Aku dan Hana tidak menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya harapan adalah, aku harus kabur dari rumah dan memilih menetap di Spanyol. Katanya, lebih baik aku menjadi TKW dari pada harus menjadi istri kedua.
Aku rasa, rencana Hana cukup baik. Namun bagaimana dengan nasib ibu? Dia pasti akan marah dan mungkin akan bunuh diri.
“Tidak Han, aku nggak bisa,” jawabku.
“Lalu gimana dong, Asma? Kamu mau jadi duri di dalam pernikahan Husein. Bagaimana kalo istrinya tidak jadi meninggal. Kamu akan dicap pelakor loh,” seru Hana.
Aku sudah memikirkan hal itu jauh-jauh hari.
“Hana, aku harus tidur. Nanti aku telepon lagi yah,” ucapku. Aku menutup sambungan telepon dan berjalan menuju tempat tidur.
“Tidak, tidak, aku dan dia tidak bisa bersama. Bagaimana jika istrinya membenciku nanti?” gumamku di dalam hati. Ketakutan tiba-tiba menghampiriku.
Pagi harinya, ibu dan para tetangga sibuk membuat kue di dapur. Katanya sebelum pernikahan, ibu akan melangsungkan pengajian sekaligus lamaran secara resmi.
Itu artinya aku dan lelaki itu akan bertemu malam ini.
“Kok nggak langsung nikah aja sih, Bu?” tanyaku kesal.
“Nggak bisa Asma, kamu harus dilamar dulu lah. Malu sama tetangga kalo langsung nikah. Nanti mereka pikir kamu hamil duluan, kan malu!” ucap Ibu. Dia sedang menyusun kue di atas meja.
“Lebih baik kamu bersiap untuk malam ini. Keluarga Husein akan datang dan melamarmu secara resmi. Oh yah, pacarmu namanya Galih, kalian masih pacaran?” tanya ibu. Dia menatapku dengan serius.
Aku memiliki kekasih bernama Galih Zunaed. Dia seorang arsitektur hebat. Kami sudah berkenalan selama lima tahun. Galih memilih untuk menyembunyikan hubungan kami karena ayahnya kurang setuju denganku.
Galih berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang pejabat publik. Sekarang Galih berada di Spanyol. Melanjutkan S3nya di sana.
Saat dia pergi meninggalkanku, Galih tidak berpamitan. Bahkan dia tidak menghubungiku sampai sekarang. Aku menyimpulkan jika hubungan kami sudah berakhir begitu saja.
“Asma? Kamu dengar ibu kan? Hubunganmu dengan Galih gimana?” tanya ibu lagi.
“Nggak, udah nggak pacaran.”
“Bagus!” ucap ibu dengan cepat. Senyuman mengembang di wajahnya.
“Kalo begitu, kamu bisa menikah dengan Husein. Apa yang membuat hatimu berat, Asma? Jelas-jelas Husein setia dan ingin bersamamu. Ayo lah, jangan seperti ini. Kalo kamu wajahnya cemberut, ibunya Husein akan sedih juga.”
Aku segera masuk ke dalam kamar lagi. Mendengarkan suara ibu hanya membuatku tambah sakit kepala.
Aku duduk di meja rias. Menatap wajahku dengan sangat lama dan mencoba merenung sejenak.
“Asma, jangan lupa yah undang Hana. Besok dia harus datang ke sini bantu ibu!” suara ibu dari luar terdengar jelas.
“Iya Bu,” jawabku.
Suasana di rumahku sangat ramai. Tetangga semakin banyak berdatangan. Mereka mengucapkan selamat kepadaku. Sebentar lagi aku akan dibawah ke rumah Husein dan menemaninya. Sekaligus menghibur hatinya.
Ibu berjanji akan selalu membantuku jika aku mengalami kesulitan di rumah Husein. Dia begitu yakin kalo Maya akan meninggal dan aku tidak akan kesulitan di masa depan.
Ah, mengapa ibu malah menyumpahi wanita itu agar cepat meninggal? Menjengkelkan!
Malam harinya, aku duduk di depan rumah dan menunggu keluarga Husein datang melamar. Saat mobil putih itu berhenti di depan gerbang, aku segera masuk ke dalam rumah karena malu.
ibu menyuruhku duduk masuk ke dalam kamar dan menunggu saja. Prosesi lamaran hanya dilakukan oleh Ibu, paman dan beberapa saudara dari ayah.
Aku terus berada di dalam kamar hingga prosesi lamaran selesai. Kata ibu, Husein tidak hadir. Orang tuanya yang mewakili dirinya.
Aku yakin, dia juga tidak setuju dengan pernikahan ini. Orang gila mana yang ingin menikah lagi saat istrinya sedang sakit.
Setelah acara lamaran itu, ibu Wati masuk ke dalam kamar dan memelukku. Dia begitu sayang kepadaku. Aneh, mengapa dia begitu sayang kepadaku sedangkan aku hanya orang biasa?
“Husein nggak hadir karena dia lagi kerja, sekarang kamu resmi jadi calon istri Husein,” ucapnya.
Aku tersenyum namun jujur senyuman ini tidak Ikhlas.
“Baik Bu,” jawabku.
***
Hari sepertinya berjalan dengan cepat dan tanpa sadar, aku akan menikah dengan Husein hari ini. Seluruh tamu sudah berdatangan ke rumah.
Ibu bilang jika keluarga Husein tidak akan merayakan pernikahanku dengan meriah karena mereka menghargai keluarga dari Maya. Aku setuju.
Sekarang di dalam kamar, aku sedang dirias oleh seorang MUA yang dipilih oleh ibu. Senyuman terus mengambang di wajah ibuku. Dia begitu bahagia melihatku akan menikah.
Kurang dari dua jam lagi, aku resmi menjadi istri dari Husein Sandewa.
“Uhf!”
“Neng, nggak usah tegang loh.”
Aku ditegur sejak tadi karena wajahku terlihat tegang. MUA yang disewa ibuku sangat sensitive. Katanya, dia sudah merias puluhan pengantin namun kali ini, dia sangat sulit merias wajahku. Makanya dia marah-marah sejak tadi.
Setelah dirias, aku disuruh menunggu di dalam kamar hingga ijab kabul selesai. Dari dalam kamar, aku bisa mendengarkan suara ibu Wati. Keluarga Husein sudah datang dan artinya, ijab kabul akan dilaksanakan beberapa menit lagi.
“Ya ampun, Asma. Aku nggak bisa lihat ini semua. Aku nggak rela!” ucap Hana. Sejak tadi pagi, dia menangis di sampingku. Dia tidak Ikhlas jika aku menjadi istri kedua.
“Aku nggak bisa berbuat apapun. Han. Ini sudah takdirku,” ucapku. Suaraku bergetar. Aku berusaha menahan air mataku.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."
Suara serak lelaki itu terdengar dengan jelas. Dengan satu tarikan nafas, dia menikahiku. Perlahan, aku menutup mataku dan menunduk ke bawah. Tanpa sadar, air mata terjatuh di pipiku.
Oh Tuhan, aku sudah menjadi istrinya
Hana terus menangis. Dia tidak bisa menahan air matanya. Selama ijab kabul, dia terus memelukku. Kami menangis bersama.
MUA yang meriasku tadi kaget. Baru kali ini ada pengantin yang menangis, katanya.
Setelah ijab kabul terucap, aku dibawah keluar dari dalam kamar. Di sisi kiri ada ibu dan di sisi kanan ada ibu Wati. Mereka menuntunku untuk duduk di samping Husein.
Dari jauh, aku melihat wajah lelaki itu. Dia menunduk ke bawah dan seakan tidak ingin memandangiku.
Aku duduk di sampingnya. Ibu Wati memerintahkan kepada Husein untuk mencium keningku. Jantungku berdetak lebih cepat.
Oh Tuhan.
Tangan lelaki itu mengengam jemariku. Perlahan, mata kami bertemu. Wajahnya sangat tampan. Bahkan lebih tampan dari Galih.
“Husein, Asma adalah istrimu. Cium dia!” perintah ibu Wati.
Perlahan wajah lelaki itu mendekat ke arahku. Dia mencium keningku dalam hitungan detik. Setelah ciuman itu selesai, Husein melepaskan gengaman tangannya. Dia lalu memalingkan wajahnya secepat kilat.
Semua yang hadir di dalam ruangan tersenyum bahagia.
Setelah akad selesai, ibu Wati membawahku ke sebuah hotel. Di dalam mobil, Husein sama sekali tidak ingin mengengam jemariku lagi. Dia terus menatap keluar jendela. Sepertinya wajahku sangat buruk sehingga dia tidak sudi melihatku.
Suasana menjadi hening. Aku ingin berbicara kepadanya namun aku ragu. Sesampai di hotel, aku dan keluarga Husein berpisah.
Husein membawahku ke sebuah kamar hotel. Ini adalah kamarku untuk beberapa hari ke depan sebelum pindah ke rumah lelaki itu. Kami berdua saja di sini dalam keheningan malam.
Di dalam kamar itu, aku duduk termenung di bibir ranjang. Menunggu dia untuk berbicara kepadaku. Husein sedang berada di dalam kamar mandi. Sejak tadi, dia sudah berada di sana.
Aku perlahan melepaskan riasan wajahku sambil menunggunya. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam. Aku dan dia belum sholat Isya.
“Siapa namamu?”
Suara itu mengelegar dan membuatku terkejut. Husein keluar dari dalam kamar mandi dan berdiri di hadapanku.
“Asma, bukankah kamu sudah tahu?” tanyaku. Aku memberanikan diri menatap wajah tampannya itu.
“Bukan, bukan, aku bertanya siapa nama lengkapmu? Aku bisa memanggilmu dengan sebutan apa?”
“Asma!” jawabku lagi.
Mas Husein menghela napas panjang. Tampak dia kesal.
“Oke!” jawabnya pada akhirnya. Dia kemudian berbalik arah dan berjalan menuju sebuah lemari.
“Aku ingin sholat di masjid. Di dekat hotel ini ada masjid. Kamu tunggu saja di sini!” ucapnya. Aku menganggukan kepala.
Dia bersiap untuk sholat Isya. Mas Husein melepaskan baju pengantinnya lalu mengantinya dengan baju koko. Saat aku ingin membantunya, dia meletakan tangan di depanku.
“Aku bisa sendiri,” jawabnya dengan wajah dingin.
“Oh yah, hari ini aku harus ke rumah sakit. Kamu bisa menungguku di sini. Satu lagi, maaf karena aku tidak bisa melakukannya denganmu,” ucapnya.
Ah? Maksudnya apa?
Posisiku masih saja sama. Berdiri di samping tempat tidur dengan gaun pengantin dan menatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Maksudnya apa?” tanyaku.
“Aku akan jelaskan nanti!”
Mas Husein bergegas keluar dari dalam kamar hotel. Dia meninggalkanku sendiri. Aku tertunduk lemas. Apa dia membenciku?
***
Jangan lupa komentarnya ^^
Aku menunggu Mas Husein hingga pukul 12 malam. Namun, lelaki itu tidak kunjung datang. Aku tertunduk lemas di atas tempat tidur. Aku sudah menunggunya selama ini. Mungkin dia membenciku sehingga tega meninggalkanku di malam pertama. Aku tidak berharap malam ini kami akan bercinta. Hal itu tidak ada di dalam pikiranku. Aku hanya ingin berbicara berdua saja. Aku keluar dari dalam kamar hotel hendak menuju rumah sakit. Aku yakin dia berada di rumah sakit sekarang. Sampai di loby hotel, aku memesan taksi. Di dalam taksi, aku mencoba mencari informasi mengenai keadaan Maya. Tidak ada berita mengenai Maya dan Husein lagi semenjak wanita itu koma. Husein dan Maya terkenal di dunia Maya sebagai pasangan ideal. Pengikut mereka sebanyak 100 ribu follower. Kisah cintanya kerap kali dibagikan di laman Instagram. Maya sangat cantik dan sholeh sehingga banyak yang tertarik dengannya. Aku mencoba mengikuti Instagram Maya. Menatap foto cantiknya dengan sangat lama. Banyak pengikut Instagram yan
‘Selebgram cantik sedang koma di rumah sakit Mulya. Mas Husein sejak kemarin menunggunya. Benar-benar pasangan yang manis.’Aku melihat akun gossip yang sedang membahas tentang Maya dan Mas Husein. Akun gossip itu tiba-tiba muncul di berandaku. Rupanya kehidupan rumah tangga Mas Husein dan Maya menjadi sorotan publik. Banyak fans yang mengangumi sikap Mas Husein. Mas Husein terkenal sebagai lelaki tampan, kaya, sholeh dan mapan. Mereka menjadikan Mas Husein sebagai sosok suami ideal. ‘Mereka pasangan yang serasi. Insyallah sampai di Jannah. Pokoknya nggak ada yang ngalahin kesetiaan Mas Husein. Cakep!’‘Aku yakin Mas Husein pasti bersama dengan mbak Maya lagi, yang sabar yah Mas Husein.’Aku membaca beberapa komentar netizen. Mereka semua memberikan doa kepada Maya. Entah mengapa, aku jadi takut dikenal oleh publik. Aku memilih menutup Instagram dan berjalan ke arah balkon. Sudah dua hari lelaki itu meninggalkanku. Jangankan mengirim pesan, menjengukku pun, dia tidak sudi. Ibu me
Satu jam berlalu, dia kemudian keluar dari ruangan ICU. Aku menunggu di depan pintu. “Mas?” panggilku saat Mas Husein berjalan ke arahku. Aku memasang senyuman yang indah saat kami akan berpapasan. Namun tiba-tiba saja dia melewatiku tanpa berbicara apapun. Aku segera mengekor di belakangnya. “Mas mau kemana?” tanyaku. Aku mempercepat setiap langkahku di belakangnya. “Mau sholat di masjid,” jawabnya dingin. Ku lirik jam di tanganku. Sudah pukul satu siang. Ya ampun, waktu cepat banget berlalu. Kami menuju masjid di samping rumah sakit. Aku dan Mas Husein berpisah sejenak. Setelah sholat, aku berjalan menuju mobil dan menunggunya. Saat keluar dari masjid, ada dua perempuan yang mengikuti Mas Husein dari belakang. Mereka tampak malu-malu menatap Mas Husein. “Ini buat Mbak Maya, semoga Mas Husein dan Mbak Maya buat konten lagi, rindu dengan konten kalian,” ucapnya. Mas Husein bersikap ramah. “Makasih yah!” jawabnya. Mas Husein kemudian menuju mobil. Dia menatapku sekilas lalu me
Aku meletakan kain di atas kepala Mas Husein agar demamnya turun. Tidak lupa aku memberikannya obat penurun demam. Walaupun dia masih mengigau, setidaknya tubuhnya tidak bergetar lagi. “Mbak Asma, Mas Husein selalu seperti ini kalo dia ingat Mbak Maya. Kata Ibu Wati, dia terlalu memikirkan istrinya makannya demam. Kasihan dia,” ucap Bibi Sari. “Sudah berapa lama dia seperti ini, Bi?” tanyaku penasaran. “Semenjak Mbak Maya koma, tiap malam dia seperti ini, Mbak.”Aku menatap Mas Husein yang sudah lebih tenang. Jemarinya mengengam tanganku dengan erat dan terus menyebut nama Mbak Maya. Dia merindukan istrinya. Apa yang harus aku lakukan?“Mas?” panggilku. Tidak ada suara. “Kalo dikasih obat penurun demam, besoknya udah baikan kok, Mbak. Tapi kadang saya takut saja, makanya tadi panggil Mbak Asma,” ucap bibi Sari. “Saya keluar dulu yah, Mbak.”Bibi Sari keluar dari dalam kamar. Aku menatap wajah Mas Husein yang perlahan berkeringat. Dengan telaten, aku membersihkan peluhnya. Wajah
Aku dan Hana berlari masuk ke dalam mobil. Hana dengan cepat melajukan kendaraannya keluar dari cafe. Aku tidak tahu kalo follower Mas Husein dan Mbak Maya sebanyak ini. Bahkan mereka mengenal wajahku. Hana memarkir mobilnya di depan pom bensin. Jaraknya lumayan jauh dari cafe. “Alhamdulillah Asma, untung saja aku tarik kamu. Kalo tadi kita di cafe itu, kamu bisa babak belur. Kamu nggak tahu yah kalo Mbak Maya punya follower yang banyak?” ucap Hana. “Nggak tahu Han, ya Allah aku takut!” jawabku. Hari ini sebenarnya aku punya rencana mau ke rumah sakit. Menjenguk mbak Maya. Namun aku jadi takut jalan sendiri. Kalo aku berangkat ke rumah sakit bersama Mas Husein, dia nggak bakalan izinkan aku mengunjungi Mbak Maya. Aku belum melihat wajah Mbak Maya secara langsung. “Han, antar aku ke rumah sakit,” pintaku. Hana mengantarku ke rumah sakit. Aku dan dia berjalan menuju ruangan ICU. Sesampai di ruangan ICU, aku melihat seorang wanita muda berdiri di depan pintu. Aku dan Hana salin
Aku meminta izin kepada Bibi Sari untuk membuat makan siang. Sejak tadi pagi, Mas Husein sudah berangkat ke kantor. Aku berencana mau mengunjungi kantornya. Aku benar-benar bosan di rumah sendiri. “Nggak usah Mbak Asma. Biar saya saja yang masak. Nanti Mas Husein marah, saya bisa dipecat!” seru bibi Sari saat aku mencoba mengaduk iga sapi buatannya. Wanita paruh baya itu melarangku untuk membantunya di dapur. Katanya, Mas Husein akan marah. Tugasku hanyalah berada di rumah dan bersenang-senang. “Nggak apa-apa Bi, sesekali aku mau masak untuk Mas Husein. Mungkin hatinya mencair kalo aku buatkan makanan,” kekehku. Bibi Sari sedang membuat sup iga sapi. Aku berdiri di sampingnya dan memohon agar aku bisa membantunya. “Tolong lah, sekali aja Bi!” Aku memohon. “Ya deh, Mbak Asma. Tapi kalo Mas Husein marah, itu bukan salahku yah,” ucapnya. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Tenang saja, Bi!” jawabku. Aku membuat sup iga sapi yang enak. Ibu selalu mengajariku untuk membuat
Di dalam taksi menuju rumah, aku terus memandangi foto Mbak Maya. Wajah cantik wanita itu benar-benar menakjubkan. Pantas saja Mas Husein tidak bisa melupakannya. Bahkan saat dia sakit, Mas Husein begitu setia menemaninya. Aku membuat Instagram baru. Dua hari lalu, aku menghapus akunku karena aku stress dengan pesan yang masuk. Sekarang aku membuat Instagram baru dengan nama samaran. Aku mencoba membuka akun gossip lambe. Benar saja, semua fotoku terpampang nyata di akun gossip itu. Menyebalkan!Ada 10 ribu komentar terbaru. Para netizen kesal karena aku dituduh merebut Mas Husein. Ada diantara mereka berniat akan memukulku jika bertemu di jalan. Pantas saja Mas Husein panik kalo aku keluar dari rumah. Tidak jarang diantara mereka membuat akun Instagram atas namaku. Bahkan Instagram itu dibuat sama persis dengan Instagram lamaku dan pengikutnya berjumlah 12 ribu follower. Sumpah serapah berhamburan di akun tersebut. Menjengkelkan sekali!“Non yang lagi viral yah?” Suara pak supi
Seperti biasa di pagi hari, Mas Husein berangkat ke kantor. Aku tidak tahu, mengapa dia tidak ingin membangunkanku. Apa dia marah? Apa dia takut? Dulu aku menghayal bahwa seorang lelaki akan mengecup keningku setiap pagi. Tapi, aku salah! “Menyebalkan!” Aku berjalan ke dapur dan melihat Bibi Sari seperti biasa membuat sarapan. “Tadi Mas Husein sarapan nggak?” tanyaku.“Nggak Non, katanya nanti sarapan di rumah sakit.”Aku duduk di meja makan sambil memandangi bibi Sari membuat nasi goreng. Wanita paruh baya itu sangat rajin bekerja. Kadang dia melarangku untuk membantunya. “Sudah lama kerja di sini, Bi?” tanyaku penasaran. “Sudah 5 tahun Non, awalnya saya bekerja sama ibu Wati,” jawabnya.Aku iseng membuka media sosialku. Rupanya Galih sudah membaca pesanku namun dia sama sekali tidak ingin membalasnya. Apa Galih marah? Apa seperti ini dia marah kepadaku sekarang?Bosan berada di dapur, aku kembali ke kamar. Ding![Nanti mau dibawahkan makanan apa?]Mas Husein mengirimkan pesan.
Sudah seminggu ini aku memutuskan untuk menginap di kediaman Hana. Mas Aldo menyarankan kepadaku untuk fokus mengurus pendidikanku. Aku sudah mengirimkan proposalku kepada Madam Rebecca dan berharap dia ingin menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya.Madam Rebecca sampai sekarang belum membalas pesanku. Aku sedikit cemas, takut jika dia tidak peduli lagi karena aku lama membalas pesannya.Aku tidak punya pilihan lain selain pergi dari rumah. Ibu mengusirku dan menganggapku sebagai anak yang durhaka. Dia terus membujukku untuk kembali kepada Mas Husein.Sudah seminggu ini, Mas Husein tidak menghubungiku. Sekedar mengirimkan pesan pun, dia sepertinya tidak ingin.Entahlah, apa secepat itu dia melupakanku.“Nggak mau bertemu Galih?”Hana tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundakku dengan lembut. Aku spontan menoleh dan menatapnya.“Gimana? Kalo kamu mau, Mas Aldo akan mengantarmu ke sana.”Aku menggeleng.“Nggak usah!” jawabku.Aku duduk di depan jendela. Kepalaku masih dipenuh
Husein Sandewa Pov“Mas Husein, Mbak Asma nggak ada di kampus. Saya sudah nunggu di depan parkiran, eh nggak muncul, biasanya dia ke kampus karena saya dengar, Mbak Asma ada urusan di sana,” ucap Pak Soni.Aku menghela napas panjang. Sudah beberapa hari Asma tidak membalas pesanku. Biasanya dia cepat membalas pesanku. Ada apa? Apa dia sangat marah kepadaku?“Kalo ruangan Mas Aldo, kamu sudah lihat?” tanyaku sambil memandangi Pak Soni. Pak Soni tampak bingung.“Mas Husein, sebenarnya ada yang ingin saya katakan sama Mas Husein, tapi saya sedikit ragu. Saya takut Mas kalo ini ….,”“Apa?” potongku dengan cepat. Aku tidak suka basa-basi. Aku ingin Pak Soni berbicara dengan cepat kepadaku. Lelaki paruh baya itu sesekali menghela napas panjang. Wajahnya tampak cemas dan membuatku semakin penasaran.“Apa? Apa yang kamu mau katakan?” tanyaku lagi.“Katanya, Mas Aldo dan Mbak Asma itu pernah ada hubungan Mas. Saya juga kurang tahu, tapi sepertinya Mas Aldo suka sama Mbak Asma,” ucap Pak Soni.
POV Husein SandewaAku sangat mencintai Maya Anjani dan tidak ada satu pun yang bisa membuatku berpaling darinya. Dia istriku yang sangat cantik. Cinta pertamaku dan belahan jiwaku. Lalu Tuhan menguji cinta kami berdua. Malam itu, ibu menangis di hadapanku. Dia memohon agar aku mau menikah lagi. Rencana gila yang dua bulan lalu sudah disusunnya dengan rapih. Kata ibu, dia mengenal seorang gadis yang rajin bernama Asma Hanifa. Ibu sangat menyukainya. Pernah sekali ibu melihatnya di rumah sakit sebagai tenaga kesehatan di bidang farmasi. Karena itu lah ibu menginginkannya.Alasan tepatnya adalah, ibu melihat Asma sebagai wanita yang sabar dan penurut dan tentu saja dia ingin menjadi istri keduaku.Aku menolak perjodohan gila ini namun ibu terus memaksaku. Maya Anjani, perempuan yang aku cintai kecelakaan. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, dia mengatakan bahwa aku harus memikirkan dengan baik rencana ibu. Dia tidak menolak, dia juga tidak menerima. Namun di hatiku yang paling dal
Kami memutuskan untuk berpisah. Malam itu juga, Mas Husein mengantarku ke rumah. Sejujurnya dia tidak ingin membawahku pulang ke rumah malam-malam. Namun aku memaksanya. Mas Husein belum mengucapkan kata talak kepadaku karena dia menyuruhku untuk menimbang setiap keputusan ini. Selama di perjalanan, kami saling diam. Sesekali dia menatapku dari balik kaca spion dan menghela napas panjang. “Jangan menangis, takutnya ibumu berpikir buruk sama saya.”“Nggak, aku nggak nangis kok, Mas,” jawabku. Aku menyeka air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin dia melihatku. Demi Allah, aku tidak ingin Mas Husein beranggapan jika aku lemah. Tidak ada yang boleh menganggapku lemah. Sesampai di rumah ibu, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Ibu yang berdiri di depan pintu terkejut menatapku. “Asma, Asma!” panggilnya. Dia mengikuti dari belakang. “Asma, apa yang terjadi? Kamu dan Husein beneran pisah? Gila yah kamu!” Aku tidak mengubris ucapan ibu. Aku dengan cepat menutup pintu. Mas Husein sepert
Seminggu setelah kematian Mbak Maya, kelakuan Mas Husein masih saja sama. Dia sering kali ditemukan terlelap tidur di samping makam Mbak Maya. Ibu Wati yang melihat hal itu segera menghubungi psikolog untuk membantu putranya. Berkali-kali Mas Husein marah. Dia tidak ingin dianggap gila. “Nggak apa-apa Mas, siapa tahu dengan bantuan psikiater, Mas lebih baik,” ucapku. Ini kali pertama aku berbicara kepada Mas Husein. Dia spontan menatapku dengan pandangan tajam. “Jadi, kamu juga berpikir kalo aku gila, begitu?” teriaknya. Aku menggeleng dengan cepat. Aku takut jika Mas Husein marah seperti ini. “Nggak Mas!” jawabku. Mas Husein segera menutup pintu kamar dengan keras. Aku terperanjak kaget. “Asma!” panggil Ibu Wati. Aku segera berjalan cepat masuk ke dapur. Di sana, Ibu Wati menatapku dengan wajah sedih. Dia mengelus pungungku dan menuntunku untuk duduk di meja makan. Wajahnya terlihat serius memandangiku. “Asma, aku tahu ini nggak mudah bagi kamu. Husein sulit melupakan Maya d
Setelah kepergian Mbak Maya, suasana di rumah sangat berbeda. Malam ini, orang-orang berdatangan untuk melaksanakan takziah. Ibu Wati berada di depan pintu menyambut para tamu. Saat ibu-ibu masuk ke dalam rumah, mereka menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi saat aku duduk berdampingan dengan Mas Husein, mereka mencibir.“Pasti dia senang, jadi istri satu-satunya, siapa sih nggak bahagia?”“Pelakor naik pangkat, keren banget dia.”Aku menunduk saat melewati ibu-ibu pengajian yang memandangiku dengan tatapan menjijikan. Mereka kerap kali bertanya apakah aku sudah hamil atau tidak. Entahlah, sepertinya kehidupanku adalah hal yang menarik bagi mereka. “Mas mau minum?” seruku kepada Mas Husein. Sejak tadi, dia duduk dan diam saja. Bahkan untuk berbicara pun sepertinya dia tidak sanggup.Mas Husein tidak bersuara saat aku menawarkan secangkir teh hangat. “Mas makan dulu yah.”Mas Husein menggeleng. “Mbak Maya bakalan sedih kalo Mas Husein seperti ini. Mas belum makan da
Malam harinya, aku menemani Mas Husein untuk menjaga Mbak Maya. Sampai sekarang kondisi Mbak Maya sama sekali tidak ada perubahan.“Mas, tangannya gerak Mas!” ucapku kepada Mas Husein yang terlelap tidur di sampingku. Dia segera bangun dan mencoba menatap Mbak Maya.“Tadi gerak!” ucapku lagi. Aku takut dia mengatakan aku bohong kepadanya.“Tangan Mbak Maya dingin banget Mas,” seruku.Jemarinya sangat dingin dan aku tidak enak hati untuk menjelaskan hal ini kepada Mas Husein sejak tadi.“Mas panggil dokter dulu yah. Kamu di sini!”Mas Husein berdiri lalu berjalan menuju pintu. Namun aku segera memanggilnya saat jemari Mbak Maya bergerak sekali lagi.“Mas, mas, gerak lagi Mas!”Mas Husein kembali. Dia menyentuh kening Mbak Maya dan berbisik. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, suaranya sangat pelan.“Nggak ada waktu lagi, Mas harus panggil dokter!”Mas Husein berlari menuju pintu. Jemariku bergetar saat Mas Husein mengatakan itu. Apa yang terjadi? Aku sangat takut.“Mbak Maya, mbak ban
Orang-orang mengatakan jika kematian Mbak Maya sebentar lagi. Saat aku berada di ruangan itu, ku lihat ibu Wati dan beberapa orang menangis di hadapanku.Mas Husein tidak terlihat dimana pun. Tadi dia mengatakan ingin berbicara dengan dokter. Namun sampai sekarang Mas Husein tidak kembali. Aku berusaha mencarinya. Dia harus ada di tempat ini sekarang.Aku melangkah menuju taman rumah sakit, rupanya dia ada di sana. Mas Husein menundukan wajahnya, sesekali dia terlihat menghela napas panjang. Jika kematian itu terjadi, betapa hancurnya dirinya.Aku tahu, dia sangat mencintai Maya. Aku tahu, tidak ada perempuan di dunia ini yang mampu mengantikan Mbak Maya di hatinya.Aku rela diceraikan olehnya saat Mbak Maya telah sehat kembali. Seharusnya aku tidak mengambil kebahagian mereka. Seharusnya aku tidak ada di sini dan menganggu hubungan mereka.“Mas dicari sama Ibu,” ucapku.Dia perlahan menongakan wajahnya ke atas dan melihatku. Dia tersenyum, aku membalas senyumannya. Bola matanya berka
Asma POVHana menemaniku di Bogor selama dua minggu. Aku bahagia di sini. Aku tidak pulang ke rumah Mas Husein. Entahlah, aku sedang memikirkan rencana perceraian kami. “Apa nggak sebaiknya bertemu Mas Husein yah, biar hubungan kalian jelas. Kalo seperti ini kan, nggak baik,” ucap Hana tiba-tiba. “Maksudnya gimana, Han? Kamu suruh aku balik lagi ke rumah itu?” tanyaku. Hana menunjukan ponselnya kepadaku. “Tadi aku baca berita kalo Mbak Maya kambuh lagi. Dia dilarikan ke rumah sakit pukul dua malam. Entahlah, katanya dia punya asam lambung yang cukup parah,” jelas Hana. “Iya, dia punya riwayat asam lambung yang cukup parah, kasihan juga sih,” sahutku. Aku memasukan beberapa barang ke koper. Rencananya, Mas Aldo akan menjemput kami di Bogor dan akan mengajak aku dan Hana jalan-jalan ke Jogja. Hana menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Wajahnya tampak sedih. Dari tadi dia terlihat gelisah. “Jujur Asma, aku kasihan sama Mbak Maya. Suaminya menikah lagi saat dia sakit, p