Share

Bab 5

Penulis: Anana-chan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-15 16:51:24

Satu jam berlalu, dia kemudian keluar dari ruangan ICU. Aku menunggu di depan pintu. 

“Mas?” panggilku saat Mas Husein berjalan ke arahku. Aku  memasang senyuman yang indah saat kami akan berpapasan. 

Namun tiba-tiba saja dia melewatiku tanpa berbicara apapun. Aku segera mengekor di belakangnya. 

“Mas mau kemana?” tanyaku. Aku mempercepat setiap langkahku di belakangnya. 

“Mau sholat di masjid,” jawabnya dingin. Ku lirik jam di tanganku. Sudah pukul satu siang. Ya ampun, waktu cepat banget berlalu. 

Kami menuju masjid di samping rumah sakit. Aku dan Mas Husein berpisah sejenak. Setelah sholat, aku berjalan menuju mobil dan menunggunya. Saat keluar dari masjid, ada dua perempuan yang mengikuti Mas Husein dari belakang. Mereka tampak malu-malu menatap Mas Husein. 

“Ini buat Mbak Maya, semoga Mas Husein dan Mbak Maya buat konten lagi, rindu dengan konten kalian,” ucapnya. 

Mas Husein bersikap ramah. “Makasih yah!” jawabnya. 

Mas Husein kemudian menuju mobil. Dia menatapku sekilas lalu membuang pandangan lagi. Aku sudah terbiasa dengan wajah jengkelnya itu. 

Mas Husein membuka pintu untukku dan aku segera masuk. Hadiah bunga dan cokelat diletakan di kursi paling belakang. 

Mobil melaju keluar dari gerbang rumah sakit. Selama di perjalanan, aku memilih diam saja. Aku tidak banyak bertanya lagi. 

Mas Husein rupanya mengajakku menuju rumah keluarganya di Menteng. Ku pikir kami akan kembali ke rumah. Aku terus menebak-nebak kemana dia akan membawahku pergi. 

Sesampai di rumah keluarga Mas Husein, lelaki itu turun dari mobil. Aku mengikutinya. Saat berjalan masuk ke dalam rumah, Mas Husein mengengam tanganku dan memelukku dengan erat dari belakang. 

Aku terkejut. Aku hampir saja melompat saat tangannya menarik pingangku. Ini kali pertama seorang lelaki menyentuh pingangku. 

“Santai saja,” bisiknya. 

Jantungku berdetak lebih cepat. Disampingnya, aku bisa merasakan jika jantungnya berdetak lebih cepat juga. 

Mungkin dia lagi gugup di sampingku. 

“Asma!” 

Ibu Wati keluar dan segera memelukku. Rupanya hari ini ada acara di rumah. Aku tidak tahu acara apa. Mas Husein tidak memberitahukan apapun kepadaku. 

Aku duduk di sofa dan Mas Husein di sampingku. Kami terus bergandengan tangan. Dia tidak ingin melepaskan jemariku dari jemarinya. Ini hanya pura-pura saja. Dia tidak Ikhlas. 

“Opa Gendut lagi ulang tahun. Dia mau bertemu denganmu, Asma!” ucap mertuaku. 

Seorang lelaki tua keluar dari dalam kamar. Dia memakai tongkat dan berjalan ke arahku. Aku menyalami tangannya. Dia menatapku dengan sangat lama. Perlahan bola matanya berkabut. Dia tersenyum hangat. 

“Asma, aku akhirnya bertemu denganmu,” ucapnya. 

Aku tidak tahu mengapa kakek tua itu tahu namaku. Aku belum pernah bertemu sebelumnya. 

“Husein, jaga dengan baik Asma yah, dia istrimu juga, sama seperti Maya,” serunya. Mas Husein menganggukan kepala. 

“Iya Opa,” jawabnya. 

Ada banyak pertanyaan di dalam kepalaku. Mengapa mereka menerimaku dengan baik? Mengapa juga mereka seakan peduli?

Mas Husein memberikan secangkir teh hangat kepadaku saat semua orang sedang menikmati hidangan. Aku tersenyum dan menerimanya dengan baik. 

Dia lalu merangkulku dari belakang. Menyuruh tubuhku untuk bersandar di sampingnya. Tuhan, ini benar-benar menegangkan. Aku bahkan tidak berkutik di samping Mas Husein. 

Tubuhnya harum, wajahnya tampan dan jika dia tersenyum, jantungku seakan ingin copot dari peraduan. 

Jika dilihat dari dekat, wajah Mas Husein sama seperti wajah Mas Nicolas Saputra. Bedanya hanya satu, lelaki itu memiliki bulu halus di pipi. 

Sempurna! 

Kharisma Mas Husein tidak ada yang menandinginya. Entah amalan apa yang telah aku lakukan sehingga Tuhan menakdirkan aku memiliki suami setampan Mas Husein. 

Aku hampir lupa meminum teh yang diberikan tadi karena fokus mengagumi wajahnya yang tampan. 

“Asma ingat, kamu hanya istri sementara. Dia bisa saja menceraikanmu jika Mbak Maya sudah sadar. Jangan percaya diri banget deh!” 

Aku menghakimi diriku sendiri. 

***

Setelah acara syukuran selesai, kami kembali ke rumah. Mas Husein segera melepaskan tanganku. Dia memasang wajah dinginnya kembali. 

Dia dalam mobil, suasana mendadak hening. 

“Asma, aku sangat mencintai Maya. Bahkan sampai kapan pun. Aku berharap kamu paham itu. Berusaha mencintaimu hanya sia-sia saja. Aku tidak akan pernah melakukannya,” seru Mas Husein tiba-tiba. 

“Iya, aku paham,” jawabku. 

“Opa adalah sahabat ayahmu. Aku tidak tahu bagaimana bisa ayahmu bersahabat dengan Opaku. Aku tidak ingin ibu dan Opa sakit. Aku sudah berusaha menentang pernikahan ini. Tapi mereka ingin aku membawahmu ke rumah,” ucap Mas Husein. 

Pandangannya tajam ke depan dan fokus menyetir. 

“Jika kamu mau mundur sekarang, kamu bisa lakukan,” ucapnya lagi. 

Aku terdiam. 

“Maya mengalami kecelakaan dan tulang belakangnya patah. Pendarahan di otaknya membuatnya tidak sadar sampai sekarang. Jika sadar pun, kemungkinannya hanya sedikit. Dia bisa melupakanku sepenuhnya, tapi itu tidak masalah. Yang penting Maya ada di hidupku,” ucap Mas Husein panjang lebar. 

Aku bisa mendengarkan suaranya bergetar. Dia berusaha menahan sesak di dadanya. 

Kami sampai di rumah, aku segera masuk ke dalam kamar. Aku mengambil air wudhu dan segera sholat Magrib. Aku berdua agar hatiku diberi ketenangan saat ini. 

Saat makan malam, suasananya masih saja sama. Saling diam dalam pikiran masing-masing. Mas Husein sangat suka ikan bakar. Hampir setiap hari dia memakannya. 

Kata Bibi Sari, itu makanan kesukaan Mbak Maya juga. Pantas saja tadi dia mengajakku makan di luar. Rupanya restoran itu adalah restoran favorite mbak Maya. 

Setelah makan bersama, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku dan Mas Husein tidak terlihat seperti suami istri. Dia cuek dan tidak ingin menyentuhku. 

Bahkan dia berjanji kepada dirinya untuk tidak melakukannya. Aku sudah pasrah dan menerima semua keputusannya itu. 

Aku mencoba terlelap tidur dan melupakan semua hal ini. 

“Mbak Asma?”

“Mbas Asma?”

“Sudah tidur kah?”

Pukul sebelas malam, Bibi Sari mengetuk pintu kamarku dengan sangat kencang. Aku membuka mata dan segera menyibakan selimut yang menutupi tubuhku. Aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. 

“Mbak, Mas Husein demam,” ucap Bibi Sari. 

Aku segera berjalan menuju kamarnya. Kali ini tidak memakai jilbab. Di dalam kamarnya, dia menatap lelaki itu sedang menutupi seluruh tubuhnya.

“Mas?”

Aku menyentuh dahi Mas Husein. Sangat panas. Bibirnya pucat dan tubuhnya bergetar. 

“Bi, tolong ambilkan saya minuman hangat dan juga obat penurun demam!” perintahku. Bibi Sari segera berlari. 

Di atas tempat tidur, aku memeluk Mas Husein agar dia hangat. Mas Husein mengingau dan dia terus menyebut nama Mbak Maya. 

“Maya, sayangku. Dimana kamu Maya? Mas di sini.”

Aku memeluk Mas Husein dan mencoba untuk menenangkan tubuhnya yang sejak tadi bergetar. 

“Iya Mas, aku di sini,” jawabku. 

***

Bab terkait

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 6

    Aku meletakan kain di atas kepala Mas Husein agar demamnya turun. Tidak lupa aku memberikannya obat penurun demam. Walaupun dia masih mengigau, setidaknya tubuhnya tidak bergetar lagi. “Mbak Asma, Mas Husein selalu seperti ini kalo dia ingat Mbak Maya. Kata Ibu Wati, dia terlalu memikirkan istrinya makannya demam. Kasihan dia,” ucap Bibi Sari. “Sudah berapa lama dia seperti ini, Bi?” tanyaku penasaran. “Semenjak Mbak Maya koma, tiap malam dia seperti ini, Mbak.”Aku menatap Mas Husein yang sudah lebih tenang. Jemarinya mengengam tanganku dengan erat dan terus menyebut nama Mbak Maya. Dia merindukan istrinya. Apa yang harus aku lakukan?“Mas?” panggilku. Tidak ada suara. “Kalo dikasih obat penurun demam, besoknya udah baikan kok, Mbak. Tapi kadang saya takut saja, makanya tadi panggil Mbak Asma,” ucap bibi Sari. “Saya keluar dulu yah, Mbak.”Bibi Sari keluar dari dalam kamar. Aku menatap wajah Mas Husein yang perlahan berkeringat. Dengan telaten, aku membersihkan peluhnya. Wajah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 7

    Aku dan Hana berlari masuk ke dalam mobil. Hana dengan cepat melajukan kendaraannya keluar dari cafe. Aku tidak tahu kalo follower Mas Husein dan Mbak Maya sebanyak ini. Bahkan mereka mengenal wajahku. Hana memarkir mobilnya di depan pom bensin. Jaraknya lumayan jauh dari cafe. “Alhamdulillah Asma, untung saja aku tarik kamu. Kalo tadi kita di cafe itu, kamu bisa babak belur. Kamu nggak tahu yah kalo Mbak Maya punya follower yang banyak?” ucap Hana. “Nggak tahu Han, ya Allah aku takut!” jawabku. Hari ini sebenarnya aku punya rencana mau ke rumah sakit. Menjenguk mbak Maya. Namun aku jadi takut jalan sendiri. Kalo aku berangkat ke rumah sakit bersama Mas Husein, dia nggak bakalan izinkan aku mengunjungi Mbak Maya. Aku belum melihat wajah Mbak Maya secara langsung. “Han, antar aku ke rumah sakit,” pintaku. Hana mengantarku ke rumah sakit. Aku dan dia berjalan menuju ruangan ICU. Sesampai di ruangan ICU, aku melihat seorang wanita muda berdiri di depan pintu. Aku dan Hana salin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 8

    Aku meminta izin kepada Bibi Sari untuk membuat makan siang. Sejak tadi pagi, Mas Husein sudah berangkat ke kantor. Aku berencana mau mengunjungi kantornya. Aku benar-benar bosan di rumah sendiri. “Nggak usah Mbak Asma. Biar saya saja yang masak. Nanti Mas Husein marah, saya bisa dipecat!” seru bibi Sari saat aku mencoba mengaduk iga sapi buatannya. Wanita paruh baya itu melarangku untuk membantunya di dapur. Katanya, Mas Husein akan marah. Tugasku hanyalah berada di rumah dan bersenang-senang. “Nggak apa-apa Bi, sesekali aku mau masak untuk Mas Husein. Mungkin hatinya mencair kalo aku buatkan makanan,” kekehku. Bibi Sari sedang membuat sup iga sapi. Aku berdiri di sampingnya dan memohon agar aku bisa membantunya. “Tolong lah, sekali aja Bi!” Aku memohon. “Ya deh, Mbak Asma. Tapi kalo Mas Husein marah, itu bukan salahku yah,” ucapnya. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Tenang saja, Bi!” jawabku. Aku membuat sup iga sapi yang enak. Ibu selalu mengajariku untuk membuat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 9

    Di dalam taksi menuju rumah, aku terus memandangi foto Mbak Maya. Wajah cantik wanita itu benar-benar menakjubkan. Pantas saja Mas Husein tidak bisa melupakannya. Bahkan saat dia sakit, Mas Husein begitu setia menemaninya. Aku membuat Instagram baru. Dua hari lalu, aku menghapus akunku karena aku stress dengan pesan yang masuk. Sekarang aku membuat Instagram baru dengan nama samaran. Aku mencoba membuka akun gossip lambe. Benar saja, semua fotoku terpampang nyata di akun gossip itu. Menyebalkan!Ada 10 ribu komentar terbaru. Para netizen kesal karena aku dituduh merebut Mas Husein. Ada diantara mereka berniat akan memukulku jika bertemu di jalan. Pantas saja Mas Husein panik kalo aku keluar dari rumah. Tidak jarang diantara mereka membuat akun Instagram atas namaku. Bahkan Instagram itu dibuat sama persis dengan Instagram lamaku dan pengikutnya berjumlah 12 ribu follower. Sumpah serapah berhamburan di akun tersebut. Menjengkelkan sekali!“Non yang lagi viral yah?” Suara pak supi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 10

    Seperti biasa di pagi hari, Mas Husein berangkat ke kantor. Aku tidak tahu, mengapa dia tidak ingin membangunkanku. Apa dia marah? Apa dia takut? Dulu aku menghayal bahwa seorang lelaki akan mengecup keningku setiap pagi. Tapi, aku salah! “Menyebalkan!” Aku berjalan ke dapur dan melihat Bibi Sari seperti biasa membuat sarapan. “Tadi Mas Husein sarapan nggak?” tanyaku.“Nggak Non, katanya nanti sarapan di rumah sakit.”Aku duduk di meja makan sambil memandangi bibi Sari membuat nasi goreng. Wanita paruh baya itu sangat rajin bekerja. Kadang dia melarangku untuk membantunya. “Sudah lama kerja di sini, Bi?” tanyaku penasaran. “Sudah 5 tahun Non, awalnya saya bekerja sama ibu Wati,” jawabnya.Aku iseng membuka media sosialku. Rupanya Galih sudah membaca pesanku namun dia sama sekali tidak ingin membalasnya. Apa Galih marah? Apa seperti ini dia marah kepadaku sekarang?Bosan berada di dapur, aku kembali ke kamar. Ding![Nanti mau dibawahkan makanan apa?]Mas Husein mengirimkan pesan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 11

    Esok harinya, aku tidak melihat Mas Husein dimana pun. Aku bertanya kepada bibi Sari sebelum berangkat ke kampus, katanya Mas Husein berangkat ke rumah sakit sejak tadi subuh dan belum pulang sampai sekarang. “Mbak Maya ada kemajuan. Katanya, Mbak Maya mengerakan tangannya, Mbak,” ucap bibi Sari bersemangat. Aku ikut bahagia mendengarkannya. Siapa sih yang tidak senang mengetahui Mbak Maya akan sehat kembali. Ya, setidaknya dia bangun dari koma dan segera mengurus Mas Husein, suaminya. Aku hampir gila dibuat lelaki itu. Aku berangkat ke kampus untuk bertemu dengan Hana. “Asma!” panggil Hana yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus. Aku berangkat ke kampus menggunakan taksi karena supir Mas Husein juga bersiap ke rumah sakit. “Ada Mas Aldo mau ketemu tuh. Katanya dia baru tahu kalo kamu udah nikah,” ucap Hana. Mas Aldo adalah senior kami. Aku sudah menganggapnya seperti kakak kandung sendiri. Dia sering membayarkan biaya kuliahku. Dia juga memberikan aku uang jajan s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 12

    Pernikahan kami sudah berjalan satu bulan lebih dan dia sama sekali tidak tertarik menyentuhku. Puas memikirkan nasibku, aku turun dari ke lantai satu. Duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Perasaanku berantakan sekarang. “Mbak Asma, mau makan apa?” tanya Bibi Sari. “Memangnya sudah jam berapa Bi?” tanyaku. Aku akhir-akhir ini jarang makan. Pikiranku berpusat kepada Mas Husein dan juga berita viral yang semakin menjadi-jadi. Napsu makanku berkurang. Kepalaku terasa mau pecah memikirkan semua masalah secara bersamaan.“Sudah pukul empat sore, Mbak,” jawab Bibi Sari. Ya Allah, hampir saja lupa sholat Azhar. Aku segera berlari menuju kamar untuk menunaikan sholat Azhar. “Nanti Bi yah, aku sholat dulu,” ucapku. Setelah sholat, dia datang menghampiriku lagi di dalam kamar.“Mau makan malam apa, Mbak?”” tanyanya. Dia sepertinya menunggu jawabanku sejak tadi. Aku sedang tidak berselera makan sejujurnya. “Nasi goreng saja, Bi,” jawabku. Aku hanya makan ice cream cokelat tadi siang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 13

    Walaupun aku sedang marah kepadanya namun aku tetap membantunya. Seperti subuh ini, aku membantunya untuk sholat subuh. Mas Husein tidak bisa mengerakan kakinya karena kakinya terkilir. Maka dari itu, dia memintaku untuk menemaninya. Setelah pertengkaran yang cukup sengit tadi malam, kami lebih banyak diam sekarang. Kemarin setelah menangis, aku berlari ke taman rumah sakit seorang diri. Di taman itu, aku berteriak. Setelah puas berteriak, aku kembali ke ruangan Mas Husein. Rupanya dia sudah terlelap tidur saat aku kembali. Setelah sholat subuh, aku menyediakan sarapan untuknya. Dia terus memperhatikan gerak-gerikku tanpa bersuara. Sepertinya dia sedang mengamati apa yang aku lakukan. “Maya … saya ingin bertemu Maya,” pintanya beberapa saat. “Gimana mau bertemu Mbak Maya, Mas aja nggak bisa jalan. Nanti saya minta tolong sama suster buat bawah Mas ke ruangan ICU,” jawabku ketus.Aku membalas sikap dinginya. Memang dia siapa yang selalu mengacuhkanku? Aku juga bisa melakukannya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 37

    Sudah seminggu ini aku memutuskan untuk menginap di kediaman Hana. Mas Aldo menyarankan kepadaku untuk fokus mengurus pendidikanku. Aku sudah mengirimkan proposalku kepada Madam Rebecca dan berharap dia ingin menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya.Madam Rebecca sampai sekarang belum membalas pesanku. Aku sedikit cemas, takut jika dia tidak peduli lagi karena aku lama membalas pesannya.Aku tidak punya pilihan lain selain pergi dari rumah. Ibu mengusirku dan menganggapku sebagai anak yang durhaka. Dia terus membujukku untuk kembali kepada Mas Husein.Sudah seminggu ini, Mas Husein tidak menghubungiku. Sekedar mengirimkan pesan pun, dia sepertinya tidak ingin.Entahlah, apa secepat itu dia melupakanku.“Nggak mau bertemu Galih?”Hana tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundakku dengan lembut. Aku spontan menoleh dan menatapnya.“Gimana? Kalo kamu mau, Mas Aldo akan mengantarmu ke sana.”Aku menggeleng.“Nggak usah!” jawabku.Aku duduk di depan jendela. Kepalaku masih dipenuh

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 36

    Husein Sandewa Pov“Mas Husein, Mbak Asma nggak ada di kampus. Saya sudah nunggu di depan parkiran, eh nggak muncul, biasanya dia ke kampus karena saya dengar, Mbak Asma ada urusan di sana,” ucap Pak Soni.Aku menghela napas panjang. Sudah beberapa hari Asma tidak membalas pesanku. Biasanya dia cepat membalas pesanku. Ada apa? Apa dia sangat marah kepadaku?“Kalo ruangan Mas Aldo, kamu sudah lihat?” tanyaku sambil memandangi Pak Soni. Pak Soni tampak bingung.“Mas Husein, sebenarnya ada yang ingin saya katakan sama Mas Husein, tapi saya sedikit ragu. Saya takut Mas kalo ini ….,”“Apa?” potongku dengan cepat. Aku tidak suka basa-basi. Aku ingin Pak Soni berbicara dengan cepat kepadaku. Lelaki paruh baya itu sesekali menghela napas panjang. Wajahnya tampak cemas dan membuatku semakin penasaran.“Apa? Apa yang kamu mau katakan?” tanyaku lagi.“Katanya, Mas Aldo dan Mbak Asma itu pernah ada hubungan Mas. Saya juga kurang tahu, tapi sepertinya Mas Aldo suka sama Mbak Asma,” ucap Pak Soni.

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 36

    POV Husein SandewaAku sangat mencintai Maya Anjani dan tidak ada satu pun yang bisa membuatku berpaling darinya. Dia istriku yang sangat cantik. Cinta pertamaku dan belahan jiwaku. Lalu Tuhan menguji cinta kami berdua. Malam itu, ibu menangis di hadapanku. Dia memohon agar aku mau menikah lagi. Rencana gila yang dua bulan lalu sudah disusunnya dengan rapih. Kata ibu, dia mengenal seorang gadis yang rajin bernama Asma Hanifa. Ibu sangat menyukainya. Pernah sekali ibu melihatnya di rumah sakit sebagai tenaga kesehatan di bidang farmasi. Karena itu lah ibu menginginkannya.Alasan tepatnya adalah, ibu melihat Asma sebagai wanita yang sabar dan penurut dan tentu saja dia ingin menjadi istri keduaku.Aku menolak perjodohan gila ini namun ibu terus memaksaku. Maya Anjani, perempuan yang aku cintai kecelakaan. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, dia mengatakan bahwa aku harus memikirkan dengan baik rencana ibu. Dia tidak menolak, dia juga tidak menerima. Namun di hatiku yang paling dal

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 35

    Kami memutuskan untuk berpisah. Malam itu juga, Mas Husein mengantarku ke rumah. Sejujurnya dia tidak ingin membawahku pulang ke rumah malam-malam. Namun aku memaksanya. Mas Husein belum mengucapkan kata talak kepadaku karena dia menyuruhku untuk menimbang setiap keputusan ini. Selama di perjalanan, kami saling diam. Sesekali dia menatapku dari balik kaca spion dan menghela napas panjang. “Jangan menangis, takutnya ibumu berpikir buruk sama saya.”“Nggak, aku nggak nangis kok, Mas,” jawabku. Aku menyeka air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin dia melihatku. Demi Allah, aku tidak ingin Mas Husein beranggapan jika aku lemah. Tidak ada yang boleh menganggapku lemah. Sesampai di rumah ibu, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Ibu yang berdiri di depan pintu terkejut menatapku. “Asma, Asma!” panggilnya. Dia mengikuti dari belakang. “Asma, apa yang terjadi? Kamu dan Husein beneran pisah? Gila yah kamu!” Aku tidak mengubris ucapan ibu. Aku dengan cepat menutup pintu. Mas Husein sepert

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 34

    Seminggu setelah kematian Mbak Maya, kelakuan Mas Husein masih saja sama. Dia sering kali ditemukan terlelap tidur di samping makam Mbak Maya. Ibu Wati yang melihat hal itu segera menghubungi psikolog untuk membantu putranya. Berkali-kali Mas Husein marah. Dia tidak ingin dianggap gila. “Nggak apa-apa Mas, siapa tahu dengan bantuan psikiater, Mas lebih baik,” ucapku. Ini kali pertama aku berbicara kepada Mas Husein. Dia spontan menatapku dengan pandangan tajam. “Jadi, kamu juga berpikir kalo aku gila, begitu?” teriaknya. Aku menggeleng dengan cepat. Aku takut jika Mas Husein marah seperti ini. “Nggak Mas!” jawabku. Mas Husein segera menutup pintu kamar dengan keras. Aku terperanjak kaget. “Asma!” panggil Ibu Wati. Aku segera berjalan cepat masuk ke dapur. Di sana, Ibu Wati menatapku dengan wajah sedih. Dia mengelus pungungku dan menuntunku untuk duduk di meja makan. Wajahnya terlihat serius memandangiku. “Asma, aku tahu ini nggak mudah bagi kamu. Husein sulit melupakan Maya d

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 33

    Setelah kepergian Mbak Maya, suasana di rumah sangat berbeda. Malam ini, orang-orang berdatangan untuk melaksanakan takziah. Ibu Wati berada di depan pintu menyambut para tamu. Saat ibu-ibu masuk ke dalam rumah, mereka menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi saat aku duduk berdampingan dengan Mas Husein, mereka mencibir.“Pasti dia senang, jadi istri satu-satunya, siapa sih nggak bahagia?”“Pelakor naik pangkat, keren banget dia.”Aku menunduk saat melewati ibu-ibu pengajian yang memandangiku dengan tatapan menjijikan. Mereka kerap kali bertanya apakah aku sudah hamil atau tidak. Entahlah, sepertinya kehidupanku adalah hal yang menarik bagi mereka. “Mas mau minum?” seruku kepada Mas Husein. Sejak tadi, dia duduk dan diam saja. Bahkan untuk berbicara pun sepertinya dia tidak sanggup.Mas Husein tidak bersuara saat aku menawarkan secangkir teh hangat. “Mas makan dulu yah.”Mas Husein menggeleng. “Mbak Maya bakalan sedih kalo Mas Husein seperti ini. Mas belum makan da

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 32

    Malam harinya, aku menemani Mas Husein untuk menjaga Mbak Maya. Sampai sekarang kondisi Mbak Maya sama sekali tidak ada perubahan.“Mas, tangannya gerak Mas!” ucapku kepada Mas Husein yang terlelap tidur di sampingku. Dia segera bangun dan mencoba menatap Mbak Maya.“Tadi gerak!” ucapku lagi. Aku takut dia mengatakan aku bohong kepadanya.“Tangan Mbak Maya dingin banget Mas,” seruku.Jemarinya sangat dingin dan aku tidak enak hati untuk menjelaskan hal ini kepada Mas Husein sejak tadi.“Mas panggil dokter dulu yah. Kamu di sini!”Mas Husein berdiri lalu berjalan menuju pintu. Namun aku segera memanggilnya saat jemari Mbak Maya bergerak sekali lagi.“Mas, mas, gerak lagi Mas!”Mas Husein kembali. Dia menyentuh kening Mbak Maya dan berbisik. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, suaranya sangat pelan.“Nggak ada waktu lagi, Mas harus panggil dokter!”Mas Husein berlari menuju pintu. Jemariku bergetar saat Mas Husein mengatakan itu. Apa yang terjadi? Aku sangat takut.“Mbak Maya, mbak ban

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 31

    Orang-orang mengatakan jika kematian Mbak Maya sebentar lagi. Saat aku berada di ruangan itu, ku lihat ibu Wati dan beberapa orang menangis di hadapanku.Mas Husein tidak terlihat dimana pun. Tadi dia mengatakan ingin berbicara dengan dokter. Namun sampai sekarang Mas Husein tidak kembali. Aku berusaha mencarinya. Dia harus ada di tempat ini sekarang.Aku melangkah menuju taman rumah sakit, rupanya dia ada di sana. Mas Husein menundukan wajahnya, sesekali dia terlihat menghela napas panjang. Jika kematian itu terjadi, betapa hancurnya dirinya.Aku tahu, dia sangat mencintai Maya. Aku tahu, tidak ada perempuan di dunia ini yang mampu mengantikan Mbak Maya di hatinya.Aku rela diceraikan olehnya saat Mbak Maya telah sehat kembali. Seharusnya aku tidak mengambil kebahagian mereka. Seharusnya aku tidak ada di sini dan menganggu hubungan mereka.“Mas dicari sama Ibu,” ucapku.Dia perlahan menongakan wajahnya ke atas dan melihatku. Dia tersenyum, aku membalas senyumannya. Bola matanya berka

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 30

    Asma POVHana menemaniku di Bogor selama dua minggu. Aku bahagia di sini. Aku tidak pulang ke rumah Mas Husein. Entahlah, aku sedang memikirkan rencana perceraian kami. “Apa nggak sebaiknya bertemu Mas Husein yah, biar hubungan kalian jelas. Kalo seperti ini kan, nggak baik,” ucap Hana tiba-tiba. “Maksudnya gimana, Han? Kamu suruh aku balik lagi ke rumah itu?” tanyaku. Hana menunjukan ponselnya kepadaku. “Tadi aku baca berita kalo Mbak Maya kambuh lagi. Dia dilarikan ke rumah sakit pukul dua malam. Entahlah, katanya dia punya asam lambung yang cukup parah,” jelas Hana. “Iya, dia punya riwayat asam lambung yang cukup parah, kasihan juga sih,” sahutku. Aku memasukan beberapa barang ke koper. Rencananya, Mas Aldo akan menjemput kami di Bogor dan akan mengajak aku dan Hana jalan-jalan ke Jogja. Hana menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Wajahnya tampak sedih. Dari tadi dia terlihat gelisah. “Jujur Asma, aku kasihan sama Mbak Maya. Suaminya menikah lagi saat dia sakit, p

DMCA.com Protection Status