"Assalamu'alaikum. Kenapa Ummi belum tidur? Sudah malam loh ini," tanya Cahaya setelah menyalami dan mendapatkan pelukan hangat dari Mukta. "Wa'alaikumussalam, Cantik. Ummi sengaja nunggu anak Ummi. Kenapa malam sekali? Kalian pergi kemana dulu memangnya? Ayo, masuk." Mukta menarik tangan Cahaya lembut, mengabaikan Raja yang berjalan di belakang calon menantunya. "Sepertinya sekarang yang anak Ummi Cahaya, deh." Raja merajuk, mengikuti langkah dua perempuan terkasihnya. Mukta menoleh sekilas menanggapi omongan Raja, namun tidak berniat menjawab sama sekali. Rupanya bukan hanya Mukta yang masih terjaga, begitu Cahaya memasuki ruang tengah. Tampak Denni, Khadijah, juga Farhat seperti sengaja tengah menunggu kedatangannya. Hanya Syena yang nampak tertidur lelap di karpet bulu depan TV yang menyala. "Malam sekali, Teh? Diajak kemana dulu sama si Aa?" tanya Khadijah pada Cahaya begitu calon kakak iparnya memasuki ruangan, dengan Mukta yang seakan tidak ingin melepas genggaman tanganny
Cahaya langsung menundukkan kepala, saat kembali Ingatannya terpusat pada sentuhan lelaki tampan, yang sudah tidak bisa dia ingkari lagi ketergantungannya akan keberadaan Raja. "Hei! Kok malah nunduk?!" tanya Raja merasa heran, namun saat Cahaya kembali mendongak dan menatap matanya, Raja bisa melihat rona merah di wajah Cahaya. Lelaki itu tersenyum simpul, gemas dan merasa sangat ingin merengkuh Cahaya dalam dekapan hangatnya. "Jadi?" "Aku cocok dengan keduanya, jadi tinggal kamu saja sih yang nentuin lebih mau yang mana," jawab Cahaya dengan kembali memalingkan muka, dan kini tatapannya bersirobok dengan Mukta yang terus tersenyum. "Aku pilih ini kalau begitu, deal ya?" Cahaya kembali melihat pada ponsel Raja, kemudian mengangguk setuju. "Ok, aku kirim ke Khadi kalau gitu.""Nginap di sini ya, Sayang?" tawar Mukta pada Cahaya setelah Raja memutuskan cincin pilihan mereka. Cahaya menoleh pada Raja, yang kini sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemeja. Raja hanya meng
Keheningan mendadak menyelimuti, Raja dan Cahaya seakan kehilangan kata setelah hanya tinggal mereka berdua saja di sana. Hanya suara dari TV yang masih menyala, juga detakan jam dinding memecah kesunyian malam yang semakin merayap. Saat mata mereka bertemu, senyuman langsung menghiasi bibir keduanya. Apalagi Cahaya, ingatannya langsung tertuju pada ciuman mereka di dalam mobil tadi. Hei! Kenapa kamu jadi mesum sih, Cahaya? Ish, jangan asal nuduh deh. Itu sih? Diam! "Ehemm." Raja melepaskan rasa canggungnya, menghadapkan tubuhnya pada Cahaya yang mematung, hanya matanya saja mengikuti gerakan Raja. "Tidur yuk! Ups, maksudnya ... kamu tidur, sudah malam. Emm, takut kesiangan bangunnya."'Shit! Kenapa jadi gugup begini? Bagaimana kalau berdua di dalam kamar? Sadar Raja ...!'"I-iya, A. Eh, Maksudnya ... Sayang. Ya, Sayang." Cahaya pun tak jauh beda dengan Raja, dia merasa sangat gugup sekarang ini. Raja beranjak bangun, mengulurkan tangannya untuk membantu Cahaya berdiri. "Ayo,
"Bukan itu maksudnya, Sayang. Aku percaya sama kamu, cinta kamu. Aku izinkan kamu pergi, aku hanya menitipkan hatiku, jaga sampai kamu kembali lagi ke sampingku."Tangan keduanya saling meremas, mengungkapkan cinta yang tak terbatas, mengantarkan rindu pada satu muara. Harapan bersama. "Aku juga menitipkan hatiku padamu, Sayang. Tolong jaga, walau aku tahu kamu pasti akan melakukannya dengan sangat baik, seperti selama ini. Titip hati dan cintaku."Raja mengendurkan pelukannya, memutar badan Cahaya hingga mereka berhadapan. "Aku tunggu kamu pulang, Aya. Cahaya. Aku akan tunggu kamu pulang. Kembali padaku, dan menjadi milikku seutuhnya."Cahaya menatap sendu Raja, dia melihat keraguan dalam mata besar sang pujaan. Walau bibir mengatakan sebaliknya, Cahaya tahu Raja masih tetap meragukan perasaannya. "Nikahi aku, Sayang. Jadikan aku milikmu sebelum pergi, agar kamu percaya sepenuhnya, kalau aku hanya mencintaimu sekarang dan selamanya. Hanya kamu." bergetar suara Cahaya mengatakan kei
"Duduk dekat Ummi, Sayang." Ada kelegaan dalam hati Cahaya mendengar panggilan Mukta yang tidak berubah. Dia berharap, itu adalah pertanda baik. Menoleh pada Raja meminta izin--yang langsung mengangguk setuju--Cahaya berjalan mendekati Mukta ragu. "Jangan takut. Ummi bukan ingin membahas tentang kalian berpelukan tadi," kata Mukta tanpa perduli pada sepasang kekasih yang kini sudah bersemu wajahnya. "Duduk, A. Jangan deket-deket Aya tapi." Mukta membuat Raja menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ih, Ummi kenapa jadi galak gini, sih? Nggak asyik," protes Raja lalu memilih duduk di dekat Mukta, dari pada menerima lagi kata sindiran ibunya. "Coba jelaskan, apa maksudnya kalian akan berpisah sebentar lagi?" tanya Mukta kemudian, dengan menatap bergantian Raja dan Cahaya yang duduk mengapitnya. Raja menatap Mukta penuh tanya, dia heran bagaimana ibunya itu tahu tentang isi percakapannya tadi dengan Cahaya. Yang jadi pertanyaan, sudah berapa lama Mukta ada di sana? "Ummi ... dengar?"
Cahaya merasakan semua tatapan mata tertuju ke arahnya, sejak dia turun dari mobil Raja dan berjalan berdampingan dengan lelaki itu, membuat dia menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Raja yang baru bekerja beberapa hari, dan langsung menjadi idola baru karena ketampanan rupanya, kini menggenggam tangannya erat tanpa peduli dengan sekitar. Cahaya mencoba melepas genggaman itu, namun bukannya terlepas, tangan Raja semakit kuat mencengkram. Hingga suara pekikan yang sudah begitu dia kenal memanggilnya. "Cahaya!" Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Raja menghentikan langkah saat nama sang pujaan dipanggil. Dia ikut menoleh ke sumber suara dan mendapati Alya berjalan agak cepat menyusul mereka. "Hati-hati, Al!" ingat Cahaya khawatir, melihat sahabatnya itu berjalan dengan perutnya yang semakin membesar. Alya tersenyum, begitu dekat dia langsung memeluk Cahaya yang tidak Raja lepaskan sama sekali tangannya. "Kangen!""Sama!""Boong!""Loh?! Kata siapa? Beneran aku juga kangen."
Bel tanda mulai bekerja terdengar, Raja bersiap ke bagian produksi untuk mengecek list urgent hari ini. "Pak Raja, nanti jam 9 kita rapat lagi soal yang kemarin, tapi sekarang sama karyawan yang akan dikirimkan sekalian." Indra mendekat menyampaikan agenda hari ini. "Bersama Presdir juga?""Tidak, karena point pentingnya kan sudah dapat, dan untuk keberangkatan dilakukan bertahap.""Maksudnya? Kok, saya tidak tahu ya soal itu?""Iya, ini kemarin tambahan dari Presdir pas Bapak ke bagian produksi. Hanya obrolan biasa, jadi rencananya yang senior dulu pergi minggu depan, karena mereka sudah punya paspor. Untuk yang baru menyusul setelah selesai pembuatan paspor.""Hari tepatnya kapan, Pak?""Antara senin atau selasa, tiket juga belum dipesan. Tapi memang harus secepatnya berangkat, kalau tidak kita akan terus rugi dengan banyaknya produk yang dikembalikan."Raja mendesah pasrah, kabar pagi ini memperburuk mood-nya. Hanya beberapa hari lagi kebersamaannya dengan Cahaya. "Baiklah, apa
Kim Young Nam sengaja mendatangi PC milik Kim, untuk menyampaikan keputusan yang sudah dia dan Hana bicarakan, tentang rencana kepergian Hana dan Kim ke Indonesia. Young Nam yang baru menyadari kekeliruan langkahnya memaksakan Kim menikah dengan Su Ni, ingin mengibarkan bendera perdamaian dengan anaknya. Tiga tahun terakhir hubungan mereka menjadi renggang, karena kekerasan hatinya yang tetap tidak merestui hubungan Kim dengan Cahaya. Dia memang berhasil membuat Kim menikahi Su Ni, memilih membutakan mata dan hatinya atas kebahagiaan yang tidak dirasakan Kim. Baru pada saat A Ya hadir, barulah senyuman kembali terukir di bibir Kim. Membuka pintu ruang kerja Kim, Young Nam mendapati Kim yang tengah menatap bingkai photo dalam genggaman tangannya, tanpa menyadari kedatangannya sama sekali. Dengan langkah diatur sepelan mungkin, Young Nam mendekat hingga berdiri di samping Kim, dan melihat apa penyebab fokus anaknya tak teralihkan. Young nam menarik napas panjang, saat tahu kalau pho
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe