"Abang masih marah?" tanya Keke. Anne telah pulang satu jam yang lalu saat mendapatkan telepon dari seseorang. Dia sengaja menarik Bujang ke dalam rumah agar percakapan ini tak disimak oleh Luqman. Berapa kali pun Keke berpikir, dia tetap merasa ada yang mengganjal di pikirannya. Selain perubahan sikap Bujang yang dingin, juga bayangan tatapan Anne tadi pagi yang terbayang terus di matanya."Aku rasa kau tak perlu tau aku marah atau tidak, karena tak ada pengaruh apa pun pada sikapmu, Ke. "Keke menunduk, merasa bersalah. "Maafkan Keke, tapi sungguh! Keke tak menyuruh dia kembali bertamu ke sini, dia yang datang sendiri."Bujang menoleh, menatap istrinya itu dengan tatapan yang serius. Untung saja anak mereka tengah tidur sehingga punya waktu yang aman untuk bicara."Dan kau tak berniat melarangnya, kan? Aku butuh ketegasanmu, Ke. Anne bukanlah orang yang baik, dia melakukan sesuatu bukan karena tulus ingin berteman denganmu, ada sesuatu yang direncanakannya untuk keuntungannya send
"Apa tak sebaiknya rambutku dipotong saja, Ke?" tanya Bujang sambil memperhatikan penampilannya di depan cermin."Jangan, Keke lagi senang dengan penampilan Abang yang begini." Keke mendekat, mematut Bujang dengan mata berbinar. Dia kagum, pria itu entah kenapa malah makin gagah setiap hari."Aneh, sejak melahirkan Nabil, seleramu menjadi berbeda. Biasanya kau paling anti rambut panjang."Keke tersenyum, memeluk Bujang dari belakang. Begitu hangat punggung itu, menjanjikan perlindungan dan masa depan. Bujang benar, mereka sudah sempurna selama ini, kehadiran orang baru seperti Anne hanya membuat mereka bertengkar."Oh,ya, Bang. Jika ada tawaran mengajar yang tidak harus masuk setiap hari, apakah Abang izin?" Keke menatap Bujang penuh harap. Sejujurnya Bu Leha, guru PNS yang berada di sekolah menengah pertama yang dekat dengan rumah ibu Keke, menawarkan untuk jadi tenaga honorer, yang hanya masuk di jam pelajaran saja. "Apa kau ingin bekerja, Ke?" tanya Bujang serius.Keke mengangguk,
"Apa tidak sebaiknya uang ini kita simpan ke bank? Atau kita belikan emas?" tanya Keke sambil mengusap tumpukan uang yang disusun sebanyak puluhan ikat di dalam peti kayu tua di kolong tempat tidur.Bujang menggeleng."Lebih aman di sini, lagi pula, rumah ini sejak dulu tak pernah kemalingan." Bujang menutup peti kayu tua itu dan mendorong kembali masuk ke dalam kolong tempat tidur.Kemudian dia menyerahkan beberapa ikat pada Keke. Satu ikat isinya sepuluh juta. Ada lima ikat yang diserahkannya."Apa ini? Bang?" tanya Keke. Belum habis keterkejutannya melihat penampakan peti tua yang berisi tumpukan uang, Bujang malah menyerahkan beberapa ikat padanya. Dia tau Bujang kaya, tapi tak menyangka Bujang memiliki uang yang sangat banyak di bawah kolong tempat tidur. Melihat itu semua, Keke sangat takjub. Untung saja Bujang adalah pria sederhana yang tak pernah berubah seperti orang kaya pada umumnya. "Kau suka tas yang dibelikan wanita itu, kan? Aku yakin harganya tak murah. Belilah!" Buja
Keke mengecek penampilannya sekali lagi. Memastikan dia masih cantik dengan baju batik yang dulu dipakai sewaktu Praktek Lapangan. "Agak sempit," keluhnya."Di bagian dada," tambah Bujang.Keke frustasi. "Lalu bagaimana, Bang?""Kau cuma tinggal mengulurkan jilbabmu agak dalam," sahut Bujang. Di sekolah yang akan diajar Keke, wajib bagi guru muslimah memakai jilbab, karena peraturan itu juga diterapkan pada seluruh murid."Kau terlihat sangat Soleha dengan berpakaian begitu." Bujang menambahkan. Memang, Keke belum tergerak hatinya untuk menutup aurat secara sempurna. Bukan berarti di suka berpakaian sempit, dia selalu sopan dalam berpakaian, tapi tanpa menggunakan hijab.Keke terlihat lebih manis dengan hijab bewarna krem itu."Jadi pakai ini saja?" tanya Keke menekankan."Iya, untuk sementara. Lagi pula, kau kan belum langsung masuk kelas, hanya menemui kepala sekolah, nanti kita beli baju dinas yang lebih nyaman."Keke mengangguk. Apa yang Bujang katakan benar. Dari pagi mereka bek
Kobaran api makin besar melahap pohon jati milik Bujang, daunnya yang kering serta ranting yang mudah dilalap api, membuat api makin menggila. Angin bertiup kencang membuat api makin besar. Api itu seperti memakan tanpa ampun apa pun yang dijilatinya, asap hitam membubung tinggi, bunyi Derik kayu yang mengenaskan terdengar sahut menyahut.Bujang yang curiga karena melihat asap dari kejauhan, memacu motornya. Ternyata benar, asap itu berasal dari rumah Bujang. Luqman terpaku dengan mulut beristigfar berkali-kali."Astagfirullah, astagfirullah, Jaang. Malang nasibmu, Jaaaang. Hutanmu, rumahmu, gudang kayu, ya Allah Jaang." Luqman berteriak dengan perasaan campur aduk.Beberapa orang mulai berdatangan tapi tak mampu berbuat apa-apa."Telepon pemadam!" teriak seseorang. Beberapa orang mengeluarkan ponselnya, tapi kebanyakan dari mereka bukan menelepon pemadam, tapi mengabadikan kejadian ini dalam bentuk video atau foto.Luqman yang mendapati api yang berkobar itu, langsung memacu motornya
"Kamu yang sabar, ya, semua terjadi atas izin Allah, kamu harus kuat, aku yakin, setelah ini akan diganti lebih banyak jika kamu ikhlas," kata Pak Iwan menepuk bahu Bujang menguatkan. Bujang masih termangu, sejak sore tadi, dia hanya bicara beberapa patah kata. Apa yang terjadi, masih belum bisa diterima oleh akal sehat."Aku merasa, kebakaran ini terasa aneh, Pak Iwan. Sebelum kami berangkat mengantar Keke, aku sudah memastikan tak ada kompor yang menyala. Dari mana datangnya api? Apalagi yang lebih dulu hangus itu adalah hutan, api pasti berasal dari sana." Bujang meluapkan apa yang menjadi pengganjal di hatinya.Pak Iwan menghela napas. Mereka memandangi langit malam yang kelam. Pak Iwan pun, merasa kebakaran ini disebabkan oleh kesengajaan, tapi dia tak berani mengatakan, karena akan melukai hati Bujang."Apa pun kemungkinan, semua bisa terjadi, jika kau merasa ada orang yang telah berbuat jahat padamu, kau bisa minta bantuan polisi."Bujang termangu. Melaporkan ke polisi mungkin
Amir sebagai salah seorang yang menjadi dalang dari kebakaran rumah Bujang, merasa sangat ketakutan ketika dia mengetahui yang terbakar ternyata bukan hanya hutan saja. Dia berjalan kesana kemari, walaupun terasa amat ketakutan, dia berusaha menetralkan wajahnya."Ada apa dengan dirimu, Bang?" kata sang istri.Kemudian Amir menjawab," Tidak apa-apa." Amir gelisah."Kalau tidak apa-apa, kenapa Abang begitu aneh malam ini?"Amir sama sekali tak bisa menjelaskan apa yang terjadi karena bagaimanapun rahasia ini sangat besar, yang akan mempengaruhi dirinya di masa yang akan datang, kemudian tanpa aba-aba Amir mengambil kunci yang tergantung lalu membawa motornya berlalu membelah malam menuju rumah alam yang tak jauh dari rumahnya.Hujan turun begitu lebat membuat Amir merasa kedinginan, tubuhnya yang yang lelah dipaksa untuk terus berjalan menembus malam.Tibalah Amir di sebuah rumah, rumah tersebut merupakan rumah sederhana dengan atap rumbia, dinding papan serta pekarangan yang amat ko
Ada banyak ujian dalam pernikahan, ada yang diuji dengan kemiskinan, ada yang diuji dengan orang ketiga, ada yang diuji dengan rasa cinta, ada yang diuji dengan harta yang berlimpah serta ada yang diuji dengan mertua yang jahat.Selama ini Keke dan Bujang merasa hidupnya sangat sempurna, tak ada halangan, tak ada rintangan, mereka bahagia dan tak pernah merasakan badai yang begitu besar dalam pernikahan mereka.Keke yang manis, Keke yang penurut serta Bujang yang penyayang dan penuh tanggungjawab, membuat mereka hidup bahagia dengan ketiga anak mereka. Tak ada hal yang berarti yang membuat mereka bertengkar.Malam telah larut, Keke sudah masuk ke alam mimpinya beserta ketiga anak mereka, sementara Bujang masih termangu di luar rumah menatap langit yang kelam, menatap ke arah Bukit di mana rumahnya telah menjadi abu.Rasanya begitu Aneh, dia berusaha untuk mengikhlaskan semuanya, tetapi dalam hati, dia harus mencari kebenaran agar menemukan keadilan termasuk menangkap pelaku yang menu