“Dengar, Sayang. Sebenarnya perusahaan itu dulunya adalah perusahaan Tuan Dekka, ayah dari Ludwig. Dia saudara dari Tuan Emeraldo. Seharusnya setelah Tuan Dekka meninggal, perusahaan itu menjadi hak sepenuhnya Ludwig. Hanya saja Ludwig difitnah sudah membunuh Tuan Dekka, hingga dia dipenjara dan kehilangan hak warisnya. Otomatis perusahan itu diambil alih Tuan Emeraldo sebagai saudara laki-laki Tuan Dekka.” Devran mengernyitkan dahinya mendengar kata demi kata sang mama yang menjelaskan tentang siapa itu Ludwig. “Jadi, Ludwig itu sepupu papa?” Devran menyederhanakan informasi yang didengarnya. “Benar. Dia kembali untuk menuntut haknya.” Namun sejauh ini, Devran masih belum bisa menerima banyak hal. Mengapa justru sang mama lebih membela pria itu daripada papanya? “Oke, pria yang selama ini bersama mama itu adalah sepupu papa. Lantas, mengapa mama lebih membela pria itu?” Devra tadinya mau menambahi kenapa demi sepupu papanya itu mamanya sampai menikung semua aset yang ada di per
“Sekarang kau percaya padaku, kan? Kalau Tamara itu tidak pernah tulus pada keluarga kita. Apapun yang dilakukannya karena memang ada tujuan di sebalik itu semua.”Renata tampak murka mendengar bahwa perusahaan yang selama ini dipertahankan oleh suaminya, kini diperebutkan lagi oleh keponakannya itu.“Sudah, mama tidak usah ikut memikirkannya.” Alana mencoba menenangkan Renata.“Bagaimana aku tidak ikut memikirkan? Aku tahu bagaimana kondisi perusahaan itu saat Dekka meninggal. Banyak investor mulai menarik sahamnya, mosi tidak percaya di mana-mana terhadap perusahaan ini, Emeraldo yang mempertahankan dengan susah payah, merubah nama Dekka group menjadi Emeraldo, hingga kembali bangkit dan berjaya seperti sekarang, lalu enak saja dia bilang kita merebutnya?” “Papa benar, Nek. Biar kita yang mengurusnya. Nenek istirahat saja.” Devran yang baru datang ikut menenangkan sang nenek.“Tapi, Dev. Nenek kesal sekali pada mamamu itu. Dia malah membela mantan suaminya itu demi mendapatkan se
“Papa juga tidak akan mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Jadi jaga bicara Anda pada papa saya!”Devran pasang badan ketika pria itu mencecar Alana lah yang menyerobot perusahaan yang seharusnya menjadi haknya, bukannya dia yang malah dikata menyerobot.Ada anak muda yang menatapnya dengan keberanian penuh, bukannya marah, Ludwig justru tersenyum. “Aku bangga dengan sikapmu ini, Nak. Kau memang pantas membela papamu itu. Tapi kau tidak tahu banyak hal yang terjadi di masa lampau. Jadi jangan hanya menilai dari satu sisi saja.”“Mari kita duduk dan selesaikan bersama dengan kepala dingin, Paman.” Suara Devran menurun mengajak Ludwig agar bisa membahas semuanya dengan baik.“Kenapa memanggilku paman?”Ludwig sedikit terkajut mendengar Devran memanggilnya paman.Sepertinya dia lupa kalau Devran adalah putra sepupunya. Tidak salah juga kan kalau dia memanggilnya paman?“Maaf, maksudku—Tuan Ludwig.” Devran mengoreksi panggilannya melihat reaksi tidak suka pria itu saat dia memanggiln
“Tidak apa, Mas. Pulang kampung saja ke Diraja. Di sini banyak lowongan pekerjaan kok.” Nayra malah mencandai Devran. Sampai mau mencarikannya lowongan pekerjaan segala.“Lowongan apa?”Ternyata gadis ini lebih bersemangat mencarikan lowongan pekerjaan untuknya daripada bersedih mendengarnya kemungkinan tidak akan jadi presdir lagi.“Kayaknya Pak RW baru meninggal dunia. Jadi ada tuh lowongan jadi Pak RW.”“Hah?!”Bahkan mengatakan itu Nayra sama sekali tidak terkekeh atau terdengar bercanda.Serius dia ingin dirinya jadi PK RW?“Kok Pak RW? Jauh amat Nay. Dari Presdir perusahaan terbesar di negara ini, ke Pak RW?”Nayra terkekeh. Tadi dia baru membayangkan Devran menjadi Pak RW di lingkungannya.“Sialan kamu!” Devran menggerutu tapi tidak kesal. Malah ikutan terkekeh mendapat saran dari Nayra agar menjadi RW saja.Lumayanlah melepaskan ketegangan seharian ini.“Mas Devran kangen tidak sama aku?” Nayra kembali bertanya.“Kangenlah, Sayang!”“Kangen apanya?”“Masa harus didetailkan beg
“Emir, kenapa kau cepat sekali pergi. Lihatlah, keponakanmu itu kembali dan mengacaukan hidup putra dan cucumu!”Renata menangisi nasib keluarganya setelah mendengar kabar bahwa perusahaannya kembali diambil alih oleh keponakannya.Foto mendiang suaminya di elus-elusnya lalu dipeluknya sambil menangis.“Ma?” suara Alana membuat Renata teralihkan.“Tidak ada yang berubah kecuali sahamku yang berkurang dan kita juga tidak memerlukan banyak uang lagi. Alana akan ikut mama ke Edinburgh. Kita nikmati hari-hari di sana dengan tenang.”Mendengar hal itu Renata malah menampar pipi putranya itu.“Kau hanya memikirkan dirimu sendiri Alana! Kau tidak memikirkan nasib Devran. Dia juga punya hak untuk menikmati kejayaan perusahaan yang dibesarkan kakeknya,” ujarnya dengan kesal.Alana hanya menunduk dan tak berhak marah atas tamparan mamanya itu. Mungkin Renata kecewa dan tidak mau melihat usaha suaminya sia-sia.Sebenarnya Alana ingin menyampaikan pada Renata bahwa Devran tetaplah menjadi seora
“Sialan pria itu? Mau apalagi masih menemui Nayra?” Devran menggerutu di sepanjang jalan.Setelah memastikan sudah tidak ada yang menghawatirkan pada kesehatan Renata, Devran pamit mau menjemput Nayra di bandara.Alana juga tidak keberatan apalagi Nayra datang bersama orangtuanya. Tidak enak saja pada besannya itu.Dengan cepat dia sampai di Bandara. Saat hendak keluar mobil, Devran menghela napas panjang menenangkan dirinya.Terkadang dia suka konyol kalau sudah cemburu.Jadi mending memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk menyudahi kekurangajaran sepupunya itu yang masih juga berharap pada wanita yang sudah menjadi istrinya itu.“Nay, belum selesai urusannya?” Devran membuat dua orang yang masih mengobrol itu terkejut.Tadinya Devran ingin membiarkan mereka masih mengobrol, namun karena Ananda seolah mendesak dan masih ingin mempengaruhi Nayra, Devran tidak tahan.“Mas Devran?” Nayra bangkit dan menoleh ke arah di mana tadi Farah dan Kiki menunggunya namun sudah tak nampak la
"Kita langsung ke rumah sakit saja, Ki. Tidak enak kalau tidak menengok neneknya Devran." "Baik, Bu. Pak Yas akan mengantar kita ke rumah sakit," ujar Kiki yang kemudian diangguki Yas yang menyupiri mereka. Seminggu ini sudah banyak merenung dan menyadari, bahwa apa yang terjadi di masa lalunya tidak seharusnya membuatnya menutup diri.Dia punya tanggung jawab sebagai orang tua Nayra. Menemui besannya di Jakarta dan menjelaskan sedikit miss komunikasi.Mungkin selama ini mereka sudah diberitahu bahwa orang tua Nayra sudah meninggal. Tapi Farah harus menyampaikan kebenarannya.Bagaimanapun Nayra sudah menjadi bagian dari keluarga orang lain, Farah juga ingin secara semestinya menitipkan sang putri agar bisa diterima dengan baik oleh keluarga Devran.Dengan begitu, Farah berharap keluarga Devran bisa memperlakukan Nayra dengan baik. Tak mau saja Farah mendengar putrinya disisihkan di keluarga orang kaya seperti Devran.“Di sini, Bu Farah,” ujar Kiki menunjukan pintu ruang rawat ina
“Ada apa, Papa menelpon sebanyak ini?” Devran tampak heran ketika notif panggilan dari papanya baru dilihatnya.Dia dan Nayra tidak langsung ke rumah sakit, tapi mampir dulu ke rumah yang dibelinya untuk Nayra. Mengira Farah sudah di sana ternyata belum.“Apa ada yang serius dengan nenek, Mas?” Nayra bertanya.Dia menarik selimut agar tubuh polosnya tak terekspos. Seminggu tidak ketemu membuat mereka menyempatkan untuk melepas kerinduan sejenak.“Mudah-mudahan tidak, Sayang. Aku hubungi papa dulu.” Devran keluar kamar untuk menghubungi Alana. Namun sejak tadi yang terdengar adalah nada sibuk.Tak lama dari itu, panggilan dari Musa masuk.“Ya, Om, ada apa?” Devran langsung bertanya saat mengusap layar untuk menerima panggilan.“Mas Devran, bisa temui kita di Kafe Cemara?” suara Musa tampak lemah dan tak seperti biasanya. Membuat Devran jadi merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Nenek baik-baik saja kan, Om?” Devran penasaran.“Nyonya Renata sudah balik ke rumah keluarga, dia tadi ha
Sambil lalu, Devran akan memikirkannya lagi.Saat ini dia harus mencari cara bagaimana membujuk Nayra agar membiarkannya kembali ke Jakarta sementara waktu.Terlalu lama meninggalkan kantornya dengan deadline proyek dan bisnis yang sudah menumpuk, membuat Devran tidak tenang juga.Dia bukan pria yang tak punya rasa tanggung jawab. Jadi meski sudah mulai mengurusnya dari jauh, tetap saja ada beberapa hal yang tak mungkin bisa dikerjakannya secara virtual.“Nanti aku bisa kok datang kalau kau memang butuh aku datang. Sekarang ada beberapa kegiatan yang tak bisa aku skip tanpa kehadiranku, Nay.” Devran memberikan pengertian.“Iya deh, Mas. Tapi tidak dekat ini kan berangkatnya?” Nayra mengiyakan tapi masih mencoba menunda keberangkatannya.“Minggu depan bagaiamana?” lagi tawar Nayra.“Katakan kenapa harus minggu depan?” tanya Devran. Ditanya seperti itu Nayra hanya tersenyum.“Kenapa malah senyum-seyum?” Devran jadi penasaran.Nayra mendekatkan bibirnya ke telinga Devran dan berbisik.
“Sudah selesai mengobrolnya?”Devran mencoba berbesar hati menunggu mereka mengobrol namun keduanya tampak tak bosan terus bercanda dan mengobrol.Sisi hatinya masih ada kesal karena Ananda pasti merasa beruntung dengan kenyataan tentang mereka.Terselip sebuah kemungkinan yang coba diingkari Devran, bagaimana jika Ananda memang berjodoh dengan Nayra?Ah. jangan dulu! batinnya belum siap. “Aku masih ada urusan, Nay. Ayo pulang!” Devran mengajak Nayra pergi.“Kalau kau repot tidak apa kok, nanti aku akan antar Nayra pulang. Lagian aku juga mau ketemu Om Alana.” Dengan bersemangat Ananda menyahuti Devran.“Ah, jangan. Nanti nenek memarahiku. Kenapa malah meninggalkan Nayra dan tak mengantarnya pulang dulu.” Meski tak tampak raut kesal, namun Devran menunjukan tidak rela kalau Nayra masih bersama Ananda.“Baik, aku akan pulang bersama Mas Devran. Lagi pula, dokter Ananda bilang sudah memindah penelitiannya ke rumah sakit ini. Jadi kita masih bisa ketemu kapan-kapan.” Nayra menengahi
“Kau dengar apa kata dokter tadi, kan? Jangan tambeng. Ini masih trimester awal.” Devran mencoba memberi pengertian pada Nayra setelah selesai memeriksakan kandungannya.Lega rasanya tidak ada sesuatu yang menghawatirkan. Hanya saja Nayra memang masih harus banyak beristirahat dan tidak terlalu boleh melakukan kegiatan fisik terlebih dahulu.“Iya, Mas.” Nayra faham akan hal itu.Walau mengatakan demikian, terkadang keinginan untuk berhubungan badan dengan suaminya terasa sangat menggebu dan menyiksanya. Membuat Nayra ngereog ingin dikeloni suaminya itu. Dia pernah bertanya pada dokter, katanya itu normal karena pengaruh hormon kehamilannya.“Bilangnya iya, tapi kok sedih?” Devran melihat raut wajah Nayra yang tak ikhlas itu.Tiba-tiba Nayra menangis.“Eh, kenapa malah nangis, Nay?” Devran langsung mendekatkan duduknya dan merangku Nayra.“Seolah aku ini wanita gatel yang selalu pengen ditiduri. Padahal aku juga tahu ini masih belum boleh,” ujar Nayra sesenggukan.“Iya, aku paham,
“Nay, jangan tambeng. Kau harus istirahat dulu!” Devran mengelus kepala Nayra penuh sayang untuk meminta perhatiannya agar Nayra menuruti kata-katanya.“Iya deh, aku istirahat.” Nayra menurut.Baru saja Devran senang mendengarnya, Nayra memberikan syarat, “Tapi Mas Devran temani Nayra. Jangan ditinggal-tingal lagi. Aku enggak bisa tidur kalau enggak dipeluk Mas Devran.”Devran menghela. Namun menyembunyikannya di pandangan Nayra agar tidak merasa sedih. “Baiklah, aku akan menemanimu.”Nayra merasa senang. Lalu dia kembali memeluk Devran. Seolah tubuh pria itu ada magnetnya yang terus membuatnya menempel.Bisa jadi hormon kehamilannya juga yang berperan membuat Nayra selalu ingin bersamanya. Orang bilang, ngidam.Ketika Nayra sudah tampak terlelap, Devran perlahan bangun dan merapikan selimut Nayra. menatapinya beberapa saat dan mengelus pipinya. “Mimpi yang indah, Nay!”Devran langsung bangkit dan tak mau ada sesuatu keinginan yang tak terpuji kembali menyerangnya.Walau sudah tahu
Devran membiarkan Nayra berkecipak dengan air mancur tak ubahnya seperti anak kecil yang bermain-main dan kegirangan.Sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman setelah tak lagi pernah tersenyum beberapa bulan ini. Diambilnya ponsel untuk mengabadikan momen manis itu di kameranya.Sepertinya yang menjadi sasaran bidikannya mengetahui kalau ada yang diam-diam mengambil fotonya. Nayra justru sengaja berpose agar gambarnya yang diambil tukang foto amatir itu tampak menarik.Saat itu pesan dari Renata terbaca. Menanyakan sedang di mana mereka sampai sesore ini belum kembali ke rumah. Mungkin takut kenapa-kenapa.Devran tak membalas dengan kata-kata, hanya mengirimkan gambar-gambar Nayra yang tampak sehat dan bahagia menikmati taman kota yang indah. “Ayo, Mas. Sini foto bareng!” Nayra memanggil Devran.Tak mendapat sahutan, karena Devran sibuk mengirim balasan pesan pada Renata, Nayra berlari menghampirinya.Membuat Devran yang mengetahui itu terkejut dan berteriak mengingatkan agar N
“Kenapa cemberut?” Renata menghampiri Nayra yang tampak tak bersemangat itu. Nayra terkejut Renata menghampirinya. “Ah, Nenek? Enggak ada apa-apa kok, Nek.”Sejak beberapa hari dia dirawat di rumah sakit, Renata juga Alana ikut menjaganya. Sampai menyewa beberapa kamar demi bisa tetap di rumah sakit.Bagi Nayra yang lupa bahwa mereka sebenarnya keluarganya sendiri, merasa itu sedikit berlebihan. Membuatnya segan jika harus menampakkan raut cemberutnya lantaran Devran yang sering diam-diam meninggalkannya.“Kenapa? Bilang saja sama nenek, Nay.” Renata dengan penuh perhatian mengelus lengan Nayra."Beneran, Nek. Tidak ada apa-apa." Nayra kembali mengulas senyum tak mau Renata sampai cemas. "Dengar, kau melupakan sedikit ingatanmu. jadi kalau ada sesuatu yang menguiskmu, kau harus cerita. siapa tahu itu bagian dari proses ingatanmu mulai membaik." Nayra mengangguk. Dia juga diberitahu oleh dokter harus menyampaikan keluhan yang dirasanya. Farah baru datang dan mengabarkan bahwa hari
“Tuhan masih melindungi cucu Anda, Nyonya. Dia baik-baik saja. Dan ajaibnya, janin di rahimnya pun masih bertahan. Hanya benturan di kepalanya yang akan terus kami observasi lebih lanjut,” ucap dokter itu saat Renata merasa ingin tahu sejelas-jelasnya kondisi cucu perempuannya itu.“Ohhh...” lenguh lega semua orang di sana.Alana memeluk Farah dan Renata.“Alhamdulillah, aku yakin, Tuhan selalu melindungi cucuku yang baik itu...” Renata tak berhenti menangis.“Ayo, Ma. Kita lihat kondisi Nayra...” Farah tak sabar melihat putrinya.Mereka tersenyum dan bergegas melangkah ke ruang perawatan Nayra.Meninggalkan dua pria yang sama-sama berdiri resah dan canggung itu.“Aku ada acara di Glasgow, kebetulan Om Alana menghubungi untuk...” Ananda hendak menyampaikan bagaimana dia ada di tempat ini.Sebenarnya itu bukan urusan Devran, tapi sejak lama dia sudah tidak suka Ananda mendekati Nayra, sehingga dia mencecarnya. “Kau memang sengaja membuat alasan itu agar bisa menemui Nayra, kan?” Dev
“Dengar, ya. Dia ada bukan karena kesalahanku atau kesalahannya. Kalianlah yang membuat hidupku jadi begini. Kalaupun anakku lahir dengan bagaimanapun keadaannya, seharusnya kalian berbesar hati untuk menerimanya!”Jleb!Kata-kata itu sungguh menampar ego semua orang yang ada di sana...Membungkam keegoisan mereka semua hingga tak satupun dari orang-orang itu yang bersuara.Entah, setan apa yang merasukinya hingga seberani ini menunjukan kemurkaannya.Nayra sudah tertekan selama ini oleh keadaan dan kenyataan.Bermalam-malam hanya bisa menangis seorang diri demi memaksakan diri bisa mengikuti apa kata mereka.Tapi sekarang. Jangan harap dia bisa mendengarkan lagi kata-kata mereka.Anggaplah dia stres atau gila. Tidak apa. Mereka harusnya paham mengapa Nayra sampai begini.?“Oke, tenang, Nay. Nanti kita lihat perkembangan janinmu lagi. Mudah-mudahan kemungkinan yang belum pasti kemarin hanya karena keadaanmu yang sedang lemah.” Ananda mecoba menghibur Nayra.“Tidak, aku tidak mau lagi
“Ambillah sedikit libur agar kau tidak stres. Dua bulan ini kau sudah bekerja dengan keras. Aku sangat bangga pada pencapaianmu.”Ludwig menghentikan Devran sejenak setelah mereka meeting bersama.“Baik akan aku pikirkan,” ujar Devran dan langsung bangkit undur diri.Sebenarnya hanya basa-basi saja mengatakan akan memikirkan berlibur. Devran menghindari itu karena kalau tidak menyerang dirinya dengan kesibukan, yang ada di otaknya hanyalah Nayra dan rasa kesal ingin memberontak dari semua kenyataan ini.Sikapnya masih dingin pada Ludwig. Interaksi antara mereka berdua selama ini hanya terjalin secara profesional saja sebagai CEO dan direkturnya.Ludwig hanya menghela namun tidak menyerah mengambil hati anak istrinya itu. “Dev?”Langkah Devran terhenti dan menoleh pada Ludwig. Menunggunya menyampaikan sesuatu.“Mamamu mengajak makan siang. Sekalian ada yang ingin dikenalkan padamu, katanya,” ujar Ludwig.Devran menghela dan tampak tidak tertarik. Selalu begitu sang mama. Menjodoh-