Bab 4

‘Selebgram cantik sedang koma di rumah sakit Mulya. Mas Husein sejak kemarin menunggunya. Benar-benar pasangan yang manis.’

Aku melihat akun gossip yang sedang membahas tentang Maya dan Mas Husein. Akun gossip itu tiba-tiba muncul di berandaku. 

Rupanya kehidupan rumah tangga Mas Husein dan Maya menjadi sorotan publik. Banyak fans yang mengangumi sikap Mas Husein. 

Mas Husein terkenal sebagai lelaki tampan, kaya, sholeh dan mapan. Mereka menjadikan Mas Husein sebagai sosok suami ideal. 

‘Mereka pasangan yang serasi. Insyallah sampai di Jannah. Pokoknya nggak ada yang ngalahin kesetiaan Mas Husein. Cakep!’

‘Aku yakin Mas Husein pasti bersama dengan mbak Maya lagi, yang sabar yah Mas Husein.’

Aku membaca beberapa komentar netizen. Mereka semua memberikan doa kepada Maya. Entah mengapa, aku jadi takut dikenal oleh publik. Aku memilih menutup I*******m dan berjalan ke arah balkon.

Sudah dua hari lelaki itu meninggalkanku. Jangankan mengirim pesan, menjengukku pun, dia tidak sudi. 

Ibu menghubungiku tadi malam dan mengatakan jika aku harus banyak bersabar. Ibu akan berangkat ke Malaysia untuk liburan. Pinjaman online ayahku sebesar 200 juta sudah lunas terbayar. 

Aku kesal dengan sikap ibuku. Dia tega meninggalkanku di rumah Mas Husein dan merana seperti ini. 

“Mbak Asma?”

Bibi Sari mengagetkanku. Dia tiba-tiba berdiri di depan pintu dan tersenyum. 

“Mas Husein mau datang ke rumah. Katanya tadi, mbak harus berias. Dia sepertinya mau ajak mbak Asma keluar,” ucapnya. 

“Benarkah Bi?” 

Aku terkejut. 

“Iya Mbak, saya ke bawah dulu yah. Mau siapkan makanan.”

Bibi Sari kemudian pergi. Aku dengan cepat berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuhku lalu berias. Aku mempercantik diriku dan berharap dia menatapku dengan sangat lama. 

Aku tidak sabar menunggunya. Sudah dua hari dia meninggalkanku tanpa kabar. Tadi malam setelah ibu menghubungiku, ibu Wati meneleponku juga, aku terpaksa berbohong. Aku mengatakan jika putranya bersikap baik. 

Sedih melakukan ini namun Mas Husein akan marah jika ibunya marah. 

“Mbak Asma, Mas Husein sudah datang,” seru Bibi Sari. 

Aku segera berlari menuju lantai dua. Di ruang keluarga, lelaki berwajah dingin itu duduk di sofa dan menatapku dengan pandangan tajam. Tidak pernah ada senyuman di wajahnya.

“Mas, kita mau kemana?” tanyaku berbasa-basi. Setidaknya dia berbicara kepadaku dari pada hanya diam saja. 

“Mau pake baju seperti itu?” Keningnya berkerut menatapku. 

Aku spontan memandangi dress merah yang aku gunakan. Memang ada salah? pikirku. 

“Gunakan pakaian yang benar!” ucapnya ketus. 

Mas Husein beranjak dari tempat duduknya dan berjalan masuk ke dalam dapur. Tatapannya tajam dan wajahnya hambar. 

“Oh Tuhan, dasar monster!” runtutku dalam hati. 

Aku kembali ke kamar dan bingung, pakaian yang benar seperti apa? Pasmina yang aku gunakan tampak bagus. Aku juga tidak terlalu seksi. Memang apa kurangnya?

Bibi Sari menyusulku masuk ke dalam kamar. “Mbak Asma, gunakan jilbab ini. Mbak Maya selalu berpenampilan sederhana. Mungkin Mas Husein lagi sensitive. Biasanya gitu dia,” kekeh Bibi Sari. Dia mencoba menghiburku. 

“Maksudnya, dia mau aku berpenampilan seperti mbak Maya?” tanyaku polos. Bibi Sari menganggukan kepala. 

“Iya Mbak, ikuti saja,” bisiknya dengan pelan. 

Aku menghela napas panjang. Mungkin dia rindu dengan mbak Maya. Tapi kenapa harus aku yang dijadikan modelnya?

Oke, aku akan mencoba menuruti keinginan gilanya. 

Setelah semuanya sudah siap, aku kembali menemuinya. Rupanya Mas Husein sudah menungguku di dalam mobil. Tidak ada senyuman saat tatapan kami bertemu. Aku segera masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya. 

Mobil perlahan melaju meninggalkan area rumah. 

“Mau kemana sih, Mas?” tanyaku ramah. 

“Apa kita mau ke rumah sakit?” tanyaku lagi. 

Lelaki itu tidak menjawab pertanyaanku. Jangankan menjawab pertanyaanku, memandangiku pun dia sepertinya tidak sudi. Bingung dengan sikapnya. 

Lelah bertanya, aku memilih diam saja dan menunggu kemana dia akan mengajakku pergi. 

Mobil tiba-tiba berhenti di sebuah restoran. Aku bingung, apa dia mau makan? Pikirku. Lelaki itu kemudian turun dari mobil tanpa berkata apapun.

Aku terpaksa turun dan mengejar setiap langkahnya. 

“Mas, tunggu!” seruku.

Ah menjengkelkan sekali, aku seperti sedang berbicara dengan batu. Apa dia tidak sadar kalo aku dari tadi berusaha untuk menarik perhatiannya?

Mas Husein duduk di meja nomor tiga. Rupanya dia sudah memesan meja itu lebih dahulu. Saat kami duduk bersama, seorang pelayan datang dan menghidangkan menu yang sudah dipesannya. 

Aku menuruti semua keinginannya tanpa bertanya sedikit pun. 

“Ini makan kesukaan Maya,” ucapnya tiba-tiba. 

Aku spontan menongakan wajahku. Hampir saja aku keselek ikan bakar karena terkejut dia berbicara. Ku pikir dari tadi aku berbicara dengan batu. 

“Oh,” jawabku. Aku mencoba merespon ucapannya meskipun kesal.

Beberapa pasang mata menatap kami. Aku bisa melihat mereka tertarik memandangi Mas Husein yang tampan. Tidak banyak dari mereka yang mencoba untuk mengambil gambar. 

Di dekat mas Husein, aku seperti artis saja. Beruntung aku menutup wajahku dengan masker saat lelaki itu berjalan ke kasir. Aku sudah mempersiapkan semuanya karena Mbak Maya dan Mas Husein adalah selebgram. 

“Kok sama perempuan lain sih Mas? Mbak Maya kan lagi sakit,” celetuk seorang kasir perempuan. 

Mas Husein hanya bisa tersenyum. 

“Ini siapa Mas? Adiknya yah,” ucapnya lagi. Total makanan kami adalah tiga ratus ribu. Mas Husein segera membayarnya dengan cepat. 

“Mas, ini siapa sih? Jangan sampai kami kecewa loh,” ucap mbak kasir lagi.

Aku semakin kesal. Ih, memang harus dijawab yah?

“Adik saya, mbak.”

Aku spontan menatap Mas Husein. Dia ikut memandangiku lalu mengalihkan pandangannya. 

“Ah, adik?” 

Aku terkejut.

Di dalam mobil. aku masih kesal karena dia tidak jujur. Tapi percuma saja kesal dengannya, jangankan peduli dengan perasaanku, melihat wajahku saja dia seperti jijik. 

Setelah makan bersama, aku dan Mas Husein menuju rumah sakit. Di depan ruang ICU, mas Husein melarangku masuk. Aku harus menunggunya di depan. 

Aku setuju. Aku menunggunya di depan dan mengintipnya melalui jendela. 

Di ruangan ICU, Mas Husein mengengam tangan Mbak Maya. Dia mengecup pipi dan kening Mbak Maya sebanyak dua kali. Dia juga terus menundukan wajahnya di samping mbak Maya. Aku harus menunggunya selama satu jam dan memperhatikan semua itu dari jauh. 

Aku tidak bisa marah karena aku harus menerima jika suamiku memiliki dua istri. Itu adalah kata-kata ibu. Sebuah mantra agar aku tidak cemburu, katanya.  

“Ah!” 

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dadaku sesak. Entah mengapa aku jadi cemburu melihatnya. 

***