"Duduk dekat Ummi, Sayang." Ada kelegaan dalam hati Cahaya mendengar panggilan Mukta yang tidak berubah. Dia berharap, itu adalah pertanda baik. Menoleh pada Raja meminta izin--yang langsung mengangguk setuju--Cahaya berjalan mendekati Mukta ragu. "Jangan takut. Ummi bukan ingin membahas tentang kalian berpelukan tadi," kata Mukta tanpa perduli pada sepasang kekasih yang kini sudah bersemu wajahnya. "Duduk, A. Jangan deket-deket Aya tapi." Mukta membuat Raja menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ih, Ummi kenapa jadi galak gini, sih? Nggak asyik," protes Raja lalu memilih duduk di dekat Mukta, dari pada menerima lagi kata sindiran ibunya. "Coba jelaskan, apa maksudnya kalian akan berpisah sebentar lagi?" tanya Mukta kemudian, dengan menatap bergantian Raja dan Cahaya yang duduk mengapitnya. Raja menatap Mukta penuh tanya, dia heran bagaimana ibunya itu tahu tentang isi percakapannya tadi dengan Cahaya. Yang jadi pertanyaan, sudah berapa lama Mukta ada di sana? "Ummi ... dengar?"
Cahaya merasakan semua tatapan mata tertuju ke arahnya, sejak dia turun dari mobil Raja dan berjalan berdampingan dengan lelaki itu, membuat dia menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Raja yang baru bekerja beberapa hari, dan langsung menjadi idola baru karena ketampanan rupanya, kini menggenggam tangannya erat tanpa peduli dengan sekitar. Cahaya mencoba melepas genggaman itu, namun bukannya terlepas, tangan Raja semakit kuat mencengkram. Hingga suara pekikan yang sudah begitu dia kenal memanggilnya. "Cahaya!" Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Raja menghentikan langkah saat nama sang pujaan dipanggil. Dia ikut menoleh ke sumber suara dan mendapati Alya berjalan agak cepat menyusul mereka. "Hati-hati, Al!" ingat Cahaya khawatir, melihat sahabatnya itu berjalan dengan perutnya yang semakin membesar. Alya tersenyum, begitu dekat dia langsung memeluk Cahaya yang tidak Raja lepaskan sama sekali tangannya. "Kangen!""Sama!""Boong!""Loh?! Kata siapa? Beneran aku juga kangen."
Bel tanda mulai bekerja terdengar, Raja bersiap ke bagian produksi untuk mengecek list urgent hari ini. "Pak Raja, nanti jam 9 kita rapat lagi soal yang kemarin, tapi sekarang sama karyawan yang akan dikirimkan sekalian." Indra mendekat menyampaikan agenda hari ini. "Bersama Presdir juga?""Tidak, karena point pentingnya kan sudah dapat, dan untuk keberangkatan dilakukan bertahap.""Maksudnya? Kok, saya tidak tahu ya soal itu?""Iya, ini kemarin tambahan dari Presdir pas Bapak ke bagian produksi. Hanya obrolan biasa, jadi rencananya yang senior dulu pergi minggu depan, karena mereka sudah punya paspor. Untuk yang baru menyusul setelah selesai pembuatan paspor.""Hari tepatnya kapan, Pak?""Antara senin atau selasa, tiket juga belum dipesan. Tapi memang harus secepatnya berangkat, kalau tidak kita akan terus rugi dengan banyaknya produk yang dikembalikan."Raja mendesah pasrah, kabar pagi ini memperburuk mood-nya. Hanya beberapa hari lagi kebersamaannya dengan Cahaya. "Baiklah, apa
Kim Young Nam sengaja mendatangi PC milik Kim, untuk menyampaikan keputusan yang sudah dia dan Hana bicarakan, tentang rencana kepergian Hana dan Kim ke Indonesia. Young Nam yang baru menyadari kekeliruan langkahnya memaksakan Kim menikah dengan Su Ni, ingin mengibarkan bendera perdamaian dengan anaknya. Tiga tahun terakhir hubungan mereka menjadi renggang, karena kekerasan hatinya yang tetap tidak merestui hubungan Kim dengan Cahaya. Dia memang berhasil membuat Kim menikahi Su Ni, memilih membutakan mata dan hatinya atas kebahagiaan yang tidak dirasakan Kim. Baru pada saat A Ya hadir, barulah senyuman kembali terukir di bibir Kim. Membuka pintu ruang kerja Kim, Young Nam mendapati Kim yang tengah menatap bingkai photo dalam genggaman tangannya, tanpa menyadari kedatangannya sama sekali. Dengan langkah diatur sepelan mungkin, Young Nam mendekat hingga berdiri di samping Kim, dan melihat apa penyebab fokus anaknya tak teralihkan. Young nam menarik napas panjang, saat tahu kalau pho
Tak ingin melewatkan waktu percuma lagi, Kim membereskan meja kerjanya. Mengambil tas, memasukkan beberapa file penting, dan langsung menyampirkan di pundaknya. Melangkah dengan tergesa keluar dari sana, namun matanya terpaku pada paspor yang masih tergeletak di atas meja. Dia menepuk keningnya dengan senyum gemas, bagaimana bisa dia melupakan benda penting itu dan bahkan hampir saja meninggalkannya? "Gagal ketemu Cahaya kalau kamu lupakan benda ini, Kim!" guman Kim dengan kekehan. Setelah memasukkan paspor ke dalam tas, Kim keluar dari ruang kerjanya, dan memanggil orang kepercayaannya untuk meng-handle apapun yang terjadi di PC selama dia pergi. Selang lima belas menit kemudian, Kim sudah melajukan mobilnya di antara hiruk pikuk keramaian lalu lintas kota Young-in, menjelang sore hari. Dari bibirnya senandung lagu terus keluar, kebahagiaan seakan menjadi miliknya seorang hari itu. Tiba di apartemen Hana, Kim langsung berlari menuju lantai dua gedung itu, tak sabar ingin berbagi
Langkah Kim terayun pasti, bandara internasional In-cheon dimasukinya dengan harapan yang menggunung. Dengan bermodal kertas yang sudah lepek bertuliskan alamat Cahaya, dia mencoba kembali membangun mimpi, merangkai asa kalau sang pujaan hati akan tetap sudi menerima. Memaafkan segala khilaf yang sudah dilakukannya tanpa sengaja, karena memang bukan ini inginnya, membiarkan semua berlarut tanpa bisa berbuat apa. Dia tak berani meninggikan angan, hanya berharap kenyataan akan bisa berpihak dalam kebahagiaan, menyatukan mereka dalam bingkai kebahagiaan, saat pertemuan kembali mereka dapatkan. Dia tak bisa menghubungi Cahaya, karena memang mereka tak pernah saling sapa sejak Kim mengikuti semua titah ayahnya. Tiga tahun hanya menekan kecewa atas semua kenyataan yang ada, Kim sudah seperti bukan dirinya, menjadi penurut dalam hati yang berontak tak rela. A Ya yang berada dalam gendongan sang nenek mengedarkan pandangannya, ini kali pertama gadis kecil itu akan berkunjung ke negara di m
Rumit dengan kisah yang membuatnya kadang tak mengerti, bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu? Merusak hubungan kasih sahabatnya sendiri, setelah tau kalau dialah yang sebenarnya Cahaya cintai. Egois dan tak tahu diri. Bahkan keduanya dengan tak risih sama sekali, memperlihatkan kemesraan di depan mata Raja, tak peduli luka hati yang mungkin dirasakan lelaki bijak itu. "Kami tidak mengkhianati Raja, Ma. Cahaya mencintai aku, dan Raja hanya menerima kenyataan itu. Aku Yang lebih dulu memiliki hati Cahaya, bukan Raja," elak Kim tetap tak mau menyadari kekeliruannya, kalau tindakan dia dulu bukan hal yang menyakiti Raja. "Tapi mereka sepasang kekasih saat kebenaran itu terungkap, Young Jin. Kamu merebut Cahaya dari Raja, dengan semua pembenaran di otak kamu waktu itu." Hana gemas juga dengan Kim yang masih saja membenarkan tindakannya dulu. "Buktinya Cahaya memilih aku, Ma. Bukan Raja. Itu kan sebagai bukti, kalau Cahaya mencintai aku, dan tak ingin membohongi Raja dengan perasaan
Cahaya yang baru sampai di tempat kostnya bersama Raja, langsung mendapat pertanyaan beruntun dari Dewi. Gadis yang sudah mengenal Raja, juga ikut andil dalam menyebarkan berita tentang Cahaya dan Raja, langsung masuk ke dalam kosan Cahaya. "Teh, baik-baik saja kan? Aku beneran khawatir, karena setelah malam itu Teteh nggak pulang atau kerja. Terus yang di fb juga bikin aku kaget gitu, selamat ya?!" Dewi tersenyum pada Raja dan Cahaya yang mendengarkan celotehnya. "Baik, Na. Sangat baik. Makasih ya udah peduli sama Teteh," jawab Cahaya sedikit tersipu saat Raja terus menatapnya tanpa menghiraukan kehadiran Dewi. "Teteh ngomongnya kok gitu?! Ya peduli atuh, Teteh.""Iya, makasih ya ....""Sama-sama, Teh. Ya udah, aku balik dulu, takut ganggu." Dewi terkekeh sambil berdiri, karena merasa canggung saat Raja hanya memperhatikan Cahaya tanpa peduli keberadaannya. "Loh, mau kemana?" tanya Raja yang menyadari sikapnya tidak bersahabat tadi. "Ke sebelah, Pak. Takut ganggu," ulang Dewi te