Kim Young Nam sengaja mendatangi PC milik Kim, untuk menyampaikan keputusan yang sudah dia dan Hana bicarakan, tentang rencana kepergian Hana dan Kim ke Indonesia. Young Nam yang baru menyadari kekeliruan langkahnya memaksakan Kim menikah dengan Su Ni, ingin mengibarkan bendera perdamaian dengan anaknya. Tiga tahun terakhir hubungan mereka menjadi renggang, karena kekerasan hatinya yang tetap tidak merestui hubungan Kim dengan Cahaya. Dia memang berhasil membuat Kim menikahi Su Ni, memilih membutakan mata dan hatinya atas kebahagiaan yang tidak dirasakan Kim. Baru pada saat A Ya hadir, barulah senyuman kembali terukir di bibir Kim. Membuka pintu ruang kerja Kim, Young Nam mendapati Kim yang tengah menatap bingkai photo dalam genggaman tangannya, tanpa menyadari kedatangannya sama sekali. Dengan langkah diatur sepelan mungkin, Young Nam mendekat hingga berdiri di samping Kim, dan melihat apa penyebab fokus anaknya tak teralihkan. Young nam menarik napas panjang, saat tahu kalau pho
Tak ingin melewatkan waktu percuma lagi, Kim membereskan meja kerjanya. Mengambil tas, memasukkan beberapa file penting, dan langsung menyampirkan di pundaknya. Melangkah dengan tergesa keluar dari sana, namun matanya terpaku pada paspor yang masih tergeletak di atas meja. Dia menepuk keningnya dengan senyum gemas, bagaimana bisa dia melupakan benda penting itu dan bahkan hampir saja meninggalkannya? "Gagal ketemu Cahaya kalau kamu lupakan benda ini, Kim!" guman Kim dengan kekehan. Setelah memasukkan paspor ke dalam tas, Kim keluar dari ruang kerjanya, dan memanggil orang kepercayaannya untuk meng-handle apapun yang terjadi di PC selama dia pergi. Selang lima belas menit kemudian, Kim sudah melajukan mobilnya di antara hiruk pikuk keramaian lalu lintas kota Young-in, menjelang sore hari. Dari bibirnya senandung lagu terus keluar, kebahagiaan seakan menjadi miliknya seorang hari itu. Tiba di apartemen Hana, Kim langsung berlari menuju lantai dua gedung itu, tak sabar ingin berbagi
Langkah Kim terayun pasti, bandara internasional In-cheon dimasukinya dengan harapan yang menggunung. Dengan bermodal kertas yang sudah lepek bertuliskan alamat Cahaya, dia mencoba kembali membangun mimpi, merangkai asa kalau sang pujaan hati akan tetap sudi menerima. Memaafkan segala khilaf yang sudah dilakukannya tanpa sengaja, karena memang bukan ini inginnya, membiarkan semua berlarut tanpa bisa berbuat apa. Dia tak berani meninggikan angan, hanya berharap kenyataan akan bisa berpihak dalam kebahagiaan, menyatukan mereka dalam bingkai kebahagiaan, saat pertemuan kembali mereka dapatkan. Dia tak bisa menghubungi Cahaya, karena memang mereka tak pernah saling sapa sejak Kim mengikuti semua titah ayahnya. Tiga tahun hanya menekan kecewa atas semua kenyataan yang ada, Kim sudah seperti bukan dirinya, menjadi penurut dalam hati yang berontak tak rela. A Ya yang berada dalam gendongan sang nenek mengedarkan pandangannya, ini kali pertama gadis kecil itu akan berkunjung ke negara di m
Rumit dengan kisah yang membuatnya kadang tak mengerti, bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu? Merusak hubungan kasih sahabatnya sendiri, setelah tau kalau dialah yang sebenarnya Cahaya cintai. Egois dan tak tahu diri. Bahkan keduanya dengan tak risih sama sekali, memperlihatkan kemesraan di depan mata Raja, tak peduli luka hati yang mungkin dirasakan lelaki bijak itu. "Kami tidak mengkhianati Raja, Ma. Cahaya mencintai aku, dan Raja hanya menerima kenyataan itu. Aku Yang lebih dulu memiliki hati Cahaya, bukan Raja," elak Kim tetap tak mau menyadari kekeliruannya, kalau tindakan dia dulu bukan hal yang menyakiti Raja. "Tapi mereka sepasang kekasih saat kebenaran itu terungkap, Young Jin. Kamu merebut Cahaya dari Raja, dengan semua pembenaran di otak kamu waktu itu." Hana gemas juga dengan Kim yang masih saja membenarkan tindakannya dulu. "Buktinya Cahaya memilih aku, Ma. Bukan Raja. Itu kan sebagai bukti, kalau Cahaya mencintai aku, dan tak ingin membohongi Raja dengan perasaan
Cahaya yang baru sampai di tempat kostnya bersama Raja, langsung mendapat pertanyaan beruntun dari Dewi. Gadis yang sudah mengenal Raja, juga ikut andil dalam menyebarkan berita tentang Cahaya dan Raja, langsung masuk ke dalam kosan Cahaya. "Teh, baik-baik saja kan? Aku beneran khawatir, karena setelah malam itu Teteh nggak pulang atau kerja. Terus yang di fb juga bikin aku kaget gitu, selamat ya?!" Dewi tersenyum pada Raja dan Cahaya yang mendengarkan celotehnya. "Baik, Na. Sangat baik. Makasih ya udah peduli sama Teteh," jawab Cahaya sedikit tersipu saat Raja terus menatapnya tanpa menghiraukan kehadiran Dewi. "Teteh ngomongnya kok gitu?! Ya peduli atuh, Teteh.""Iya, makasih ya ....""Sama-sama, Teh. Ya udah, aku balik dulu, takut ganggu." Dewi terkekeh sambil berdiri, karena merasa canggung saat Raja hanya memperhatikan Cahaya tanpa peduli keberadaannya. "Loh, mau kemana?" tanya Raja yang menyadari sikapnya tidak bersahabat tadi. "Ke sebelah, Pak. Takut ganggu," ulang Dewi te
Cahaya memandang sekeliling, dia ingat ini adalah tempatnya dulu pertama kali menginjakkan kaki di negara orang. Bandar udara. Tapi kenapa dia kembali ke masa itu? Langkahnya bergerak perlahan, mengikuti orang lain menuju pemeriksaan. Tak lama, dia pun keluar dari antrean. Matanya mencari sosok yang dulu juga pernah menjemputnya, membawa kertas bertuliskan namanya yang diangkat setinggi kepala. Namun tidak ada. Cahaya mulai bingung. Ia yakin ini masih sama dengan waktu itu, tapi kenapa alurnya berbeda? Kemana lelaki itu? Apa perusahaan lupa mengirimkan lelaki itu untuk menjemputnya? Atau ... ada orang lain yang ditugaskan menggantikannya? Cahaya terus menarik kopernya keluar dari pintu kedatangan. Ada. Lelaki itu ada di sana. Menunggunya dengan senyuman manis yang terkembang sempurna. Debaran hati Cahaya mulai menggila, ternyata rasanya masih sama, mencintai lelaki itu sedalam sebelumnya. Iya. Cinta. Langkah Cahaya kian pasti, apalagi saat namanya dipanggil penuh rindu oleh lel
Burung besi itu berhasil mendarat dengan baik di Bandara Husein Sastranegara. Dengan kerinduan yang membuncah pada tanah tumpah darahnya, Hana memandang keluar jendela pesawat. Menghirup dalam oksigen tanah kelahiran, Hana memejamkan mata merasakan rongga dada yang penuh dengan kebahagiaan. Akhirnya dia bisa kembali pulang, setelah tiga tahun lamanya keinginan tertahan karena kekeras kepalaan lelaki tersayang. Di sebelahnya, Kim juga mengembangkan senyuman. Tak henti dalam hati lelaki itu mengucapkan syukur pada Sang Kuasa, yang telah membuka hati ayahnya hingga dia berada di bumi wanita terkasihnya. Apa masih pantas dia mengakui Cahaya sebagai wanita terkasihnya? Kim tak ingin berpikir terlalu jauh, karena dirinya pun kini sudah tak utuh. Cintanya telah terbagi pada sosok gadis kecil, yang sedang asyik meminum susu dari botolnya. Apa yang terjadi nanti, adalah kenyataan yang harus dia hadapi. Baik-buruk atau bahagia-sedih. Hanya lihat nanti. Ya, lihat dan hadapi. Dengan menggendon
Kim memilih keluar dari kamar, untuk memberikan ruang pada Hana melepas kangen dengan sang nenek. Dia melangkah ke ruang tamu di mana kerabatnya menunggu. "Duduk sini, Jin!" seru sepupunya tanpa merasa bersalah dengan panggilan yang disematkan, dan Kim yang sudah merasa nyaman dengan panggilan itu, duduk di sofa kosong sebelahnya. Bukan Kim tak mengerti arti panggilan jin yang dilontarkan, hanya saja memang namanya seperti itu, jadi Kim tidak keberatan walau berbeda artian dalam bahasa Indonesia. "Gimana kerja? Masih di tempat dulu?" tanya Kim menepuk tangan sepupunya itu. "Masih, udah enak di sana. Lama nggak pulang ke Indonesia, datang-datang bawa anak lucu. Hebat!" sindir sepupunya yang memang sudah mengetahui cerita Kim dari para orang tua. Walau tentu saja tidak secara rinci, hanya poin pentingnya saja, itupun Hana tidak cerita sejelasnya. "Sialan!" rutuk Kim pura-pura marah. "Setidaknya aku sudah melangkah jauh di depan. Kamu? Jomblo abadi!" balas Kim penuh kemenangan. "Bel
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe