"Pasti, tapi nanti kan setelah kembali kamu masih bisa kerja lagi, cuma sementara. Harusnya kamu senang dibiayain perusahaan buat jalan-jalan selain kerja tentunya." Alya membesarkan hati Cahaya, agar sahabatnya itu tidak kembali larut dalam kesedihan yang menurutnya tidak pada tempatnya. "Ya, udah. Kita meeting sebelum bel pulang.""Iya."Cahaya beranjak bangun, meninggalkan meja kerjanya memanggil salah satu anak buahnya untuk mengumpulkan semua karyawan yang dibawahinya. Menguatkan hati agar tidak menangis, Cahaya menyampaikan keputusan perusahaan yang akan mengirimkan dirinya, bersama beberapa orang senior, dan dua orang karyawan yang beruntung pergi ke Korea. Mendengar hal itu, tentu saja sebagian dari mereka merasa iri atas kabar tersebut.Karena untuk bisa pergi ke Korea walaupun untuk bekerja, adalah impian setiap orang. Termasuk mereka yang saat ini menatap Cahaya dengan pandangan kagum berbalut iri. Berbanding terbalik dengan Cahaya yang merasa kepergiannya kali ini, justr
"Nanti kita ketemu ummi dulu sebelum pulang ke rumah ya?" kata Raja saat mobil bergerak perlahan keluar dari pintu gerbang, Cahaya tidak menjawab. Matanya menatap nanar ke belakang, melihat bangunan perusahaan yang sudah tiga tahun ini menjadi tempatnya mencari rezeki. Berlebihan memang, karena nanti saat dia pulang ke Indonesia, dia akan kembali bekerja di sana, tapi perasaannya tidak bisa dibohongi kalau dia sangat sedih sekarang ini. "Sayang?!""Hah? Apa?" Cahaya tersentak, refleks menoleh pada Raja yang menyentuh tangannya. "Jangan sedih, hanya enam bulan, dan setelah itu kamu juga kembali bekerja di sana."Cahaya menghembuskan napas panjang. "Aku nggak tahu, Sayang. Beraaat banget rasanya, nggak bisa.""Jangan terlalu berpikir yang tidak-tidak. Sepulang dari Korea nanti kamu masih bisa kembali kerja, kalau kamu mau.""Bukannya sepulang dari Korea nanti kita menikah, ya? Kok, aku kerja lagi? Kan kamu bilang, kalau kita nikah kamu pengen aku berhenti kerja." Cahaya berkata lirih
"Iya deh, Mr. Profesional. Anda memang sudah ahlinya, membuat gadis polos ini pun memberikan ciuman pertamanya. Rugi aku. Sudah berapa banyak bibir yang kamu rasai? Pastinya banyak kan? Sudah, aku nggak mau lagi kamu cium, enak aja!" ujar Cahaya yang dilanda cemburu tanpa sebab, membayangkan bagaimana Raja tengah mencium gadis lain sebelum menjadi kekasihnya. "Hahahaha." Raja tergelak puas. "Terus aja tertawa, puas-puasin." Cahaya semakin kesal. Raja menggelengkan kepala, dia berhasil mengalihkan perhatian dan juga pemikiran Cahaya, tentang pernikahan dan juga kepergiannya ke Korea nanti. Membelokkan mobilnya begitu sampai di gang yang mengarah ke tempat kos gadis itu. "Apapun yang terlintas di benak kamu tentang aku itu salah, Sayang. Aku tahu aku ini ganteng, dan banyak yang suka sama aku--""Kecuali aku! Ingat itu!" ralat Cahaya menghentikan perkataan Raja, yang sebenarnya sedang bercanda saja. Tanpa Cahaya sadari ucapannya menyakiti hati Raja, yang walaupun pernyataan itu ben
Rosita yang semakin membaik keadaannya, mempercayakan semua urusan tentang pertunangan Cahaya dan Raja hari minggu nanti pada Epon. Iparnya itu saat ini sedang berdiskusi dengannya, mengenai hidangan apa saja yang pantas disajikan untuk menyambut keluarga Raja nanti. Waktu yang menunjukkan pukul delapan malam, belum membuat mereka selesai membicarakan hal itu. Luka di beberapa bagian tubuh Rosita sembuh dengan cepat, hal ini tentu saja karena rasa bahagia yang dirasakan Rosita, menjadi tambahan obat mujarab menyembuhkan semua luka yang diderita. Hadi yang melihat semangat Rosita yang begitu menggebu menyiapkan hari bahagia anak mereka, terus mengucap syukur dalam hati, dan berharap kebahagiaan yang kini sedang menaungi mereka akan tetap seperti ini. Hadi juga sudah menghubungi RT setempat mengenai rencana pertunangan Cahaya, dan meminta tokoh masyarakat ikut menyambut kedatangan tamu istimewa untuk keluarganya nanti. Binar memasuki ruang tengah rumahnya dengan membawa pesanan Rosi
Melepaskan pelukannya, Cahaya mendekat pada Rosita yang menunggu. "Ambu sehat?" tanyanya dengan suara tersendat. Rosita menarik Cahaya dalam pelukan, dengan Epon yang mengusap punggung keponakannya. "Ambu sudah semakin sehat, kan sebentar lagi acara penting kamu, jadi Ambu harus cepat sembuh." Rosita seakan ingin meyakinkan dirinya, bahwa apapun yang menyebabkan Cahaya menangis tadi, tidak mengganggu rencana pertunangan anaknya nanti. "Syukurlah, Aya senang mendengarnya." Cahaya menoleh pada Epon dan menyapa. "Uwa." Epon mengangguk membalas sapaan Cahaya, dia memilih jadi pendengar saja. Dari jawaban Cahaya, Rosita bisa bernapas lega, karena memang tidak ada perubahan rencana. Hanya yang jadi pertanyaan, apa masalah baru yang muncul sekarang? Dan Rosita sudah tidak sabar untuk mencari tahu. Memilih duduk melantai dekat dengan Rosita, Raja berdehem sebelum menjelaskan apa yang menyebabkan kesedihan Cahaya tadi. "Begini, Pak, ambu, semuanya." Raja memulai pembicaraan, menatap ber
Bukannya menjawab pertanyaan Raja, Cahaya kembali menjadi melow. Memeluk lengan Raja erat, seraya menyadarkan kepalanya di bahu si pemilik hati. Raja yang juga merasakan sesak dalam dada, hanya melepaskan napas panjang, mengusap sayang tangan Cahaya yang menggelayut, seperti tak ingin melepasnya pergi. "Aku janji ini ujian terakhir kita, Sayang. Setelah ini, tak ada satupun yang akan memisahkan kita, aku akan menentang dunia bila perlu. Aku janji akan mengunjungimu di sana nanti, kita mengulang lagi awal pertemuan kita dulu, mengulang semua kenangan indah yang kita lalui."'Tentu saja tanpa cerita putusnya kita lagi, Sayang.' lanjut Raja dalam hati, karena bila sampai kata itu terucap, dia yakin Cahaya akan kembali marah padanya. Dengan sangat terpaksa Cahaya menjauhkan badannya, dari lengan Raja saat mereka sampai di pekarangan, berdiri berhadapan dengan Raja yang terus menatapnya sendu. Cahaya belum mau bersitatap dengan mata Raja, dia sangat takut pertahanannya jebol, dan kembali
Tadi saat Cahaya mengantar Raja, Hadi sudah membahas dengan Rosita rencana pertunangan keduanya. Dan, Hadi memutuskan hanya akan mengadakan acara sederhana, tanpa memberitahu kerabat jauh, hanya orang-orang yang dianggap perlu mengetahui status Cahaya di lingkungan tempat tinggal. "Aya." Hadi membuka percakapan. "Iya, Pak?""Kamu beneran nggak tahu soal rencana kepergian ke Korea itu?" tanya Hadi meyakinkan, karena setahunya Cahaya orang yang cukup penting di tempatnya kerja, tapi mengapa untuk berita sepenting itu Cahaya tidak tahu? Apalagi dia sendiri yang harus pergi. "Emang beneran produk perusahaan kamu tidak bekerja dengan baik?" "Iya, Pak. Aya juga tahunya pas a Raja jemput malam itu, dia mengatakannya pas perjalanan pulang. Aya juga kaget, nggak percaya dengan berita yang disampaikan. Malah … Aya menolak pergi. Aya nggak mau. Dan soal perusahaan, memang iya saat ini sedang bermasalah dengan produk yang kami produksi. Barangnya tidak berfungsi dengan baik, dan itu jelas meru
Kim menatap bangunan rumah yang dulu sering didatangi saat berkunjung ke Indonesia, rumah yang tidak sekedar menawarkan kenyamanan, tapi juga rasa kekeluargaan para penghuninya. Tidak banyak yang berubah, masih sama seperti dulu. Hanya warna cat rumah yang berbeda, selebihnya … sama. Melihat sekeliling, rumah itu tampak sepi. Pagar yang tidak terlalu tinggi yang membatasi dengan jalan, membuat siapapun bisa langsung melihat ke dalam pekarangan yang cukup luas. Kim ragu melanjutkan langkah, mobilnya yang sengaja di parkir agak jauh, membuat Kim bisa leluasa menikmati kesejukan udara di tempat itu. Seseorang muncul dari pintu samping rumah yang sejak tadi tertutup rapat, Kim mengenali orang itu, dia hapal semua penghuni rumah yang ada di depannya. Mengharap orang tersebut pun masih mengenalinya, Kim mengucap salam saat orang itu berjalan mendekat. "Assalamu'alaikum, Mang!" ucap Kim dengan suara lantang, seseorang itu segera menghampiri dengan tergesa, saat mengenali siapa orang yang
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe