Burung besi itu berhasil mendarat dengan baik di Bandara Husein Sastranegara. Dengan kerinduan yang membuncah pada tanah tumpah darahnya, Hana memandang keluar jendela pesawat. Menghirup dalam oksigen tanah kelahiran, Hana memejamkan mata merasakan rongga dada yang penuh dengan kebahagiaan. Akhirnya dia bisa kembali pulang, setelah tiga tahun lamanya keinginan tertahan karena kekeras kepalaan lelaki tersayang. Di sebelahnya, Kim juga mengembangkan senyuman. Tak henti dalam hati lelaki itu mengucapkan syukur pada Sang Kuasa, yang telah membuka hati ayahnya hingga dia berada di bumi wanita terkasihnya. Apa masih pantas dia mengakui Cahaya sebagai wanita terkasihnya? Kim tak ingin berpikir terlalu jauh, karena dirinya pun kini sudah tak utuh. Cintanya telah terbagi pada sosok gadis kecil, yang sedang asyik meminum susu dari botolnya. Apa yang terjadi nanti, adalah kenyataan yang harus dia hadapi. Baik-buruk atau bahagia-sedih. Hanya lihat nanti. Ya, lihat dan hadapi. Dengan menggendon
Kim memilih keluar dari kamar, untuk memberikan ruang pada Hana melepas kangen dengan sang nenek. Dia melangkah ke ruang tamu di mana kerabatnya menunggu. "Duduk sini, Jin!" seru sepupunya tanpa merasa bersalah dengan panggilan yang disematkan, dan Kim yang sudah merasa nyaman dengan panggilan itu, duduk di sofa kosong sebelahnya. Bukan Kim tak mengerti arti panggilan jin yang dilontarkan, hanya saja memang namanya seperti itu, jadi Kim tidak keberatan walau berbeda artian dalam bahasa Indonesia. "Gimana kerja? Masih di tempat dulu?" tanya Kim menepuk tangan sepupunya itu. "Masih, udah enak di sana. Lama nggak pulang ke Indonesia, datang-datang bawa anak lucu. Hebat!" sindir sepupunya yang memang sudah mengetahui cerita Kim dari para orang tua. Walau tentu saja tidak secara rinci, hanya poin pentingnya saja, itupun Hana tidak cerita sejelasnya. "Sialan!" rutuk Kim pura-pura marah. "Setidaknya aku sudah melangkah jauh di depan. Kamu? Jomblo abadi!" balas Kim penuh kemenangan. "Bel
Kim menghirup dalam udara negara sang mama, melihat sekeliling halaman rumah yang tidak banyak berubah, walau dia sudah empat tahun tidak berkunjung. Mengisi rongga dada dengan udara yang sama dengan Cahaya kini, Kim semakin merasakan kerinduan yang mendesak untuk segera bertemu dengan Cahaya. Namun dia sadar harus kembali menahan diri, untuk menemui Cahaya secepatnya, rencana harus disusun sebaik mungkin. "Ada apa? Kulihat kamu seperti sedang bingung, baru nyampe loh ini," tanya Sandi menatap Kim penasaran. "Nanti ... bisa kamu antar aku ketemu seseorang?" Kim sengaja menggantung kata, menunggu rasa penasaran Sandi akan kata yang akan dilanjutkannya. "Antar kemana? Emangnya kamu punya kenalan orang sini?" Sandi mulai tertarik. "Iya, dia ... kekasihku---""Wah, ternyata! Kukira kamu belum dapat pengganti mamanya A Ya," potong Sandi sebelum Kim melanjutkan kata-katanya. Plak! "Aww! Sakit, Jin!" protes Sandi saat Kim memukul pahanya kencang. "Jangan potong! Kebiasaan kamu," geram
Walaupun sudah mengetahui dari Hana, tetap saja dia tak percaya sebelumnya. Namun keterangan Sandi, membuatnya harus percaya sepenuhnya. "Ya, tapi lebih jauh dari Korea," kekeh Sandi mencoba mengurangi rasa kecewa Kim. "Pastinya." Kim ikut tertawa pelan menganggapi candaan Sandi."Kapan rencananya kamu mau pergi menemui Cahaya?""Bagaimana kalau setelah pertunangan kamu saja? Aku tahu, saat ini kamu pasti hanya fokus pada rencana pertunangan kamu dulu.""Itu lebih bagus, Jin. Berapa lama kalian akan di Indonesia?""Kalau aku paling lama dua minggu, entah kalau mama.""Dia tahu kamu sudah menikah dan punya anak?" "Kami lost contact, San. Sejak appa menyita ponsel lamaku, pasport, dan juga ATM. Lalu menikahkan aku dengan Su Ni." Kim tersenyum getir, kelebat saat kehidupannya yang terasa sangat menyakitkan dimulai, kembali membayang. "Tapi akhirnya kamu punya anak juga kan, walau menikah dijodohkan." Sandi terkekeh. "Tak seperti dugaan kamu, San. Su Ni memberiku obat, hingga aku men
Cahaya keluar dari ruang rapat bersama dengan Andri, Adrian, dan dua orang karyawan lainnya, yang akan diberangkatkan ke Korea beberapa hari ke depan. Tepatnya untuk Cahaya, Adrian, dan Andri saja. Karena dua orang karyawan lainnya harus membuat paspor lebih dahulu. Dan hasil rapat semakin membuat Raja merasakan lara. Bagaimana tidak? Keputusan telah dibuat, dan hari Senin nanti, Cahaya harus segera berangkat ke negara yang sudah mempertemukan mereka dahulu. Dan kesedihan itupun jadi milik Cahaya pastinya, karena waktu perpisahan dengan Raja semakin dekat saja. Langkah gontai Cahaya tertahan oleh cekalan tangan seseorang yang memaksanya menghentikan langkah, hingga tertinggal oleh yang lain tanpa sepengetahuan mereka. Cahaya sedikit memberontak melepaskan tangannya, sebelum mengetahui siapa yang melakukan tindakan itu padanya."Hei ... ini aku, Sayang!" suara yang selalu dirindukannya itu terdengar sebagai pelaku, menghentikan usaha Cahaya melepaskan tangannya. Dan saat mata mereka
Keduanya keluar dari kantor setelah Raja mengambil kunci mobilnya, Cahaya semakin menunjukkan siapa dirinya untuk Raja, menempel pada lengan sang kekasih yang dengan sukacita menerima ke-possesifan sikap yang beda dari biasa. "Jalan aja, Sayang. Deket kok kedai baksonya," ujar Cahaya begitu mereka sampai di tempat parkir. "Panas, Sayang. Lagian biar cepet. Udah, ayo!" Raja menarik tangan Cahaya lembut dan membukakan pintu. Tanpa protes Cahaya menurut, duduk dengan nyaman menunggu Raja yang sedang berjalan memutari bagian depan mobil. "Pakai seat belt, Sayang," kata Raja begitu duduk di belakang kemudi. "Nggak perlu, dekat ini.""Ck, ngeyel." Raja mendekat pada Cahaya yang spontan menjauh badannya. "Aku mau pakaikan sabuk pengaman ini," cengir Raja yang melihat Cahaya menutup mulutnya. "Oh, kirain." Cahaya mengusap dadanya saat Raja selesai memasang sabuk pengaman. "Ih, otaknya mulai mesum," kekeh Raja mengusap kepala Cahaya, sebelum menghidupkan mesin mobil. "Siapa yang udah b
"Kamu kenapa sih, Ya? Aku heran deh lihat kamu seperti tadi, itu bukan kamu sekali. Ada apa sebenarnya?" tanya Alya begitu mereka sudah kembali ke perusahaan, sedang Raja dan Andri pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat jum'at. Saat ini mereka duduk di tempat kerja, mengawasi kesibukan para karyawan yang sedang mengisi waktu istirahat dengan bercanda. "Aku nggak tahu, Al. Dari kemarin jadi melow banget, apalagi ...." Cahaya terdiam. Teringat pada mimpi aneh yang dialaminya. "Apalagi apa, Ya? Kalau mau cerita jangan setengah-setengah." Alya menatap penasaran, dia yakin Cahaya sedang menyembunyikan sesuatu. "Apalagi ... setelah kemarin aku mimpiin dia. Setelah sekian lama." Cahaya merebahkan kepalanya pada lengan di atas meja. Memejamkan mata membayangkan kembali semua kejadian dalam mipinya. "Dia ... Kim maksudnya?""Iya. Kemarin itu aku berniat membuka kalung pemberiannya, tapi ternyata susah aku buka sendiri, kalau dipaksa takut putus juga. Ah, mumpung ingat. Tolong bukain, A
"Loh, kenapa? Katanya cinta, masa nikahin kamu nggak mau?" Alya semakin penasaran. "Dia bilang, ingin semua proses menuju ke tahap terindah hubungan kami terjadi sesuai rencana, tidak tiba-tiba. Pernikahan impian. Padahal aku mau kok nikah aja dulu, resepsi nyusul kemudian.""Ya iya, apalagi kamu mau pergi ke negara yang pernah membuat cinta kalian terjegal. Apa dia nggak takut sejarah terulang?""Kok kamu bilang gitu sih, Al? Kayak yang menyangsikan kesungguhan cinta aku sama Raja." Cahaya merasa tersinggung dengan kata-kata Alya, dia menatap Alya dengan kesal. "Bukan meragukan cinta kamu, tapi kesetiaan kamu. Dan cinta si oppa. Kalau kalian bertemu di sana, kamu belum terikat pernikahan, aku ragu. Jujur aja aku mah," ucap Alya tak peduli dengan perubahan wajah Cahaya yang kini kembali sedih. "Jahat, ih!" "Aku jujur, Ya. Aku tahu kamu, gimana gilanya kamu sama dia. Nggak tegas. Kalau mau nangis, nangis aja deh. Sekalian kamu pikirkan lagi tuh, mending berangkat tapi sudah nikah."