Hari ini Yandi pulang bersama sebuah surat cinta dari sekolah, namun tak ada yang memedulikannya. Ia meletakan surat itu begitu saja di atas meja kamar kedua orang tuanya. Tetapi, tak seorang pun dari kedua orang tuanya yang menyentuh surat itu, apalagi melihatnya.
Sesaat sebelum makan malam tiba, Yena melihat surat itu. Namun, ia malah membuangnya tanpa membaca. “Gak mungkin ada kabar baik kalau Yandi dapat surat.” Ia menuju meja makan setelah membuang surat itu, di tempat sampah yang berada di samping meja itu.
“Bi Ami, tolong siapin makan malamnya sekarang,” ucap Yena sambil memainkan ponselnya.
“Baik nyonya,” ucap wanita berambut pendek itu segera menyiapkan malam.
Aroma sedap kini mulai bermunculan saat menu makan malam telah tersedia di atas meja. Mulai dari Ayam Woku, Ayam Geprek, Ayam Bakar Madu, dan Ayam Kecap menghiasi meja makan malam itu.
“Bi, ini kok menunya ayam semua? Bibi gak salah masak, kan?” tanya Yani heran saat melihat meja makan yang dipenuhi oleh segala jenis ayam.
“Enggak non. Bibi masakin ini semua sesuai permintaannya tuan muda Yeri, non,” jawab bi Ami dengan senyum tipis di bibirnya. Ia takut jika dirinya akan dimarahi karena mengikuti keingingan Yeri.
“Oh... oke. Makasih bi,” ujar Yani singkat. Baginya tak masalah makanan apa pun yang disediakan, asalkan makanan itu dapat diterima tubuhnya.
Yani memang memiliki masalah pada beberapa makanan. Sehingga ia terlihat seperti orang yang terlalu pemilih dalam hal makanan. Namun kenyataan tak seperti itu, gadis ini pun ingin memakan apa pun tanpa harus memilih-milih terlebih dahulu. Tetapi ia terlalu mudah alergi terhadap suatu makanan.
Berbeda dengan reaksi putri sulungnya, Yudi justru bereaksi berlebihan saat melihat menu makan malam itu. “Bi, ini ayam semua? Bibi gimana sih? Kok masak ayam sebanyak ini?” teriak Yudi begitu ia tiba di depan meja makan.
Tak seorang pun yang mau menanggapi perkataan papa mereka, kecuali Yandi. Yeri dan Yani sudah menyantap makanan itu dengan tenang. Sedangkan Yena asyik memainkan ponselnya sambil sesekali menyuapi makanan ke dalam mulutnya.
Yandi yang baru tiba di meja makan pun langsung menanggapi perkataan papanya. “Yaelah... tinggal makan aja repot banget sih, pa. Kalau papa gak mau makan semua, ya makan yang papa mau makan aja. Lagian gak ada yang nyuruh papa buat makan semuanya, kan?” ujar Yandi sambil menarik kursi di sebelah kiri Yani dan segera bersiap makan.
“Lagian papa kan gak kayak kak Yani. Ngapain rempong banget perkara makanan doang, sih?” ucap Yandi di sela-sela suapannya.
Tak ada yang bermasalah dengan menu makan malam hari ini, baik itu Yena dan ketiga anaknya. Yudi yang merasa kesal saat melihat semua menu makan malam pun berjalan keluar meninggalkan rumah. Ia lebih memilih untuk makan di luar rumah.
Kepergian tuan besarnya, membuat wanita berusia tiga puluh tahun itu benar-benar merasa bersalah. Namun, ia ingin menghibur tuan muda keluarga itu yang sedang bersedih hatinya.
Makan malam kini telah berakhir, dan seperti biasanya semuanya kembali dengan teratur ke kamar mereka masing-masing. Yudi yang memilih untuk makan di luar pun kini telah kembali.
“Bi, lain kali kalau masak yang benar! Ngerti?” ujar Yudi memberi peringatan.
“Pa, kalau papa mau marah, marahin Yeri sana. Kan bibi cuma ikutin apa maunya anak itu. Bibi gak masak sesuka hatinya bibi. Papa jangan marah-marah sembarang dong,” ujar Yandi menanggapi perkataan papanya. Menurutnya bi Ami tak pantas disalahkan, karena ia hanya melakukan semuanya sesuai permintaan Yeri.
“Lagian kalau papa gak suka, ya tinggal minta bibi masak yang lain. Gitu aja kok repot. Lagian cuma perkara makanan doang juga, dipermasalahin segitunya banget.” Mulut Yandi rasanya sangat gatal mengomeli papanya. Ia pun terus melanjutkan omelannya.
“Nanti kalau bi Ami gak masak yang diminta Yeri, entar salah. Udah dimasak juga salah. Terus papa tuh maunya apa? Papa sama mama sendiri yang bilang di bi Ami, kalau bi Ami harus turutin permintaan kita. Nah, makanan tadi kan hasil dari omongan papa sama mama. Terus ngapain salahin bibi. Salahin diri sendiri dong.” Nafas Yandi begitu panjang saat menceramahi papanya. Ia pun membuat Yudi hanya terdiam, karena dirinya tak memberi jeda agar Yudi membalas ucapannya.
Ucapan putranya langsung membuat pria itu kesal. Ia langsung meninggalkan bi Ami dan Yandi di dapur, dan menuju ke kamarnya.
“Makasih ya, tuan. Tapi tuan harusnya gak usah belaiin saya,” ujar Ami merasa tak enak hati.
“Saya gak ngebelain siapa-siapa, bi. Saya cuma ngomong yang sebenarnya doang, kok,” ujar Yandi santai.
“Kalau gitu aku tidur dulu, bi. Bibi juga buruan tidur,” ujar Yandi lalu berlalu menuju kamarnya.
Beberapa saat setelah ia beranjak menuju kamarnya, Yandi kembali lagi ke dapur karena rasa haus yang tak tertahankan. Setibanya di dapur, ia melihat ponsel bi Ami terus bergetar.
Yandi langsung berteriak-teriak memanggil bi Ami, namun wanita itu tak menjawab panggilannya. Tangan Yandi pun langsung bergegas mengambil ponsel bi Ami yang terus saja bergetar sedari tadi. Ia melihat begitu banyak panggilan tak terjawab dengan nama Reina. Yandi langsung menjawab panggilan itu, ketika nomor yang sama kembali menelepon bi Ami.
Saat ia menjawab panggilan itu, terdengar suara seorang wanita yang merdu sedang menyanyikan sebuah lagu, yang pastinya ditujukan pada Ami. “Selamat ulang tahun... selamat ulang tahun... selamat ulang tahun mama... selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun untuk mamaku...” Beberapa saat Yandi terdiam mendengarkan suara merdu wanita itu. Entah mengapa hatinya merasa tenang saat mendengar suara merdu itu.
“Ha... halo?” ucap Yandi yang tiba-tiba gugup tanpa alasan.
“Halo? Kok cowok ya? Ini siapa?” tanya wanita itu melalui sambungan telepon.
“Saya anak di tempat mama kamu kerja,” jawab Yandi.
“Oh... ya ampun. Ma... maaf banget,” ucap wanita itu terbata-bata.
“Gak, gak. Harusnya aku yang minta maaf. Aku udah main angkat aja. Soalnya dari tadi aku udah manggil-manggil bi Ami tapi gak dijawab, jadi aku angkat aja,” ujar Yandi menjelaskan alasannya.
“Oh... gak papa kok.”
“Ya udah, nanti aku kasih tahu ke bi Ami,” ucap Yandi dan segera mengakhiri panggilan telepon itu.
Sesaat setelah panggilan telepon itu berakhir, asisten rumah tangga keluarga itu menampakkan dirinya. “Bi, hari ini bibi ulang tahun?” tanya Yandi begitu wanita itu berjalan mendekatinya.
“Iya tuan. Tuan tahu dari mana?” tanya Ami penasaran.
“Tadi ada yang nelepon bibi, terus nyanyiin lagu selamat ulang tahun. Sebenarnya tadi aku gak mau angkat, tapi HP bibi getar mulu. Terus pas aku lihat ada sekitar dua belas panggilan, bi. Maaf ya, bi,” ujar Yandi panjang lebar memberi penjelasan.
“Gak papa kok, tuan muda. Pasti itu anak bibi yang nelepon. Soalnya kalau pagi, dia pasti sibuk sekolah. Jadi malam baru dia bisa telepon bibi.”
“Tapi ini kan udah jam sepuluh, bi.”
“Tapi belum lewat loh, tuan,” ujar bi Ami diikuti anggukan Yandi.
“Selamat ulang tahun ya, bi,” ucap Yandi singkat memberi selamat, dan segera berlalu dari dapur.
Senyum di wajah wanita itu pun tak tertahankan saat mendengar ucapan selamat dari Yandi. Wanita itu pun segera menghubungi putrinya setelah Yandi memberitahu perihal telepon tersebut.
*******
Pagi ini semua anggota keluarga meninggalkan kediaman mereka tanpa menyantap sarapan. Entah apa yang terjadi saat malam, hingga membuat semua anggota keluarga itu bangun terlambat. Inilah yang menyebabkan meja makan tak disinggahi seorang pun karena terburu-buru.
Beberapa menit sebelum berangkat sekolah, Yandi mencoba mengecek ponsel untuk memastikan bahwa dirinya belum terlambat. Begitu ia membuka ponselnya, ia mendapat sebuah pesan tak terduga dari kepala sekolah yang menyetujui semua permintaannya, asalkan dirinya mau mengikuti perlombaan itu.
Ternyata pesan itu telah dikirim oleh pimpinan sekolah itu sejak kemarin sore, hanya saja Yandi tak mengecek ponselnya. Ia merasa senang saat membaca pesan tersebut. Dengan senyum kemenangan di wajahnya, Yandi langsung berangkat dengan terburu-buru.
Yandi yang sudah terlambat mempercepat langkah kakinya. Namun seberapa kuat pun ia berlari, ia akan tetap terlambat. Yandi akhirnya memutuskan untuk menggunakan angkutan umum, agar ia tak membuang tenaganya.
Pilihan Yandi menggunakan angkutan umum sangat tepat. Ia tiba di sekolah tepat sebelum tanda masuk dibunyikan.
Setibanya di sekolah, Yandi langsung diarahkan oleh satpam menuju aula sekolah. Setibanya di aula, tampak semua siswa yang menjadi peserta lomba dan guru pendamping sedang berkumpul.
Kepala sekolah juga ikut berkumpul di aula. Ia juga memberikan beberapa kata-kata untuk menyemangati peserta lomba cerdas cermat hari ini. Begitu pimpinan sekolah itu selesai berbicara, para peserta lomba dan guru pendamping bergegas berangkat menggunakan bus sekolah.
Tak hanya peserta dan para gur pendamping yang berada dalam bus itu. Beberapa siswa yang dipilih dari tiap kelas pun berada dalam bus itu. Siswa-siswa itu bertugas sebagai penyemangat untuk peserta lomba hari ini.
Peserta lomba dan guru pendamping beserta siswa yang bertugas sebagai penyemangat tiba di tempat perlombaan tepat jam delapan. Jarak antara sekolah Yandi dan sekolah tempat lomba tersebut dilaksanakan memang tak cukup jauh. Inilah Yang membuat mereka tak perlu waktu yang panjang untuk menuju sekolah tersebut. Selain karena jarak yang dekat, kedatangan mereka yang lebih awal pun dilakukan agar tak terburu-buru nantinya.Lomba cerdas cermat hari ini dimulai tepat pukul sembilan. Para peserta lomba dari berbagai sekolah saat itu sedang mempersiapkan diri mereka sebelum lomba dimulai. Semua peserta saat itu sibuk membaca buku yang dibawa mereka. Mulai dari membaca buku-buku yang berisi rumus hingga buku catatan yang dibawa para peserta lomba.Di sisi lain ruang di mana para peserta sedang sibuk menyiapkan diri mereka, Yandi sama sekali tak membuka bukunya. Ia asyik mendengarkan musik dengan menggunakan earphone (alat pendengar) berwarna hitam miliknya.Para si
Lomba cerdas cermat tahun ini, dimenangkan oleh SMA Citra. Tiga tim dari SMA Citra mendapat peringkat pertama, dan satu tim lainnya mendapat peringkat kedua.Tim yang mendapat peringkat pertama adalah Yandi dan teman-teman se-timnya sebagai peserta cerdas cermat matematika, kemudian dari tim cerdas cermat biologi oleh Reza, Ino dan Diki, serta satu tim dari cerdas cermat fisika. Sedangkan tim cerdas cermat kimia, mendapatkan peringkat kedua.Pengumuman peringkat lomba cerdas cermat dilangsungkan setelah semua perlombaan berakhir. Seluruh siswa dan guru pendamping yang hadir saat itu, diminta untuk berkumpul di aula SMA Jaya Karsa, di mana lomba itu dilaksanakan.Kini ruangan itu telah dipenuhi oleh seluruh siswa dan para guru pendamping dari tiap sekolah. Walaupun hasil dari perlombaan sudah diketahui, namun para siswa tetap antusias saat pengumuman akan dimulai.“Saya mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang telah berpartisipasi da
Kini bus telah mencapai rute terakhir. Hanya Yandi dan seorang siswi bersama sopir yang berada dalam bus itu. “Kamu di sini, kan?” tanya sopir pada Yandi.“Iya pak. Ini emang tujuan terakhir busnya,” jawab Yandi sambil berjalan ke arah pintu.“Kalau gitu tolong bangunin temannya, ya.”Yandi memandang dengan penuh kesal pada gadis itu. Dengan terpaksa, ia pun membangunkan gadis itu. “Woi! Bangun! Ini udah tujuan terakhir.” Gadis itu benar-benar tertidur lelap, hingga ia sama sekali tak mendengar suara Yandi.“Pelan-pelan banguninnya. Jangan kayak gitu ama cewek,” ujar pria bertopi fedora.“Gak bakalan bangun kalau pelan-pelan, pak. Diteriakin aja gak bangun, gimana kalau pelan-pelan? Yang ada tambah tidur dia.”“Udah, udah, udah. Biar bapak yang bangunin.” Begitu sopir bus itu mengambil alih, Yandi segera turun dari bus.“Dek, udah sampai.” itu membangunkan gadis itu sambil memukul pelan pundaknya.
Di tengah teriknya matahari, Reina harus menempuh jarak sekitar lima koma enam kilometer. Namun, kakinya sudah tak sanggup lagi berjalan setelah menempuh jarak dua kilometer lebih. Tubuhnya gadis itu kini menjadi basah kuyup. Bukan karena dibasahi oleh curahan hujan, melainkan oleh keringatnya.“Woi!” teriak seorang pria memanggil Reina.Langkah gadis itu terhenti, ketika ia mendengar suara itu. Ia memalingkan wajahnya ke sebelah kirinya. Dilihatnya seorang pria berjaket hitam dan bercelana jeans hitam sedang duduk di sebuah sepeda motor matik berwarna putih dengan garis merah.Pria berpakaian serba hitam itu berjalan mendekati Reina, yang hanya berjarak beberapa langkah darinya. “Lo dari SMA Citra?”“Iya,” jawab Reina singkat.“Lo mau ke mana panas-panas gini?”“Mau pulang.”“Emang rumah lo di mana?” Dengan segera Reina mengambil ponselnya dan menunjukkan alamat rumahnya.“Ya udah, biar gue
Sepanjang perjalanan, Andre terus saja menceritakan tentang sosok Yandi pada Reina. Hati gadis itu merasa sangat senang, karena dirinya kini dapat mengenal siswa yang selalu diperhatikannya secara tidak langsung.“Tuhan, jika diizinkan aku mau berteman dengan Yandi. Aku mau membantu dia saat susah.” Dalam hatinya Reina berdoa, ia memohan agar diberikan kesempatan untuk menjadi teman yang selalu sedia membantu Yandi.“Belok kiri atau kanan?” ujar Andre menanyakan arah rumah gadis itu.“Kanan, kanan. Nanti lurus, rumah ketiga. Itu rumah gue,” ujar Reina memberikan penjelasan.Kini kedua siswa itu telah tiba di kediaman Reina. “Makasih banyak, ya. Sorry banget gue udah ngerepotin lo,” ujar Reina berterima kasih setelah keduanya turun dari sepeda motor.“Ya ampun nak... kamu ke mana aja kenapa baru pulang jam segini? Ini udah jam tujuh,” ujar seorang wanita berambut sedagu dengan memakai daste
Tangisan Yeri sudah memenuhi rumah kala waktu masih menunjukkan pukul lima lebih empat puluh menit. Sebenarnya sejak malam hari remaja ini sudah mulai meneteskan butiran-butiran air dari matanya.Suara tangisan remaja pria ini membuat Yandi benar-benar merasa terganggu. Telinganya pun mulai memanas dan ia segera kehabisan kesabarannya mendengar suara tangisan adiknya.“Bisa berhenti nangis gak, sih?!” ujar Yandi memarahi adiknya. Ia yang telah kehabisan kesabaran, menerobos masuk kamar adiknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.“Gara-gara lo nangis dari semalam, gue tuh gak bisa tidur! Emangnya lo gak capek nangis dari malam sampai pagi?!” Yandi merasa kesal, karena ia harus mendengar tangisan adiknya sejak semalam. Kamar mereka yang bersebelahan membuat ia dapat mendengar dengan jelas suara tangisan adiknya.“Lo tahu, bi Ami tuh kemarin capek banget bujuk lo. Udah dibujuk kayak anak bayi juga gak mau diam lagi! Bi Ami tuh berdi
Terlepas dari semua keributan di rumahnya, kini Yandi harus bergegas ke sekolah. “Ah... udah jam segini lagi. Coba aja gue gak ngurusin anak gak jelas itu, pasti gue gak bakalan telat,” ujar Yandi kesal saat ia melihat jam di ponselnya yang telah menunjukkan pukul tujuh tepat.“Ah... bodoh amat, deh.” Yandi sangat kesal pada adiknya yang masih saja menangis di kamarnya. Kini ia benar-benar tak mau memedulikan adiknya lagi. Yandi adalah orang yang tak akan memedulikan seseorang yang tak mendengar ucapannya. Siapa pun orang itu ia tak peduli. Ia punya sebuah prinsip, jika sekali perkataannya tak didengarkan, ia tak akan perduli lagi pada orang itu.Begitu selesai bersiap, Yandi segera bergegas berangkat ke sekolah tanpa menyantap sarapan. Ia bahkan tak berpamitan pada orang rumah saat berangkat ke sekolah.Meskipun ia tahu dirinya akan telat, namun Yandi tetap memilih untuk berjalan kaki. Bahkan ia berjalan dengan santai menuju sekolah.Seperti dugaannya, setib
Setelah menerima uang dari Yandi, Andre segera pergi membeli buku untuk temannya. Di sekolah ini terdapat beberapa kantin yang hanya khusus menjual makanan dan minuman, dan terdapat satu kantin yang menjual beberapa jenis alat tulis di samping menjual makanan dan minuman. Kantin itu berada dekat dengan kelas dua belas Ilmu Sosial.“Andre,” panggil seorang siswi ketika Andre melewati sebuah kelas.Andre membalikkan badannya, dan dilihatnya sesosok murid di hadapannya. “Reina?” Murid itu adalah Reina. Remaja itu merasa sangat senang, karena ia bisa bertemu dengan gadis itu sesuai harapannya.“Lo mau ke mana?”“Oh... ini, gue mau beli buku buat Yandi.”“Emangnya dia gak bawa buku?” tanya Reina penasaran.“Bawa, kok. Cuma Buat nih.... apa lagi namanya... hukuman maksud gue. Biasalah, kita udah sering dihukum.” Saat mendengar alasan Yandi membutuhkan buku, Reina langsung berniat membantu siswa itu lagi.“Ya udah, pakai
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem