Di tengah teriknya matahari, Reina harus menempuh jarak sekitar lima koma enam kilometer. Namun, kakinya sudah tak sanggup lagi berjalan setelah menempuh jarak dua kilometer lebih. Tubuhnya gadis itu kini menjadi basah kuyup. Bukan karena dibasahi oleh curahan hujan, melainkan oleh keringatnya.
“Woi!” teriak seorang pria memanggil Reina.
Langkah gadis itu terhenti, ketika ia mendengar suara itu. Ia memalingkan wajahnya ke sebelah kirinya. Dilihatnya seorang pria berjaket hitam dan bercelana jeans hitam sedang duduk di sebuah sepeda motor matik berwarna putih dengan garis merah.
Pria berpakaian serba hitam itu berjalan mendekati Reina, yang hanya berjarak beberapa langkah darinya. “Lo dari SMA Citra?”
“Iya,” jawab Reina singkat.
“Lo mau ke mana panas-panas gini?”
“Mau pulang.”
“Emang rumah lo di mana?” Dengan segera Reina mengambil ponselnya dan menunjukkan alamat rumahnya.
“Ya udah, biar gue antar,” ujar pria itu dan berjalan kembali ke arah motornya yang sedang diparkir.
Gadis itu terdiam ketika pria yang tak dikenalnya ingin memberinya tumpangan. Pikirannya mulai berlarian ke sana ke mari.
“Kenapa masih berdiri di situ? Cepatan sini!”
“Ah... gue... jalan aja. Gak papa, kok.” Gadis itu ketakutan, hingga tangannya bergetar. Ia takut jika pria itu memiliki niat jahat di hatinya.
“Lo sakit? Ini tuh panas banget. Yang ada lo pingsan di tengah jalan.”
“Lagian lo gak perlu takut, kok. Gue juga siswa di SMA Citra, makanya tadi gue manggil lo. Rumah gue juga dekat ama rumah lo, sekalian aja gue antar.”
“Gue gak ada niat aneh, kok. Gue cuma gak tega aja, lihat lo mandi keringat gitu.” perkataan pria itu langsung membuat hati Reina menjadi sedikit tenang. Ia pun menerima tawaran pria itu.
Dalam perjalanan, kedua siswa itu saling berkenalan dan berbagi cerita satu sama lain. “Oh ya, tadi kita belum kenalan. Nama lo siapa?” ujar pria itu memulai perkenalan.
“Nama gue Reina. Kalau lo?”
“Gue Andre.”
“Lo habis ngapain, sih? Kok lo pulangnya jam segini?” tanya Andre penasaran.
“Gue tadi ikut ke SMA Jaya Karsa. Terus pas pulangnya, gue ketiduran di bus. Kelewatan deh rumah gue,” ujar gadis itu menjelaskan alasan dirinya yang baru pulang saat itu. Gadis itu juga menjelaskan bahwa dirinya sudah berjalan sejauh dua kilometer lebih, karena tak memiliki uang yang cukup untuk membayar ojek.
Pria itu terkejut saat mengetahui gadis yang sedang diboncengnya, telah berjalan sangat jauh. “Wah... lo hebat banget. Bisa-bisanya lo jalan kaki sejauh itu. Gue aja jalan satu kilo udah mau pingsan.”
“Tapi lo gak kenapa-napa, kan?” tanya Andre khawatir.
“Gak papa kok. Gue udah biasa jalan kaki.”
“Terus lombanya gimana?”Andre begitu merasa penasaran dengan hasil lomba kali ini, karena temannya merupakan salah satu peserta lomba.
“Sekolah kita dapat peringkat satu di lomba cerdas cermat fisika, biologi sama matematika. Terus lomba cerdas cermat kimia, sekolah kita dapat peringkat kedua,” ujar Reina menjelaskan hasil perlombaan.
“Wah... hebat banget mereka.”
“Iya. Mereka semua tuh hebat banget.”
“Lo tahu Yandi gak? Dia ikut lomba cerdas cermat matematika, loh.”
“Tahu kok. Tadi dia keren banget. Pokoknya dia tuh cepat banget nyakarnya, dan jawabannya dia benar semua.” Tanpa sadar mulut gadis itu terus saja memuji kehebatan Yandi. Ia terus mengatakan betapa kerennya Yandi saat menjawab soal-soal itu.
“Dia emang pintar banget, sih. Gue aja kagum banget sama dia.”
“Dia tuh sekali dengar penjelasan di kelas lagsung ngerti. Gak kayak gue yang harus berkali-kali, baru bisa ngerti. Kadang dia juga bantuin gue belajar.” Andre akui bahwa temannya itu memang sangat hebat dan pintar. Andre juga menceritakan bahwa dirinya kagum pada temannya itu, karena ia tak pernah pelit berbagi ilmu yang dimilikinya pada teman-temannya.
Senyum di wajah gadis itu tak tertahankan saat mendengar kisah tentang pria yang juga dikaguminya. Ia merasa senang karena pria itu tak seburuk yang diceritakan orang-orang.
“Gue boleh tanya sesuatu, gak?” Rasa penasaran kini semakin menumpuk dalam hati siswi itu. Saat mendengar cerita dari Andre tentang Yandi, membuat dirinya semakin ingin mengetahui lebih banyak tentang pria yang dikaguminya itu.
“Tanya aja.”
“Lo dekat sama Yandi?” tanya Reina untuk berjaga-jaga, sebelum ia memberikan pertanyaan inti.
“Iya. Kita tuh teman sekelas, dan seharusnya lo tahu dong kalau kita sering dapat hukuman bareng-bareng.” Mulut gadis itu langsung tertutup rapat. Ia menjadi tak enak hati untuk memberikan pertanyaan pada pria itu.
“Tanya aja. Lo gak usah, gak enak ama gue. kan gak kewajiban buat lo ngenalin gue, kecuali ada. Nah, itu boleh lo rasa bersalah karena gak kenal ama gue.”
“I... iya.”
“Jadi nanya, gak?”
“Jadi, jadi.”
“Menurut lo, Yandi tuh anaknya gimana?”
“Kenapa lo nanya kayak gitu? Lo pasti mikir aneh-aneh soal dia.” Andre merasa kesal, jika ada orang menanyakan hal ini. Ia merasa mereka sedang berusaha memberi nilai buruk pada temannya melalui pertanyaan seperti ini.
“Setelah gue jelasin dia kayak gimana, lo mau jelek-jelekin dia kan?”
“Gak, gak. Gak ada kayak gitu, kok. Gue cuma mau tahu aja buat mastiin sikap dia ke gue.”
“Emangnya lo ngapain ama dia?”
“Gak ngapa-ngapain. Gue tadi cuma nanya alamat aja ke dia. Terus tanggapannya kayak kurang enak gitu. Makanya gue penasaran, soalnya gue juga belum pernah ngobrol sama dia,” ujar Reina berusaha menjelaskan apa maksud dari pertanyaannya.
“Oh... gue pikir lo punya niat lain.” Rasa kesal yang dirasakan Andre saat itu sirna, setelah mendengarkan penjelasan siswi itu. Ia pun menjelaskan tentang Yandi yang tak pernah diketahui orang lain dengan senang hati.
“Sebenarnya dia tuh baik, emang cuma suka ngelawan aja. Tapi remaja mana sih yang gak suka ngelawan. Banyak kok yang suka ngelawan, tapi mereka aja yang terlalu berlebihan sama Yandi.” Pria itu merasa, bahwa tak hanya ia dan teman-temannya saja yang pernah membantah atau melawan perintah para guru. Menurutnya banyak siswa di sekolah mereka yang juga melakukan hal itu. Namun, para guru hanya membuat seakan-akan hanya mereka murid yang membuat masalah.
“Yandi tuh suka nolong, kok. Tapi biasanya dia dimanfaatin sama orang-orang yang punya keperluan ama orang tua dia. Makanya tadi dia malas nanggapin permintaan lo.”
Penjelasan Andre membuat hati Reina merasa lebih baik. Akhirnya ia tahu apa yang membuat Yandi tak ingin menolongnya.
Gadis itu terlihat sangat menikmati penjelasan Andre tentang pria yang ia kagumi itu. Ia merasa senang karena kini ia bisa mengetahui tentang Yandi lebih banyak dari sebelumnya.Sepanjang perjalanan, Andre terus saja menceritakan tentang sosok Yandi pada Reina. Hati gadis itu merasa sangat senang, karena dirinya kini dapat mengenal siswa yang selalu diperhatikannya secara tidak langsung.“Tuhan, jika diizinkan aku mau berteman dengan Yandi. Aku mau membantu dia saat susah.” Dalam hatinya Reina berdoa, ia memohan agar diberikan kesempatan untuk menjadi teman yang selalu sedia membantu Yandi.“Belok kiri atau kanan?” ujar Andre menanyakan arah rumah gadis itu.“Kanan, kanan. Nanti lurus, rumah ketiga. Itu rumah gue,” ujar Reina memberikan penjelasan.Kini kedua siswa itu telah tiba di kediaman Reina. “Makasih banyak, ya. Sorry banget gue udah ngerepotin lo,” ujar Reina berterima kasih setelah keduanya turun dari sepeda motor.“Ya ampun nak... kamu ke mana aja kenapa baru pulang jam segini? Ini udah jam tujuh,” ujar seorang wanita berambut sedagu dengan memakai daste
Tangisan Yeri sudah memenuhi rumah kala waktu masih menunjukkan pukul lima lebih empat puluh menit. Sebenarnya sejak malam hari remaja ini sudah mulai meneteskan butiran-butiran air dari matanya.Suara tangisan remaja pria ini membuat Yandi benar-benar merasa terganggu. Telinganya pun mulai memanas dan ia segera kehabisan kesabarannya mendengar suara tangisan adiknya.“Bisa berhenti nangis gak, sih?!” ujar Yandi memarahi adiknya. Ia yang telah kehabisan kesabaran, menerobos masuk kamar adiknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.“Gara-gara lo nangis dari semalam, gue tuh gak bisa tidur! Emangnya lo gak capek nangis dari malam sampai pagi?!” Yandi merasa kesal, karena ia harus mendengar tangisan adiknya sejak semalam. Kamar mereka yang bersebelahan membuat ia dapat mendengar dengan jelas suara tangisan adiknya.“Lo tahu, bi Ami tuh kemarin capek banget bujuk lo. Udah dibujuk kayak anak bayi juga gak mau diam lagi! Bi Ami tuh berdi
Terlepas dari semua keributan di rumahnya, kini Yandi harus bergegas ke sekolah. “Ah... udah jam segini lagi. Coba aja gue gak ngurusin anak gak jelas itu, pasti gue gak bakalan telat,” ujar Yandi kesal saat ia melihat jam di ponselnya yang telah menunjukkan pukul tujuh tepat.“Ah... bodoh amat, deh.” Yandi sangat kesal pada adiknya yang masih saja menangis di kamarnya. Kini ia benar-benar tak mau memedulikan adiknya lagi. Yandi adalah orang yang tak akan memedulikan seseorang yang tak mendengar ucapannya. Siapa pun orang itu ia tak peduli. Ia punya sebuah prinsip, jika sekali perkataannya tak didengarkan, ia tak akan perduli lagi pada orang itu.Begitu selesai bersiap, Yandi segera bergegas berangkat ke sekolah tanpa menyantap sarapan. Ia bahkan tak berpamitan pada orang rumah saat berangkat ke sekolah.Meskipun ia tahu dirinya akan telat, namun Yandi tetap memilih untuk berjalan kaki. Bahkan ia berjalan dengan santai menuju sekolah.Seperti dugaannya, setib
Setelah menerima uang dari Yandi, Andre segera pergi membeli buku untuk temannya. Di sekolah ini terdapat beberapa kantin yang hanya khusus menjual makanan dan minuman, dan terdapat satu kantin yang menjual beberapa jenis alat tulis di samping menjual makanan dan minuman. Kantin itu berada dekat dengan kelas dua belas Ilmu Sosial.“Andre,” panggil seorang siswi ketika Andre melewati sebuah kelas.Andre membalikkan badannya, dan dilihatnya sesosok murid di hadapannya. “Reina?” Murid itu adalah Reina. Remaja itu merasa sangat senang, karena ia bisa bertemu dengan gadis itu sesuai harapannya.“Lo mau ke mana?”“Oh... ini, gue mau beli buku buat Yandi.”“Emangnya dia gak bawa buku?” tanya Reina penasaran.“Bawa, kok. Cuma Buat nih.... apa lagi namanya... hukuman maksud gue. Biasalah, kita udah sering dihukum.” Saat mendengar alasan Yandi membutuhkan buku, Reina langsung berniat membantu siswa itu lagi.“Ya udah, pakai
Jam istirahat telah berakhir, dan jam pelajaran kedua pun telah dimulai. Jam pelajaran kedua diisi oleh mata pelajaran Kimia yang dibawakan pak Vino. Pak Vino adalah salah satu guru muda di SMA Citra. Kulit putih dan wajah yang terlihat seperti seorang model membuat guru ini populer di kalangan para siswi. Perawakan guru ini memang mampu membuat para siswi tergila-gila padanya. Apa lagi saat para siswi mengetahui dirinya yang belum memiliki kekasih hingga saat ini.Mata pak vino terus saja tertuju ke arah Yandi sejak ia memasuki ruang kelas itu. “Hm... kata guru-guru yang sudah mengajar di kelas ini, dia itu anak yang pintar. Kayaknya aku harus cari tahu seberapa pintar dia.” Pak Vino adalah guru baru di SMA Citra. Ia baru saja menjadi guru di sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Namun ia belum pernah mengajar di kelas Yandi, karena saat itu sudah ada guru lain yang mengajar mata pelajaran kimia di kelas itu. Ia baru mulai mengajar di kelas Yandi, setelah guru itu memasuk
Hari ini remaja itu dua kali tak ikut belajar bersama guru dan siswa lainnya di kelas. Setelah tak mengikuti mata pelajaran pertama karena terlambat. Kini ia terpaksa tak mengikuti lagi mata pelajaran berikutnya, karena tak melakukan perintah dari pak Vino.Namun, kali ini ia tak sendiri karena keenam siswa yang terkenal itu dikeluarkan dari kelas secara bersamaan. Setelah dikeluarkan dari kelas, Yandi dan kelima temannya segera menuju kantin yang berada tak jauh dari kelas Ilmu Sosial.“Lo pesan apa aja, sana. Suka-suka hati lo,” ujar Yandi menyuruh teman-temannya segera memesan apa pun yang mereka inginkan.“Benaran, nih?” tanya Andre memastikan.“Iya... gue yang bayar nanti.”“Waah... makasih, Yan,” ujar Rino berterima kasih dan diikuti Agus, Andre, Andi, dan Doni. Kelima siswa itu sangat senang saat Yandi mentraktir mereka. Mereka pun memesan segala jenis makana
Hamparan bintang nan indah memenuhi langit malam ini, menemani Yandi yang sedang membaca buku pelajaran miliknya. Namun pikiran Yandi juga dipenuhi dengan hamparan suara merdu yang terngiang-ngiang di kepalanya.“Hmm... merdu juga ya suara cewek itu,” gumam Yandi mulai memikirkan pemilik suara merdu itu.“Dia anaknya bi Ami, kan? Kira-kira dia orangnya kayak gimana, ya?” Yandi mulai bertanya-tanya tentang sosok pemilik suara merdu itu.“Dih... kok gue malah mikir itu orang, sih? Kenal juga enggak, ngapain coba gue?” ujar Yandi menyadarkan dirinya yang mulai memikirkan pemilik suara merdu itu.“Mendingan sekarang gue baca nih buku sampai habis, terus gue tidur. Dan gak perlu ke meja makan, karena gue malas,” ujar Yandi dan melanjutkan aktivitas membacanya.Suara merdu itu terus terngiang-ngiang di kepala remaja itu. “Duh... mending gue tidur sekarang, dari pada gue kepikiran terus.” Yandi b
Malam yang panjang kini hampir berlalu. Cerita tentang sosok pemilik suara merdu itu pun kini telah berakhir. Bi Ami memang tak menceritakan sosok putrinya secara detail. Wanita itu hanya menceritakan tentang putrinya secara garis besar.Tepat pukul dua dini hari, Yandi kembali ke kamarnya. Setelah mendengarkan semua hal diceritakan oleh ibu dari pemilik suara merdu itu, remaja pria itu segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat.Setiba di kamarnya, Yandi segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya. Ia pun segera menutupi tubuhnya dengan selimut, hingga ke bagian lehernya. “Bibi kayaknya senang banget ya ceritain anaknya. Tapi, wajar aja kalau bibi senang punya anak kayak dia. Kalau dari ceritanya bi Ami, kayaknya dia anak yang penurut, deh.” Wajah Bi Ami yang begitu berseri saat menceritakan anaknya membuat ia mengingat bagaimana cara Yena menceritakannya pada teman-temannya kala itu.FlasbackSatu hari setelah hari k
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem