Cahaya langsung menundukkan kepala, saat kembali Ingatannya terpusat pada sentuhan lelaki tampan, yang sudah tidak bisa dia ingkari lagi ketergantungannya akan keberadaan Raja. "Hei! Kok malah nunduk?!" tanya Raja merasa heran, namun saat Cahaya kembali mendongak dan menatap matanya, Raja bisa melihat rona merah di wajah Cahaya. Lelaki itu tersenyum simpul, gemas dan merasa sangat ingin merengkuh Cahaya dalam dekapan hangatnya. "Jadi?" "Aku cocok dengan keduanya, jadi tinggal kamu saja sih yang nentuin lebih mau yang mana," jawab Cahaya dengan kembali memalingkan muka, dan kini tatapannya bersirobok dengan Mukta yang terus tersenyum. "Aku pilih ini kalau begitu, deal ya?" Cahaya kembali melihat pada ponsel Raja, kemudian mengangguk setuju. "Ok, aku kirim ke Khadi kalau gitu.""Nginap di sini ya, Sayang?" tawar Mukta pada Cahaya setelah Raja memutuskan cincin pilihan mereka. Cahaya menoleh pada Raja, yang kini sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemeja. Raja hanya meng
Keheningan mendadak menyelimuti, Raja dan Cahaya seakan kehilangan kata setelah hanya tinggal mereka berdua saja di sana. Hanya suara dari TV yang masih menyala, juga detakan jam dinding memecah kesunyian malam yang semakin merayap. Saat mata mereka bertemu, senyuman langsung menghiasi bibir keduanya. Apalagi Cahaya, ingatannya langsung tertuju pada ciuman mereka di dalam mobil tadi. Hei! Kenapa kamu jadi mesum sih, Cahaya? Ish, jangan asal nuduh deh. Itu sih? Diam! "Ehemm." Raja melepaskan rasa canggungnya, menghadapkan tubuhnya pada Cahaya yang mematung, hanya matanya saja mengikuti gerakan Raja. "Tidur yuk! Ups, maksudnya ... kamu tidur, sudah malam. Emm, takut kesiangan bangunnya."'Shit! Kenapa jadi gugup begini? Bagaimana kalau berdua di dalam kamar? Sadar Raja ...!'"I-iya, A. Eh, Maksudnya ... Sayang. Ya, Sayang." Cahaya pun tak jauh beda dengan Raja, dia merasa sangat gugup sekarang ini. Raja beranjak bangun, mengulurkan tangannya untuk membantu Cahaya berdiri. "Ayo,
"Bukan itu maksudnya, Sayang. Aku percaya sama kamu, cinta kamu. Aku izinkan kamu pergi, aku hanya menitipkan hatiku, jaga sampai kamu kembali lagi ke sampingku."Tangan keduanya saling meremas, mengungkapkan cinta yang tak terbatas, mengantarkan rindu pada satu muara. Harapan bersama. "Aku juga menitipkan hatiku padamu, Sayang. Tolong jaga, walau aku tahu kamu pasti akan melakukannya dengan sangat baik, seperti selama ini. Titip hati dan cintaku."Raja mengendurkan pelukannya, memutar badan Cahaya hingga mereka berhadapan. "Aku tunggu kamu pulang, Aya. Cahaya. Aku akan tunggu kamu pulang. Kembali padaku, dan menjadi milikku seutuhnya."Cahaya menatap sendu Raja, dia melihat keraguan dalam mata besar sang pujaan. Walau bibir mengatakan sebaliknya, Cahaya tahu Raja masih tetap meragukan perasaannya. "Nikahi aku, Sayang. Jadikan aku milikmu sebelum pergi, agar kamu percaya sepenuhnya, kalau aku hanya mencintaimu sekarang dan selamanya. Hanya kamu." bergetar suara Cahaya mengatakan kei
"Duduk dekat Ummi, Sayang." Ada kelegaan dalam hati Cahaya mendengar panggilan Mukta yang tidak berubah. Dia berharap, itu adalah pertanda baik. Menoleh pada Raja meminta izin--yang langsung mengangguk setuju--Cahaya berjalan mendekati Mukta ragu. "Jangan takut. Ummi bukan ingin membahas tentang kalian berpelukan tadi," kata Mukta tanpa perduli pada sepasang kekasih yang kini sudah bersemu wajahnya. "Duduk, A. Jangan deket-deket Aya tapi." Mukta membuat Raja menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ih, Ummi kenapa jadi galak gini, sih? Nggak asyik," protes Raja lalu memilih duduk di dekat Mukta, dari pada menerima lagi kata sindiran ibunya. "Coba jelaskan, apa maksudnya kalian akan berpisah sebentar lagi?" tanya Mukta kemudian, dengan menatap bergantian Raja dan Cahaya yang duduk mengapitnya. Raja menatap Mukta penuh tanya, dia heran bagaimana ibunya itu tahu tentang isi percakapannya tadi dengan Cahaya. Yang jadi pertanyaan, sudah berapa lama Mukta ada di sana? "Ummi ... dengar?"
Cahaya merasakan semua tatapan mata tertuju ke arahnya, sejak dia turun dari mobil Raja dan berjalan berdampingan dengan lelaki itu, membuat dia menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Raja yang baru bekerja beberapa hari, dan langsung menjadi idola baru karena ketampanan rupanya, kini menggenggam tangannya erat tanpa peduli dengan sekitar. Cahaya mencoba melepas genggaman itu, namun bukannya terlepas, tangan Raja semakit kuat mencengkram. Hingga suara pekikan yang sudah begitu dia kenal memanggilnya. "Cahaya!" Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Raja menghentikan langkah saat nama sang pujaan dipanggil. Dia ikut menoleh ke sumber suara dan mendapati Alya berjalan agak cepat menyusul mereka. "Hati-hati, Al!" ingat Cahaya khawatir, melihat sahabatnya itu berjalan dengan perutnya yang semakin membesar. Alya tersenyum, begitu dekat dia langsung memeluk Cahaya yang tidak Raja lepaskan sama sekali tangannya. "Kangen!""Sama!""Boong!""Loh?! Kata siapa? Beneran aku juga kangen."
Bel tanda mulai bekerja terdengar, Raja bersiap ke bagian produksi untuk mengecek list urgent hari ini. "Pak Raja, nanti jam 9 kita rapat lagi soal yang kemarin, tapi sekarang sama karyawan yang akan dikirimkan sekalian." Indra mendekat menyampaikan agenda hari ini. "Bersama Presdir juga?""Tidak, karena point pentingnya kan sudah dapat, dan untuk keberangkatan dilakukan bertahap.""Maksudnya? Kok, saya tidak tahu ya soal itu?""Iya, ini kemarin tambahan dari Presdir pas Bapak ke bagian produksi. Hanya obrolan biasa, jadi rencananya yang senior dulu pergi minggu depan, karena mereka sudah punya paspor. Untuk yang baru menyusul setelah selesai pembuatan paspor.""Hari tepatnya kapan, Pak?""Antara senin atau selasa, tiket juga belum dipesan. Tapi memang harus secepatnya berangkat, kalau tidak kita akan terus rugi dengan banyaknya produk yang dikembalikan."Raja mendesah pasrah, kabar pagi ini memperburuk mood-nya. Hanya beberapa hari lagi kebersamaannya dengan Cahaya. "Baiklah, apa
Kim Young Nam sengaja mendatangi PC milik Kim, untuk menyampaikan keputusan yang sudah dia dan Hana bicarakan, tentang rencana kepergian Hana dan Kim ke Indonesia. Young Nam yang baru menyadari kekeliruan langkahnya memaksakan Kim menikah dengan Su Ni, ingin mengibarkan bendera perdamaian dengan anaknya. Tiga tahun terakhir hubungan mereka menjadi renggang, karena kekerasan hatinya yang tetap tidak merestui hubungan Kim dengan Cahaya. Dia memang berhasil membuat Kim menikahi Su Ni, memilih membutakan mata dan hatinya atas kebahagiaan yang tidak dirasakan Kim. Baru pada saat A Ya hadir, barulah senyuman kembali terukir di bibir Kim. Membuka pintu ruang kerja Kim, Young Nam mendapati Kim yang tengah menatap bingkai photo dalam genggaman tangannya, tanpa menyadari kedatangannya sama sekali. Dengan langkah diatur sepelan mungkin, Young Nam mendekat hingga berdiri di samping Kim, dan melihat apa penyebab fokus anaknya tak teralihkan. Young nam menarik napas panjang, saat tahu kalau pho
Tak ingin melewatkan waktu percuma lagi, Kim membereskan meja kerjanya. Mengambil tas, memasukkan beberapa file penting, dan langsung menyampirkan di pundaknya. Melangkah dengan tergesa keluar dari sana, namun matanya terpaku pada paspor yang masih tergeletak di atas meja. Dia menepuk keningnya dengan senyum gemas, bagaimana bisa dia melupakan benda penting itu dan bahkan hampir saja meninggalkannya? "Gagal ketemu Cahaya kalau kamu lupakan benda ini, Kim!" guman Kim dengan kekehan. Setelah memasukkan paspor ke dalam tas, Kim keluar dari ruang kerjanya, dan memanggil orang kepercayaannya untuk meng-handle apapun yang terjadi di PC selama dia pergi. Selang lima belas menit kemudian, Kim sudah melajukan mobilnya di antara hiruk pikuk keramaian lalu lintas kota Young-in, menjelang sore hari. Dari bibirnya senandung lagu terus keluar, kebahagiaan seakan menjadi miliknya seorang hari itu. Tiba di apartemen Hana, Kim langsung berlari menuju lantai dua gedung itu, tak sabar ingin berbagi