Aku meletakan kain di atas kepala Mas Husein agar demamnya turun. Tidak lupa aku memberikannya obat penurun demam. Walaupun dia masih mengigau, setidaknya tubuhnya tidak bergetar lagi.
“Mbak Asma, Mas Husein selalu seperti ini kalo dia ingat Mbak Maya. Kata Ibu Wati, dia terlalu memikirkan istrinya makannya demam. Kasihan dia,” ucap Bibi Sari.
“Sudah berapa lama dia seperti ini, Bi?” tanyaku penasaran.
“Semenjak Mbak Maya koma, tiap malam dia seperti ini, Mbak.”
Aku menatap Mas Husein yang sudah lebih tenang. Jemarinya mengengam tanganku dengan erat dan terus menyebut nama Mbak Maya.
Dia merindukan istrinya. Apa yang harus aku lakukan?
“Mas?” panggilku. Tidak ada suara.
“Kalo dikasih obat penurun demam, besoknya udah baikan kok, Mbak. Tapi kadang saya takut saja, makanya tadi panggil Mbak Asma,” ucap bibi Sari.
“Saya keluar dulu yah, Mbak.”
Bibi Sari keluar dari dalam kamar. Aku menatap wajah Mas Husein yang perlahan berkeringat. Dengan telaten, aku membersihkan peluhnya.
Wajah tampanya terlihat kelelahan saat ini. Dia begitu menyiksa dirinya. Rasa rindu kepada Mbak Maya membuatnya sakit.
Puas melihat wajahnya, aku beranjak dari tempat tidur namun dengan cepat dia menarik tanganku. “Tetap di sini,” pintanya. Dia masih menutup matanya namun suara itu sangat jelas.
Aku duduk kembali di sampingnya. Aku bingung harus berbuat apa. Apa aku harus menunggunya sampai pagi?
Kalo dia tahu aku berada di kamarnya, pasti Mas Husein akan marah. Sayangnya mala mini dia menganggapku Mbak Maya.
Aku mencoba merebahkan tubuhku di sampingnya. Dia malah tiba-tiba memeluku.
“Mas?” panggilku. Aku berusaha melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Namun gagal, dia begitu kuat. Aku hanya bisa pasrah. Aku terlelap tidur di sampingnya.
***
Perlahan aku bisa merasakan jika seseorang tengah menyentuh pipiku dengan lembut. Aku ingin membuka mataku namun kepala ini terasa sangat berat.
“Siapa?” seruku.
Aku membuka mataku dan tidak ada siapapun di dalam kamar. Aku melirik ke samping dan Mas Husein tidak terlihat dimana pun.
Aku menghela napas panjang. Aku pikir Mas Husein yang menyentuh pipiku. Namun dia tidak ada di dalam kamar. Mungkin dia sudah pergi dan meninggalkanku sendiri.
Aku beranjak dari tempat duduku. Sudah pukul 5 subuh. Aku segera berjalan ke kamarku untuk sholat subuh dan segera menuju dapur.
Bibi Sari sudah bangun dari tadi. Hidangan sarapan sudah ada di atas meja makan.
“Mbak Asma baru bangun yah, nggak telat sholatnya?” tanya Bibi Sari.
Aku duduk di meja makan. “Sedikit telat sih,” jawabku.
“Loh, Mas Husein mana?” tanyaku. Bibi Sari tersenyum. Seperti biasa, lelaki itu sudah berangkat ke masjid dan dia akan kembali nanti pukul enam pagi.
Setelah sarapan sendiri, aku melihat ponselku. Ada banyak akun yang mengikuti instagramku sekarang. Bahkan ada 100 orang yang mengirimkan pesan.
Mereka semua bertanya mengenai Mas Husein.
Dring!
Telepon dari Hana, lagi-lagi sahabatku itu selalu mengejutkanku di pagi hari.
“ASMA!”
“Gawat Asma, wajahmu terpampang di akun gossip lambe!” ucap Hana. Dia berteriak dalam sambungan telepon.
“Akun gossip lambe yang terkenal itu? Tempat gossip artis dan selingkuhannya update di sana?” tanyaku mengkonfirmasi.
“Iya, ya ampun Asma, gawat ini!” ucap Hana tegang. Tanganku mendadak dingin. Pantas saja tiba-tiba ada 1000 permintaan di laman instagramku.
