Titin berlari menghampiri Leona. "Ada apa, ada hal penting kah? tanya Leona, mengajak Titin duduk di kursi dekat Leona berdiri. Titin mengikuti arahan Leona ia langsung duduk di dekat Leona. Dan mengatur nafasnya hendak bicara. "Di club semua membicarakan Anjani, ternyata Anjani itu bawaan Tante Bety."Leona mengernyit kan dahinya. "Benarkah?" Titin mengangguk. Dan memandang ekspresi Leona yang tampak sedih. "Ya, aku percaya hal itu, tante Bety menempatkan Anjani ke sini, untuk memata matai tuan Tony, kemungkinan tante Bety tau afair ku dengan tuan Tony. Tapi ternyata Anjani menikungnya." Leona menunduk, tampak raut sedihnya menyeringai wajahnya. "Maksudmu Leona?" Leona menceritakan apa yang barusan terjadi di ruangan Antony. Leona yakin kalau yang ada di kamar Antony adalah Anjani. "Aku mendengar dengan jelas suara desahan dan rintihan Anjani di dalam kamar ruang tuan Tony, mereka sedang melakukan percintaan." Mendengar hal itu Titin terdiam, matanya terus memandang L
Anjani melangkah masuk ke kamar Leona yang sudah terbuka, setelah membersihkan wajahnya. Anjani berdiri di Ambang pintu, melihat ruangan Leona yang sangat beda jauh di banding kamarnya sendiri. Anjani menepis prasangka buruk dalam pikirannya, ia hanya berpikir mungkin Leona anak buah yang profesional dengan bayaran mahal. "Masuklah Anjani," ucap Leona dengan tangan membawa sebuah botol kecil. Anjani tau kalau itu obat luka, kemungkinan Leona hendak menyuruh Anjani mengobati lukanya, biar Anjani tau kalau Leona terluka. "Duduklah, aku ingin bicara padamu." Anjani menuruti apa yang dikatakan Leona, ia duduk di sofa. Tanpa mengucap sepatah kata. Tanpa disadari Anjani tiba-tiba Leona berdiri dekat Anjani duduk. "Maafkan aku Anjani. Aku kilaf, aku ingin mengobati lukamu." Anjani masih diam dan pasrah ketika Leona mengobati luka Anjani. Anjani meringis menahan perih kala obat itu di oleskan di kepala. "Untung lukanya sedikit Anjani, kalaupun parah nanti aku bawa ke rumah sakit, a
Leona yang berada di dekat Anjani kaget, saat Anjani menyebut nama seseorang. "Siapa yang kau sebut Anjani?" tanya Leona. Anjani bingung dan tampak blingsatan, ia hanya menggelengkan kepalanya dengan menggeser kursi yang ia duduki, membelakangi duduk Barata bersama wanita. Leona semakin bingung melihat tingkah Anjani, ia semakin curiga hingga menanyakan berkali-kali ada apa sebenarnya. Anjani menutupinya dengan tetap tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. Namun Anjani merasa tak jenak, rasanya ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Beruntung Leona tak mencerca dengan pertanyaan- pertanyaan yang menyudutkan dirinya. Ia asyik menikmati makanan nya. Sambil bercerita tentang baju- baju mahal dan tas mahal yang di belikan oleh pelanggan. Namun tiba-tiba Leona berhenti bercerita, sepertinya Leona memandang seseorang yang Leona kenal. "Hei, itu orang kaya juga makan disini." Leona menunjuk dengan dagunya, dan menyuruh Anjani menoleh, namun Anjani acuh saja, pura -pura asyik menik
Anjani melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Ia tak ingin sopirnya bosan menunggu dirinya, dan Anjani juga ingin bekerja lebih profesional, walau pekerjaan ini bukan yang di harapkan Anjani. Tapi bagaimana lagi Anjani sudah terjebak dalam permainan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Disamping itu, kerja apalagi yang harus Anjani lakukan hanya bermodalkan ijazah SMP. Dulu saja seandainya bukan Astuti yang membawa dirinya ke rumah Ayudya, tak mungkin ia bisa bekerja sebagai baby suster. Anjani teringat kata-kata Rita, kalau orang yang Anjani temui bukan orang sembarangan. Dan Anjani merasakan sewaktu menerima amplop dari Rita, Amplop itu sangat tebal. Dalam hati Anjani sebetulnya ingin rasanya secepatnya mengetahui jumlah uang dalam amplop tadi."Duh kenapa sekarang aku gila uang? Sebab aku sangat butuh uang untuk ibu dan adik- adikku juga untuk menebus Ain," batin Anjani. Ngomong Ain, Anjani teringat Ain anaknya. Sepulang aktivitasnya nanti Anjani berencana hendak ke rumah tant
Kesal bercampur emosi terus menggerogoti hati Leona. Hari ini memang hari yang menyebalkan bagi Leona, job gagal, dapat makian dari Antony. Kalau hanya sekedar makian, buat Leona tak masalah, tapi kata-kata Antony yang menyakitkan, menganggap Leona wanita rendahan itu yang membuat hati Leona sakit sekali. Leona bangkit dari pembaringannya, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar di ketuk. Leona berfikir yang datang temannya, entah itu Barbara atau pun Titin, Elsa atau siapa saja yang merupakan grup Leona. Leona sebetulnya enggan untuk menemui mereka, ia ingin sendiri, tanpa di ganggu siapapun. Tapi Leona juga menginginkan teman curhat. Siapa tau diantara teman- temannya itu ada yang tau rumah tante Bety. Bergegas Leona berlari kecil, menghampiri pintu kamar. Secepat kilat Leona menyambar gagang pintu kamar. "Ngapain sih kalian mengganggu aja, aku ingin istira ..." belum sampai Leona meneruskan kata- katanya. Mata Leona seketika membulat sempurna mengetahui siapa yang dat
Anjani tersentak, mendengar ucapan Wijaya tentang Bali. Padahal Rita tak mengatakan apa-apa pada Anjani, kalau Wijaya hendak membawanya berlibur ke pulau dewata. Anjani ingat tentang amplop yang di berikan Rita sewaktu dirinya pamit mau berangkat, Amplop itu begitu tebal, sampai sekarang Anjani belum sempat membukanya berapa isi amplop itu. "Apa tuan bisa menghubungkan telpon sama tuan Antony?" tanya Anjani melepas tubuh Wijaya. Anjani seperti tak percaya omongannya Wijaya, pengalaman Anjani yang dulu sebagai pelajaran agar Anjani lebih hati-hati menghadapi laki-laki. Tanpa pikir panjang Wijaya meraih ponsel yang ada di atas nakas. untuk menghubungi Antony. "Halo tuan Antony, saya Wijaya yang di temani oleh anak buah Anda. Ini Anak buah anda mau bicara. Wijaya menyodorkan ponsel ke arah Anjani. Perlahan Anjani meraih ponsel Wijaya dan mendengarkan suara Antony bicara. "Ya Anjani aku sudah merestui permintaan tuan Wijaya, berangkatlah, pesanku kau harus layani tuan Wijaya sebai
Bella mengangguk, teka teki hinggap di otak Bella, ia ingin segera mendengar pertanyaan dari Antony, namun Antony masih memberi jeda dengan memandang jemarinya yang memainkan bolpoint di atas meja. "Tentu kamu pernah mendapat cerita dari Anjani, apakah Anjani pernah menikah?" Bella mengernyitkan dahinya, sejenak ia berpikir kalau Anjani pernah cerita kalau dirinya belum pernah menikah. Hanya dia pernah menjadi pacar boss nya, yang katanya orang kaya. Tapi Bella bingung ia hendak mengatakan sejujurnya takut jika Anjani marah, sebab itu sebuah privasi. Dalam kebingungan Bella teringat tante Bety, tante Bety lah yang membawa Anjani ke Motel. "Tapi Tuan, Anjani tak pernah menceritakan tentang kehidupannya, yang ia ceritakan cuma dia berasal dari kampung, bukankah tante Bety lebih tau, Tuan tentang Anjanj." Antony manggut- manggut, ia paham kata-kata Bella, di samping itu ia juga tau Anjani orang yang sangat tertutup. Antony mempersilahkan Bella untuk melanjutkan aktivitasnya
Tante Bety tersenyum masam, ia tak butuh kata-kata Antony. yang tante Bety butuhkan Antony bisa memuaskan nafsunya yang termasuk luar biasa. "Aahh... !" Suara itu terdengar dari mulut tante Bety dengan nafas merancau tak beraturan. Sedikit erangan membuat libido Antony semakin memuncak. "Sungguh ... Ahhh ... Jang ... Jangan lepas Antony. Aku ingin cepat mendapat kan klimaks," Antony yang semula hanya ingin memberikan kepuasan tante Bety untuk meredakan kemarahannya, namun ternyata Antony begitu menikmatinya. Hingga menjelang mahgrib baru usai dalam permainan mereka. Niat Antony untuk menanyakan tentang Anjani terlupakan. Yang ada kenikmatan yang ia dapatkan berkali-kali dengan tante Bety. "Sayang, aku ingin kau temani malam ini. Bukankah selama ini aku yang terus datang ke Motel?" tanya manja tante Bety sembari menghempaskan tubuhnya ke pangkuan Antony. Tubuh syintal tante Bety membuat gerah Antony. Hingga rasa pegal mempengaruhi ke dua kaki Antony. "Sayang maaf, l
"Nyonya?" ucap tante Rita lirih dengan memandang pak Sastro dan Anjani secara bergantian. "udah Mbak, ajak Ain kesini," sela Arini. "Ya Anjani, suruh suster Mery sama Ain ke sini?" ungkap bu Ayu. "Tapi Nyonya, Ain tak mau diajak suster ke sini, maunya sama Nyonya," sela Romi. Anjani mengangguk, dengan cepat Anjani melangkah keluar kantin. "Dia bangun tidur, jadi rewel," ungkap Arini yang dibarengi berdirinya Irfan hendak menyusul Anjani. "Sudah Ma, ayok silahkan makan dulu, biasa anak kecil rewel. Jangan di buat ribut." Bu Ayu berdiri menghampiri tante Rita dan pak Sastro untuk mengajak mengambil makanan terlebih dahulu.Tante Rita berdiri di ikuti pak Sastro untuk mengambil hidangan prasmanan yang sudah disajikan. Ia mendekati bu Ayu sambil berbisik. "Memang kerja suami Mbak Anjani itu apa sih Bu?" Bu Ayu tersenyum, "pengusaha jeng, kemarin bilang kalau suaminya punya perusahaan, tapi saya juga nggak tau persisnya bekerja apa, nikah saja saya nggak di kabari. Itu yang membuat
Hari yang indah untuk keluarga bu Ayu, dengan berakhirnya kelulusan Arini, Sarjana Ekonomi di sandang Arini. Ucapan selamat untuk Arini berdatangan, di loby gedung kampus tempat acara wisuda Arini. Anjani yang diam berdiri di dekat kerumunan teman-teman Arini, menatap adiknya yang tersirat aura kebahagiaan. Ia hanya bisa memandang kebahagiaan adiknya. Tanpa harus ikut dalam jepretan fto- fto yang akan di abadikan. Arini juga tampak cuek dengan Anjani, ia sibuk berfto-fto ria dengan teman- temannya. Bahkan dengan keluarga Galang calon suami Arini yang hari ini juga ikut moment wisuda Arini. Bu Ayu tampak tersenyum bangga, sesekali berbicara pada orang tua teman Arini dan orang tua Galang, yang kebetulan berdiri di dekat bu Ayu."Ayo ganti fto keluarga tante Rita," ucap Arini memanggil nama orang tua Galang dengan sebutan tante Rita. Entah pemandangan itu membuat Anjani bukannya bahagia, ia malah sedih. Sedikitpun tak tersentuh panggilan Arini pada dirinya, apa memang lupa atau mal
Anjani ragu, ketika menginjakkan kakinya ke kampung halaman. Dan tentu keluarganya akan menanyakan siapa Airin. Sebegitu cepat Anjani mempunyai anak, dan kenapa menikah tanpa kabar- kabar keluarga di kampung. Namun Suster Mery yang sudah di gembleng lebih dahulu oleh Anjani tentang nama Anjani yang berganti Lolita, Anjani mengatakan kalau itu nama panggilan kesayangan Abilawa pada dirinya. Suster Mery menuruti apa yang dikatakan Anjani. Ia tak mau tau dengan hal itu. Yang di utamakan suster Mery bekerja dan bekerja. Seandainya bos nya meminta suster Mery harus melakukan ini itu, kalau demi kebaikan ya tentu menuruti. "Duh anak Mbak, cantik," ungkap Arini yang gemas dengan mentowel pipi Ain. "Ikut tante yok? Ajak Arini dengan menjulurkan tangannya ke arah Ain, yang tengah duduk di pangkuan bu Ayu dengan memainkan layar ponsel. Biasa anak jaman sekarang anteng bila di beri mainan ponsel. Tapi Anjani maupun suster Mery selalu membatasi, hanya jam tertentu Ain diperbolehkan main Pons
Anjani punya masukan lagi dari bibi Narti sebagai bahan bukti kalau Grace benar- benar memasukkan Faizal ke dalam kamar. Anjani harus mempertahankan kebenaran. Urusan Abilawa membeliksn mobil Grace itu urusan lain. Bagaimanapun Grace adalah anak sambung. Tapi Anjani juga tak mau Abilawa di peras hartanya oleh manusia manusia picik seperti Istri-istri Abilawa. Ia hanya butuh harta Abilawa tapi tak mencintainya. Bahkan Anjani juga mendengar cerita dari bibi Narti, kalau Lidya atau Dewi sering memasukkan laki laki lain di rumahnya jika Abilawa sedang luar kota. Cerita itu didapat bibi Narti dari teman kampungnya yang bekerja sebagai pembantu di rumah Lidya. Tapi untuk masalah itu, Anjani tak mau mengurusinya, itu pribadi mereka.***Tiga hari Anjani belajar di kantor Abilawa, ia begitu bersemangat. Niat untuk belajar ada dan tak sedikitpun mempunyai keinginan menguasai perusahaan apabila Anjani sudah pinter. Ilmu buat Anjani segala-galanya, dan tiba waktunya Anjani harus libur sementar
Anjani panik, berjalan kesana kemari, mencari keberadaan Denis. Namun ia tak menemukan Denis ada di ruangan. Perlahan Anjani melangkah mendekati kamar Grace. Ia ingin tau apakah laki- laki bernama Faizal ada di dalam kamar Grace. Kalau memang ada di kamar Grace, bagaimana jika terjadi sesuatu. Mereka bukan suami istri, Grace masih status pelajar dan sudah dewasa, dikamar berdua lain jenis apa yang bakal dilakukan kalau bukan hal semacam itu. Anjani berdiri diam di depan pintu kamar Grace, ia mengangkat tangannya, dan menempelkan ke pintu kamar Grace, hendak mengetuk, namun tiba- tiba niatnya terhenti, ia takut jika Grace benar-benar ada di kamar berduaan dengan Faizal. "Ma ...!" suara dari belakang mengagetkan Anjani. Anjani menoleh ke belakang dengan gugup ia menyapa. "Ohh ... Papa ... Anu eh, aku ingin menemui Grace tapi takut mengganggu sebab baru saja dia pulang sekolah. Tanpa basa-basi Abilawa langsung mendekati pintu kamar Grace. Melihat hal itu Anjani bingung ia hendak me
Anjani diam menatap Grace yang bertingkah tak sopan. Tanpa bicara sedikitpun Anjani nemunguti dua lembar uang di lantai. Ia tak ambil pusing dengan ejekan Grace. "Uhh, ternyata di ambil juga tuh uang, dasar kere, kampungan." Grace meninggal kan Anjani yang menyayangkan uang dua ratus ribu fi buang begitu saja, ingat jaman masih di kampung uang segitu begitu banyak. Jangankan uang dua ratus ribu. Uang seribu saja susah untuk mendapatkannya. Anjani membiarkan Grace meninggalkan dirinya, namun dalam hati Anjani tak tega juga, ia berpikir bagaimana nanti kalau Grace di luar tak punya uang. Ia diam sejenak sembari berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk Grace, ia harus keluar dulu ke ATM. Anjani kembali masuk kamar, mengambil dompet yang berisi ATM. Ia melangkah keluar hendak menyuruh Romi mengantar ke depan. Bari saja kaki. Anjani menginginjakkan ruang tamu. Ia melihat Grace duduk di ruang tamu dengan seorang laki-laki. Yang usianya lebih tua dari Grace. Anjani menghentikan langk
Dalam hati Anjani tertawa melihat kelakuan Lidya dan Grace. Ia membiarkan kecurigaan itu berlanjut, justru Anjani hendak membuat Lidya dan Grace semakin curiga, dan mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Denis. Hari-hari pun di gunakan Anjani semakin dekat dengan Denis. Siang itu sengaja kepulangan Grace dari sekolah yang di jemput oleh Romi sang sopir. Grace keluar dari mobil tampak marah. Grace masuk rumah dengan wajah tak bersahabat ketika melintasi duduk Anjani dan Denis di ruang tamu. Ia berlalu begitu saja tanpa menyapa Anjani. Anjani memandang Denis, menarik ujung matanya ke atas. Sepertinya menanyakan kelakuan Grace dalam bahasa isyarat. Denis hanya menggelengkan kepala, dan mengatakan agar Anjani tidak ikut campur urusan pribadi Grace. "Masuk lah ke dalam Nyonya Loli, biarkan nona Grace." Anjani berdiri, tapi dirinya tak merasa enak jika membiarkan keadaan Grace. Nanti bakal di salahkan, tanpa persetujuan Denis Anjani melangkah menuju kamar Grace. Tok, tok, tok ..
Klik Tangan Denis menekan tombol listrik, ruangan yang gelap berubah terang. "Maaf Nyonya, saya tinggal dulu," pamit Danis dengan membungkukkan tubuhnya tanda hormat. Anjani menganggukkan kepala. Dan beralih pandangan ke ekspresi Grace yang sepertinya jijik dan tak suka. Grace menggeleng-gelengkan kepala. "Tak seindah kamarku di rumah, ini mah gudang!""Graceee ...!" suara keras Lidya memperingatkan agar Grace tak banyak bicara. "Ini kamar sudah di bersihkan, dan semua ini kehendak tuan Abilawa, tuan Abilawa memberikan yang terbaik untuk Nona Grace," ungkap Anjani. "Maaf saya harus pergi, melihat Ain anak saya." Anjani membalikkan tubuhnya serta keluar dari kamar. Namun Anjani tidaklah meninggalkan ruangan. Ia sembunyi di dekat dinding, ingin mendengarkan apa rencana Lidya dan Grace.Dugaan Anjani tak meleset, Lidya merencanakan sesuatu, Anjani mendengar jelas percakapan Lidya dan Grace. Dengan cepat Anjani mengeluarkan ponselnya dan merekam semua percakapan Mereka. "Diamlah
Pikiran Anjani terus terbayang Grace yang akan tinggal satu atap dengannya, dan kata-kata bibi Narti tadi siang yang membeberkan tentang kelakuan Grace. Hingga menjelang pagi mata Anjani tak bisa terpejam. Dentangan jam di sudut ruang kamar Anjani sudah menunjukkan angka empat pagi, Anjani beranjak dari tempat tidurnya. Tampak Airin yang tidur disebalahnya tampak pulas, entah sudah dia malam Anjani menginginkan tidur sama Airin yang biasanya Airin tidur di kamarnya sendiri, kadang Anjani yang pindah tempat ke kamar Airin. Anjani tau semua itu ia lakukan karena Abilawa tentu berada di kamarnya sendiri, jika tidak tentu berada di rumah salah satu istrinya. Anjani melangkah ke kamar mandi, hendak menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Apalagi sudah terdengar azan shubuh dari kejauhan. Anjani masih duduk tepekur di atas sajadah dengan tangan menengadah ke atas, ia merasa bersyukur dalam keadaan bagaimanapun masih ingat akan Tuhannya. Walau Allah memberikan pekerjaan sebagai wani