Selamat membaca... 💕💕💕
‘Aku balik ke Jakarta dulu, Nenekku kritis!’Nayra melihat pesan dari Devran di ponselnya setelah dia bangun dan tidak mendapati pria itu di sampingnya.“Kenapa tidak membangunkanku?” gumam Nayra sedih.Semalam mereka masih begitu mesra dan intim, tiba-tiba paginya ditinggal begitu saja.Kenapa tidak membangunkannya, berpamitan sebagaimana mestinya dan baru balik ke Jakarta?Ada rasa kehilangan yang dirasanya seolah Devran tidak akan balik dan meninggalkannya begitu saja di sini. Nayra di serang rasa takut dan cemas.Dilihatnya lagi waktu pesan itu dikirim, itu dini hari pukul 03.00. Dia mencoba menghubungi Devran. Namun ponselnya tidak aktif. Apa masih di perjalanan?Sepanjang hari dengan pikiran yang tidak tenang, sebuah ketukan pintu terdengar.Deg!Jantungnya berdegup lagi. Kalau tidak ada Devran rasanya dia kembali diserang rasa takut. Bagaimana kalau ada orang-orang yang masih ada hubungan dengan ibu tirinya dan berusaha ingin mengganggunya?“Mbak?” suara itu menggugah Nayra.Na
“Om aku ziarah ke makam orang tuaku dulu, ya?” Nayra meminta Musa mengantar ke makam ayah bundanya.Mereka akan berangkat ke Jakarta dengan penerbangan malam ini. Jadi Nayra masih punya waktu untuk sekedar berpamitan di makam kedua orang tuanya.Sayangnya makam mereka tidak satu tempat. Sintiya yang punya kuasa saat itu untuk memberikan mandat agar ayah Nayra tidak dimakamkan di samping makan bundanya. Dengan alasan bahwa itu pesan dari ayahnya sebelum meninggal.Rasanya wanita itu sungguh tamak. Bahkan sudah meninggalpun masih juga membuat ayah dan bundanya terpisah. Padahal, toh dia tidak mencintainya. Hanya mengincar hartanya semata.Mengingat itu hati Nayra tak berhenti sakit hati.Hanya saja Mbok Mun dan Pak Parmin waktu itu menegarkannya agar mau mengikhlaskan saja. Biar proses pemakaman sang ayah berjalan cepat dan sebagaimana mestinya. Tidak terhambat hanya karena perdebatan wanita yang egois itu.Kasihan saja kalau dikematiannya sanga ayah malah tidak tenang jalannya menuju
Bugh!Nayra mencoba berdiri setelah tersungkur di lantai. Tak dipedulikan tubuhnya yang sudah lebam sana-sini akibat penyiksaan ibu dan saudari tirinya itu sejak kemarin.Mereka memang murka pada Nayra karena kabur dari pertemuan begitu sadar dirinya dijebak untuk menikahi pria tua mesum yang anaknya saja lebih tua darinya.Sayangnya, Nayra tertangkap oleh keduanya….“Kenapa kalian kejam sekali padaku?” lirih Nayra akhirnya, menahan pedih.Siapapun yang memiliki hati nurani akan kasihan padanya. Namun, ibu tirinya justru tertawa.Bahkan, saudari tirinya tiba-tiba mencengkram kuat dagu Nayra. Menatapnya tepat di kedua matanya. “Kejam? Kami justru berbaik hati padamu. Juragan itu sangat kaya dan bisa memberikanmu hidup penuh kemewahan!”“Benar, Kau seharusnya berterima kasih karena aku memilihkan jodoh yang tepat!” timpal Ibu tirinya dengan ketus, “awas saja jika kau berani kabur seperti sebelumnya.”“Tapi aku masih mau kuliah, Ma!” ujar Nayra di sisa rasa frustasinya.Dia tahu benar
“Siapa ini?!”Ketika hendak mengambil barang belanjaannya untuk dibawa ke rumah, Devran begitu terkejut ada seorang perempuan yang meringkuk di bagasi mobilnya.Bagaimana bisa ada di sana?Seketika, ahli waris keluarga Alana itu teringat bahwa dia sempat meninggalkan bagasinya terbuka saat memasukkan barang karena ayahnya menelpon.“Sial…” lirihnya tanpa sadar.Bisa-bisa, Devran disangka menculik atau berbuat buruk pada perempuan ini. Atau yang lebih parah, perempuan ini justru komplotan penipu?Tak ingin membuang waktu, Devan lantas mengguncang tubuh perempuan itu.Sayangnya ketiadaan reaksi justru membuat Devran menjadi panik.Segera, ia menoleh ke kanan dan ke kiri.Setahun di tempat ini, Devran tahu seperti apa karakter tetangganya.Meski perumahan ini terbilang modern–-setidaknya untuk ukuran kota kecil ini—mereka bukanlah orang yang berpemikiran terbuka seperti di tempat asalnya.Kemarin saja, saat bos wanita di kantor tempatnya bekerja datang dengan pakaian serba ketat ke rum
“Diam, lu. Orang baru sudah mau bikin cemar lingkungan kita!” bentaknya balik pada Devran“Sabar, sabar!” Pria yang tampak alim itu melerai ketegangan.“Ustaz Muh, masa tidak tahu tetangga samping rumahnya berbuat mesum? Jatuh lho kredibilitasnya sebagai ustaz di lingkungan ini!” teriak seorang ibu-ibu pada pria itu.“Ustaz, saya tidak...” Devran mencoba menyangkal namun tidak tahu harus berkata apa melihat mata-mata yang sudah ingin mengulitinya itu.Devran langsung menghampiri pria yang tinggal tepat di samping rumahnya itu. Yang setiap hari paling sering ditegur sapanya. Dia berharap bisa membantunya.“Nak Devran, kok bisa sampai begini?” tanya Ustaz Muh mencoba mencari keterangan.Namun melihat seorang gadis yang beringsut ketakutan, dia pun jadi ikut terpedaya ucapan warga.“Lihat wanitanya, Ustaz. Sampai lemes begitu. Pasti sudah diapa-apain sama anak Jakarta ini!” Seorang ibu-ibu kembali melontarkan ujaran.“Arak saja, ustaz. Kita adili sekalian biar tidak jadi contoh anak-anak
“Maaf, Mas. Tapi aku tadi dikejar-kejar orang jahat.” Nayra memelas pada Devran. “Ibu tiriku mau menjodohkanku dengan pria tua. Tapi, aku masih mau kuliah! Tolong aku, Mas.”Devran menghela napas. “Sudah kubilang berhentilah menangis! Mereka malah salah paham padaku nanti!”Gadis ini hanya akan menambah perkara untuknya kalau tidak berhenti menangis.“Aku mau kok jadi pembantu atau apalah itu, Mas. Tapi aku boleh ya tinggal di sini?”“Kau gila! Orang-orang di luar memintamu menikah denganku hanya karena kau berteriak-teriak tadi. Sekarang bagaimana bisa aku membiarkanmu tinggal di sini kalau kita tidak ada hubugan apa-apa?!” Devran kesal. Ucapan Nayra membuatnya kembali terpancing emosi.“Tapi aku tidak punya siapa-siapa lagi, Mas? Aku tidak tahu harus pergi kemana lagi?” isak gadis itu sambil bersimpuh di lantai.Devran tersentak, tapi dia tidak ingin terperdaya.Bisa saja gadis ini penipu atau hanya bermanipulasi saja dengan keadaan.Terlebih, dia belum keluar dari masalah ini.Seda
“Sementara, kau pilihlah kaus atau kemejaku di lemari yang pas denganmu,” tukas Devran tak banyak berpikir.“Terima kasih, Mas!” ucap Nayra mengulas senyum padanya.Kebetulan tatapan mereka beradu membuat Devran membeku.Senyum gadis itu manis juga. Batin Devran yang keluar.Menatap daun pintu yang tertutup itu dia menghela napas. Tidak mau banyak memikirkan bagaimana selanjutnya.Lebih baik lanjut selesaikan proyek yang banyak human errornya ini. Dia tidak berniat berlama-lama di kota ini.Kesal sekali, bisa-bisanya papanya malah menghukumnya dengan membuatnya bekerja di kota kecil ini.Hanya saja, Devran kali ini jadi bingung. Harus tidur di mana? Bukankah kamar sebelah masih berantakan karena banyak peralatan pekerjaannya?Jadi, Devran akhirnya tidur di sofa depan televisi. Tanpa bantal dan selimut di malam yang dingin.Merasa tidak nyaman, dia jadi repot sendiri. Berganti posisi tidur ke kanan balik lagi ke kiri. Namun tidak juga bisa tidur. Dia lupa kalau tidak bisa tidur tanpa b
“AAA!”Teriakan Nayra membuat Devran yang siaga dengan gagang payung itu terkejut balik.“Astaga! Kenapa sih kau suka sekali teriak-teriak?”Devran reflek membuang payungnya dan segera membekap mulut Naira agar tidak lagi membuat kegaduhan di lingkungan ini karena teriakannya itu.Dia baru ingat, kalau semalam sudah menikahi seorang wanita yang kini hampir digebuknya karena mengira maling.“Mas mau gebukin aku?” Nayra masih tampak ketakutan melihat Devran hampir memukulkan payung itu kepadanya.“Iyalah,” ucapnya yang membuat Nayra bertambah sedih.Melihat raut wajah takut dan tubuh yang meringsut itu Devran buru-buru menambahi, “Aku lupa kalau semalam menikahimu. Sering ada maling di sini, jadi kukira kau maling.”“Oh, enggak kok, Mas. Aku tidak mungkin...”“Hey, aku sedang tidak menuduhmu. Aku bilang kukira saja, lho!” Devran menandaskan agar Nayra tidak penuh cemas.“B-baik, Mas,” ujar Nayra mulai merasa tenang. Panik saja kalau di tempat yang dirasanya aman ini Nayra juga akan meng
“Om aku ziarah ke makam orang tuaku dulu, ya?” Nayra meminta Musa mengantar ke makam ayah bundanya.Mereka akan berangkat ke Jakarta dengan penerbangan malam ini. Jadi Nayra masih punya waktu untuk sekedar berpamitan di makam kedua orang tuanya.Sayangnya makam mereka tidak satu tempat. Sintiya yang punya kuasa saat itu untuk memberikan mandat agar ayah Nayra tidak dimakamkan di samping makan bundanya. Dengan alasan bahwa itu pesan dari ayahnya sebelum meninggal.Rasanya wanita itu sungguh tamak. Bahkan sudah meninggalpun masih juga membuat ayah dan bundanya terpisah. Padahal, toh dia tidak mencintainya. Hanya mengincar hartanya semata.Mengingat itu hati Nayra tak berhenti sakit hati.Hanya saja Mbok Mun dan Pak Parmin waktu itu menegarkannya agar mau mengikhlaskan saja. Biar proses pemakaman sang ayah berjalan cepat dan sebagaimana mestinya. Tidak terhambat hanya karena perdebatan wanita yang egois itu.Kasihan saja kalau dikematiannya sanga ayah malah tidak tenang jalannya menuju
‘Aku balik ke Jakarta dulu, Nenekku kritis!’Nayra melihat pesan dari Devran di ponselnya setelah dia bangun dan tidak mendapati pria itu di sampingnya.“Kenapa tidak membangunkanku?” gumam Nayra sedih.Semalam mereka masih begitu mesra dan intim, tiba-tiba paginya ditinggal begitu saja.Kenapa tidak membangunkannya, berpamitan sebagaimana mestinya dan baru balik ke Jakarta?Ada rasa kehilangan yang dirasanya seolah Devran tidak akan balik dan meninggalkannya begitu saja di sini. Nayra di serang rasa takut dan cemas.Dilihatnya lagi waktu pesan itu dikirim, itu dini hari pukul 03.00. Dia mencoba menghubungi Devran. Namun ponselnya tidak aktif. Apa masih di perjalanan?Sepanjang hari dengan pikiran yang tidak tenang, sebuah ketukan pintu terdengar.Deg!Jantungnya berdegup lagi. Kalau tidak ada Devran rasanya dia kembali diserang rasa takut. Bagaimana kalau ada orang-orang yang masih ada hubungan dengan ibu tirinya dan berusaha ingin mengganggunya?“Mbak?” suara itu menggugah Nayra.Na
Nayra tak mengerti. Dicium pria ini begini saja sudah menghilangkan perasaan sebalnya.Dia jadi lupa kalau tadi sudah menyepakati tidak mau disentuh Devran. Sekarang malah mengeliat sembari ta berhenti mendesah ah ih uh saja.“Enggak mau?” Devran bertanya seolah meledeknya.“Jangan ssekarang. Baru selesai makan, Mas.” Nayra beralasan.“oke, kau mau jalan-jalan dulu?” Devran menawarkan.“Enggak, Mas. Di rumah saja lihat TV. Musim hujan takut nanti kehujanan.”“Kan naik mobil?” kumat lagi kan lola gadis ini.“Eh, iya. Maksudnya nanti pas keluarnya...”Devran tak mau kembali berdebat dan merusak suasana lagi. Jadi mending menyumpal mulut Nayra dengan bibirnya saja. Nayra jadi terhanyut. Dia bahkan mulai memberikan balasan ciuaman pada Devran. “Nay, sekarang saja, ya? Sudah keras, nih!” bisik Devran.Nayra juga sudah pengen. Karenanya dia tak menolak ketika Devran menggendongnya ke kamar dan melakukan olahraga malam di sana.Maunya tadi Devran menggarap Nayra di dapur atau di sofa
Pangilan itu tidak berhenti. Tidak mungkin juga Nayra merijeknya atau malah mengangkatnya. Biar nanti Devran saja yang melakukannya. Karenanya dia melangkah ke kamar untuk memberi tahu Devran. “Mas ada telpon?” ujar Nayra pada Devran yang sedang memakai kausnya seusai membersihkan diri.“Mana?” tanyanya yang tak melihat Nayra membawa ponselnya.“Oh, aku akan ambilkan.”Baru Nayra kembali keluar untu mengambil ponsel Devran. Dengan cepat balik lagi ke kamar.Melihat layar yang menampangkan nama mamanya, Devran melirik Nayra yang masih di tempat. “Aku angkat panggilan, dulu,” tukas Devran.Nayra hanya mengangguk namun tak beranjak.“Aku harus angkat panggilan dulu, Nay. Keluarlah dulu!” Devran kembali mengingatkan Nayra. Membuat gadis itu tersentak. “Oh. Iya, Mas. Maaf!”Nayra baru menyadari Devran belum mau dia mengetahui banyak hal tentang urusannya. Padahal tadinya dia juga ingin sedikit tahu tentang keluarga pria itu dari obrolannya dengan sang mama.“Oh. Apa aku terlalu ke
“Kesehatan Nyonya Renata mulai menurun, jadi tuan membawanya ke rumah.” Musa menceritakan tentang kabar keluarga di Jakarta pada Devran.“Nenek sakit?” Devran terkejut. Sudah lama juga dia tidak mengunjungi neneknya yang memilih tinggal di Edinburgh karena makam sang kakek juga ada di kota itu. “Benar, Mas. Nyonya Tamara juga sudah menanyakan padaku tentang pekerjaan Mas di sini. Sudah saya sampaikan akan segera selesai.”Devran menghela napas. Padahal beberapa waktu yang lalu dia sudah mulai jemu tinggal di kota kecil ini. Jauh dari bandara dan juga mall besar. Sudah pengen kelarin proyeknya saja dan balik ke Jakarta lagi.Tapi, entah mengapa sekarang perasaannya berat sekali harus balik ke kota yang setahun lalu sudah menjadi saksi berakhirnya kisah cintanya itu.“Kenapa, Mas?” Musa bertanya karena melihat wajah gelisah sang tuan muda.“Tidak apa, Om.” Devran tak mengakui apapun.“Bukankah sebelum ini Mas sering protes ingin segera balik ke Jakarta?” Mussa mengingatkan. Dia pas
“Om mau ngurus apa? Kok ada namaku?” Nayra langsung menanyakan hal itu pada Musa.“Ah, itu Mbak. Perkara Ibu dan saudara tiri, Mbak. Mereka sekarang kan harus menjalani sidang di pengadilan.”“Oh?” Nayra baru tahu kalau dua wanita itu benar-benar harus menghadapi jalur hukum saat ini. “Lalu bagaimana, Om?” Nayra jadi penasaran.“Tenang saja, Mbak. Mas Devran akan mengurus semuanya. Nanti kalau sudah selesai akan saya kasih tahu kok keputusannya. Termasuk tentang rumah dan beberapa aset keluarga mbak yang diakui wanita itu.”Nayra jadi resah membahas lagi tentang dua wanita itu. Sekarang dia sudah hidup tenang. Dia tidak ingin apapun lagi.Kalau pun dua wanita itu mau menguasai harta keluarganya, biar saja mereka ambil.Nayra cemas, suatu saat mereka masih akan tetap mengusiknya kalau harta itu diambilnya.“Kalau mereka mau menguasai, biar mereka ambil saja, Om. Saya tidak masalah kok. Dari pada malah tidak kelar-kelar urusan saya dengan mereka.”Musa yang mendengarnya mengherankan ba
Padahal mereka sudah setiap hari melakukan pemanasan, tapi kenapa Nayra masih tegang begini?Mungkin faktor ketidak siapan sementara gadis itu tidak punya keberanian menolaknya, yang membuatnya merasakan demikian.Bahkan sudah sejak tadi berulang kali mencuci tangannya di wastafel tapi belum juga beranjak.“Nay?” panggilan Devran dari luar pintu kamar mandi.“I-iya, Mas. Sebentar!” teriak balik Nayra.Dia tadi beralasan mau mandi dulu biar tubuhnya tidak lengket. Sekarang Pria itu sudah berteriak menunggunya. Pasti merasa Nayra kelamaan.Nayra menghela napas panjang lalu memantapkan tekadnya untuk melangkah keluar.Melihat gadis itu keluar kamar mandi hanya melilitkan kain pantai di tubuhnya, Devran yang sudah menyiapkan dirinya dalam kondisi optimal, kini meneguk salivanya.Nayra cantik sekali. Ibarat buah, Nayra sedang ranum-ranumnya. Tubuhnya bugar dan berisi di proporsi yang pas. Kulitnya putih, kencang dan terawat dengan baik.Dan yang pasti, Devran tidak pernah memahami menga
“Mas, ini ponsel?”Nayra keluar sembari menenteng ponsel yang sudah langsung bisa diaktifkan itu.Padahal, kemarin-kemarin dia sudah menolak kala Devran mengatakan akan membelikannya ponsel.Nayra merasa tidak butuh benda itu saat ini. Tidak ada juga yang akan dia hubungi.Dia mengalami krisis kepercayaan hubungan dengan orang lain pasca papanya meninggal dan diisukan terjerat kasus korupsi.“Bukan. Itu bola!” jawab Devran kesal.Mana ada gadis sebesar dia masih tidak tahu itu apa? Kenapa masih juga bertanya?“Mas Devran, ah. Kan sudah aku bilang, gak perlu juga beliin ponsel. Buat hubungi siapa juga?”“Buat aku bisa hubungi kamu. Jaman apa sih kamu enggak mau pakai ponsel?” Devran tak mengerti dengan gadis ingusan ini. Masih juga menolak untuk pegang ponsel. Padahal dia juga tentu butuh menghubunginya sewaktu-waktu kalau ada sesuatu.Seperti waktu itu ketika Nayra tiba-tiba menghilang, kalau ada ponsel kan Devran bisa melacak keberadaannya dan bisa menghubunginya. ”Ya udah, deh,
“Emmmm, asin sekali....” Nayra langsung bangkit dan berlari ke wastafel untuk memuntahkan makanan yang sudah dimasukkan ke mulutnya. Begitu mendongak dia melihat Devran dari cermin di depannya. Sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajamnya. “Kalau lidahmu saja keasinan, menurutmu bagaimana lidahku?” “I-iya, maaf. Aku masakin lagi, deh!” Nayra membalikan tubuhnya menghadap Devran. Menampakan rasa bersalahnya. Sebenarnya bukan rasa bersalah, tapi lebih ke rasa takut diapa-apain pria ini. “Enak saja minta maaf. Semua ada kompensasinya.” “Kompensasi?” Nayra bingung. Melihat Devran yang berjalan semakin mendekatinya dia sudah bersiap menahan dada pria itu dengan kedua tangannya. “Stop mau apa?” Nayra tidak suka kembali dicumbu pria ini. Dia sudah bermesraan dengan wanita lain di kantor tadi. Apa belum cukup? Jangan-jangan pria ini maniak seks. Nayra jadi takut. Apalagi sebenarnya Devran adalah putra pemilik perusahaan besar. Mereka pasti kaya raya dan sangat berkuasa. Bias