Nayra baru sadar kalau ponsel Devran tertinggal saat mendengar suara deringan dari benda itu.Mungkin masih di luar karena belum terlalu lama keluarnya. Jadi, Nayra mengambil benda itu dan melangkah dengan cepat untuk menyusul Devran.Namun sepertinya Devran sudah tidak ada.Sementara ponsel itu belum juga berhenti berdering.Siapa Arini? Apa teman kantornya?Nayra tidak mau tahu. Dia mau melanjutkan memasak lagi. Namun suara deringan ponsel itu masih juga terdengar. Sungguh sangat mengusiknya.“Aku angkat saja, deh. Nanti tinggal bilang sama Mas Devran.”Lalu ketika diangkatnya, Nayra mendengar suara lembut dari seberang sana.Deg! “Hallo, Dev. Maaf pagi-pagi udah nelpon. Tidak perlu sarapan di rumah, ya. Berangkat ke kantornya pagi-pagi kita bahas proyek kamu yang hampir selesai.”Oh. Urusan kantor. Nayra tanpa sadar menghela lega.“Maaf, Mas Devrannya sedang jogging. Nanti akan saya sampaikan.” Nayra menjawabnya.“Eh, bentar. Ini siapa?” suara dari seberang tampak heran.Sayang
“Tidak perlu semurahan ini. Aku bukan pria yang bisa menyenangkanmu!”Devran melepaskan rangkulan Arini dan mendorong wanita itu dengan sebal.“Hah, dasar kau ini. Aku jadi curiga, jangan-jangan kau tidak normal!”Arini yang untuk kesekian kalinya ditolak Devran merasa kesal. Tidak kurang dia menggodanya sepanjang waktu tapi pria itu benar-benar tak meresponnya.Bahkan pernah saat itu dia sengaja memberikan suplemen pria dewasa pada Devran. Ternyata Devran terlihat biasa-biasa saja.Kalau benar orientasi seksualnya sudah berubah, usahanya selama hampir setahun ini sia-sia belaka.“Anggap saja begitu. Jadi mending kau keluarlah dan urusi pekerjaanmu. Aku masih banyak kerjaan!”Devran meminta wanita itu keluar dari ruangannya. Hanya dia yang berani melakukannya pada pimpinan perusahaan cabang itu.“Jangan nglunjak. Kau tidak lupa kalau aku ini bosmu?!”Arini merasa pegawainya ini benar-benar kelewatan. Dia sudah dibilang murahan dan harga dirinya jatuh karena berulang kali ditolak. S
“Tapi, aku memberinya saran agar melakukannya setelah mengenalkan Mbak Nayra ke keluarganya. Tidak mungkin keluarga Alana tidak mengadakan pesta pernikahan putra tunggalnya itu. Makanya, sekarang anggap saja pacaran dulu. Pacaran tapi sudah halal.”Musa terkekeh menyampaikan hal itu. sayangnya Nayra malah tampak gelisah dan gugup. Nayra hanya gugup mendengar kata keluarga. Terbayang, bagaimana kalau mereka tidak menyukainya?Ah. Kenapa belum apa-apa dia sudah berpikir yang jauh.“Tapi...”Nayra teringat kembali tentang kejadian di ruangan Devran tadi. Maunya meminta penjelasan tentang hal itu pada Musa yang katanya mengenal betul Devran.Namun, tidak jadi karena melihat Devran sudah berjalan mendekati mereka. “Eh, Mas Devran sudah selesai kerjanya?” Musa menoleh ke arah Devran yang baru datang.“Ya, Om. Ayo, Nay. Ikut aku!” Devran langsung menarik lengan Nayra mengikutinya keluar.Musa melihat mereka sembari tersenyum kecil dan geleng-geleng.Ada rasa sumringah sebenarnya yang mu
“Emmmm, asin sekali....” Nayra langsung bangkit dan berlari ke wastafel untuk memuntahkan makanan yang sudah dimasukkan ke mulutnya. Begitu mendongak dia melihat Devran dari cermin di depannya. Sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajamnya. “Kalau lidahmu saja keasinan, menurutmu bagaimana lidahku?” “I-iya, maaf. Aku masakin lagi, deh!” Nayra membalikan tubuhnya menghadap Devran. Menampakan rasa bersalahnya. Sebenarnya bukan rasa bersalah, tapi lebih ke rasa takut diapa-apain pria ini. “Enak saja minta maaf. Semua ada kompensasinya.” “Kompensasi?” Nayra bingung. Melihat Devran yang berjalan semakin mendekatinya dia sudah bersiap menahan dada pria itu dengan kedua tangannya. “Stop mau apa?” Nayra tidak suka kembali dicumbu pria ini. Dia sudah bermesraan dengan wanita lain di kantor tadi. Apa belum cukup? Jangan-jangan pria ini maniak seks. Nayra jadi takut. Apalagi sebenarnya Devran adalah putra pemilik perusahaan besar. Mereka pasti kaya raya dan sangat berkuasa. Bias
“Mas, ini ponsel?”Nayra keluar sembari menenteng ponsel yang sudah langsung bisa diaktifkan itu.Padahal, kemarin-kemarin dia sudah menolak kala Devran mengatakan akan membelikannya ponsel.Nayra merasa tidak butuh benda itu saat ini. Tidak ada juga yang akan dia hubungi.Dia mengalami krisis kepercayaan hubungan dengan orang lain pasca papanya meninggal dan diisukan terjerat kasus korupsi.“Bukan. Itu bola!” jawab Devran kesal.Mana ada gadis sebesar dia masih tidak tahu itu apa? Kenapa masih juga bertanya?“Mas Devran, ah. Kan sudah aku bilang, gak perlu juga beliin ponsel. Buat hubungi siapa juga?”“Buat aku bisa hubungi kamu. Jaman apa sih kamu enggak mau pakai ponsel?” Devran tak mengerti dengan gadis ingusan ini. Masih juga menolak untuk pegang ponsel. Padahal dia juga tentu butuh menghubunginya sewaktu-waktu kalau ada sesuatu.Seperti waktu itu ketika Nayra tiba-tiba menghilang, kalau ada ponsel kan Devran bisa melacak keberadaannya dan bisa menghubunginya. ”Ya udah, deh,
Padahal mereka sudah setiap hari melakukan pemanasan, tapi kenapa Nayra masih tegang begini?Mungkin faktor ketidak siapan sementara gadis itu tidak punya keberanian menolaknya, yang membuatnya merasakan demikian.Bahkan sudah sejak tadi berulang kali mencuci tangannya di wastafel tapi belum juga beranjak.“Nay?” panggilan Devran dari luar pintu kamar mandi.“I-iya, Mas. Sebentar!” teriak balik Nayra.Dia tadi beralasan mau mandi dulu biar tubuhnya tidak lengket. Sekarang Pria itu sudah berteriak menunggunya. Pasti merasa Nayra kelamaan.Nayra menghela napas panjang lalu memantapkan tekadnya untuk melangkah keluar.Melihat gadis itu keluar kamar mandi hanya melilitkan kain pantai di tubuhnya, Devran yang sudah menyiapkan dirinya dalam kondisi optimal, kini meneguk salivanya.Nayra cantik sekali. Ibarat buah, Nayra sedang ranum-ranumnya. Tubuhnya bugar dan berisi di proporsi yang pas. Kulitnya putih, kencang dan terawat dengan baik.Dan yang pasti, Devran tidak pernah memahami menga
“Om mau ngurus apa? Kok ada namaku?” Nayra langsung menanyakan hal itu pada Musa.“Ah, itu Mbak. Perkara Ibu dan saudara tiri, Mbak. Mereka sekarang kan harus menjalani sidang di pengadilan.”“Oh?” Nayra baru tahu kalau dua wanita itu benar-benar harus menghadapi jalur hukum saat ini. “Lalu bagaimana, Om?” Nayra jadi penasaran.“Tenang saja, Mbak. Mas Devran akan mengurus semuanya. Nanti kalau sudah selesai akan saya kasih tahu kok keputusannya. Termasuk tentang rumah dan beberapa aset keluarga mbak yang diakui wanita itu.”Nayra jadi resah membahas lagi tentang dua wanita itu. Sekarang dia sudah hidup tenang. Dia tidak ingin apapun lagi.Kalau pun dua wanita itu mau menguasai harta keluarganya, biar saja mereka ambil.Nayra cemas, suatu saat mereka masih akan tetap mengusiknya kalau harta itu diambilnya.“Kalau mereka mau menguasai, biar mereka ambil saja, Om. Saya tidak masalah kok. Dari pada malah tidak kelar-kelar urusan saya dengan mereka.”Musa yang mendengarnya mengherankan ba
Bugh!Nayra mencoba berdiri setelah tersungkur di lantai. Tak dipedulikan tubuhnya yang sudah lebam sana-sini akibat penyiksaan ibu dan saudari tirinya itu sejak kemarin.Mereka memang murka pada Nayra karena kabur dari pertemuan begitu sadar dirinya dijebak untuk menikahi pria tua mesum yang anaknya saja lebih tua darinya.Sayangnya, Nayra tertangkap oleh keduanya….“Kenapa kalian kejam sekali padaku?” lirih Nayra akhirnya, menahan pedih.Siapapun yang memiliki hati nurani akan kasihan padanya. Namun, ibu tirinya justru tertawa.Bahkan, saudari tirinya tiba-tiba mencengkram kuat dagu Nayra. Menatapnya tepat di kedua matanya. “Kejam? Kami justru berbaik hati padamu. Juragan itu sangat kaya dan bisa memberikanmu hidup penuh kemewahan!”“Benar, Kau seharusnya berterima kasih karena aku memilihkan jodoh yang tepat!” timpal Ibu tirinya dengan ketus, “awas saja jika kau berani kabur seperti sebelumnya.”“Tapi aku masih mau kuliah, Ma!” ujar Nayra di sisa rasa frustasinya.Dia tahu benar
“Om mau ngurus apa? Kok ada namaku?” Nayra langsung menanyakan hal itu pada Musa.“Ah, itu Mbak. Perkara Ibu dan saudara tiri, Mbak. Mereka sekarang kan harus menjalani sidang di pengadilan.”“Oh?” Nayra baru tahu kalau dua wanita itu benar-benar harus menghadapi jalur hukum saat ini. “Lalu bagaimana, Om?” Nayra jadi penasaran.“Tenang saja, Mbak. Mas Devran akan mengurus semuanya. Nanti kalau sudah selesai akan saya kasih tahu kok keputusannya. Termasuk tentang rumah dan beberapa aset keluarga mbak yang diakui wanita itu.”Nayra jadi resah membahas lagi tentang dua wanita itu. Sekarang dia sudah hidup tenang. Dia tidak ingin apapun lagi.Kalau pun dua wanita itu mau menguasai harta keluarganya, biar saja mereka ambil.Nayra cemas, suatu saat mereka masih akan tetap mengusiknya kalau harta itu diambilnya.“Kalau mereka mau menguasai, biar mereka ambil saja, Om. Saya tidak masalah kok. Dari pada malah tidak kelar-kelar urusan saya dengan mereka.”Musa yang mendengarnya mengherankan ba
Padahal mereka sudah setiap hari melakukan pemanasan, tapi kenapa Nayra masih tegang begini?Mungkin faktor ketidak siapan sementara gadis itu tidak punya keberanian menolaknya, yang membuatnya merasakan demikian.Bahkan sudah sejak tadi berulang kali mencuci tangannya di wastafel tapi belum juga beranjak.“Nay?” panggilan Devran dari luar pintu kamar mandi.“I-iya, Mas. Sebentar!” teriak balik Nayra.Dia tadi beralasan mau mandi dulu biar tubuhnya tidak lengket. Sekarang Pria itu sudah berteriak menunggunya. Pasti merasa Nayra kelamaan.Nayra menghela napas panjang lalu memantapkan tekadnya untuk melangkah keluar.Melihat gadis itu keluar kamar mandi hanya melilitkan kain pantai di tubuhnya, Devran yang sudah menyiapkan dirinya dalam kondisi optimal, kini meneguk salivanya.Nayra cantik sekali. Ibarat buah, Nayra sedang ranum-ranumnya. Tubuhnya bugar dan berisi di proporsi yang pas. Kulitnya putih, kencang dan terawat dengan baik.Dan yang pasti, Devran tidak pernah memahami menga
“Mas, ini ponsel?”Nayra keluar sembari menenteng ponsel yang sudah langsung bisa diaktifkan itu.Padahal, kemarin-kemarin dia sudah menolak kala Devran mengatakan akan membelikannya ponsel.Nayra merasa tidak butuh benda itu saat ini. Tidak ada juga yang akan dia hubungi.Dia mengalami krisis kepercayaan hubungan dengan orang lain pasca papanya meninggal dan diisukan terjerat kasus korupsi.“Bukan. Itu bola!” jawab Devran kesal.Mana ada gadis sebesar dia masih tidak tahu itu apa? Kenapa masih juga bertanya?“Mas Devran, ah. Kan sudah aku bilang, gak perlu juga beliin ponsel. Buat hubungi siapa juga?”“Buat aku bisa hubungi kamu. Jaman apa sih kamu enggak mau pakai ponsel?” Devran tak mengerti dengan gadis ingusan ini. Masih juga menolak untuk pegang ponsel. Padahal dia juga tentu butuh menghubunginya sewaktu-waktu kalau ada sesuatu.Seperti waktu itu ketika Nayra tiba-tiba menghilang, kalau ada ponsel kan Devran bisa melacak keberadaannya dan bisa menghubunginya. ”Ya udah, deh,
“Emmmm, asin sekali....” Nayra langsung bangkit dan berlari ke wastafel untuk memuntahkan makanan yang sudah dimasukkan ke mulutnya. Begitu mendongak dia melihat Devran dari cermin di depannya. Sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajamnya. “Kalau lidahmu saja keasinan, menurutmu bagaimana lidahku?” “I-iya, maaf. Aku masakin lagi, deh!” Nayra membalikan tubuhnya menghadap Devran. Menampakan rasa bersalahnya. Sebenarnya bukan rasa bersalah, tapi lebih ke rasa takut diapa-apain pria ini. “Enak saja minta maaf. Semua ada kompensasinya.” “Kompensasi?” Nayra bingung. Melihat Devran yang berjalan semakin mendekatinya dia sudah bersiap menahan dada pria itu dengan kedua tangannya. “Stop mau apa?” Nayra tidak suka kembali dicumbu pria ini. Dia sudah bermesraan dengan wanita lain di kantor tadi. Apa belum cukup? Jangan-jangan pria ini maniak seks. Nayra jadi takut. Apalagi sebenarnya Devran adalah putra pemilik perusahaan besar. Mereka pasti kaya raya dan sangat berkuasa. Bias
“Tapi, aku memberinya saran agar melakukannya setelah mengenalkan Mbak Nayra ke keluarganya. Tidak mungkin keluarga Alana tidak mengadakan pesta pernikahan putra tunggalnya itu. Makanya, sekarang anggap saja pacaran dulu. Pacaran tapi sudah halal.”Musa terkekeh menyampaikan hal itu. sayangnya Nayra malah tampak gelisah dan gugup. Nayra hanya gugup mendengar kata keluarga. Terbayang, bagaimana kalau mereka tidak menyukainya?Ah. Kenapa belum apa-apa dia sudah berpikir yang jauh.“Tapi...”Nayra teringat kembali tentang kejadian di ruangan Devran tadi. Maunya meminta penjelasan tentang hal itu pada Musa yang katanya mengenal betul Devran.Namun, tidak jadi karena melihat Devran sudah berjalan mendekati mereka. “Eh, Mas Devran sudah selesai kerjanya?” Musa menoleh ke arah Devran yang baru datang.“Ya, Om. Ayo, Nay. Ikut aku!” Devran langsung menarik lengan Nayra mengikutinya keluar.Musa melihat mereka sembari tersenyum kecil dan geleng-geleng.Ada rasa sumringah sebenarnya yang mu
“Tidak perlu semurahan ini. Aku bukan pria yang bisa menyenangkanmu!”Devran melepaskan rangkulan Arini dan mendorong wanita itu dengan sebal.“Hah, dasar kau ini. Aku jadi curiga, jangan-jangan kau tidak normal!”Arini yang untuk kesekian kalinya ditolak Devran merasa kesal. Tidak kurang dia menggodanya sepanjang waktu tapi pria itu benar-benar tak meresponnya.Bahkan pernah saat itu dia sengaja memberikan suplemen pria dewasa pada Devran. Ternyata Devran terlihat biasa-biasa saja.Kalau benar orientasi seksualnya sudah berubah, usahanya selama hampir setahun ini sia-sia belaka.“Anggap saja begitu. Jadi mending kau keluarlah dan urusi pekerjaanmu. Aku masih banyak kerjaan!”Devran meminta wanita itu keluar dari ruangannya. Hanya dia yang berani melakukannya pada pimpinan perusahaan cabang itu.“Jangan nglunjak. Kau tidak lupa kalau aku ini bosmu?!”Arini merasa pegawainya ini benar-benar kelewatan. Dia sudah dibilang murahan dan harga dirinya jatuh karena berulang kali ditolak. S
Nayra baru sadar kalau ponsel Devran tertinggal saat mendengar suara deringan dari benda itu.Mungkin masih di luar karena belum terlalu lama keluarnya. Jadi, Nayra mengambil benda itu dan melangkah dengan cepat untuk menyusul Devran.Namun sepertinya Devran sudah tidak ada.Sementara ponsel itu belum juga berhenti berdering.Siapa Arini? Apa teman kantornya?Nayra tidak mau tahu. Dia mau melanjutkan memasak lagi. Namun suara deringan ponsel itu masih juga terdengar. Sungguh sangat mengusiknya.“Aku angkat saja, deh. Nanti tinggal bilang sama Mas Devran.”Lalu ketika diangkatnya, Nayra mendengar suara lembut dari seberang sana.Deg! “Hallo, Dev. Maaf pagi-pagi udah nelpon. Tidak perlu sarapan di rumah, ya. Berangkat ke kantornya pagi-pagi kita bahas proyek kamu yang hampir selesai.”Oh. Urusan kantor. Nayra tanpa sadar menghela lega.“Maaf, Mas Devrannya sedang jogging. Nanti akan saya sampaikan.” Nayra menjawabnya.“Eh, bentar. Ini siapa?” suara dari seberang tampak heran.Sayang
Tengah malam Nayra keluar kamar karena merasa haus. Air minum dalam botolnya sudah habis dan dia lupa belum mengisinya.Saat membuka pintu tidak tahunya Devran masih berjibaku dengan pekerjaannya di ruang tengah.Melihat Nayra keluar dengan hanya memakai daster tali sedangkan tidak memakai apapun lagi di dalamnya. Mata pria itu nyalang.“Mau apa?” tanyanya pada gadis itu. Pasti tidak sadar tidak memakai kimononya saat keluar.“Mau ambil minum, Mas.” ujarnya lempeng dan berjalan ke arah galon untuk mengisi botolnya.Devran memperhatikan gerak-gerik gadis itu, lalu menghela napas.Bahu dan punggungnya terekspos saat rambut panjang yang tergerai itu melorot ke samping ketika Nayra membungkuk mengisi air.Belum lagi posisi yang seperti itu benar-benar secara tidak langsung menerbitkan pikiran yang tidak-tidak saja di kepala pria jablai ini.Gadis ini benar-benar mengujinya. Padahal dia sendiri yang tidak mau dimacam-macamin Devran.“Ambilkan juga aku segelas minuman.” Devran akhirnya tid
“Yang ini lebih gemoy dan empuk. Rasanya lebih enak.”Nayra menyodorkan bakpao pada Devran saat mereka memutuskan berjalan-jalan sebentar di sekitar vila.“Enggak ada bedanya, sama saja!” Devran melahap makanan itu ke dalam mulutnya.“Itu karena mas kurang menikmati esensi rasa sebuah makanan. Padahal, dari harganya saja sudah beda. Bahan pembuatnya pun beda. Tidak mungkin kalau rasanya sama.” Nayra mencebik melirik pria yang melahap makanan itu. Sama makanan juga dia jutek abis.“Tidak perlu diperdebatkan. Lidahku dan lidahmu beda. Jadi jangan memakasakan pendapat dari sudut pandangmu.” “Ya, deh. Terserah!” Nayra memutar bola matanya, tak mau mempersoalkan lagi. Perkara bakpao doang kenapa bahasnya jadi dalam begitu.Mungkin karena sembari menggerutu dalam hati, saat makan Nayra sampai seret di tenggorokan hingga membuatnya cegukan.Devran langsung bangkit dan membelikan air mineral untuknya. Membukakan tutup botol itu dan membantunya minum.Perasaan Nayra terasa hangat mendapat pe