Tangisan Yeri sudah memenuhi rumah kala waktu masih menunjukkan pukul lima lebih empat puluh menit. Sebenarnya sejak malam hari remaja ini sudah mulai meneteskan butiran-butiran air dari matanya.
Suara tangisan remaja pria ini membuat Yandi benar-benar merasa terganggu. Telinganya pun mulai memanas dan ia segera kehabisan kesabarannya mendengar suara tangisan adiknya.
“Bisa berhenti nangis gak, sih?!” ujar Yandi memarahi adiknya. Ia yang telah kehabisan kesabaran, menerobos masuk kamar adiknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Gara-gara lo nangis dari semalam, gue tuh gak bisa tidur! Emangnya lo gak capek nangis dari malam sampai pagi?!” Yandi merasa kesal, karena ia harus mendengar tangisan adiknya sejak semalam. Kamar mereka yang bersebelahan membuat ia dapat mendengar dengan jelas suara tangisan adiknya.
“Lo tahu, bi Ami tuh kemarin capek banget bujuk lo. Udah dibujuk kayak anak bayi juga gak mau diam lagi! Bi Ami tuh berdiri di depan pintu sampai jam empat buat bujuk lo!”
“Udah kayak anak bayi tahu, gak!”
“Sebenarnya lo mau ngapain nangis kayak gini? Biar apa? Biar mereka nurutin kemauan lo?!”
“Gak bakalan! Sampai suara abis sekalipun, gak bakalan diturutin kemauan lo!”
“Gue kasih tahu sama lo, gak usah ngarapin apa pun dari mereka! Ngerti lo!” ujar Yandi tegas. Ia tahu betul apa pun usaha adiknya tak akan membuahkan hasil, jika ia tak bisa menyamai pencapainya. Apa pun yang dilakukan Yeri akan tetap tak bernilai di mata kedua orang tuanya, jika ia tak mampu menyamai kakaknya.
“Kakak jahat! Aku benci kakak!” teriak Yeri dalam tangisnya.
“Terserah! Kalau gak mau dikasih tahu, ya udah!” ujar Yandi kesal. Ia tak peduli jika adiknya membencinya. Namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak mau adiknya bernasib sama seperti dirinya. Ia tahu betul bagaimana orang tuanya hanya memanfaatkan semua prestasi yang pernah didapatkannya, dan setelah ia tak mendapatkan semua prestasi yang pernah didapatkannya mereka segera membuangnya.
“Just do whatever you want to do! I don’t care again abot you!” Yandi segera keluar dari kamar Yeri dan kembali ke kamarnya untuk bersiap ke sekolah. Walaupun terlihat tak peduli, sebenarnya Yandi tak ingin adiknya membuang-buang waktu dan tenaganya untuk mencari perhatian kedua orang tuanya, yang tak akan memerhatikannya sedikit pun. Yandi memang memiliki keunikan sendiri saat sarannya tak diterima orang lain. Remaja pria ini akan menunjukkan ketidakpeduliannya pada orang yang menolak sarannya menggunakan bahasa Inggris.
Yandi memang memiliki kemampuan bahasa asing yang baik, karena dirinya sejak dulu selalu bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Sejak duduk di bangku pendidikan anak usia dini hingga kini ia duduk di bangku sekolah menengah atas, Yandi selalu saja bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Tak hanya Yandi, kedua saudaranya pun selalu menempuh pendidikan mereka di sekolah bertaraf internasional.
“Tuan, jangan nangis lagi, ya. Mendingan sekarang tuan siap ke sekolah,” ujar bi Ami membujuk Yeri. Setelah mendengar keributan antara kedua kakak beradik itu, wanita itu segera berlari ke kamar Yeri.
“Gak mau, bi! Aku gak mau sekolah!” teriak Yeri masih dalam tangisnya.
“Jangan gitu dong, tuan. Nanti tuan bisa ketinggalan materi pelajaran hari ini.”
“Aku gak mau. Pokoknya aku gak mau, bi...” ujar Yeri merengek.
“Kalau tuan muda mau dapat perhatian nyonya sama tuan besar, tuan muda harus rajin sekolah,” ujar bi Ami membujuk Yeri.
“Gak mau! Aku tiap hari rajin ke sekolah, tapi mama sama papa gak pernah perhatiin aku!”
“Tuan muda gak boleh ngomong kayak gitu. Sekarang mama sama papanya tuan muda tuh lagi sibuk kerja, supaya bisa bayar biaya sekolahnya tuan muda sama kakak-kakaknya tuan muda.” Bi Ami berusaha memberi pengertian kepada remaja pria itu, agar dirinya berhenti berpikir bahwa kedua orang tuanya tidak memerhatikannya. Walau kenyataannya memang mereka tak pernah memerhatikannya. Namun, wanita itu tak ingin putra bungsu keluarga itu bersedih.
“Kalau tuan muda malas ke sekolah, nanti tuan muda gak bisa juara di sekolahnya tuan muda. Tapi kalau tuan muda rajin ke sekolah, pasti tuan muda bisa juara kayak tuan muda Yandi.”
“Mungkin tuan muda bakalan butuh waktu yang lama, tapi tuan muda juga pasti bisa sama kayak tuan muda Yandi.” Bujukan wanita itu tepat sasaran. Ia tahu betul apa yang dibutuhkan remaja pria ini untuk mendapatkan perhatian orang tuanya.
“Dari dulu aku selalu rajin ke sekolah, Tapi aku gak pernah tuh dapat juara kayak kak Yandi,” ujar Yeri merasa tak adil, karena ia yang selalu rajin ke sekolah tak pernah sekalipun mendapat peringkat di sekolahnya seperti Yandi.
“Tuan muda gak bisa berpikir kayak gitu. Setiap orang itu berbeda—” Belum selesai wanita itu menyampaikan maksudnya, Yeri langsung memotong. Ucapan bi Ami langsung saja dipotong remaja pria itu karena merasa tak terima dengan perkataannya.
“Maksud bibi apa?!”
“Bibi mau bilang kalau kak Yandi lebih pintar dari aku?! Atau bibi mau bilang kalau aku memang gak pintar?!” Amarah remaja itu langsung meledak ketika mendengar ucapan bi Ami.
“Tuan, saya gak bermaksud seperti itu—” Lagi-lagi ucapan wanita itu dipotongnya. Ia yang terlanjur kesal, tak ingin mendengarkan penjelasan dari wanita itu.
Yeri yang tak mengerti maksud dari perkataan bi Ami langsung saja meledak-ledak memarahi wanita itu. Padahal wanita itu tak memiliki niat untuk menjatuhkannya. Ia hanya berniat untuk memberi tahu pada tuan mudanya, bahwa setiap orang itu memiliki perbedaan. Perbedaan itu juga membuat setiap orang memiliki jalannya masing-masing dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan. Sayangnya, remaja pria itu tak membiarkan ia menyelesaikan ucapannya.
“Keluar sekarang! Aku gak mau lihat bibi lagi!” teriak Yandi mengusir wanita itu.
“Woi! Otak lo itu udah rusak, ya?!” ujar Yandi kesal.
Posisi kamar Yandi yang bersebelahan dengan adiknya, membuat ia bisa mendengarkan semua percakapan mereka. Emosinya meledak saat ia mendengar adiknya mulai memarahi asisten rumah tangga mereka. Ia yang tahan dengan tingkah adiknya pun segera menghampirinya.
“Kayaknya dari dulu sampai sekarang otak lo gak pernah dipakai!”
“Lo belum dengar semua omongannya bi Ami, lo udah langsung marah-marah gak jelas!”
“Biasain dengarin omongan orang lain sampai selesai, biar lo tahu maksudnya. Kalau gak, ya kayak gini. Marah-marah gak jelas! “walaupun ia suka membantah, Yandi selalu mendengar perkataan orang lain hingga selesai, agar ia bisa memahami maksud mereka. Ia hanya akan memotong perkataan seseorang, jika mereka terlalu bertele-tele atau saat dirinya tak dapat menahan rasa kantuknya lebih lama.
“Aku gak peduli! Aku benci kakak! Aku gak mau ngelihat kalian! Keluar dari kamar aku!” teriak Yeri mengusir bi Ami dan Yandi.
“Okay. I really don’t care about you anymore!”
“If you want to hate me, i don’t care. It’s not a big deal, because i’m still alive!”
“I won’t die if you hate me. You have to know that!”
“Terserah kakak. Aku benci kakak!”
Yandi segera menarik tangan asisten rumah tangga itu dan membawanya keluar dari kamar adiknya. Yeri pun segera menutup pintu kamarnya.
Brak!!!
“Banting aja tuh pintu!” teriak Yandi ketika melihat cara adiknya menutup pintu.
“Bi, mendingan bibi gak usah capek-capek bujuk dia,” ujar Yandi lalu meninggalkan wanita itu sendirian, dan ia segera kembali ke kamarnya.
Terlepas dari semua keributan di rumahnya, kini Yandi harus bergegas ke sekolah. “Ah... udah jam segini lagi. Coba aja gue gak ngurusin anak gak jelas itu, pasti gue gak bakalan telat,” ujar Yandi kesal saat ia melihat jam di ponselnya yang telah menunjukkan pukul tujuh tepat.“Ah... bodoh amat, deh.” Yandi sangat kesal pada adiknya yang masih saja menangis di kamarnya. Kini ia benar-benar tak mau memedulikan adiknya lagi. Yandi adalah orang yang tak akan memedulikan seseorang yang tak mendengar ucapannya. Siapa pun orang itu ia tak peduli. Ia punya sebuah prinsip, jika sekali perkataannya tak didengarkan, ia tak akan perduli lagi pada orang itu.Begitu selesai bersiap, Yandi segera bergegas berangkat ke sekolah tanpa menyantap sarapan. Ia bahkan tak berpamitan pada orang rumah saat berangkat ke sekolah.Meskipun ia tahu dirinya akan telat, namun Yandi tetap memilih untuk berjalan kaki. Bahkan ia berjalan dengan santai menuju sekolah.Seperti dugaannya, setib
Setelah menerima uang dari Yandi, Andre segera pergi membeli buku untuk temannya. Di sekolah ini terdapat beberapa kantin yang hanya khusus menjual makanan dan minuman, dan terdapat satu kantin yang menjual beberapa jenis alat tulis di samping menjual makanan dan minuman. Kantin itu berada dekat dengan kelas dua belas Ilmu Sosial.“Andre,” panggil seorang siswi ketika Andre melewati sebuah kelas.Andre membalikkan badannya, dan dilihatnya sesosok murid di hadapannya. “Reina?” Murid itu adalah Reina. Remaja itu merasa sangat senang, karena ia bisa bertemu dengan gadis itu sesuai harapannya.“Lo mau ke mana?”“Oh... ini, gue mau beli buku buat Yandi.”“Emangnya dia gak bawa buku?” tanya Reina penasaran.“Bawa, kok. Cuma Buat nih.... apa lagi namanya... hukuman maksud gue. Biasalah, kita udah sering dihukum.” Saat mendengar alasan Yandi membutuhkan buku, Reina langsung berniat membantu siswa itu lagi.“Ya udah, pakai
Jam istirahat telah berakhir, dan jam pelajaran kedua pun telah dimulai. Jam pelajaran kedua diisi oleh mata pelajaran Kimia yang dibawakan pak Vino. Pak Vino adalah salah satu guru muda di SMA Citra. Kulit putih dan wajah yang terlihat seperti seorang model membuat guru ini populer di kalangan para siswi. Perawakan guru ini memang mampu membuat para siswi tergila-gila padanya. Apa lagi saat para siswi mengetahui dirinya yang belum memiliki kekasih hingga saat ini.Mata pak vino terus saja tertuju ke arah Yandi sejak ia memasuki ruang kelas itu. “Hm... kata guru-guru yang sudah mengajar di kelas ini, dia itu anak yang pintar. Kayaknya aku harus cari tahu seberapa pintar dia.” Pak Vino adalah guru baru di SMA Citra. Ia baru saja menjadi guru di sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Namun ia belum pernah mengajar di kelas Yandi, karena saat itu sudah ada guru lain yang mengajar mata pelajaran kimia di kelas itu. Ia baru mulai mengajar di kelas Yandi, setelah guru itu memasuk
Hari ini remaja itu dua kali tak ikut belajar bersama guru dan siswa lainnya di kelas. Setelah tak mengikuti mata pelajaran pertama karena terlambat. Kini ia terpaksa tak mengikuti lagi mata pelajaran berikutnya, karena tak melakukan perintah dari pak Vino.Namun, kali ini ia tak sendiri karena keenam siswa yang terkenal itu dikeluarkan dari kelas secara bersamaan. Setelah dikeluarkan dari kelas, Yandi dan kelima temannya segera menuju kantin yang berada tak jauh dari kelas Ilmu Sosial.“Lo pesan apa aja, sana. Suka-suka hati lo,” ujar Yandi menyuruh teman-temannya segera memesan apa pun yang mereka inginkan.“Benaran, nih?” tanya Andre memastikan.“Iya... gue yang bayar nanti.”“Waah... makasih, Yan,” ujar Rino berterima kasih dan diikuti Agus, Andre, Andi, dan Doni. Kelima siswa itu sangat senang saat Yandi mentraktir mereka. Mereka pun memesan segala jenis makana
Hamparan bintang nan indah memenuhi langit malam ini, menemani Yandi yang sedang membaca buku pelajaran miliknya. Namun pikiran Yandi juga dipenuhi dengan hamparan suara merdu yang terngiang-ngiang di kepalanya.“Hmm... merdu juga ya suara cewek itu,” gumam Yandi mulai memikirkan pemilik suara merdu itu.“Dia anaknya bi Ami, kan? Kira-kira dia orangnya kayak gimana, ya?” Yandi mulai bertanya-tanya tentang sosok pemilik suara merdu itu.“Dih... kok gue malah mikir itu orang, sih? Kenal juga enggak, ngapain coba gue?” ujar Yandi menyadarkan dirinya yang mulai memikirkan pemilik suara merdu itu.“Mendingan sekarang gue baca nih buku sampai habis, terus gue tidur. Dan gak perlu ke meja makan, karena gue malas,” ujar Yandi dan melanjutkan aktivitas membacanya.Suara merdu itu terus terngiang-ngiang di kepala remaja itu. “Duh... mending gue tidur sekarang, dari pada gue kepikiran terus.” Yandi b
Malam yang panjang kini hampir berlalu. Cerita tentang sosok pemilik suara merdu itu pun kini telah berakhir. Bi Ami memang tak menceritakan sosok putrinya secara detail. Wanita itu hanya menceritakan tentang putrinya secara garis besar.Tepat pukul dua dini hari, Yandi kembali ke kamarnya. Setelah mendengarkan semua hal diceritakan oleh ibu dari pemilik suara merdu itu, remaja pria itu segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat.Setiba di kamarnya, Yandi segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya. Ia pun segera menutupi tubuhnya dengan selimut, hingga ke bagian lehernya. “Bibi kayaknya senang banget ya ceritain anaknya. Tapi, wajar aja kalau bibi senang punya anak kayak dia. Kalau dari ceritanya bi Ami, kayaknya dia anak yang penurut, deh.” Wajah Bi Ami yang begitu berseri saat menceritakan anaknya membuat ia mengingat bagaimana cara Yena menceritakannya pada teman-temannya kala itu.FlasbackSatu hari setelah hari k
Sebuah surat terbungkus rapi dalam amplop diberikan pada bi Ami. Wanita itu terheran-heran melihat surat yang berada di tangannya saat itu. “Tu... tuan muda ini benaran surat buat anak saya?” tanya bi Ami kebingungan.“Iya bi. Cuma buat minta maaf masalah yang waktu itu doang, bi.” Perkataan Yandi memanglah benar, tapi tidak seratus persen benar. Ia memang menuliskan permintaan maafnya dalam surat itu. Namun, ada hal lain yang juga dituliskannya dan tak diberitahukan pada bi Ami.“Ya ampun... tuan muda gak perlu sampai segitunya, kok. Anak bibi gak mungkin marah,” ujar bi Ami yang merasa tersentuh dengan sikap tuan mudanya.“Gak papa kok, bi. Aku cuma gak enak aja.jadi aku kirimin permintaan maaf aku lagi.”“Ya udah, nanti bibi kasih ke anaknya bibi. Makasih ya tuan muda.”“Tapi, jangan sampai ada yang tahu selain kita ya, bi,” pinta Yandi tak ingi
Hari ini tepat pukul tiga sore, harusnya Yandi bertemu dengan putri bi Ami yang bernama Reina di sebuah taman. Remaja pria itu kini tengah menunggu sosok yang membuat dirinya sangat penasaran. Sembari menunggu, Yandi duduk di sebuah kursi taman yang tersedia sambil mendengarkan lagu dengan menggunakan earphone (alat pendengar) berwarna hitam miliknya.“Jadi Yandi ini anak majikan bundanya dia? Hm.. boleh juga. Lagian gue belum pernah ngomong sama dia,” ujar seorang siswi dari kejauhan memperhatikan Yandi yang sedang menunggu seseorang. Siswi itu berjalan perlahan mendekati Yandi yang terlihat sudah mulai lelah menunggu.“Eh... sorry, lo anak majikan bunda gue?” tanya siswi itu begitu tiba di hadapan remaja pria itu.Yandi pun segera bangkit dari duduknya dan melepaskan earphone (alat pendengar) yang sedari tadi terpasang di kedua telinganya. “Iya. Lo Reina anaknya bi Ami?” Gadis itu langsung membatin sambil tersenyum saat mend
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem