aku habis ngerokok. Kalau Rindu tahu, bisa kena amuk aku nanti.”“Bukan cuma Rindu.” Setelah berada tidak jauh dari Reno, Dewa menendang pelan betis sepupunya itu. “Tapi aku juga bisa ngamuk!”“Mana aku tahu kamu ke luar bawa Dewi,” ujar Reno membela diri.“Dia lagi manja sama papanya,” terang Dewa sambil menyingkirkan tangan mungil Dewi yang menutup mulutnya. “Jadi minta sama aku dari pulang kantor. Tapi, kamu ngapain ke sini? Tante Fathiya nggak ada di dalam.”Reno menghela dan kembali duduk di atas kap mobilnya. “Mama tetap nggak setuju sama Lita. Terus, Lita juga kayaknya nggak cinta sama aku. Dia mau diajak nikah karena butuh status untuk Tirta. Ditambah, dia juga bilang nggak ada rencana punya anak dalam waktu dekat, karena takut aku pilih kasih.”“Kamu
Tawa Lita dan Cici terhenti bersamaan, ketika melihat sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan pagar. Seorang pria paruh baya keluar lebih dulu, kemudian disusul oleh wanita dengan usia yang sama.Lita masih bergeming di teras, sampai kedua orang tersebut berjalan melewati pagar rumahnya yang terbuka setengah.“Maaf, cari siapa, ya, Pak?” tanya Lita segera beranjak menghampiri kedua orang tersebut.Baik pria dan wanita yang ditanya oleh Lita belum ada yang menjawab. Tatapan mereka justru beralih pada sosok Tirta, yang sedang berdiri sambil memegang bingkai pintu.Lita mendadak curiga. Merasa harus waspada, karena baru menyadari pria di hadapannya saat ini tampak mirip dengan seseorang.“Ci, tolong bawa anak-anak ke kamarku,” pinta Lita melihat Cici sambil mengangguk kecil. Memberi gestur tidak nyaman, agar Cici bisa memahami kondisi Lita saat ini. “Tutup pintunya. Kunci dari dalam.”Cici yang juga merasa tidak nyaman atas kedatangan tamu tidak diundang tersebut, akhirnya membawa
“Kalau dari omongannya, mereka kayaknya mau ngambil Tirta.”Lita bersyukur sekali karena orang suruhan Reno datang di saat yang tepat. Ditambah, seorang satpam juga menghampiri tidak lama kemudian untuk melerai semua perdebatan. Mau tidak mau, kedua orang tua Zaldy akhirnya mengalah dan kembali pulang tanpa bisa melihat Tirta.Sebenarnya, Lita tidak berniat bersikap jahat sama sekali. Ia bahkan tidak akan melarang jika kedua orang tua itu ingin menengok cucunya. Namun, sikap Idris dan Debbylah yang membuat Lita berang, hingga akhirnya Lita mengusir mereka dari rumah. “Bukannya mereka juga sudah punya cucu?” tanya Rindu sambil memangku Dewi yang sedang meminum susu dari botolnya. “Dua kan? Kenapa masih ngeributin Tirta?”“Mungkin ...” Tiara mencoba menebak-nebak. “Karena Tirta itu cucu laki-laki dan yang dua itu, kan, perempuan.”“Hari gini masih sibuk ngurusin gender?” Rindu memutar bola matanya, jika memang kedua orang tua Zaldy berpikiran seperti yang diungkap Tiara.Abraham dan Ma
“Mama sama Papa juga di sini?” Alin terpaku setelah membuka pintu ruang VIP di sebuah restoran. Tempat di mana Zaldy memintanya datang, untuk makan siang. Namun, Zaldy tidak mengatakan mertuanya juga ikut dalam pertemuan kali ini.Zaldy menghela besar. Andai tidak terpaksa, maka dirinya tidak akan pernah mau melakukan hal seperti ini. Daripada berakhir babak belur lagi karena ancaman seseorang, maka mau tidak mau ia meminta orang tuanya dan Alin untuk bertemu siang ini.“Duduk dulu,” pinta Zaldy menarik meja kosong di sebelahnya. “Sebentar la—”“Sudah lengkap semua.” Reno tersenyum. Berdiri di belakang Alin yang masih terpaku di tempat. Karena wanita itu belum juga bergeser, maka Reno pun menepuk pelan sisi lengan Alin. “Minggir, aku mau lewat.”Alin menoleh bingung. Mengapa pria yang ia jumpai bersama Lita ada di ruangan yang sama?“Kamu—”“Duduk,” titah Reno sambil melewati Alin, lalu duduk di salah satu kursi kosong yang berada di samping Idris.“Kenapa kita semua ada di sini?” Ali
“Ta, ada pak Reno di depan.” Tiara memberitahu sambil mengambil mengambil alih spatula dari tangan Lita. “Temui sana, biar Ibu yang ngaduk puding. Habis ini langsung ditaruh di cetakan, kan? Apa ada lapisannya lagi?”“Ibu bilang aku ada?”“Memangnya mau bilang apa?”“Aku nggak mau ketemu,” tolak Lita. “Bilang aja aku lagi tidur.”“Ibu terlanjur bilang kamu lagi bikin puding.”“Ibuuu.”“Sudahlah, Ta.” Tiara mengibaskan tangan mengusir Lita. “Masalah itu diselesaikan, bukan dihindari. Jadi, ini nanti tinggal tuang, apa gimana?”“Tinggal tuang,” jawab Lita dengan bibir merengut dan pergi meninggalkan Tiara. Karena Tirta masih tidur siang di depan teve, maka ia bisa sedikit santai. “Mau apa lagi datang ke sini?” Lita merapatkan tubuh bagian depannya dengan bingkai pintu. Melihat Reno dengan bibir yang masih saja maju.“Mau jadi kusen pintu,” jawab Reno sambil menunjuk tiang penyangga pintu yang hampir di peluk Lita. “Bisa nggak kira-kira?”“Kemarin-kemarin masih bisa, tapi sekarang nggak.
Sebelum membuka pintu kamar inap Fathiya, Reno mengacak-acak rambutnya terlebih dahulu. Menarik sedikit kemejanya dari dalam celana, agar terlihat tidak simetris dan agak berantakan. Setelahnya, Reno memasang wajah lelah lalu membuka pintu kamar Fathiya dan masuk ke dalam.Reno menyapa sang mama lebih dulu dan Lydia setelahnya, sambil terus berjalan lesu menuju sofa.“Kamu boleh pulang, Lyd,” ujar Reno sambil menghempat tubuhnya di sofa dengan menggeram. Meskipun hatinya sedang berbunga-bunga, tetapi Reno tidak boleh menunjukkannya di depan Fathiya. “Makasih buat hari ini.”“Sama-sama, Pak.”Setelah menjawab Reno, Lydia membereskan barang-barangnya lalu berpamitan pada Fathiya.“Macam penat betul?” Fathiya mencibir. Padahal, Reno tidak pergi sampai satu hari full, tetapi wajahnya sudah seperti orang yang pulang lembur. “Capek hati,” jawab Reno dengan sengaja.Fathiya mencebik lalu mematikan teve yang ditontonnya. “Mama dah telefon Rindu,” ucapnya tidak memedulikan perkataan Reno, kar
“Aban ... jangan lari di tangga!” Reno sudah melarang, tetapi bocah yang sebentar lagi berusia tiga tahun itu tidak mau mendengarnya. “Kalau jatoh kita nggak jadi ulang tahun.”“Tak jatuh pun.”Reno menarik napas mendengar jawaban Tirta yang berucap dengan logat melayu. Benar-benar mirip Fathiya jika sudah berbicara. Reno tidak heran, karena Tirta memang sering menghabiskan hari-harinya dengan Fathiya. Terlebih lagi, Fathiya benar-benar memanjakan Tirta dan selalu menuruti semua permintaan bocah tersebut. “Hati-hati turunnya,” sambar Lita yang berjalan di belakang Reno dan jauh lebih kalem ketika menghadapi sikap putranya. “Kalau jatuh yang sakit Aban, bukan Ibu tau?”“Tau ...”Reno berdecak dan berhenti di ujung tangga. “Kalau jatuh, bahaya.”Lita menepuk keras bòkong Reno sebelum berhenti di sampingnya. Ia terkekeh, karena Reno sontak melotot padanya. “Tirta sudah—”“Kalau pengen bilang,” putus Reno lalu membalas Lita dengan perlakuan yang sama, hingga Lita memekik lalu terkekeh. “K
“Mutasi?”“Kata bu Debby begitu.” Lita mengangguk untuk menjawab pertanyaan Rindu. Matanya tertuju pada Dewa dan Tirta yang sedang berlatih di dojo. Ia sebenarnya datang untuk memberikan oleh-oleh dari Malaysia dan ngobrol santai dengan Rindu. Namun, ternyata Dewa malah membawa anak-anak ke dojo di belakang rumah.Lita melihat Dewa sibuk mengajari Tirta menendang kick pad yang ada di tangan pria itu. Sementara Dewi, hanya duduk bertepuk tangan dengan tawa geli ketika melihat sepupunya berhasil menendang. Tawa kecil itu selalu pecah, seolah menikmati setiap aksi Tirta yang memang terlihat menggemaskan.Sedangkan di sisi lain, Reno tampak lebih sibuk dengan kameranya. Merekam setiap momen dengan senyum bangga di wajahnya.“Pak Zaldy dimutasi ke Denpasar, tapi naik jadi wakil dirut di sana,” sambung Lita menerangkan. “Jadi ini masih sibuk bolak balik, karena sekalian ngurus pindah sekolah anaknya sama ini itunya. Pantas aja nggak pernah ngerecokin Tirta lagi.”“Emang mau direcokin dia lag
Lita berdiri di balkon hotel, memandang ke luar dengan kekaguman. Pemandangan kota yang megah dan hiruk-pikuk kehidupan malam yang berbeda, membuatnya merasa seolah sedang bermimpi.Ia menoleh ke arah Reno, yang menghampirinya lalu memeluk dari belakang. Rasanya, setiap detik liburan yang dihabiskannya, adalah sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman pertamanya naik pesawat, hingga menjelajahi tempat-tempat baru yang menakjubkan.Mereka sempat dua hari berada di kediaman Fathiya dan sisanya Reno memilih memboyong semua anggota keluarga menginap di hotel. Semua itu dilakukan agar Lita, Tiara, maupun Fandy bisa mendapatkan pengalaman baru.Pada liburan kali ini, Radit tidak bisa ikut karena jatah cutinya dari perusahaan sudah habis. Jadi, pria itu menetap di Jakarta dan tetap menjalankan rutinitasnya seperti biasa.“Aban sudah tidur,” bisik Reno memberitahu tepat di telinga Lita. “Kapan kita tidur?”Lita terkekeh mendengar ajakan Reno. Beberapa hari ini, pria itu memang tidak meminta ja
Meskipun tidak sebesar dan semegah resepsi pernikahan Rindu, bagi Lita, acara pernikahannya memiliki keindahan dan kesempurnaan tersendiri. Dengan dekorasi sederhana nan elegan, suasana yang hangat dan penuh kasih sayang dari keluarga serta teman-teman terdekat, membuat hari itu begitu istimewa."Abang, makasih." Lita berucap pelan sambil menatap Reno, kaki-kakinya bergerak canggung saat mereka berdansa di tengah ruangan. Langkah Lita terasa kaku dan hanya berusaha mengikuti irama. Bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti ke mana langkah Reno membawanya. “Sebenarnya aku pengen nangis, tapi air matanya nggak keluar.”Reno terkekeh pelan mendengar ucapan istrinya. Entah sudah berapa kali, Lita mengucapkan kata terima kasih pada Reno, karena telah mempersiapkan sebuah resepsi pernikahan yang tidak terbayangkan. Padahal, semua ini jauh dari kata mewah seperti pernikahan Rindu, tetapi sikap Litalah yang membuat Reno benar-benar merasa sangat dihargai.“Sebenarnya, aku juga mau minta maaf ka
“Ke Malaysia?” Lita menatap Reno dengan mata membesar, jantungnya berdebar kencang. Bibir Lita bergetar, seiring rasa gugup dan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti. Masih mencoba mencerna ucapan Reno, karena tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksudnya, kita ... ke Malaysia? Aku sama Tirta ikut?”“Kita semua.” Reno mengangguk lalu menangkup wajah Lita. Namun, kedua tangannya langsung disingkirkan Tirta yang sedang berada di pangkuan Lita. “Ditambah ibu sama Fandy,” ucapnya kembali menangkup wajah Lita, tetapi tangannya kembali ditepis, sehingga Reno dengan sengaja kembali melakukan hal tersebut untuk menggoda Tirta.Lita terkekeh melihat tingkah putranya. “Cemburu dia.”“No no cemburu sama Ayah, tau.” Reno menggeleng saat memberi tahukan hal tersebut pada Tirta. “Nggak boleh! No no.”“Nana!” seru Tirta sambil geleng-geleng.“Iya, nana,” ulang Reno lalu menangkup gemas wajah gembil itu dengan kedua tangan, tetapi Tirta segera memberontak. Namun, sejurus itu Tirta justru
“Bahagia sangat Mama tengok kau setiap hari,” ucap Fathiya sambil melempar pelan sebuah bola pada Tirta, agar batita itu menendangnya. Saat bola itu luput dari tendangan Tirta, Fathiya pun tertawa. “Macam tak ada beban.”“Makasih, Ma.” Reno tidak lagi bisa berkata-kata untuk mengungkapkan kebahagiaannya. Ia merangkul Fathiya dan membiarkan Tirta bermain seorang diri di taman sembari mengawasi. “Maaf, kalau aku nekat nikahin Lita, padahal Mama nggak setuju.”“Dah terjadi, dah,” ucap Fathiya sudah tidak ingin mengungkit masa lalu. “Yang penting kau bahagia, Mama pun bahagia.”“Nggak usah ditanya.” Reno tersenyum kecil. Mengingat bagaimana cara Lita menghormati dan melayaninya. Hampir tanpa cela, karena wanita itu selalu bisa menempatkan diri dan membaca situasi hati Reno. “Aku bahagia.”“Buatkan Tirta adik kalau macam tu.”Reno tertawa kecil, kendati hatinya sedikit tercubit karena permintaan Fathiya. Bukannya tidak mau, tetapi Lita belum siap jika harus hamil lagi ketika Tirta masih but
“Bikin puding pesanan orang lagi?”Tidak menemukan istrinya ketika bangun tidur, Reno lantas segera pergi ke dapur. Tidak hanya Lita, tetapi Tirta pun sudah tidak ada di kasurnya. Padahal, hari itu adalah hari libur tetapi Lita sudah tidak ada di sampingnya ketika Reno membuka mata.“Ehh, Ayah sudah bangun.” Lita memberi senyum semanis mungkin, karena mendengar nada bicara Reno yang tampaknya tidak terlalu suka dengan kegiatan yang dilakukannya.Dengan segera, Lita mengalungkan tangan pada pinggang Reno yang berdiri di sebelahnya lalu berjinjit. Memberi satu kecupan singkat di pipi dan kembali mengaduk adonan pudingnya.“Sayang, ini masih subuh.” Reno memelankan suaranya. Melihat Tirta yang asyik sendiri di kursi makannya, dengan potongan buah pisang yang sudah tidak berbentuk. “Masih gelap, tapi kamu sudah bawa Tirta ke dapur.”“Tirta bangun waktu aku selesai mandi,” ujar Lita sambil melihat Tirta yang berada di samping kitchen island. Tidak jauh dari tempat Lita berdiri, agar lebih
“Mimi ...” Tirta berjalan sempoyongan ketika melihat Fathiya duduk di ruang tengah. Sempat terjatuh, lalu kembali bangkit dan berjalan menghampiri wanita itu.Reno yang berada di belakangnya, memang sengaja membiarkan batita itu dan tidak menolong sama sekali. Semua itu dilakukan agar Tirta tidak cengeng dan tidak putus asa untuk belajar berjalan.“Tok Umilaaa ...” Fathiya bertepuk tangan menyambut Tirta agar segera menghampirinya. “Bukan mimi.”“Lydia belum datang, Ma?” tanya Lita yang baru saja memasuki ruang tengah setelah menyibukkan diri di dapur. Sementara Tirta, sejak tadi berada bersama Reno karena pria itu sendiri yang meminta. “Sudah jam segini. Mama sudah minum obat belum.”“Dah.” Fathiya menangkap tubuh Tirta yang berhenti di depannya. Namun, batita itu tidak mau diangkat dan dipangku karena lebih memilih kembali berjalan menyusuri ruang tengah. “Hari ni Lydia izin.”“Nggak ada penggantinya?” tanya Reno sambil mengambil mobil-mobilan aki yang dibelinya, lalu meletakkan di t
“Sayangnya Ibuuu.” Lita mencium gemas pipi gembil putranya hingga berkali-kali, ketika akhirnya bertemu kembali. “Kamu nggak kangen sama Ibu, heemm.”Tirta hanya bisa terkekeh, ketika Lita menjatuhkan kecupan bertubi-tubi tanpa bisa melawan.“Ayahnya,” ujar Reno yang duduk bersila di samping Lita, setelah bersalaman dengan Fathiya dan Tiara yang duduk di sofa.Lita terkekeh setelah berhenti mencium putranya. Menatap Reno, sembari mendudukkan Tirta di pangkuannya dengan posisi yang nyaman. Belum sempat ia bicara, Tirta sudah lebih dulu berceletuk ketika melihat Reno.“Aban!”Reno buru-buru meraih tangan Tirta, kemudian menepukkan tangan mungil tersebut ke dada bayi pintar itu. “Ini Aban Tirta,” kata Reno lalu melepas tangan Tirta dan mengangkatnya ke pangkuan. “Ini Ayah.”“Aban.”“Ayah,” ujar Reno kembali meralat sambil menyapit gemas bibir mungil itu. “Pelan-pelan aja,” kata Tiara ikut merasa bahagia melihat binar ceria dari sorot mata Lita. Rasanya, satu beban yang ada di pundak Tia