Jemariku dengan cepat mencari akun lambe, di sana ku temukan wajahku terpampang nyata meskipun sedikit samar-samar.
Mana gosipnya aku adalah selingkuhan Mas Husein, ya ampun! Dengan cepat aku menutup I*******m dan mencoba menenangkan diri.
“Asma, kalo kamu keluar, kamu harus pake masker. Ibu-ibu udah mulai gatal mau marah-marah. Ya Allah, aku malah takut kalo kamu terkenal sebagai pelakor!” seru Hana.
Sekarang aku sakit kepala, oh Tuhan.
“Hana, kita harus bertemu!” ucapku dengan cepat.
“Oke, di café biasa,” jawab Hana.
Sambungan telepon terputus. Aku berlari menuju kamar dan mandi. Selesai mandi, aku turun kembali ke lantai satu. Mencoba mencari tahu apakah lelaki dingin itu sudah pulang dari masjid atau tidak.
“Asma.”
Suaranya tiba-tiba terdengar dari belakang. Aku spontan berbalik arah. Rambutku masih basah jadi aku membiarkannya terurai saja.
Ini kali pertama aku tidak memakai hijab di hadapannya. Mungkin tadi malam dia sudah melihatku juga.
“Dia kan suamimu, Asma. Ngapain juga takut?” batinku.
Lelaki itu terdiam beberapa saat lalu berjalan ke arahku. Dia membawah dua mangkuk bubur sumsum. Kalo aku tebak, bubur ini mungkin kesukaan Mbak Maya juga.
“Ini tadi abang gerobak lewat depan rumah, jadi saya beli dua buat kamu.”
Dia menyerahkan bubur sumsum itu lalu berjalan pergi meninggalkanku. Aku terus memandanginya hingga Mas Husein masuk ke dalam kamar.
“Maksudnya, dia ingin berterima kasih kepadaku atau apa sih? Nggak jelas banget,” gumamku. Namun sayangnya, Mas Husein segera pergi dan aku tidak sempat bertanya.
***
Mas Husein berangkat kerja pukul delapan pagi, sebagai seorang CEO di perusahaan, dia lebih dahulu datang sebelum karyawannya.
Aku mengirimkan pesan dan mengatakan jika aku ingin bertemu dengan Hana. Dia tidak membalas pesanku.
Aku terpaksa keluar, mungkin dia akan membalasnya nanti. Di dalam taksi, dia baru membalas pesanku dan menjawab ‘OK’
Di cafe, Hana sudah datang lebih dahulu. Hana bekerja sebagai apoteker. Dia memiliki banyak waktu luang hari ini.
Wajah Hana tampak tegang saat menatapku. Aku duduk di depannya.
“Asma, gawat banget nih!” serunya.
“Kamu udah tanya Mas Husein?”
Aku menggeleng. Sepertinya dia tidak pernah peduli dengan gossip. Bahkan komentar fans-fansya di I*******m tidak pernah dibalasnya.
Dia tipikal lelaki cuek.
“Mau gimana lagi? Aku harus gimana dong?” tanyaku. Aku mulai ketakutan sendiri.
“Hapus akun instagrammu sekarang, tadi aku lihat udah ada yang maki-maki di sana,” perintah Hana.
Dengan tangan gemetar aku membuka akun instagramku. Yang benar saja, sudah ada 1000 orang yang berkomentar di satu foto yang aku upload kemarin sore.
Dan sekarag sudah ada 10 ribu pengikut baru. Gila!
Dengan cepat aku menutup akun instagramku agar hati tenang. Aku tidak ingin membuka komentar mereka.
Sambil terus mendengarkan Hana mengomel, aku memesan secangkir ice cream cokelat untuk menangkan diriku.
“Mas Husein harus buat keterangan kalo kamu bukan perebut, biar kamu aman,” seru Hana.
“Nggak, dia sepertinya nggak peduli dunia maya deh, Han,” ucapku.
“Ih, dasar cowok!” sahut Hana kesal.
“Tapi kok bisa-bisanya netizen dapat fotomu di restoran, kamu keluar kemarin sama dia?” tanya Hana. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku dan menatapku dengan ekspresi menyelidik.
Aku menganggukan kepala.
“Ya ampun, Asma, mendingan nggak usah go publik dulu lah.”
“Bukan aku, Han. Dia yang suruh aku ikut, dia juga suruh aku datang ke rumah Opanya,” sahutku menjelaskan.
Hana mengucapkan wajahnya frustasi. Kami sama bingungnya sekarang.
“Ini Mbak Asma yah? Yang lagi viral itu?”
Seorang pelayan datang membawah secangkir ice cream cokelat dan menunjuk ke arahku. Aku spontan menutup wajahku dengan buku menu dan menunduk ke bawah.
“Iya benar, ini Mbak Asma. Ya ampun Mbak, tega banget rebut Mas Husein!” ucapnya. Aku semakin gugup.
Secepat kilat Hana berdiri dari tempat duduknya dan menarik tanganku untuk keluar dari café. Beberapa orang datang menghampiri kami dan mengambil gambar.
“Ya Allah, kok gini amat sih?” batinku.
***
Aku dan Hana berlari masuk ke dalam mobil. Hana dengan cepat melajukan kendaraannya keluar dari cafe. Aku tidak tahu kalo follower Mas Husein dan Mbak Maya sebanyak ini. Bahkan mereka mengenal wajahku. Hana memarkir mobilnya di depan pom bensin. Jaraknya lumayan jauh dari cafe. “Alhamdulillah Asma, untung saja aku tarik kamu. Kalo tadi kita di cafe itu, kamu bisa babak belur. Kamu nggak tahu yah kalo Mbak Maya punya follower yang banyak?” ucap Hana. “Nggak tahu Han, ya Allah aku takut!” jawabku. Hari ini sebenarnya aku punya rencana mau ke rumah sakit. Menjenguk mbak Maya. Namun aku jadi takut jalan sendiri. Kalo aku berangkat ke rumah sakit bersama Mas Husein, dia nggak bakalan izinkan aku mengunjungi Mbak Maya. Aku belum melihat wajah Mbak Maya secara langsung. “Han, antar aku ke rumah sakit,” pintaku. Hana mengantarku ke rumah sakit. Aku dan dia berjalan menuju ruangan ICU. Sesampai di ruangan ICU, aku melihat seorang wanita muda berdiri di depan pintu. Aku dan Hana salin
Aku meminta izin kepada Bibi Sari untuk membuat makan siang. Sejak tadi pagi, Mas Husein sudah berangkat ke kantor. Aku berencana mau mengunjungi kantornya. Aku benar-benar bosan di rumah sendiri. “Nggak usah Mbak Asma. Biar saya saja yang masak. Nanti Mas Husein marah, saya bisa dipecat!” seru bibi Sari saat aku mencoba mengaduk iga sapi buatannya. Wanita paruh baya itu melarangku untuk membantunya di dapur. Katanya, Mas Husein akan marah. Tugasku hanyalah berada di rumah dan bersenang-senang. “Nggak apa-apa Bi, sesekali aku mau masak untuk Mas Husein. Mungkin hatinya mencair kalo aku buatkan makanan,” kekehku. Bibi Sari sedang membuat sup iga sapi. Aku berdiri di sampingnya dan memohon agar aku bisa membantunya. “Tolong lah, sekali aja Bi!” Aku memohon. “Ya deh, Mbak Asma. Tapi kalo Mas Husein marah, itu bukan salahku yah,” ucapnya. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Tenang saja, Bi!” jawabku. Aku membuat sup iga sapi yang enak. Ibu selalu mengajariku untuk membuat
Di dalam taksi menuju rumah, aku terus memandangi foto Mbak Maya. Wajah cantik wanita itu benar-benar menakjubkan. Pantas saja Mas Husein tidak bisa melupakannya. Bahkan saat dia sakit, Mas Husein begitu setia menemaninya. Aku membuat Instagram baru. Dua hari lalu, aku menghapus akunku karena aku stress dengan pesan yang masuk. Sekarang aku membuat Instagram baru dengan nama samaran. Aku mencoba membuka akun gossip lambe. Benar saja, semua fotoku terpampang nyata di akun gossip itu. Menyebalkan!Ada 10 ribu komentar terbaru. Para netizen kesal karena aku dituduh merebut Mas Husein. Ada diantara mereka berniat akan memukulku jika bertemu di jalan. Pantas saja Mas Husein panik kalo aku keluar dari rumah. Tidak jarang diantara mereka membuat akun Instagram atas namaku. Bahkan Instagram itu dibuat sama persis dengan Instagram lamaku dan pengikutnya berjumlah 12 ribu follower. Sumpah serapah berhamburan di akun tersebut. Menjengkelkan sekali!“Non yang lagi viral yah?” Suara pak supi
Seperti biasa di pagi hari, Mas Husein berangkat ke kantor. Aku tidak tahu, mengapa dia tidak ingin membangunkanku. Apa dia marah? Apa dia takut? Dulu aku menghayal bahwa seorang lelaki akan mengecup keningku setiap pagi. Tapi, aku salah! “Menyebalkan!” Aku berjalan ke dapur dan melihat Bibi Sari seperti biasa membuat sarapan. “Tadi Mas Husein sarapan nggak?” tanyaku.“Nggak Non, katanya nanti sarapan di rumah sakit.”Aku duduk di meja makan sambil memandangi bibi Sari membuat nasi goreng. Wanita paruh baya itu sangat rajin bekerja. Kadang dia melarangku untuk membantunya. “Sudah lama kerja di sini, Bi?” tanyaku penasaran. “Sudah 5 tahun Non, awalnya saya bekerja sama ibu Wati,” jawabnya.Aku iseng membuka media sosialku. Rupanya Galih sudah membaca pesanku namun dia sama sekali tidak ingin membalasnya. Apa Galih marah? Apa seperti ini dia marah kepadaku sekarang?Bosan berada di dapur, aku kembali ke kamar. Ding![Nanti mau dibawahkan makanan apa?]Mas Husein mengirimkan pesan.
Esok harinya, aku tidak melihat Mas Husein dimana pun. Aku bertanya kepada bibi Sari sebelum berangkat ke kampus, katanya Mas Husein berangkat ke rumah sakit sejak tadi subuh dan belum pulang sampai sekarang. “Mbak Maya ada kemajuan. Katanya, Mbak Maya mengerakan tangannya, Mbak,” ucap bibi Sari bersemangat. Aku ikut bahagia mendengarkannya. Siapa sih yang tidak senang mengetahui Mbak Maya akan sehat kembali. Ya, setidaknya dia bangun dari koma dan segera mengurus Mas Husein, suaminya. Aku hampir gila dibuat lelaki itu. Aku berangkat ke kampus untuk bertemu dengan Hana. “Asma!” panggil Hana yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus. Aku berangkat ke kampus menggunakan taksi karena supir Mas Husein juga bersiap ke rumah sakit. “Ada Mas Aldo mau ketemu tuh. Katanya dia baru tahu kalo kamu udah nikah,” ucap Hana. Mas Aldo adalah senior kami. Aku sudah menganggapnya seperti kakak kandung sendiri. Dia sering membayarkan biaya kuliahku. Dia juga memberikan aku uang jajan s
Pernikahan kami sudah berjalan satu bulan lebih dan dia sama sekali tidak tertarik menyentuhku. Puas memikirkan nasibku, aku turun dari ke lantai satu. Duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Perasaanku berantakan sekarang. “Mbak Asma, mau makan apa?” tanya Bibi Sari. “Memangnya sudah jam berapa Bi?” tanyaku. Aku akhir-akhir ini jarang makan. Pikiranku berpusat kepada Mas Husein dan juga berita viral yang semakin menjadi-jadi. Napsu makanku berkurang. Kepalaku terasa mau pecah memikirkan semua masalah secara bersamaan.“Sudah pukul empat sore, Mbak,” jawab Bibi Sari. Ya Allah, hampir saja lupa sholat Azhar. Aku segera berlari menuju kamar untuk menunaikan sholat Azhar. “Nanti Bi yah, aku sholat dulu,” ucapku. Setelah sholat, dia datang menghampiriku lagi di dalam kamar.“Mau makan malam apa, Mbak?”” tanyanya. Dia sepertinya menunggu jawabanku sejak tadi. Aku sedang tidak berselera makan sejujurnya. “Nasi goreng saja, Bi,” jawabku. Aku hanya makan ice cream cokelat tadi siang
Walaupun aku sedang marah kepadanya namun aku tetap membantunya. Seperti subuh ini, aku membantunya untuk sholat subuh. Mas Husein tidak bisa mengerakan kakinya karena kakinya terkilir. Maka dari itu, dia memintaku untuk menemaninya. Setelah pertengkaran yang cukup sengit tadi malam, kami lebih banyak diam sekarang. Kemarin setelah menangis, aku berlari ke taman rumah sakit seorang diri. Di taman itu, aku berteriak. Setelah puas berteriak, aku kembali ke ruangan Mas Husein. Rupanya dia sudah terlelap tidur saat aku kembali. Setelah sholat subuh, aku menyediakan sarapan untuknya. Dia terus memperhatikan gerak-gerikku tanpa bersuara. Sepertinya dia sedang mengamati apa yang aku lakukan. “Maya … saya ingin bertemu Maya,” pintanya beberapa saat. “Gimana mau bertemu Mbak Maya, Mas aja nggak bisa jalan. Nanti saya minta tolong sama suster buat bawah Mas ke ruangan ICU,” jawabku ketus.Aku membalas sikap dinginya. Memang dia siapa yang selalu mengacuhkanku? Aku juga bisa melakukannya.
Aku merasakan tangan seseorang mengengamku dengan erat. Perlahan, aku membuka mataku. Ruangan itu putih dan menyilaukan mata. “Asma?”“Asma, kau sudah sadar?” tanyanya. Mas Husein berada di sampingku. Oh, rupanya dia yang mengengam tanganku. Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Dimana aku? Aku bertanya-tanya. Mas Husein memaksa tubuhnya untuk berdiri dan memelukku dengan erat. Aku terkejut bukan main. “Ya Allah, ada apa? Mengapa dia memelukku?” batinku. Aku meraba pipiku. Sakit, sangat sakit. Rasa sakit ini menjadi satu. “Jangan pegang pipinya. Pasti sakit, maafkan Mas yah.”Aku menatap wajah tampannya itu. Dia terus memandangiku. Aku jadi tidak enak seperti ini. Jarak kami sangat dekat. Di ruangan ini, hanya ada aku dan Mas Husein. “Tadi aku pingsan?” tanyaku. Dia menganggukan kepala. “Tadi Nisa mau melukai kamu. Beruntung Mas segera datang. Mas takut banget dia mencelakaimu, Asma.”Aku ingin, sebelum pingsan aku mendorong tubuh Nisa sambil berteriak. Samar-samar bayangan Mas Hus
Sudah seminggu ini aku memutuskan untuk menginap di kediaman Hana. Mas Aldo menyarankan kepadaku untuk fokus mengurus pendidikanku. Aku sudah mengirimkan proposalku kepada Madam Rebecca dan berharap dia ingin menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya.Madam Rebecca sampai sekarang belum membalas pesanku. Aku sedikit cemas, takut jika dia tidak peduli lagi karena aku lama membalas pesannya.Aku tidak punya pilihan lain selain pergi dari rumah. Ibu mengusirku dan menganggapku sebagai anak yang durhaka. Dia terus membujukku untuk kembali kepada Mas Husein.Sudah seminggu ini, Mas Husein tidak menghubungiku. Sekedar mengirimkan pesan pun, dia sepertinya tidak ingin.Entahlah, apa secepat itu dia melupakanku.“Nggak mau bertemu Galih?”Hana tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundakku dengan lembut. Aku spontan menoleh dan menatapnya.“Gimana? Kalo kamu mau, Mas Aldo akan mengantarmu ke sana.”Aku menggeleng.“Nggak usah!” jawabku.Aku duduk di depan jendela. Kepalaku masih dipenuh
Husein Sandewa Pov“Mas Husein, Mbak Asma nggak ada di kampus. Saya sudah nunggu di depan parkiran, eh nggak muncul, biasanya dia ke kampus karena saya dengar, Mbak Asma ada urusan di sana,” ucap Pak Soni.Aku menghela napas panjang. Sudah beberapa hari Asma tidak membalas pesanku. Biasanya dia cepat membalas pesanku. Ada apa? Apa dia sangat marah kepadaku?“Kalo ruangan Mas Aldo, kamu sudah lihat?” tanyaku sambil memandangi Pak Soni. Pak Soni tampak bingung.“Mas Husein, sebenarnya ada yang ingin saya katakan sama Mas Husein, tapi saya sedikit ragu. Saya takut Mas kalo ini ….,”“Apa?” potongku dengan cepat. Aku tidak suka basa-basi. Aku ingin Pak Soni berbicara dengan cepat kepadaku. Lelaki paruh baya itu sesekali menghela napas panjang. Wajahnya tampak cemas dan membuatku semakin penasaran.“Apa? Apa yang kamu mau katakan?” tanyaku lagi.“Katanya, Mas Aldo dan Mbak Asma itu pernah ada hubungan Mas. Saya juga kurang tahu, tapi sepertinya Mas Aldo suka sama Mbak Asma,” ucap Pak Soni.
POV Husein SandewaAku sangat mencintai Maya Anjani dan tidak ada satu pun yang bisa membuatku berpaling darinya. Dia istriku yang sangat cantik. Cinta pertamaku dan belahan jiwaku. Lalu Tuhan menguji cinta kami berdua. Malam itu, ibu menangis di hadapanku. Dia memohon agar aku mau menikah lagi. Rencana gila yang dua bulan lalu sudah disusunnya dengan rapih. Kata ibu, dia mengenal seorang gadis yang rajin bernama Asma Hanifa. Ibu sangat menyukainya. Pernah sekali ibu melihatnya di rumah sakit sebagai tenaga kesehatan di bidang farmasi. Karena itu lah ibu menginginkannya.Alasan tepatnya adalah, ibu melihat Asma sebagai wanita yang sabar dan penurut dan tentu saja dia ingin menjadi istri keduaku.Aku menolak perjodohan gila ini namun ibu terus memaksaku. Maya Anjani, perempuan yang aku cintai kecelakaan. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, dia mengatakan bahwa aku harus memikirkan dengan baik rencana ibu. Dia tidak menolak, dia juga tidak menerima. Namun di hatiku yang paling dal
Kami memutuskan untuk berpisah. Malam itu juga, Mas Husein mengantarku ke rumah. Sejujurnya dia tidak ingin membawahku pulang ke rumah malam-malam. Namun aku memaksanya. Mas Husein belum mengucapkan kata talak kepadaku karena dia menyuruhku untuk menimbang setiap keputusan ini. Selama di perjalanan, kami saling diam. Sesekali dia menatapku dari balik kaca spion dan menghela napas panjang. “Jangan menangis, takutnya ibumu berpikir buruk sama saya.”“Nggak, aku nggak nangis kok, Mas,” jawabku. Aku menyeka air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin dia melihatku. Demi Allah, aku tidak ingin Mas Husein beranggapan jika aku lemah. Tidak ada yang boleh menganggapku lemah. Sesampai di rumah ibu, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Ibu yang berdiri di depan pintu terkejut menatapku. “Asma, Asma!” panggilnya. Dia mengikuti dari belakang. “Asma, apa yang terjadi? Kamu dan Husein beneran pisah? Gila yah kamu!” Aku tidak mengubris ucapan ibu. Aku dengan cepat menutup pintu. Mas Husein sepert
Seminggu setelah kematian Mbak Maya, kelakuan Mas Husein masih saja sama. Dia sering kali ditemukan terlelap tidur di samping makam Mbak Maya. Ibu Wati yang melihat hal itu segera menghubungi psikolog untuk membantu putranya. Berkali-kali Mas Husein marah. Dia tidak ingin dianggap gila. “Nggak apa-apa Mas, siapa tahu dengan bantuan psikiater, Mas lebih baik,” ucapku. Ini kali pertama aku berbicara kepada Mas Husein. Dia spontan menatapku dengan pandangan tajam. “Jadi, kamu juga berpikir kalo aku gila, begitu?” teriaknya. Aku menggeleng dengan cepat. Aku takut jika Mas Husein marah seperti ini. “Nggak Mas!” jawabku. Mas Husein segera menutup pintu kamar dengan keras. Aku terperanjak kaget. “Asma!” panggil Ibu Wati. Aku segera berjalan cepat masuk ke dapur. Di sana, Ibu Wati menatapku dengan wajah sedih. Dia mengelus pungungku dan menuntunku untuk duduk di meja makan. Wajahnya terlihat serius memandangiku. “Asma, aku tahu ini nggak mudah bagi kamu. Husein sulit melupakan Maya d
Setelah kepergian Mbak Maya, suasana di rumah sangat berbeda. Malam ini, orang-orang berdatangan untuk melaksanakan takziah. Ibu Wati berada di depan pintu menyambut para tamu. Saat ibu-ibu masuk ke dalam rumah, mereka menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi saat aku duduk berdampingan dengan Mas Husein, mereka mencibir.“Pasti dia senang, jadi istri satu-satunya, siapa sih nggak bahagia?”“Pelakor naik pangkat, keren banget dia.”Aku menunduk saat melewati ibu-ibu pengajian yang memandangiku dengan tatapan menjijikan. Mereka kerap kali bertanya apakah aku sudah hamil atau tidak. Entahlah, sepertinya kehidupanku adalah hal yang menarik bagi mereka. “Mas mau minum?” seruku kepada Mas Husein. Sejak tadi, dia duduk dan diam saja. Bahkan untuk berbicara pun sepertinya dia tidak sanggup.Mas Husein tidak bersuara saat aku menawarkan secangkir teh hangat. “Mas makan dulu yah.”Mas Husein menggeleng. “Mbak Maya bakalan sedih kalo Mas Husein seperti ini. Mas belum makan da
Malam harinya, aku menemani Mas Husein untuk menjaga Mbak Maya. Sampai sekarang kondisi Mbak Maya sama sekali tidak ada perubahan.“Mas, tangannya gerak Mas!” ucapku kepada Mas Husein yang terlelap tidur di sampingku. Dia segera bangun dan mencoba menatap Mbak Maya.“Tadi gerak!” ucapku lagi. Aku takut dia mengatakan aku bohong kepadanya.“Tangan Mbak Maya dingin banget Mas,” seruku.Jemarinya sangat dingin dan aku tidak enak hati untuk menjelaskan hal ini kepada Mas Husein sejak tadi.“Mas panggil dokter dulu yah. Kamu di sini!”Mas Husein berdiri lalu berjalan menuju pintu. Namun aku segera memanggilnya saat jemari Mbak Maya bergerak sekali lagi.“Mas, mas, gerak lagi Mas!”Mas Husein kembali. Dia menyentuh kening Mbak Maya dan berbisik. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, suaranya sangat pelan.“Nggak ada waktu lagi, Mas harus panggil dokter!”Mas Husein berlari menuju pintu. Jemariku bergetar saat Mas Husein mengatakan itu. Apa yang terjadi? Aku sangat takut.“Mbak Maya, mbak ban
Orang-orang mengatakan jika kematian Mbak Maya sebentar lagi. Saat aku berada di ruangan itu, ku lihat ibu Wati dan beberapa orang menangis di hadapanku.Mas Husein tidak terlihat dimana pun. Tadi dia mengatakan ingin berbicara dengan dokter. Namun sampai sekarang Mas Husein tidak kembali. Aku berusaha mencarinya. Dia harus ada di tempat ini sekarang.Aku melangkah menuju taman rumah sakit, rupanya dia ada di sana. Mas Husein menundukan wajahnya, sesekali dia terlihat menghela napas panjang. Jika kematian itu terjadi, betapa hancurnya dirinya.Aku tahu, dia sangat mencintai Maya. Aku tahu, tidak ada perempuan di dunia ini yang mampu mengantikan Mbak Maya di hatinya.Aku rela diceraikan olehnya saat Mbak Maya telah sehat kembali. Seharusnya aku tidak mengambil kebahagian mereka. Seharusnya aku tidak ada di sini dan menganggu hubungan mereka.“Mas dicari sama Ibu,” ucapku.Dia perlahan menongakan wajahnya ke atas dan melihatku. Dia tersenyum, aku membalas senyumannya. Bola matanya berka
Asma POVHana menemaniku di Bogor selama dua minggu. Aku bahagia di sini. Aku tidak pulang ke rumah Mas Husein. Entahlah, aku sedang memikirkan rencana perceraian kami. “Apa nggak sebaiknya bertemu Mas Husein yah, biar hubungan kalian jelas. Kalo seperti ini kan, nggak baik,” ucap Hana tiba-tiba. “Maksudnya gimana, Han? Kamu suruh aku balik lagi ke rumah itu?” tanyaku. Hana menunjukan ponselnya kepadaku. “Tadi aku baca berita kalo Mbak Maya kambuh lagi. Dia dilarikan ke rumah sakit pukul dua malam. Entahlah, katanya dia punya asam lambung yang cukup parah,” jelas Hana. “Iya, dia punya riwayat asam lambung yang cukup parah, kasihan juga sih,” sahutku. Aku memasukan beberapa barang ke koper. Rencananya, Mas Aldo akan menjemput kami di Bogor dan akan mengajak aku dan Hana jalan-jalan ke Jogja. Hana menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Wajahnya tampak sedih. Dari tadi dia terlihat gelisah. “Jujur Asma, aku kasihan sama Mbak Maya. Suaminya menikah lagi saat dia sakit, p