Kim memilih keluar dari kamar, untuk memberikan ruang pada Hana melepas kangen dengan sang nenek. Dia melangkah ke ruang tamu di mana kerabatnya menunggu. "Duduk sini, Jin!" seru sepupunya tanpa merasa bersalah dengan panggilan yang disematkan, dan Kim yang sudah merasa nyaman dengan panggilan itu, duduk di sofa kosong sebelahnya. Bukan Kim tak mengerti arti panggilan jin yang dilontarkan, hanya saja memang namanya seperti itu, jadi Kim tidak keberatan walau berbeda artian dalam bahasa Indonesia. "Gimana kerja? Masih di tempat dulu?" tanya Kim menepuk tangan sepupunya itu. "Masih, udah enak di sana. Lama nggak pulang ke Indonesia, datang-datang bawa anak lucu. Hebat!" sindir sepupunya yang memang sudah mengetahui cerita Kim dari para orang tua. Walau tentu saja tidak secara rinci, hanya poin pentingnya saja, itupun Hana tidak cerita sejelasnya. "Sialan!" rutuk Kim pura-pura marah. "Setidaknya aku sudah melangkah jauh di depan. Kamu? Jomblo abadi!" balas Kim penuh kemenangan. "Bel
Kim menghirup dalam udara negara sang mama, melihat sekeliling halaman rumah yang tidak banyak berubah, walau dia sudah empat tahun tidak berkunjung. Mengisi rongga dada dengan udara yang sama dengan Cahaya kini, Kim semakin merasakan kerinduan yang mendesak untuk segera bertemu dengan Cahaya. Namun dia sadar harus kembali menahan diri, untuk menemui Cahaya secepatnya, rencana harus disusun sebaik mungkin. "Ada apa? Kulihat kamu seperti sedang bingung, baru nyampe loh ini," tanya Sandi menatap Kim penasaran. "Nanti ... bisa kamu antar aku ketemu seseorang?" Kim sengaja menggantung kata, menunggu rasa penasaran Sandi akan kata yang akan dilanjutkannya. "Antar kemana? Emangnya kamu punya kenalan orang sini?" Sandi mulai tertarik. "Iya, dia ... kekasihku---""Wah, ternyata! Kukira kamu belum dapat pengganti mamanya A Ya," potong Sandi sebelum Kim melanjutkan kata-katanya. Plak! "Aww! Sakit, Jin!" protes Sandi saat Kim memukul pahanya kencang. "Jangan potong! Kebiasaan kamu," geram
Walaupun sudah mengetahui dari Hana, tetap saja dia tak percaya sebelumnya. Namun keterangan Sandi, membuatnya harus percaya sepenuhnya. "Ya, tapi lebih jauh dari Korea," kekeh Sandi mencoba mengurangi rasa kecewa Kim. "Pastinya." Kim ikut tertawa pelan menganggapi candaan Sandi."Kapan rencananya kamu mau pergi menemui Cahaya?""Bagaimana kalau setelah pertunangan kamu saja? Aku tahu, saat ini kamu pasti hanya fokus pada rencana pertunangan kamu dulu.""Itu lebih bagus, Jin. Berapa lama kalian akan di Indonesia?""Kalau aku paling lama dua minggu, entah kalau mama.""Dia tahu kamu sudah menikah dan punya anak?" "Kami lost contact, San. Sejak appa menyita ponsel lamaku, pasport, dan juga ATM. Lalu menikahkan aku dengan Su Ni." Kim tersenyum getir, kelebat saat kehidupannya yang terasa sangat menyakitkan dimulai, kembali membayang. "Tapi akhirnya kamu punya anak juga kan, walau menikah dijodohkan." Sandi terkekeh. "Tak seperti dugaan kamu, San. Su Ni memberiku obat, hingga aku men
Cahaya keluar dari ruang rapat bersama dengan Andri, Adrian, dan dua orang karyawan lainnya, yang akan diberangkatkan ke Korea beberapa hari ke depan. Tepatnya untuk Cahaya, Adrian, dan Andri saja. Karena dua orang karyawan lainnya harus membuat paspor lebih dahulu. Dan hasil rapat semakin membuat Raja merasakan lara. Bagaimana tidak? Keputusan telah dibuat, dan hari Senin nanti, Cahaya harus segera berangkat ke negara yang sudah mempertemukan mereka dahulu. Dan kesedihan itupun jadi milik Cahaya pastinya, karena waktu perpisahan dengan Raja semakin dekat saja. Langkah gontai Cahaya tertahan oleh cekalan tangan seseorang yang memaksanya menghentikan langkah, hingga tertinggal oleh yang lain tanpa sepengetahuan mereka. Cahaya sedikit memberontak melepaskan tangannya, sebelum mengetahui siapa yang melakukan tindakan itu padanya."Hei ... ini aku, Sayang!" suara yang selalu dirindukannya itu terdengar sebagai pelaku, menghentikan usaha Cahaya melepaskan tangannya. Dan saat mata mereka
Keduanya keluar dari kantor setelah Raja mengambil kunci mobilnya, Cahaya semakin menunjukkan siapa dirinya untuk Raja, menempel pada lengan sang kekasih yang dengan sukacita menerima ke-possesifan sikap yang beda dari biasa. "Jalan aja, Sayang. Deket kok kedai baksonya," ujar Cahaya begitu mereka sampai di tempat parkir. "Panas, Sayang. Lagian biar cepet. Udah, ayo!" Raja menarik tangan Cahaya lembut dan membukakan pintu. Tanpa protes Cahaya menurut, duduk dengan nyaman menunggu Raja yang sedang berjalan memutari bagian depan mobil. "Pakai seat belt, Sayang," kata Raja begitu duduk di belakang kemudi. "Nggak perlu, dekat ini.""Ck, ngeyel." Raja mendekat pada Cahaya yang spontan menjauh badannya. "Aku mau pakaikan sabuk pengaman ini," cengir Raja yang melihat Cahaya menutup mulutnya. "Oh, kirain." Cahaya mengusap dadanya saat Raja selesai memasang sabuk pengaman. "Ih, otaknya mulai mesum," kekeh Raja mengusap kepala Cahaya, sebelum menghidupkan mesin mobil. "Siapa yang udah b
"Kamu kenapa sih, Ya? Aku heran deh lihat kamu seperti tadi, itu bukan kamu sekali. Ada apa sebenarnya?" tanya Alya begitu mereka sudah kembali ke perusahaan, sedang Raja dan Andri pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat jum'at. Saat ini mereka duduk di tempat kerja, mengawasi kesibukan para karyawan yang sedang mengisi waktu istirahat dengan bercanda. "Aku nggak tahu, Al. Dari kemarin jadi melow banget, apalagi ...." Cahaya terdiam. Teringat pada mimpi aneh yang dialaminya. "Apalagi apa, Ya? Kalau mau cerita jangan setengah-setengah." Alya menatap penasaran, dia yakin Cahaya sedang menyembunyikan sesuatu. "Apalagi ... setelah kemarin aku mimpiin dia. Setelah sekian lama." Cahaya merebahkan kepalanya pada lengan di atas meja. Memejamkan mata membayangkan kembali semua kejadian dalam mipinya. "Dia ... Kim maksudnya?""Iya. Kemarin itu aku berniat membuka kalung pemberiannya, tapi ternyata susah aku buka sendiri, kalau dipaksa takut putus juga. Ah, mumpung ingat. Tolong bukain, A
"Loh, kenapa? Katanya cinta, masa nikahin kamu nggak mau?" Alya semakin penasaran. "Dia bilang, ingin semua proses menuju ke tahap terindah hubungan kami terjadi sesuai rencana, tidak tiba-tiba. Pernikahan impian. Padahal aku mau kok nikah aja dulu, resepsi nyusul kemudian.""Ya iya, apalagi kamu mau pergi ke negara yang pernah membuat cinta kalian terjegal. Apa dia nggak takut sejarah terulang?""Kok kamu bilang gitu sih, Al? Kayak yang menyangsikan kesungguhan cinta aku sama Raja." Cahaya merasa tersinggung dengan kata-kata Alya, dia menatap Alya dengan kesal. "Bukan meragukan cinta kamu, tapi kesetiaan kamu. Dan cinta si oppa. Kalau kalian bertemu di sana, kamu belum terikat pernikahan, aku ragu. Jujur aja aku mah," ucap Alya tak peduli dengan perubahan wajah Cahaya yang kini kembali sedih. "Jahat, ih!" "Aku jujur, Ya. Aku tahu kamu, gimana gilanya kamu sama dia. Nggak tegas. Kalau mau nangis, nangis aja deh. Sekalian kamu pikirkan lagi tuh, mending berangkat tapi sudah nikah."
Meninggalkan tempat kerja Cahaya dengan pikiran berkecamuk, dan juga tatap penasaran karyawan yang tadi melihat drama yang disuguhkan kekasihnya itu, Raja mencoba mencari jalan keluar. Menikahi Cahaya sebelum gadis itu pergi, siapa yang tidak ingin? Tapi apa itu benar? Apa tidak terkesan memaksakan? Mengikat gadis itu hanya karena dia takut dengan segala kemungkinan yang nanti terjadi, pertemuan kembali Kim dan Cahaya di Korea memang sangat besar peluangnya, tapi bukankah itu bagus? Agar dia tahu, seberapa besar cinta yang Cahaya miliki untuknya. Bukan karena terbawa suasana karena takut dengan keadaan yang ada. Ya, Raja sudah menetapkan pilihan, Cahaya pergi tetap dalam ikatan pertunangan saja sebagai calon istri, bukan sebagai pengantinnya. Karena dia yakin tidak akan sanggup melepas seseorang yang sudah jelas istrinya pergi untuk bekerja ke negara orang, tidak akan bisa. Yang ada dia akan egois memiliki Cahaya untuk dirinya saja. "Pak Raja!" panggilan Indra mengalihkan fokus Raj
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe