Aku dan Hana berlari masuk ke dalam mobil. Hana dengan cepat melajukan kendaraannya keluar dari cafe. Aku tidak tahu kalo follower Mas Husein dan Mbak Maya sebanyak ini. Bahkan mereka mengenal wajahku.
Hana memarkir mobilnya di depan pom bensin. Jaraknya lumayan jauh dari cafe.
“Alhamdulillah Asma, untung saja aku tarik kamu. Kalo tadi kita di cafe itu, kamu bisa babak belur. Kamu nggak tahu yah kalo Mbak Maya punya follower yang banyak?” ucap Hana.
“Nggak tahu Han, ya Allah aku takut!” jawabku.
Hari ini sebenarnya aku punya rencana mau ke rumah sakit. Menjenguk mbak Maya. Namun aku jadi takut jalan sendiri.
Kalo aku berangkat ke rumah sakit bersama Mas Husein, dia nggak bakalan izinkan aku mengunjungi Mbak Maya. Aku belum melihat wajah Mbak Maya secara langsung.
“Han, antar aku ke rumah sakit,” pintaku.
Hana mengantarku ke rumah sakit. Aku dan dia berjalan menuju ruangan ICU. Sesampai di ruangan ICU, aku melihat seorang wanita muda berdiri di depan pintu.
Aku dan Hana saling pandang. “Siapa tuh?” tanya Hana. Aku menggelengkan kepala.
“Nggak tahu Han, mungkin saudara Maya atau keluarganya,” seruku. Aku melangkah mendekat ke arah mereka.
“Kamu tunggu di sini saja yah, aku masuk ke dalam!” seruku. Aku perlahan masuk ke dalam ruang ICU. Aku meminta izin lebih dahulu kepada suster. Di sana, ada tiga suster yang memantau kondisi Maya.
Wanita itu menatapku dengan pandangan tajam. Dia menyeka air matanya dengan cepat. Aku mundur selangkah saat dia mendekat ke arahku.
“Jangan masuk!” perintahnya.
Aku berdiri di depan pintu sambil memegang gangang itu dengan tangan gemetar. Wajahnya memerah dan sepertinya dia sedang marah.
“Kamu istri kedua, Husein?”
Aku menelan salivaku sambil menganggukan kepala. Aku takut sekarang. Wanita itu terus melangkah. Dia kemudian berhenti tepat di depanku. Jarak kami sangat dekat.
“Kamu yang namanya Asma?”
“I-iya Mbak!”
Dia menghela napas panjang.
“Keluar!” usirnya. Aku semakin takut. Mendengarkan suara teriakan itu, Hana bergegas menghampiriku. Dia berada di belakangku.
“Keluar, kataku!” perintahnya.
“Mbak, apa salahku? Aku ingin bertemu Mbak Maya, aku ingin melihatnya,” pintaku. Wanita itu marah sambil mengusap air matanya.
Dia mengepal tangannya dengan kuat dan tubuhnya seperti menegang. Para suster yang sedang berjaga menghampiri kami.
“Maaf yah Mbak, ini ruangan ICU, sebaiknya anda berdua keluar. Jangan buat keributan di sini!”
Wanita itu kemudian mengengam tanganku dengan kuat dan menarikku keluar dari ruangan. Aku terkejut bukan main.
Hana berusaha mengikutiku.
“Mbak, lepaskan teman saya!” seru Hana. Wanita yang tidak ku tahu namanya itu membawahku ke taman. Dia kemudian mengempaskan tanganku dengan kasar.
“Kau tidak punya malu, apa? Kau datang menjenguk adikku lalu dengan tega mengambil Mas Husein saat dia sakit. Apa nggak punya malu kamu?” serunya.
Aku tertunduk lemas.
“Mbak, teman saya hanya mau bertemu dengan Mbak Maya, dia nggak jahat. Lagi pula pernikahan ini, bukan kemauan Asma. Jangan salahkan teman saya dong!” ucap Hana. Dia menarikku agar mendekat ke arahnya.
Hana kemudian maju dan berhadapan dengan wanita itu. Dia berkacak pingang.
“Saya Annisa, kakak dari Maya. Kalian seharusnya tidak datang ke sini. Apa kamu mau datang buat mengejek adik saya, begitu?”
Dia terus menatapku. Aku berada di belakang tubuh Hana. Hana melindungiku dari serangan wanita jadi-jadian itu.
“Sebaiknya pergi dan jangan pernah datang lagi. Sekali saja aku melihatmu di sini, kau tidak akan aman!”
Hana dan aku berbalik arah dan bergegas menjauh darinya. Kami berjalan menuju loby rumah sakit. Hana menarik tanganku.
“Asma, aku sudah bilang kan. Jangan pernah datang ke rumah sakit ini. Bisa saja fans atau keluarga Mbak Maya melukaimu.”
Di depan loby rumah sakit, air mataku tumpah. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan dan menangis.
“Aduh Asma, jangan nangis di sini dong. Aku sudah bilang, lebih baik kamu di rumah saja sampai kondisinya baik. Aduh.”
Hana membawahku ke mobil. Di dalam mobil, air mataku semakin deras mengalir. Aku tidak tahu mengapa aku menangis namun aku bisa merasakan luka yang ada di hati Maya. Dia pasti kecewa dengan suaminya.
Mereka sangat romantis, seperti keluarga yang harmonis. Sialnya, aku datang menghancurkan mereka.
Hana melanjukan kendaraanya keluar dari area rumah sakit, dia membawahku kembali ke rumah. Sesampai di depan gerbang rumah Mas Husein, Hana menatapku dengan sangat lama.
Berulang kali dia menghela napas panjang.
“Asma, sebaiknya kamu tenangkan dulu dirimu. Jangan pernah keluar sendiri. Panggil aku yah,” serunya.
Aku menganggukan kepala. Dengan pelan aku keluar dari dalam mobil. Sebelum masuk ke dalam rumah, aku menatapnya.
“Nggak usah nangis, ini bukan salahmu kok,” ucapnya sambil tersenyum. Hana melambaikan tangan dan mobilnya keluar dari gerbang utama.
Aku kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Di kamar, aku menangis. Aku tidak mampu menghadapi semua ini. Aku rasanya kalah.
Mas Husein seharusnya bersama Mbak Maya. Mengapa ibu malah memaksaku dan membuatku merasa bersalah?
Aku rupanya menangis hingga terlelap tidur. Pukul empat sore, aku terbangun. Aku terkejut saat melihat Mas Husein berada di kamarku.
Dengan cepat aku menarik jilbab dan menggunakannya. Dia spontan memandangiku.
“Kenapa sih harus ditutup? Aku kan sudah lihat,” ucapnya.
Aku terdiam.
“Tadi, kamu ke rumah sakit yah?” tanyanya.
Mas Husein duduk di sisi ranjang tepat di sampingku. Jarak kami sangat dekat. Baru kali ini dia ingin duduk dekat denganku.
“Iya,” jawabku beberapa saat.
“Kenapa sih harus ke sana? Kamu tahu kan, semua keluarga Maya nggak suka kamu. Kalo dia melihat kamu, kamu akan terluka,” serunya.
Suara Mas Husein sangat lembut kali ini. Aku bingung harus menjawab apa. Rencananya aku ingin bertemu dengan Mbak Maya. Mengucapkan kata maaf dan berjanji untuk tidak menyentuh suaminya sampai dia bangun kembali.
Namun sayang, baru di depan pintu, Mbak Miska malah memakiku.
“Asma?” panggil Mas Husein. Dia terus memandangiku.
“Maaf Mas,” jawabku
“Hmm.”
Mas Husein menghela napas kasar di udara. Dia kemudian beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke arah jendela. Mas Husein berdiri di sana dengan sangat lama. Dia menatap keluar.
“Asma, aku nggak mau marah kepadamu. Aku hanya minta, kamu nggak bertemu dengan Maya dulu. Aku tidak bisa melindungimu selalu. Aku sibuk,” serunya.
“Iya Mas,” jawabku lemah.
“Satu lagi, jangan pernah mengaku di depan publik kalo kamu istriku.”
Lelaki itu kemudian berjalan keluar dari dalam kamar. Mas Husein sepertinya tidak suka aku hadir di hidupnya. Tapi apa boleh buat, ini permintaan ibunya.
Sepertinya ibu Wati tidak suka dengan Maya. Kalo dia menyanyangi menantunya, pasti dia melarang Husein menikah lagi.
Ah, aku bingung. Pernikahan ini penuh misteri dan otakku tidak bisa memikirkan semuanya.
***
Aku meminta izin kepada Bibi Sari untuk membuat makan siang. Sejak tadi pagi, Mas Husein sudah berangkat ke kantor. Aku berencana mau mengunjungi kantornya. Aku benar-benar bosan di rumah sendiri. “Nggak usah Mbak Asma. Biar saya saja yang masak. Nanti Mas Husein marah, saya bisa dipecat!” seru bibi Sari saat aku mencoba mengaduk iga sapi buatannya. Wanita paruh baya itu melarangku untuk membantunya di dapur. Katanya, Mas Husein akan marah. Tugasku hanyalah berada di rumah dan bersenang-senang. “Nggak apa-apa Bi, sesekali aku mau masak untuk Mas Husein. Mungkin hatinya mencair kalo aku buatkan makanan,” kekehku. Bibi Sari sedang membuat sup iga sapi. Aku berdiri di sampingnya dan memohon agar aku bisa membantunya. “Tolong lah, sekali aja Bi!” Aku memohon. “Ya deh, Mbak Asma. Tapi kalo Mas Husein marah, itu bukan salahku yah,” ucapnya. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Tenang saja, Bi!” jawabku. Aku membuat sup iga sapi yang enak. Ibu selalu mengajariku untuk membuat
Di dalam taksi menuju rumah, aku terus memandangi foto Mbak Maya. Wajah cantik wanita itu benar-benar menakjubkan. Pantas saja Mas Husein tidak bisa melupakannya. Bahkan saat dia sakit, Mas Husein begitu setia menemaninya. Aku membuat Instagram baru. Dua hari lalu, aku menghapus akunku karena aku stress dengan pesan yang masuk. Sekarang aku membuat Instagram baru dengan nama samaran. Aku mencoba membuka akun gossip lambe. Benar saja, semua fotoku terpampang nyata di akun gossip itu. Menyebalkan!Ada 10 ribu komentar terbaru. Para netizen kesal karena aku dituduh merebut Mas Husein. Ada diantara mereka berniat akan memukulku jika bertemu di jalan. Pantas saja Mas Husein panik kalo aku keluar dari rumah. Tidak jarang diantara mereka membuat akun Instagram atas namaku. Bahkan Instagram itu dibuat sama persis dengan Instagram lamaku dan pengikutnya berjumlah 12 ribu follower. Sumpah serapah berhamburan di akun tersebut. Menjengkelkan sekali!“Non yang lagi viral yah?” Suara pak supi
Seperti biasa di pagi hari, Mas Husein berangkat ke kantor. Aku tidak tahu, mengapa dia tidak ingin membangunkanku. Apa dia marah? Apa dia takut? Dulu aku menghayal bahwa seorang lelaki akan mengecup keningku setiap pagi. Tapi, aku salah! “Menyebalkan!” Aku berjalan ke dapur dan melihat Bibi Sari seperti biasa membuat sarapan. “Tadi Mas Husein sarapan nggak?” tanyaku.“Nggak Non, katanya nanti sarapan di rumah sakit.”Aku duduk di meja makan sambil memandangi bibi Sari membuat nasi goreng. Wanita paruh baya itu sangat rajin bekerja. Kadang dia melarangku untuk membantunya. “Sudah lama kerja di sini, Bi?” tanyaku penasaran. “Sudah 5 tahun Non, awalnya saya bekerja sama ibu Wati,” jawabnya.Aku iseng membuka media sosialku. Rupanya Galih sudah membaca pesanku namun dia sama sekali tidak ingin membalasnya. Apa Galih marah? Apa seperti ini dia marah kepadaku sekarang?Bosan berada di dapur, aku kembali ke kamar. Ding![Nanti mau dibawahkan makanan apa?]Mas Husein mengirimkan pesan.
Esok harinya, aku tidak melihat Mas Husein dimana pun. Aku bertanya kepada bibi Sari sebelum berangkat ke kampus, katanya Mas Husein berangkat ke rumah sakit sejak tadi subuh dan belum pulang sampai sekarang. “Mbak Maya ada kemajuan. Katanya, Mbak Maya mengerakan tangannya, Mbak,” ucap bibi Sari bersemangat. Aku ikut bahagia mendengarkannya. Siapa sih yang tidak senang mengetahui Mbak Maya akan sehat kembali. Ya, setidaknya dia bangun dari koma dan segera mengurus Mas Husein, suaminya. Aku hampir gila dibuat lelaki itu. Aku berangkat ke kampus untuk bertemu dengan Hana. “Asma!” panggil Hana yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus. Aku berangkat ke kampus menggunakan taksi karena supir Mas Husein juga bersiap ke rumah sakit. “Ada Mas Aldo mau ketemu tuh. Katanya dia baru tahu kalo kamu udah nikah,” ucap Hana. Mas Aldo adalah senior kami. Aku sudah menganggapnya seperti kakak kandung sendiri. Dia sering membayarkan biaya kuliahku. Dia juga memberikan aku uang jajan s
Pernikahan kami sudah berjalan satu bulan lebih dan dia sama sekali tidak tertarik menyentuhku. Puas memikirkan nasibku, aku turun dari ke lantai satu. Duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Perasaanku berantakan sekarang. “Mbak Asma, mau makan apa?” tanya Bibi Sari. “Memangnya sudah jam berapa Bi?” tanyaku. Aku akhir-akhir ini jarang makan. Pikiranku berpusat kepada Mas Husein dan juga berita viral yang semakin menjadi-jadi. Napsu makanku berkurang. Kepalaku terasa mau pecah memikirkan semua masalah secara bersamaan.“Sudah pukul empat sore, Mbak,” jawab Bibi Sari. Ya Allah, hampir saja lupa sholat Azhar. Aku segera berlari menuju kamar untuk menunaikan sholat Azhar. “Nanti Bi yah, aku sholat dulu,” ucapku. Setelah sholat, dia datang menghampiriku lagi di dalam kamar.“Mau makan malam apa, Mbak?”” tanyanya. Dia sepertinya menunggu jawabanku sejak tadi. Aku sedang tidak berselera makan sejujurnya. “Nasi goreng saja, Bi,” jawabku. Aku hanya makan ice cream cokelat tadi siang
Walaupun aku sedang marah kepadanya namun aku tetap membantunya. Seperti subuh ini, aku membantunya untuk sholat subuh. Mas Husein tidak bisa mengerakan kakinya karena kakinya terkilir. Maka dari itu, dia memintaku untuk menemaninya. Setelah pertengkaran yang cukup sengit tadi malam, kami lebih banyak diam sekarang. Kemarin setelah menangis, aku berlari ke taman rumah sakit seorang diri. Di taman itu, aku berteriak. Setelah puas berteriak, aku kembali ke ruangan Mas Husein. Rupanya dia sudah terlelap tidur saat aku kembali. Setelah sholat subuh, aku menyediakan sarapan untuknya. Dia terus memperhatikan gerak-gerikku tanpa bersuara. Sepertinya dia sedang mengamati apa yang aku lakukan. “Maya … saya ingin bertemu Maya,” pintanya beberapa saat. “Gimana mau bertemu Mbak Maya, Mas aja nggak bisa jalan. Nanti saya minta tolong sama suster buat bawah Mas ke ruangan ICU,” jawabku ketus.Aku membalas sikap dinginya. Memang dia siapa yang selalu mengacuhkanku? Aku juga bisa melakukannya.
Aku merasakan tangan seseorang mengengamku dengan erat. Perlahan, aku membuka mataku. Ruangan itu putih dan menyilaukan mata. “Asma?”“Asma, kau sudah sadar?” tanyanya. Mas Husein berada di sampingku. Oh, rupanya dia yang mengengam tanganku. Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Dimana aku? Aku bertanya-tanya. Mas Husein memaksa tubuhnya untuk berdiri dan memelukku dengan erat. Aku terkejut bukan main. “Ya Allah, ada apa? Mengapa dia memelukku?” batinku. Aku meraba pipiku. Sakit, sangat sakit. Rasa sakit ini menjadi satu. “Jangan pegang pipinya. Pasti sakit, maafkan Mas yah.”Aku menatap wajah tampannya itu. Dia terus memandangiku. Aku jadi tidak enak seperti ini. Jarak kami sangat dekat. Di ruangan ini, hanya ada aku dan Mas Husein. “Tadi aku pingsan?” tanyaku. Dia menganggukan kepala. “Tadi Nisa mau melukai kamu. Beruntung Mas segera datang. Mas takut banget dia mencelakaimu, Asma.”Aku ingin, sebelum pingsan aku mendorong tubuh Nisa sambil berteriak. Samar-samar bayangan Mas Hus
“Maaf yah mas,” ucapku mengakhiri pembicaraan kami. Tidak ada balasan. Dia terdiam seribu bahasa. Pukul empat subuh, aku terbangun. Aku segera sholat subuh dua rakat. Setelah itu, aku mencarinya. Sejak tadi saat bangun, aku tidak melihat Mas Husein dimana pun. Aku membuka pintu kamar. Rupanya dia ada di bawah sedang duduk di meja makan. Sepertinya Mas Husein sedang merenung. Ku pikir, dia akan pergi lagi.Aku berjalan menuju dapur. Mertuaku sedang membantu Bibi Sari memaksa. Dia tersenyum menyambut kehadiranku. “Asma, sini!” ucapnya. Dia memberikanku satu sendok nasi goreng. “Coba periksa rasanya, gimana?” tanya mertuaku bersemangat. Aku menikmati nasi goreng yang sedang dimasakanya. Enak, sangat enak. “Ini nasi goreng buatan ibu, ada bumbu rahasiannya. Husein suka, nanti ibu kasih resepnya,” ucap ibu. Aku tersenyum. “Makasih bu,” jawabku. Aku bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari ibu Wati. Dia begitu peduli kepadaku. Dia begitu sayang kepadaku. Beruntung aku memiliki
Sudah seminggu ini aku memutuskan untuk menginap di kediaman Hana. Mas Aldo menyarankan kepadaku untuk fokus mengurus pendidikanku. Aku sudah mengirimkan proposalku kepada Madam Rebecca dan berharap dia ingin menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya.Madam Rebecca sampai sekarang belum membalas pesanku. Aku sedikit cemas, takut jika dia tidak peduli lagi karena aku lama membalas pesannya.Aku tidak punya pilihan lain selain pergi dari rumah. Ibu mengusirku dan menganggapku sebagai anak yang durhaka. Dia terus membujukku untuk kembali kepada Mas Husein.Sudah seminggu ini, Mas Husein tidak menghubungiku. Sekedar mengirimkan pesan pun, dia sepertinya tidak ingin.Entahlah, apa secepat itu dia melupakanku.“Nggak mau bertemu Galih?”Hana tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundakku dengan lembut. Aku spontan menoleh dan menatapnya.“Gimana? Kalo kamu mau, Mas Aldo akan mengantarmu ke sana.”Aku menggeleng.“Nggak usah!” jawabku.Aku duduk di depan jendela. Kepalaku masih dipenuh
Husein Sandewa Pov“Mas Husein, Mbak Asma nggak ada di kampus. Saya sudah nunggu di depan parkiran, eh nggak muncul, biasanya dia ke kampus karena saya dengar, Mbak Asma ada urusan di sana,” ucap Pak Soni.Aku menghela napas panjang. Sudah beberapa hari Asma tidak membalas pesanku. Biasanya dia cepat membalas pesanku. Ada apa? Apa dia sangat marah kepadaku?“Kalo ruangan Mas Aldo, kamu sudah lihat?” tanyaku sambil memandangi Pak Soni. Pak Soni tampak bingung.“Mas Husein, sebenarnya ada yang ingin saya katakan sama Mas Husein, tapi saya sedikit ragu. Saya takut Mas kalo ini ….,”“Apa?” potongku dengan cepat. Aku tidak suka basa-basi. Aku ingin Pak Soni berbicara dengan cepat kepadaku. Lelaki paruh baya itu sesekali menghela napas panjang. Wajahnya tampak cemas dan membuatku semakin penasaran.“Apa? Apa yang kamu mau katakan?” tanyaku lagi.“Katanya, Mas Aldo dan Mbak Asma itu pernah ada hubungan Mas. Saya juga kurang tahu, tapi sepertinya Mas Aldo suka sama Mbak Asma,” ucap Pak Soni.
POV Husein SandewaAku sangat mencintai Maya Anjani dan tidak ada satu pun yang bisa membuatku berpaling darinya. Dia istriku yang sangat cantik. Cinta pertamaku dan belahan jiwaku. Lalu Tuhan menguji cinta kami berdua. Malam itu, ibu menangis di hadapanku. Dia memohon agar aku mau menikah lagi. Rencana gila yang dua bulan lalu sudah disusunnya dengan rapih. Kata ibu, dia mengenal seorang gadis yang rajin bernama Asma Hanifa. Ibu sangat menyukainya. Pernah sekali ibu melihatnya di rumah sakit sebagai tenaga kesehatan di bidang farmasi. Karena itu lah ibu menginginkannya.Alasan tepatnya adalah, ibu melihat Asma sebagai wanita yang sabar dan penurut dan tentu saja dia ingin menjadi istri keduaku.Aku menolak perjodohan gila ini namun ibu terus memaksaku. Maya Anjani, perempuan yang aku cintai kecelakaan. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, dia mengatakan bahwa aku harus memikirkan dengan baik rencana ibu. Dia tidak menolak, dia juga tidak menerima. Namun di hatiku yang paling dal
Kami memutuskan untuk berpisah. Malam itu juga, Mas Husein mengantarku ke rumah. Sejujurnya dia tidak ingin membawahku pulang ke rumah malam-malam. Namun aku memaksanya. Mas Husein belum mengucapkan kata talak kepadaku karena dia menyuruhku untuk menimbang setiap keputusan ini. Selama di perjalanan, kami saling diam. Sesekali dia menatapku dari balik kaca spion dan menghela napas panjang. “Jangan menangis, takutnya ibumu berpikir buruk sama saya.”“Nggak, aku nggak nangis kok, Mas,” jawabku. Aku menyeka air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin dia melihatku. Demi Allah, aku tidak ingin Mas Husein beranggapan jika aku lemah. Tidak ada yang boleh menganggapku lemah. Sesampai di rumah ibu, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Ibu yang berdiri di depan pintu terkejut menatapku. “Asma, Asma!” panggilnya. Dia mengikuti dari belakang. “Asma, apa yang terjadi? Kamu dan Husein beneran pisah? Gila yah kamu!” Aku tidak mengubris ucapan ibu. Aku dengan cepat menutup pintu. Mas Husein sepert
Seminggu setelah kematian Mbak Maya, kelakuan Mas Husein masih saja sama. Dia sering kali ditemukan terlelap tidur di samping makam Mbak Maya. Ibu Wati yang melihat hal itu segera menghubungi psikolog untuk membantu putranya. Berkali-kali Mas Husein marah. Dia tidak ingin dianggap gila. “Nggak apa-apa Mas, siapa tahu dengan bantuan psikiater, Mas lebih baik,” ucapku. Ini kali pertama aku berbicara kepada Mas Husein. Dia spontan menatapku dengan pandangan tajam. “Jadi, kamu juga berpikir kalo aku gila, begitu?” teriaknya. Aku menggeleng dengan cepat. Aku takut jika Mas Husein marah seperti ini. “Nggak Mas!” jawabku. Mas Husein segera menutup pintu kamar dengan keras. Aku terperanjak kaget. “Asma!” panggil Ibu Wati. Aku segera berjalan cepat masuk ke dapur. Di sana, Ibu Wati menatapku dengan wajah sedih. Dia mengelus pungungku dan menuntunku untuk duduk di meja makan. Wajahnya terlihat serius memandangiku. “Asma, aku tahu ini nggak mudah bagi kamu. Husein sulit melupakan Maya d
Setelah kepergian Mbak Maya, suasana di rumah sangat berbeda. Malam ini, orang-orang berdatangan untuk melaksanakan takziah. Ibu Wati berada di depan pintu menyambut para tamu. Saat ibu-ibu masuk ke dalam rumah, mereka menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi saat aku duduk berdampingan dengan Mas Husein, mereka mencibir.“Pasti dia senang, jadi istri satu-satunya, siapa sih nggak bahagia?”“Pelakor naik pangkat, keren banget dia.”Aku menunduk saat melewati ibu-ibu pengajian yang memandangiku dengan tatapan menjijikan. Mereka kerap kali bertanya apakah aku sudah hamil atau tidak. Entahlah, sepertinya kehidupanku adalah hal yang menarik bagi mereka. “Mas mau minum?” seruku kepada Mas Husein. Sejak tadi, dia duduk dan diam saja. Bahkan untuk berbicara pun sepertinya dia tidak sanggup.Mas Husein tidak bersuara saat aku menawarkan secangkir teh hangat. “Mas makan dulu yah.”Mas Husein menggeleng. “Mbak Maya bakalan sedih kalo Mas Husein seperti ini. Mas belum makan da
Malam harinya, aku menemani Mas Husein untuk menjaga Mbak Maya. Sampai sekarang kondisi Mbak Maya sama sekali tidak ada perubahan.“Mas, tangannya gerak Mas!” ucapku kepada Mas Husein yang terlelap tidur di sampingku. Dia segera bangun dan mencoba menatap Mbak Maya.“Tadi gerak!” ucapku lagi. Aku takut dia mengatakan aku bohong kepadanya.“Tangan Mbak Maya dingin banget Mas,” seruku.Jemarinya sangat dingin dan aku tidak enak hati untuk menjelaskan hal ini kepada Mas Husein sejak tadi.“Mas panggil dokter dulu yah. Kamu di sini!”Mas Husein berdiri lalu berjalan menuju pintu. Namun aku segera memanggilnya saat jemari Mbak Maya bergerak sekali lagi.“Mas, mas, gerak lagi Mas!”Mas Husein kembali. Dia menyentuh kening Mbak Maya dan berbisik. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, suaranya sangat pelan.“Nggak ada waktu lagi, Mas harus panggil dokter!”Mas Husein berlari menuju pintu. Jemariku bergetar saat Mas Husein mengatakan itu. Apa yang terjadi? Aku sangat takut.“Mbak Maya, mbak ban
Orang-orang mengatakan jika kematian Mbak Maya sebentar lagi. Saat aku berada di ruangan itu, ku lihat ibu Wati dan beberapa orang menangis di hadapanku.Mas Husein tidak terlihat dimana pun. Tadi dia mengatakan ingin berbicara dengan dokter. Namun sampai sekarang Mas Husein tidak kembali. Aku berusaha mencarinya. Dia harus ada di tempat ini sekarang.Aku melangkah menuju taman rumah sakit, rupanya dia ada di sana. Mas Husein menundukan wajahnya, sesekali dia terlihat menghela napas panjang. Jika kematian itu terjadi, betapa hancurnya dirinya.Aku tahu, dia sangat mencintai Maya. Aku tahu, tidak ada perempuan di dunia ini yang mampu mengantikan Mbak Maya di hatinya.Aku rela diceraikan olehnya saat Mbak Maya telah sehat kembali. Seharusnya aku tidak mengambil kebahagian mereka. Seharusnya aku tidak ada di sini dan menganggu hubungan mereka.“Mas dicari sama Ibu,” ucapku.Dia perlahan menongakan wajahnya ke atas dan melihatku. Dia tersenyum, aku membalas senyumannya. Bola matanya berka
Asma POVHana menemaniku di Bogor selama dua minggu. Aku bahagia di sini. Aku tidak pulang ke rumah Mas Husein. Entahlah, aku sedang memikirkan rencana perceraian kami. “Apa nggak sebaiknya bertemu Mas Husein yah, biar hubungan kalian jelas. Kalo seperti ini kan, nggak baik,” ucap Hana tiba-tiba. “Maksudnya gimana, Han? Kamu suruh aku balik lagi ke rumah itu?” tanyaku. Hana menunjukan ponselnya kepadaku. “Tadi aku baca berita kalo Mbak Maya kambuh lagi. Dia dilarikan ke rumah sakit pukul dua malam. Entahlah, katanya dia punya asam lambung yang cukup parah,” jelas Hana. “Iya, dia punya riwayat asam lambung yang cukup parah, kasihan juga sih,” sahutku. Aku memasukan beberapa barang ke koper. Rencananya, Mas Aldo akan menjemput kami di Bogor dan akan mengajak aku dan Hana jalan-jalan ke Jogja. Hana menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Wajahnya tampak sedih. Dari tadi dia terlihat gelisah. “Jujur Asma, aku kasihan sama Mbak Maya. Suaminya menikah lagi saat dia sakit, p