Rumit dengan kisah yang membuatnya kadang tak mengerti, bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu? Merusak hubungan kasih sahabatnya sendiri, setelah tau kalau dialah yang sebenarnya Cahaya cintai. Egois dan tak tahu diri. Bahkan keduanya dengan tak risih sama sekali, memperlihatkan kemesraan di depan mata Raja, tak peduli luka hati yang mungkin dirasakan lelaki bijak itu. "Kami tidak mengkhianati Raja, Ma. Cahaya mencintai aku, dan Raja hanya menerima kenyataan itu. Aku Yang lebih dulu memiliki hati Cahaya, bukan Raja," elak Kim tetap tak mau menyadari kekeliruannya, kalau tindakan dia dulu bukan hal yang menyakiti Raja. "Tapi mereka sepasang kekasih saat kebenaran itu terungkap, Young Jin. Kamu merebut Cahaya dari Raja, dengan semua pembenaran di otak kamu waktu itu." Hana gemas juga dengan Kim yang masih saja membenarkan tindakannya dulu. "Buktinya Cahaya memilih aku, Ma. Bukan Raja. Itu kan sebagai bukti, kalau Cahaya mencintai aku, dan tak ingin membohongi Raja dengan perasaan
Cahaya yang baru sampai di tempat kostnya bersama Raja, langsung mendapat pertanyaan beruntun dari Dewi. Gadis yang sudah mengenal Raja, juga ikut andil dalam menyebarkan berita tentang Cahaya dan Raja, langsung masuk ke dalam kosan Cahaya. "Teh, baik-baik saja kan? Aku beneran khawatir, karena setelah malam itu Teteh nggak pulang atau kerja. Terus yang di fb juga bikin aku kaget gitu, selamat ya?!" Dewi tersenyum pada Raja dan Cahaya yang mendengarkan celotehnya. "Baik, Na. Sangat baik. Makasih ya udah peduli sama Teteh," jawab Cahaya sedikit tersipu saat Raja terus menatapnya tanpa menghiraukan kehadiran Dewi. "Teteh ngomongnya kok gitu?! Ya peduli atuh, Teteh.""Iya, makasih ya ....""Sama-sama, Teh. Ya udah, aku balik dulu, takut ganggu." Dewi terkekeh sambil berdiri, karena merasa canggung saat Raja hanya memperhatikan Cahaya tanpa peduli keberadaannya. "Loh, mau kemana?" tanya Raja yang menyadari sikapnya tidak bersahabat tadi. "Ke sebelah, Pak. Takut ganggu," ulang Dewi te
Cahaya memandang sekeliling, dia ingat ini adalah tempatnya dulu pertama kali menginjakkan kaki di negara orang. Bandar udara. Tapi kenapa dia kembali ke masa itu? Langkahnya bergerak perlahan, mengikuti orang lain menuju pemeriksaan. Tak lama, dia pun keluar dari antrean. Matanya mencari sosok yang dulu juga pernah menjemputnya, membawa kertas bertuliskan namanya yang diangkat setinggi kepala. Namun tidak ada. Cahaya mulai bingung. Ia yakin ini masih sama dengan waktu itu, tapi kenapa alurnya berbeda? Kemana lelaki itu? Apa perusahaan lupa mengirimkan lelaki itu untuk menjemputnya? Atau ... ada orang lain yang ditugaskan menggantikannya? Cahaya terus menarik kopernya keluar dari pintu kedatangan. Ada. Lelaki itu ada di sana. Menunggunya dengan senyuman manis yang terkembang sempurna. Debaran hati Cahaya mulai menggila, ternyata rasanya masih sama, mencintai lelaki itu sedalam sebelumnya. Iya. Cinta. Langkah Cahaya kian pasti, apalagi saat namanya dipanggil penuh rindu oleh lel
Burung besi itu berhasil mendarat dengan baik di Bandara Husein Sastranegara. Dengan kerinduan yang membuncah pada tanah tumpah darahnya, Hana memandang keluar jendela pesawat. Menghirup dalam oksigen tanah kelahiran, Hana memejamkan mata merasakan rongga dada yang penuh dengan kebahagiaan. Akhirnya dia bisa kembali pulang, setelah tiga tahun lamanya keinginan tertahan karena kekeras kepalaan lelaki tersayang. Di sebelahnya, Kim juga mengembangkan senyuman. Tak henti dalam hati lelaki itu mengucapkan syukur pada Sang Kuasa, yang telah membuka hati ayahnya hingga dia berada di bumi wanita terkasihnya. Apa masih pantas dia mengakui Cahaya sebagai wanita terkasihnya? Kim tak ingin berpikir terlalu jauh, karena dirinya pun kini sudah tak utuh. Cintanya telah terbagi pada sosok gadis kecil, yang sedang asyik meminum susu dari botolnya. Apa yang terjadi nanti, adalah kenyataan yang harus dia hadapi. Baik-buruk atau bahagia-sedih. Hanya lihat nanti. Ya, lihat dan hadapi. Dengan menggendon
Kim memilih keluar dari kamar, untuk memberikan ruang pada Hana melepas kangen dengan sang nenek. Dia melangkah ke ruang tamu di mana kerabatnya menunggu. "Duduk sini, Jin!" seru sepupunya tanpa merasa bersalah dengan panggilan yang disematkan, dan Kim yang sudah merasa nyaman dengan panggilan itu, duduk di sofa kosong sebelahnya. Bukan Kim tak mengerti arti panggilan jin yang dilontarkan, hanya saja memang namanya seperti itu, jadi Kim tidak keberatan walau berbeda artian dalam bahasa Indonesia. "Gimana kerja? Masih di tempat dulu?" tanya Kim menepuk tangan sepupunya itu. "Masih, udah enak di sana. Lama nggak pulang ke Indonesia, datang-datang bawa anak lucu. Hebat!" sindir sepupunya yang memang sudah mengetahui cerita Kim dari para orang tua. Walau tentu saja tidak secara rinci, hanya poin pentingnya saja, itupun Hana tidak cerita sejelasnya. "Sialan!" rutuk Kim pura-pura marah. "Setidaknya aku sudah melangkah jauh di depan. Kamu? Jomblo abadi!" balas Kim penuh kemenangan. "Bel
Kim menghirup dalam udara negara sang mama, melihat sekeliling halaman rumah yang tidak banyak berubah, walau dia sudah empat tahun tidak berkunjung. Mengisi rongga dada dengan udara yang sama dengan Cahaya kini, Kim semakin merasakan kerinduan yang mendesak untuk segera bertemu dengan Cahaya. Namun dia sadar harus kembali menahan diri, untuk menemui Cahaya secepatnya, rencana harus disusun sebaik mungkin. "Ada apa? Kulihat kamu seperti sedang bingung, baru nyampe loh ini," tanya Sandi menatap Kim penasaran. "Nanti ... bisa kamu antar aku ketemu seseorang?" Kim sengaja menggantung kata, menunggu rasa penasaran Sandi akan kata yang akan dilanjutkannya. "Antar kemana? Emangnya kamu punya kenalan orang sini?" Sandi mulai tertarik. "Iya, dia ... kekasihku---""Wah, ternyata! Kukira kamu belum dapat pengganti mamanya A Ya," potong Sandi sebelum Kim melanjutkan kata-katanya. Plak! "Aww! Sakit, Jin!" protes Sandi saat Kim memukul pahanya kencang. "Jangan potong! Kebiasaan kamu," geram
Walaupun sudah mengetahui dari Hana, tetap saja dia tak percaya sebelumnya. Namun keterangan Sandi, membuatnya harus percaya sepenuhnya. "Ya, tapi lebih jauh dari Korea," kekeh Sandi mencoba mengurangi rasa kecewa Kim. "Pastinya." Kim ikut tertawa pelan menganggapi candaan Sandi."Kapan rencananya kamu mau pergi menemui Cahaya?""Bagaimana kalau setelah pertunangan kamu saja? Aku tahu, saat ini kamu pasti hanya fokus pada rencana pertunangan kamu dulu.""Itu lebih bagus, Jin. Berapa lama kalian akan di Indonesia?""Kalau aku paling lama dua minggu, entah kalau mama.""Dia tahu kamu sudah menikah dan punya anak?" "Kami lost contact, San. Sejak appa menyita ponsel lamaku, pasport, dan juga ATM. Lalu menikahkan aku dengan Su Ni." Kim tersenyum getir, kelebat saat kehidupannya yang terasa sangat menyakitkan dimulai, kembali membayang. "Tapi akhirnya kamu punya anak juga kan, walau menikah dijodohkan." Sandi terkekeh. "Tak seperti dugaan kamu, San. Su Ni memberiku obat, hingga aku men
Cahaya keluar dari ruang rapat bersama dengan Andri, Adrian, dan dua orang karyawan lainnya, yang akan diberangkatkan ke Korea beberapa hari ke depan. Tepatnya untuk Cahaya, Adrian, dan Andri saja. Karena dua orang karyawan lainnya harus membuat paspor lebih dahulu. Dan hasil rapat semakin membuat Raja merasakan lara. Bagaimana tidak? Keputusan telah dibuat, dan hari Senin nanti, Cahaya harus segera berangkat ke negara yang sudah mempertemukan mereka dahulu. Dan kesedihan itupun jadi milik Cahaya pastinya, karena waktu perpisahan dengan Raja semakin dekat saja. Langkah gontai Cahaya tertahan oleh cekalan tangan seseorang yang memaksanya menghentikan langkah, hingga tertinggal oleh yang lain tanpa sepengetahuan mereka. Cahaya sedikit memberontak melepaskan tangannya, sebelum mengetahui siapa yang melakukan tindakan itu padanya."Hei ... ini aku, Sayang!" suara yang selalu dirindukannya itu terdengar sebagai pelaku, menghentikan usaha Cahaya melepaskan tangannya. Dan saat mata mereka