Sepanjang perjalanan, Andre terus saja menceritakan tentang sosok Yandi pada Reina. Hati gadis itu merasa sangat senang, karena dirinya kini dapat mengenal siswa yang selalu diperhatikannya secara tidak langsung.
“Tuhan, jika diizinkan aku mau berteman dengan Yandi. Aku mau membantu dia saat susah.” Dalam hatinya Reina berdoa, ia memohan agar diberikan kesempatan untuk menjadi teman yang selalu sedia membantu Yandi.
“Belok kiri atau kanan?” ujar Andre menanyakan arah rumah gadis itu.
“Kanan, kanan. Nanti lurus, rumah ketiga. Itu rumah gue,” ujar Reina memberikan penjelasan.
Kini kedua siswa itu telah tiba di kediaman Reina. “Makasih banyak, ya. Sorry banget gue udah ngerepotin lo,” ujar Reina berterima kasih setelah keduanya turun dari sepeda motor.
“Ya ampun nak... kamu ke mana aja kenapa baru pulang jam segini? Ini udah jam tujuh,” ujar seorang wanita berambut sedagu dengan memakai daster batik berwarna coklat.
“Ma... maaf bun,” ujar Reina meminta maaf pada wanita itu.
“Maaf bu, tadi kelamaan gara-gara masih isi bensin,” ujar Andre turut meminta maaf.
“Gak perlu minta maaf, kan bukan salah lo.”
“Gini, gini. Biar aku jelasin ya, bun,” ujar Reina ingin memberi penjelasan pada wanita itu.
“Pertama-tama, bunda kenalan dulu sama orang yang di samping aku. Namanya dia Andre, dia teman satu sekolah aku,” ujar gadis itu memperkenalkan Andre.
Setelah wanita berambut sedagu itu berkenalan dengan Andre, Reina segera melanjutkan penjelasannya. “Jadi gini, bun. Tadi tuh aku nyasar, terus aku ditolongin sama Andre. Pas di tengah jalan bensinnya habis, jadi kita mampir bentar ke pom bensin buat ngisi bensinnya Andre. Tapi pas kita sampai sana antriannya tuh panjang banget, jadinya aku pulang kemalaman, bun,” ujar Reina panjang lebar memberikan penjelasan pada bundanya. Wanita yang begitu khawatir saat gadis itu baru pulang adalah bundanya.
“Makasih banyak ya nak, Andre. Maaf ya udah ngerepotin.”
“Gak papa kok, bu. Gak ngerepotin sama sekali.”
“Eh... aku langsung pamit ya, bu,” ujar Andre hendak berpamitan.
“Mau langsung pulang? Gak mampir dulu? Paling enggak minum dulu gitu,” ujar bunda Reina menahan Andre.
“Mungkin lain kali aja, bu. Soalnya sekarang udah malam. Rumah aku juga dekat kok, bu. Aku janji bakalan datang lagi ke sini.”
“Emangnya rumah nak Andre di mana?”
“Di gang sebelah, bu.”
“Dekat ya. Ya udah, kalau gitu gak papa.”
“Kalau gitu aku pamit ya, bu,” ujar Andre sedikit menundukkan kepalanya.
“Hati-hati ya, nak.”
“Makasih banyak, ya.”
Setelah berpamitan, Andre segera menyalakan sepeda motornya dan bergegas pulang.
Setibanya di rumah, ia langsung mendapat sambutan spesial dari keluarganya. “Kamu dari mana aja, sih?! ini udah jam berapa?!” teriak seorang wanita berambut panjang ikal terurai, memarahi Andre begitu ia memasuki rumah.
“Kamu itu dikasih motor buat kerja! Cari uang, bukan buat jalan-jalan!”
“Mama udah pernah bilang, kalau kamu itu harus pulang sebelum jam tujuh.” wanita yang menyambut kepulangan Andre dengan kemarahan adalah mamanya. Wanita itu membelikannya sepeda motor saat ia telah menjadi seorang siswa SMA, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
“Mana setoran hari ini?” tanya wanita itu menagih uang dari putranya.
“Gak ada, ma. Udah habis buat beli bensin,” ujar Andre menjawab mamanya tanpa melihat wajah wanita itu.
“Gak ada? Kamu bisa cari uang gak, sih?!”
“Ma! Aku udah usaha! Tapi emang gak dapat!” ucap Andre berteriak.
Plak...
Lima jari langsung mendarat ke wajah remaja itu, saat ia berteriak. “Kamu barusan teriak?!
“Dasar anak gak tahu diri!” teriak wanita itu sambil menampar sebelah pipinya.
“Kamu sama bapak kamu sama aja! Sama-sama gak bisa cari uang!”
“Asal mama tahu, aku juga udah usaha. Tapi, emang gak dapat aja!”
“Dan jangan pernah mama sama-samain aku, sama pria pemabuk itu!” teriak Andre dan berlalu ke kamarnya.
“Dasar! Kalian emang sama aja! Semuanya sama aja!” teriak wanita itu sambil membanting asbak rokok yang berada di meja.
Inilah wajah keluarga Andre, tak ada kebahagiaan di dalamnya. Hubungan kedua orang tuanya yang telah memburuk semenjak ia duduk di bangku SMP kelas sembilan, membuatnya harus menggantikan kewajiban orang tuanya untuk menafkahi keluarga mereka.
Sejak berusia lima belas tahun, Andre telah menjadi seorang tukang ojek. Ia selalu membawa pakaian cadangan saat ke sekolah untuk digunakannya sepulang sekolah.
Retakannya hubungan kedua orang tuan Andre, membuatnya harus menjadi sasaran kemarahan mamanya. Hingga kini, hubungan kedua orang tuanya semakin parah. Keduanya selalu bertengkar dan menjadikan siswa itu sasaran pertengkaran mereka.
Siswa itu sangat benci, jika mamanya menyamainya dengan pria yang berstatus sebagai bapaknya. Pasalnya pria itu selalu saja pulang saat tengah malam dengan tubuh yang dipenuhi aroma alkohol. Pria itu juga selalu menjadikan siswa itu sebagai objek sasarannya saat ia sedang mabuk. Wajah Andre pun selalu berakhir babak belur setiap paginya, jika ia tak berhasil melarikan diri dari pria itu.
“Ow... sakit banget.” Andre memegang kedua pipinya yang memerah akibat tamparan mamanya.
“Au ah. Mendingan gue mandi.” pria itu meraih handuk yang berada di tempat tidurnya dan segera menuju kamar mandi.
Setelah mandi, pria itu mengambil ponselnya yang berada di saku jaketnya. Ia mencari nama ‘Anak Sesama’ di daftar kontak ponselnya dan menghubungi pemilik nomor tersebut. Pria itu membaringkan tubuhnya di kasurnya sambil menunggu panggilannya diterima oleh pemilik nama ‘Anak Sesama’.
“Yo...” seru Andre begitu panggilannya dijawab.
“Ada apaan, sih? Tumben banget lo nelpon. Biasanya juga ngomong langsung kalau ada apa-apa,” ujar seorang pria melalui panggilan telepon.
“Gak ada apa-apa, sih. Cuma gue lagi mau ngomong sesuatu.”
“Apaan?” tanya pria itu tak bersemangat.
“Ya ampun... lo tega banget sama teman lo, Yan.” pria yang sedang dihubungi Andre melalui panggilan telepon adalah Yandi. Ia adalah pemilik nama kontak ‘Anak Sesama’.
“Ya udah, makanya cepatan ngomong. Gue mau tidur.”
“Lo mau tidur jam segini? Emangnya lo udah makan?”
“Udah. Makanya cepat,” jawab Yandi singkat, dan meminta Andre untuk segera menyampaikan tujuannya. Ya, Yandi memang orang yang tak suka basa-basi. Ia paling malas mendengarkan ucapan yang hanya berisi basa-basi, karena menurutnya hal itu tak penting.
“Tadi gue ketemu ama cewek—””
“Terus lo suka sama dia?” tanya Yandi memotong ucapan Andre.
“Enggak. Astaga naga ular naga panjangnya...”
“Gak ada ular naga dekat gue.”
“Makanya dengarin gue ngomong dulu, anak setan...”
“Hm...”
“Jadi, tadi gue kan ketemu sama cewek. Dia itu siswa di sekolah kita juga—”
“Terus? Masalahnya apa?” tanya Yandi lagi-lagi memotong ucapan Andre.
“Terus dia mau temanan ama gue,” ucap Andre tak bersemangat. Ia kesal karena Yandi terus saja memotong ucapannya.
“Lo yakin dia benaran mau temanan ama lo?” Yandi ragu jika ada siswa dari sekolah SMA Citra yang ingin berteman dengan mereka memilii niat yang tulus. Ia khawaatir jika temannya hanya dimanfaatkan oleh siswi itu.
“Iya. Dia orangnya baik banget. Dan ternyata dia tetangga gue. Yah... walaupun gak dekat banget sih rumah kita.”
“Bagus deh. Gue cuma mau bilang, lo jangan terlalu percaya sama dia.”
“Iya. Gue ngerti.”
“Ya udah, gue mau tidur.”
“Oke,” ujar Andre menyetujui, dan segera mengakhiri panggilan telepon.
Hati Andre terasa bahagia. Ia tak menyangka jika siswi itu mau memperkenalkannya sebagai seorang teman pada orang tuannya.
“Pokoknya besok gue harus ke rumah dia.” Andre bertekad untuk mengenali siswi itu, untuk memastikan lagi apakah ia tulus berteman dengannya atau tidak.
“Mamanya tuh cewek baik juga, ya. Coba aja mama gue kayak gitu,” ujar Andre membandingkan mamanya dengan wanita itu, sambil membayangkan senyuman di wajah wanita itu saat ia berpamitan.
“Coba aja pas gue jalan, mama juga bilang kayak gitu. Hati-hati di jalan ya, nak. Pasti gue senang.” Dalam hatinya, Andre berharap mamanya kembali pada sosok yang ia kenal. Namun, ia tahu bahwa harapannya tak mungkin terjadi jika melihat mamanya yang tak pernah mendengarkan sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Lagian gue mikir apa sih! Mana mungkin mama kayak gitu. Tunggu ampe bulan ada sepuluh pun, mama gak bakalan kayak gitu.”
“Dahlah... mendingan gue tidur, daripada mikir gak jelas. Bikin sakit kepala yang ada,” ujar Andre dan segera menutup kedua matanya. Sambil menutup kedua matanya, ia memegang perutnya yang terus saja berbunyi. Ia tahu, jika ia tak membawa uang saat pulang maka ia tak akan mendapat makanan. Pasalnya tak ada orang lain yang bekerja di rumah ini selain dirinya. Kedua orang tuanya kini telah menjadi pengangguran, sejak perusahaan tempat kedua orang tuanya bekerja bangkrut.
Andre juga sudah terbiasa menahan rasa laparnya, bukan hanya semalaman atau seharian. Terkadang perutnya hanya diisi air selama beberapa hari, jika ia hanya mendapat sedikit uang dari hasil mengojek karena ia harus selalu menyetor penghasilannya setiap hari. Jika hasilnya lebih dari angka lima ratus ribu, maka ia akan diberikan lima puluh ribu. Namun, jika ia mendapat di bawah dari itu, ia hanya diberikan dua puluh lima ribu.
Beruntungnya Andre masuk ke sekolahnya saat ini dengan jalur beasiswa, sehingga dirinya tak terlalu perlu memusingkan biaya sekolahnya. Jika ia membutuhkan biaya saat mereka harus mengumpulkan uang baik untuk tugas kelompok maupun acara sekolah, teman-temannya selalu saja memenuhi kewajibannya yang tak bisa ia penuhi.
Tangisan Yeri sudah memenuhi rumah kala waktu masih menunjukkan pukul lima lebih empat puluh menit. Sebenarnya sejak malam hari remaja ini sudah mulai meneteskan butiran-butiran air dari matanya.Suara tangisan remaja pria ini membuat Yandi benar-benar merasa terganggu. Telinganya pun mulai memanas dan ia segera kehabisan kesabarannya mendengar suara tangisan adiknya.“Bisa berhenti nangis gak, sih?!” ujar Yandi memarahi adiknya. Ia yang telah kehabisan kesabaran, menerobos masuk kamar adiknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.“Gara-gara lo nangis dari semalam, gue tuh gak bisa tidur! Emangnya lo gak capek nangis dari malam sampai pagi?!” Yandi merasa kesal, karena ia harus mendengar tangisan adiknya sejak semalam. Kamar mereka yang bersebelahan membuat ia dapat mendengar dengan jelas suara tangisan adiknya.“Lo tahu, bi Ami tuh kemarin capek banget bujuk lo. Udah dibujuk kayak anak bayi juga gak mau diam lagi! Bi Ami tuh berdi
Terlepas dari semua keributan di rumahnya, kini Yandi harus bergegas ke sekolah. “Ah... udah jam segini lagi. Coba aja gue gak ngurusin anak gak jelas itu, pasti gue gak bakalan telat,” ujar Yandi kesal saat ia melihat jam di ponselnya yang telah menunjukkan pukul tujuh tepat.“Ah... bodoh amat, deh.” Yandi sangat kesal pada adiknya yang masih saja menangis di kamarnya. Kini ia benar-benar tak mau memedulikan adiknya lagi. Yandi adalah orang yang tak akan memedulikan seseorang yang tak mendengar ucapannya. Siapa pun orang itu ia tak peduli. Ia punya sebuah prinsip, jika sekali perkataannya tak didengarkan, ia tak akan perduli lagi pada orang itu.Begitu selesai bersiap, Yandi segera bergegas berangkat ke sekolah tanpa menyantap sarapan. Ia bahkan tak berpamitan pada orang rumah saat berangkat ke sekolah.Meskipun ia tahu dirinya akan telat, namun Yandi tetap memilih untuk berjalan kaki. Bahkan ia berjalan dengan santai menuju sekolah.Seperti dugaannya, setib
Setelah menerima uang dari Yandi, Andre segera pergi membeli buku untuk temannya. Di sekolah ini terdapat beberapa kantin yang hanya khusus menjual makanan dan minuman, dan terdapat satu kantin yang menjual beberapa jenis alat tulis di samping menjual makanan dan minuman. Kantin itu berada dekat dengan kelas dua belas Ilmu Sosial.“Andre,” panggil seorang siswi ketika Andre melewati sebuah kelas.Andre membalikkan badannya, dan dilihatnya sesosok murid di hadapannya. “Reina?” Murid itu adalah Reina. Remaja itu merasa sangat senang, karena ia bisa bertemu dengan gadis itu sesuai harapannya.“Lo mau ke mana?”“Oh... ini, gue mau beli buku buat Yandi.”“Emangnya dia gak bawa buku?” tanya Reina penasaran.“Bawa, kok. Cuma Buat nih.... apa lagi namanya... hukuman maksud gue. Biasalah, kita udah sering dihukum.” Saat mendengar alasan Yandi membutuhkan buku, Reina langsung berniat membantu siswa itu lagi.“Ya udah, pakai
Jam istirahat telah berakhir, dan jam pelajaran kedua pun telah dimulai. Jam pelajaran kedua diisi oleh mata pelajaran Kimia yang dibawakan pak Vino. Pak Vino adalah salah satu guru muda di SMA Citra. Kulit putih dan wajah yang terlihat seperti seorang model membuat guru ini populer di kalangan para siswi. Perawakan guru ini memang mampu membuat para siswi tergila-gila padanya. Apa lagi saat para siswi mengetahui dirinya yang belum memiliki kekasih hingga saat ini.Mata pak vino terus saja tertuju ke arah Yandi sejak ia memasuki ruang kelas itu. “Hm... kata guru-guru yang sudah mengajar di kelas ini, dia itu anak yang pintar. Kayaknya aku harus cari tahu seberapa pintar dia.” Pak Vino adalah guru baru di SMA Citra. Ia baru saja menjadi guru di sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Namun ia belum pernah mengajar di kelas Yandi, karena saat itu sudah ada guru lain yang mengajar mata pelajaran kimia di kelas itu. Ia baru mulai mengajar di kelas Yandi, setelah guru itu memasuk
Hari ini remaja itu dua kali tak ikut belajar bersama guru dan siswa lainnya di kelas. Setelah tak mengikuti mata pelajaran pertama karena terlambat. Kini ia terpaksa tak mengikuti lagi mata pelajaran berikutnya, karena tak melakukan perintah dari pak Vino.Namun, kali ini ia tak sendiri karena keenam siswa yang terkenal itu dikeluarkan dari kelas secara bersamaan. Setelah dikeluarkan dari kelas, Yandi dan kelima temannya segera menuju kantin yang berada tak jauh dari kelas Ilmu Sosial.“Lo pesan apa aja, sana. Suka-suka hati lo,” ujar Yandi menyuruh teman-temannya segera memesan apa pun yang mereka inginkan.“Benaran, nih?” tanya Andre memastikan.“Iya... gue yang bayar nanti.”“Waah... makasih, Yan,” ujar Rino berterima kasih dan diikuti Agus, Andre, Andi, dan Doni. Kelima siswa itu sangat senang saat Yandi mentraktir mereka. Mereka pun memesan segala jenis makana
Hamparan bintang nan indah memenuhi langit malam ini, menemani Yandi yang sedang membaca buku pelajaran miliknya. Namun pikiran Yandi juga dipenuhi dengan hamparan suara merdu yang terngiang-ngiang di kepalanya.“Hmm... merdu juga ya suara cewek itu,” gumam Yandi mulai memikirkan pemilik suara merdu itu.“Dia anaknya bi Ami, kan? Kira-kira dia orangnya kayak gimana, ya?” Yandi mulai bertanya-tanya tentang sosok pemilik suara merdu itu.“Dih... kok gue malah mikir itu orang, sih? Kenal juga enggak, ngapain coba gue?” ujar Yandi menyadarkan dirinya yang mulai memikirkan pemilik suara merdu itu.“Mendingan sekarang gue baca nih buku sampai habis, terus gue tidur. Dan gak perlu ke meja makan, karena gue malas,” ujar Yandi dan melanjutkan aktivitas membacanya.Suara merdu itu terus terngiang-ngiang di kepala remaja itu. “Duh... mending gue tidur sekarang, dari pada gue kepikiran terus.” Yandi b
Malam yang panjang kini hampir berlalu. Cerita tentang sosok pemilik suara merdu itu pun kini telah berakhir. Bi Ami memang tak menceritakan sosok putrinya secara detail. Wanita itu hanya menceritakan tentang putrinya secara garis besar.Tepat pukul dua dini hari, Yandi kembali ke kamarnya. Setelah mendengarkan semua hal diceritakan oleh ibu dari pemilik suara merdu itu, remaja pria itu segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat.Setiba di kamarnya, Yandi segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya. Ia pun segera menutupi tubuhnya dengan selimut, hingga ke bagian lehernya. “Bibi kayaknya senang banget ya ceritain anaknya. Tapi, wajar aja kalau bibi senang punya anak kayak dia. Kalau dari ceritanya bi Ami, kayaknya dia anak yang penurut, deh.” Wajah Bi Ami yang begitu berseri saat menceritakan anaknya membuat ia mengingat bagaimana cara Yena menceritakannya pada teman-temannya kala itu.FlasbackSatu hari setelah hari k
Sebuah surat terbungkus rapi dalam amplop diberikan pada bi Ami. Wanita itu terheran-heran melihat surat yang berada di tangannya saat itu. “Tu... tuan muda ini benaran surat buat anak saya?” tanya bi Ami kebingungan.“Iya bi. Cuma buat minta maaf masalah yang waktu itu doang, bi.” Perkataan Yandi memanglah benar, tapi tidak seratus persen benar. Ia memang menuliskan permintaan maafnya dalam surat itu. Namun, ada hal lain yang juga dituliskannya dan tak diberitahukan pada bi Ami.“Ya ampun... tuan muda gak perlu sampai segitunya, kok. Anak bibi gak mungkin marah,” ujar bi Ami yang merasa tersentuh dengan sikap tuan mudanya.“Gak papa kok, bi. Aku cuma gak enak aja.jadi aku kirimin permintaan maaf aku lagi.”“Ya udah, nanti bibi kasih ke anaknya bibi. Makasih ya tuan muda.”“Tapi, jangan sampai ada yang tahu selain kita ya, bi,” pinta Yandi tak ingi
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem