Nayra sudah memejamkan matanya karena merasa Devran akan menciumnya. Posisi wajah mereka sudah dekat sekali. Bahkan ujung hidung mereka saling bersentuhan. tiba-tiba pria itu berkata, “Ada paku, hampir mengenai kakimu!”Mata yang tertutup itu seketika terbuka. dan wajah yang menegang itu pun memudar, terganti perasaan sebalnya. Padahal Nayra Sudah merasakan deg-degan sekali. seperti saat dicium pria ini sebelumnya.Tapi kalau ingat hal itu dia jadi sedih. Dicium di pagi harinya, lalu di siang harinya hatinya berbunga-bunga, dan di sore harinya dia di tuduh mencuri. Ini seperti perasaannya sedang diroller-coasterkan. Naik setinggi-tingginya, lalu diturunkan serendah-rendahnya.“Iya, Mas. Terima kasih!” ujarnya sembari bangkit dari pangkuan Devran.Dia memang melihat paku di lantai kayu itu mencuat dan bisa saja menyakiti kakinya. Nayra seharusnya tidak bepikir kalau Devran mau menciumnya lagi.Bisa-bisaya masih saja berharap Devran menciumnya?*** Hari berlalu begitu-begitu saja k
“Yang ini lebih gemoy dan empuk. Rasanya lebih enak.”Nayra menyodorkan bakpao pada Devran saat mereka memutuskan berjalan-jalan sebentar di sekitar vila.“Enggak ada bedanya, sama saja!” Devran melahap makanan itu ke dalam mulutnya.“Itu karena mas kurang menikmati esensi rasa sebuah makanan. Padahal, dari harganya saja sudah beda. Bahan pembuatnya pun beda. Tidak mungkin kalau rasanya sama.” Nayra mencebik melirik pria yang melahap makanan itu. Sama makanan juga dia jutek abis.“Tidak perlu diperdebatkan. Lidahku dan lidahmu beda. Jadi jangan memakasakan pendapat dari sudut pandangmu.” “Ya, deh. Terserah!” Nayra memutar bola matanya, tak mau mempersoalkan lagi. Perkara bakpao doang kenapa bahasnya jadi dalam begitu.Mungkin karena sembari menggerutu dalam hati, saat makan Nayra sampai seret di tenggorokan hingga membuatnya cegukan.Devran langsung bangkit dan membelikan air mineral untuknya. Membukakan tutup botol itu dan membantunya minum.Perasaan Nayra terasa hangat mendapat pe
Tengah malam Nayra keluar kamar karena merasa haus. Air minum dalam botolnya sudah habis dan dia lupa belum mengisinya.Saat membuka pintu tidak tahunya Devran masih berjibaku dengan pekerjaannya di ruang tengah.Melihat Nayra keluar dengan hanya memakai daster tali sedangkan tidak memakai apapun lagi di dalamnya. Mata pria itu nyalang.“Mau apa?” tanyanya pada gadis itu. Pasti tidak sadar tidak memakai kimononya saat keluar.“Mau ambil minum, Mas.” ujarnya lempeng dan berjalan ke arah galon untuk mengisi botolnya.Devran memperhatikan gerak-gerik gadis itu, lalu menghela napas.Bahu dan punggungnya terekspos saat rambut panjang yang tergerai itu melorot ke samping ketika Nayra membungkuk mengisi air.Belum lagi posisi yang seperti itu benar-benar secara tidak langsung menerbitkan pikiran yang tidak-tidak saja di kepala pria jablai ini.Gadis ini benar-benar mengujinya. Padahal dia sendiri yang tidak mau dimacam-macamin Devran.“Ambilkan juga aku segelas minuman.” Devran akhirnya tid
Nayra baru sadar kalau ponsel Devran tertinggal saat mendengar suara deringan dari benda itu.Mungkin masih di luar karena belum terlalu lama keluarnya. Jadi, Nayra mengambil benda itu dan melangkah dengan cepat untuk menyusul Devran.Namun sepertinya Devran sudah tidak ada.Sementara ponsel itu belum juga berhenti berdering.Siapa Arini? Apa teman kantornya?Nayra tidak mau tahu. Dia mau melanjutkan memasak lagi. Namun suara deringan ponsel itu masih juga terdengar. Sungguh sangat mengusiknya.“Aku angkat saja, deh. Nanti tinggal bilang sama Mas Devran.”Lalu ketika diangkatnya, Nayra mendengar suara lembut dari seberang sana.Deg! “Hallo, Dev. Maaf pagi-pagi udah nelpon. Tidak perlu sarapan di rumah, ya. Berangkat ke kantornya pagi-pagi kita bahas proyek kamu yang hampir selesai.”Oh. Urusan kantor. Nayra tanpa sadar menghela lega.“Maaf, Mas Devrannya sedang jogging. Nanti akan saya sampaikan.” Nayra menjawabnya.“Eh, bentar. Ini siapa?” suara dari seberang tampak heran.Sayang
“Tidak perlu semurahan ini. Aku bukan pria yang bisa menyenangkanmu!”Devran melepaskan rangkulan Arini dan mendorong wanita itu dengan sebal.“Hah, dasar kau ini. Aku jadi curiga, jangan-jangan kau tidak normal!”Arini yang untuk kesekian kalinya ditolak Devran merasa kesal. Tidak kurang dia menggodanya sepanjang waktu tapi pria itu benar-benar tak meresponnya.Bahkan pernah saat itu dia sengaja memberikan suplemen pria dewasa pada Devran. Ternyata Devran terlihat biasa-biasa saja.Kalau benar orientasi seksualnya sudah berubah, usahanya selama hampir setahun ini sia-sia belaka.“Anggap saja begitu. Jadi mending kau keluarlah dan urusi pekerjaanmu. Aku masih banyak kerjaan!”Devran meminta wanita itu keluar dari ruangannya. Hanya dia yang berani melakukannya pada pimpinan perusahaan cabang itu.“Jangan nglunjak. Kau tidak lupa kalau aku ini bosmu?!”Arini merasa pegawainya ini benar-benar kelewatan. Dia sudah dibilang murahan dan harga dirinya jatuh karena berulang kali ditolak. S
“Tapi, aku memberinya saran agar melakukannya setelah mengenalkan Mbak Nayra ke keluarganya. Tidak mungkin keluarga Alana tidak mengadakan pesta pernikahan putra tunggalnya itu. Makanya, sekarang anggap saja pacaran dulu. Pacaran tapi sudah halal.”Musa terkekeh menyampaikan hal itu. sayangnya Nayra malah tampak gelisah dan gugup. Nayra hanya gugup mendengar kata keluarga. Terbayang, bagaimana kalau mereka tidak menyukainya?Ah. Kenapa belum apa-apa dia sudah berpikir yang jauh.“Tapi...”Nayra teringat kembali tentang kejadian di ruangan Devran tadi. Maunya meminta penjelasan tentang hal itu pada Musa yang katanya mengenal betul Devran.Namun, tidak jadi karena melihat Devran sudah berjalan mendekati mereka. “Eh, Mas Devran sudah selesai kerjanya?” Musa menoleh ke arah Devran yang baru datang.“Ya, Om. Ayo, Nay. Ikut aku!” Devran langsung menarik lengan Nayra mengikutinya keluar.Musa melihat mereka sembari tersenyum kecil dan geleng-geleng.Ada rasa sumringah sebenarnya yang mu
“Emmmm, asin sekali....” Nayra langsung bangkit dan berlari ke wastafel untuk memuntahkan makanan yang sudah dimasukkan ke mulutnya. Begitu mendongak dia melihat Devran dari cermin di depannya. Sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajamnya. “Kalau lidahmu saja keasinan, menurutmu bagaimana lidahku?” “I-iya, maaf. Aku masakin lagi, deh!” Nayra membalikan tubuhnya menghadap Devran. Menampakan rasa bersalahnya. Sebenarnya bukan rasa bersalah, tapi lebih ke rasa takut diapa-apain pria ini. “Enak saja minta maaf. Semua ada kompensasinya.” “Kompensasi?” Nayra bingung. Melihat Devran yang berjalan semakin mendekatinya dia sudah bersiap menahan dada pria itu dengan kedua tangannya. “Stop mau apa?” Nayra tidak suka kembali dicumbu pria ini. Dia sudah bermesraan dengan wanita lain di kantor tadi. Apa belum cukup? Jangan-jangan pria ini maniak seks. Nayra jadi takut. Apalagi sebenarnya Devran adalah putra pemilik perusahaan besar. Mereka pasti kaya raya dan sangat berkuasa. Bias
“Mas, ini ponsel?”Nayra keluar sembari menenteng ponsel yang sudah langsung bisa diaktifkan itu.Padahal, kemarin-kemarin dia sudah menolak kala Devran mengatakan akan membelikannya ponsel.Nayra merasa tidak butuh benda itu saat ini. Tidak ada juga yang akan dia hubungi.Dia mengalami krisis kepercayaan hubungan dengan orang lain pasca papanya meninggal dan diisukan terjerat kasus korupsi.“Bukan. Itu bola!” jawab Devran kesal.Mana ada gadis sebesar dia masih tidak tahu itu apa? Kenapa masih juga bertanya?“Mas Devran, ah. Kan sudah aku bilang, gak perlu juga beliin ponsel. Buat hubungi siapa juga?”“Buat aku bisa hubungi kamu. Jaman apa sih kamu enggak mau pakai ponsel?” Devran tak mengerti dengan gadis ingusan ini. Masih juga menolak untuk pegang ponsel. Padahal dia juga tentu butuh menghubunginya sewaktu-waktu kalau ada sesuatu.Seperti waktu itu ketika Nayra tiba-tiba menghilang, kalau ada ponsel kan Devran bisa melacak keberadaannya dan bisa menghubunginya. ”Ya udah, deh,
Nayra sudah diantar pulang oleh Yas karena Devran harus bicara dengan Ananda.Sungguh kesal kalau pria ini selalu mengganggu kebersamaannya dengan Nayra. Tapi, lebih baik diselesaikan dengan segera.Devran ingin setelah ini Nayra menjalani masa-masa kehamilannya dengan nyaman tanpa ada gangguan lagi.“Ada apa, bro?” Devran dengan santai menanyai pria yang masih tampak gusar itu.“Urusan tes DNA itu valid atau tidak bukanlah tanggung jawabku. Kau tidak bisa menjadikan ini sebagai sebuah alasan untuk menyingkirkanku dari dunia yang selama ini kutekuni!” Ananda berteriak marah tahu bahwa Devranlahh yang mengadukannya ke dewan kedokteran.Dia tentu tidak mau begitu saja menjadi konyol begini. Bahkan kuliahnya yang mengambil sub-spesialis sudah selesai tinggal menunggu lulus, malah gelar dokternya terancam dicopot. Ananda tidak akan terima hal itu.“Jangan mengelak lagi, kau pasti mensabotasenya.”“Apa? Apa buktinya? Hah!” Ananda berang.Devran jadi ikutan terpancing. Dia bahkan menendang
“Ikut aku, Nay!” Devran menarik lengan Nayra. Padahal masih ada Ludwig dan Farah di sana.“Mas?” Nayra hendak protes walau dia tidak berdaya hanya bisa mengikuti Devran.“Sudah jangan bawel!” Devran langsung meminta Nayra masuk mobil yang diparkirnya tak jauh dari tempat itu lalu segera dilajukannya pergi.Sedangkan di sana, Ludwig dan Farah hanya menatap tanpa bisa menahan seorang Devran.“Maaf, kalau sikap Devran seperti itu.” Ludwig sampai meminta maaf pada Farah.Setahunya Devran pria yang dingin dan sedikit kasar, bahkan pada mamanya sendiri. Tidak berlebihan kalau dia sampai berpikir Devran juga seperti itu ke semua orang. “Ah, Devran memang kelihatannya dingin. Tapi aku tahu kok, dia baik.” Farah menyampaikannya, sekedar mengoreksi pemikiran Ludwig.“Oh, maaf, aku tidak banyak tahu tentang dia.”Farah melirik pria itu dan baru menyadari bahwa Ludwig tampak sedih melihat sikap putranya yang tidak pernah mau sekedar duduk menikmati kopi bersama. Farah jadi kasihan.“Jangan
Ananda anak pintar dan kutu buku sejak kecil. Dia selalu mendapat prestasi di sekolah karena memang dia tipikal anak yang tidak mau terlihat buruk.Pernah ada anak baru yang lebih menonjol mengalahkan Ananda, hal itu saja sudah membuat anak itu mengurung diri sepanjang waktu di kamarnya.“Bujuklah Ananda agar mau makan. Kasihan sepupumu, Dev!” Rosa waktu itu meminta Devran membantunya.Dengan sedikit usaha, Devran bisa masuk dari jendela, Ananda malah melemparinya dengan benda-benda yang ada di dekatnya.“Keluar! Kalau aku bilang tidak mau makan bukan urusanmu!” Ananda meneriaki Devran.“Ayolah, bro. Itu hanya tentang nilai. Kau bisa mengejarnya lain waktu.” Devran menghibur sepupunya.“Kau tak tahu apa-apa, Dev! Kau tak tahu rasanya belajar sampai tengah malam dan begitu keesokan harinya kau ujian, CBT komputermu tak berjalan. Waktu habis dan aku tertinggal. Enak saja mereka bilang aku tidak bisa mengulang ujian itu hanya karena tidak ada jadwa ujian susulan. Lebih enak lagi, anak
Perasaan Nayra sepagi ini sudah terasa manis. Nenek Renata menelpon dan bermimpi bahwa anak yang dikandung Nayra berjenis kelamin perempuan. Nayra suka sekali anak perempuan.Nanti kalau memang anak perempuan yang dilahirkannya, dia sudah tidak sabar menguncir rambutnya, membuatkannya baju rajut yang cantik, juga menghias kuku-kukunya.Mudah-mudahan mimpi Nenek Renata bisa terwujud.“Jangan terus tersenyum begitu, aku memang pandai memuaskanmu, tapi tak perlu juga mendeklarasikannya dengan senyuman sepanjang hari,” tukas Devran sembari memakai kemejanya. Dia harus segera berangkat kerja. Ada banyak agenda hari ini.Mendengar Devran mengatakan demikian Nayra langsung melototinya. “Besar kepala sekali Anda? Siapa juga yang senyum-senyum untuk Anda?”“Oh. Bukan senyum-senyum untukku? Atau senyum itu untuk....”“Jangan mulai deh, Mas. Mau kita bertengkar lagi sepagi ini?” Nayra mengingatkan.Jadi malah terbalik begini. Biasanya dialah yang suka memulai sebuah pertengkaran.“Emang kau piki
“Ouuuh, Mas!” Nayra sampai terlihat tak berdaya. Menggapai-gapai sesuatu di sekitarnya sekedar untuk diremasnya sebagi buncahan rasa itu.“Mas???” jeritnya tapi dia begitu menikmatinya.Peluh dikeningnya bercucuran dan tubuhnya benar-benar bergetar. Entah bagaiamana bisa pria itu tanpa memasukinya dengan sebagaimana mestinya, sudah membuat Nayra gelonjotan seperti ini.Nayra bahkan sudah mencambaki rambut kepala yang menyerusuk di sela kedua kakinya itu, namun Devran tak berhenti. Dia juga mau Nayra merasakan sensasi yang sama saat barusan tadi dirinya terpuaskan.“Sudah, Mas. Jangan heboh-heboh...”Devran baru mengurangi usahanya itu saat teringat istrinya sedang hamil dan tak boleh terlalu heboh. Takut mengusik janin yang anteng di dalam sana.Keduanya kembali terkulai di atas ranjang itu sambil saling memeluk dan tak rela terpisahkan.Devran juga tak mau Nayra sampai kelaparan, jadinya sembari menunggu Nayra selesai mandi, Devran memesankan makanan untuknya.Selesai memesan, dia
Devran sudah lama tidak memukuli orang. Sekarang mumpung ada mangsa dan juga suasana hatinya yang mendukung adrenalinnya naik, Devran tampak kesetanan menghajar tiga cecunguk itu satu persatu sampai mereka ampun-ampun dan mencium sepatu Devran.“Ampun, bos, ampun! Kita cuma cari sesuap nasi untuk anak istri kita!” salah satu pria yang sudah babak belur memohon-mohon.“Kembalikan barang istriku!” Devran merebut tas dan jam tangan Nayra.Tidak sulit membelikan lagi Nayra barang-barang mahal untuknya. Tapi tindakan mencuri atau merampok tentu tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan begitu saja.Tapi, kali ini Devran bermurah hati. Dia tidak berlanjut mempolisikan mereka. “Pergi sebelum aku berubah pikiran!” ketusnya pada mereka.Sedikit tergesa sembari menyeret teman yang pingsan mereka pun langsung masuk ke dalam mobil dan meluncur menghilang.Saat itu Devran berbalik dan melihat Nayra berlari kecil untuk melihat Devran. Namun Ananda masih mempengaruhi Nayra.“Devran tidak kenapa-kenap
“Aku dengar, Devran melaporanku ke organisasi dokter. Tidak tahu benar atau tidaknya, tapi aku yakin undangan itu untuk menyidangku.” Ananda mengutarakan keresahannya pada Nayra.Pria itu tahu Nayra tidak mengerti apa-apa. Kalau dia membuka sedikit saja memori saat Nayra sebelum amnesia, yakin lah dia bisa memporak porandakan hubungan Devran dan Nayra kembali.“Ke-kenapa Mas Devran melaporkan Dokter? Apa ada yang salah?” Nayra bingung dan heran.“Dia...” Ananda hendak mengatakan sesuatu, tapi mendadak terhenti karena seorang wanita menghampiri mereka.“Mas Nanda?” tegurnya. Raut wajahnya resah dan sedih. Membuat Ananda juga Nayra menatapanya heran.Nayra terkejut karena dia mengenalnya. “Lho, kamu kan yang...”Belum juga berlanjut ucapan Nayra, Ananda memotongnya. “Nay. Dia putri teman mamaku. Aku izin ngobrol sebentar, ya? Sebentar saja, kok!”Nayra tentu mengiyakan. Aulia diminta menemani Nayra dulu sembari menunggunya membereskan masalah dengan gadis satu ini.“Apa maumu, Yasmin?
“Terima kasih atas sarannya, Nyonya. Sebaiknya Anda keluar karena saya banyak pekerjaan hari ini.” Devran tak peduli. Dia mengabaikan Tamara dengan duduk di kursi kerjanya dan menghubungi sekretarisnya.“Rudi, bawakan aku dokumen kontrak kerjasama dengan perusahaan Malaysia. Aku mau pelajari dulu!”Tamara masih belum menyerah mengusik sang putra. Dia menjalankan kursi rodanya mendekati meja kerja Devran. Sedikit melembutkan suaranya dia menyampaikan, “Papamu ulang tahun hari ini, kau tidak mau mengucapkannya?”Devran menampakkan ketidakpeduliannya dengan memeriksa ponselnya. Terasa geli saja di telinganya mendengar Tamara menyebutkan papa untuk Ludwig.“Dev?” Tamara meminta perhatian putranya itu. “Hargai sedikit keberadaannya di hidupmu, Dev. Dia ayah biologismu. Dia orang pertama yang sangat bahagia mendengar mama hamil.”Devran menghela napas. Kalau tidak disudahi, wanita ini tidak akan berhenti menganggu waktunya. Memang seperti itulah mamanya.“Sudah tua juga ulang tahun, kayak
Tatapan Nayra membulat mendengar Devran kembali ingin mengukungnya. Tapi dia jadi ingin menggoda Devran. “Kalau sama gadis cantik selalu ada yang mendesak ya, Mas?”Sialnya yang Nayra tahu, pria ini selalu dikelilingi wanita cantik.Jadi ingat Damayanti yang super model itu. bukan hanya cantik, tentu saja bodinya juga seksi. Semua pria pasti setuju Damayanti itu wanita yang bisa memuaskan visual para pria.Kalau begini, Nayra kembali tergoda membayangkan, saat Devran berpacaran dengan Damayanti, seheboh apa pergulatan mereka di atas ranjang?Hal itu selalu membuatnya cemburu.“Maksudnya apa ngomong begitu? Mau bertengkar lagi?” Devran menaikan alisnya tidak suka Nayra memancing-mancing pembahasan. “Ya, gimana? Mas Devran kalau di ranjang buas banget kayak srigala lapar. Enggak mungkin juga kan dulu-dulu enggak begini?”Nayra sudah berbesar hati saat awal-awal tahu kehidupan Devran. Bahwa semua itu masa lalu. Tapi terkadang, dia juga penasaran.“Ya gimana? Emang suamimu ini pejantan t