Orang yang baru saja menasuki ruangan ini memiliki rambut merah jambu yang disisir belah tengah. Dia menolehkan kepalanya ke arahku lalu tersenyum lega.
Orang itu adalah Prof. Hora, orang yang sudah menyelamatkanku. Jika tidak ada dia, mungkin aku akan hidup tanpa tangan kanan atau bahkan kehilangan nyawaku karena tidak mendapatkan pertolongan pertama.
Prof. Hora melangkahkan kakinya untuk menghampiriku yang terduduk di atas ranjang pasien. Ekspresi kekhawatiran yang dia tampilkan sebelum aku kehilangan kesadaranku telah menghilang.
"Syukurlah kamu sudah sadar. Tadi kamu tidak sadarkan diri selama kurang lebih 2 jam," ujarnya dengan lega setelah melihatku yang telah siuman.
"Terima kasih, Prof. Hora," ucapku berterima kasih kepadanya. Dia menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman hangat kepadaku.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyanya menanyakan kondisiku.
Aku mengangkat tangan kananku dan mengarahkannya ke arah Prof. Hora. "Sempurna
"Kenapa kamu mendadak menyerangnya? Padahal selama ini kamu diam-diam saja," tanya Prof. Hora menginterogasiku.Aku mengepalkan tanganku dengan erat hingga urat-urat timbul pada permukaan kulit tanganku. Kukerutkan keningku dan menggigit bibir bawahku berusaha menahan luapan amarah yang akan meledak.Kuangkat kepalaku dan melihat ke arah Prof. Hora yang menatapku dengan tatapan serius. Tatapannya itu membuatku merasa dipojokkan dan berada di posisi orang telah melakukan kesalahan."Ini tidak adil, padahal Nona Tabella yang lebih dulu berlaku tidak adil padaku. Kenapa malah aku yang disalahkan?" protesku dengan nada kesal."Selama ini aku sudah bersabar terhadap semua perlakuan Nona Tabella yang selalu memusuhiku dan merendahkanku."Bahkan sekarang dia ingin membuatku menjadi anjingnya dengan memanfaatkan Layla untuk mengendalikan pikiranku," ungkapku sambil menatap tajam ke arah Prof. Hora.Sebenarnya dia tidak ada hubungannya dengan konflik
"Fungsi awal eksperimen penciptaan 'Arte' pengendali pikiran adalah untuk menggunakan 'Arte' itu untuk mengoreksi dan merehabilitasi pelaku kejahatan di masyarakat," tutur Prof. Hora."Akan tetapi, kenapa sekarang fungsinya malah melenceng seperti yang Layla katakan?" lanjutnya dengan heran. Kelihatannya Prof. Hora benar-benar tidak tahu apa pun mengenai masalah ini.Aku terdiam dan mulai menyimpulkan informasi yang kudapat dari Prof. Hora. Aku membuka mulutku untuk menyatakan kejanggalan yang kutemukan. "Ini aneh, padahal Profesor sendiri yang menjalankan eksperimen itu."Bagaimana bisa Profesor tidak tahu kalau fungsinya berubah menjadi seperti itu?" tanyaku. Dipikir berkali-kali pun hal ini sangat janggal. Sebagai Ketua Asosiasi Arte, tidak mungkin Prof. Hora tidak tahu apa-apa karena dialah orang yang memimpin pelaksanaan eksperimen itu.Prof. Hora terdiam mendengar pertanyaanku yang meragukannya. Dia menurunkan tangan kanannya dari mukanya lalu merem
Prof. Hora menarik tangan kananku dan meletakkan sesuatu ke dalamnya tanpa menjelaskan apa-apa. Benda yang Prof. Hora berikan kepadaku memiliki ukuran yang kecil, bahkan lebih kecil dari genggaman tanganku.Kulihat benda apa yang dia berikan kepadaku. Benda itu berbentuk lingkaran dengan lubang pada tengahnya seperti sebuah cincin. Cincin itu berwarna perak dan memiliki ukiran mantra sihir yang terukir pada permukaan metal itu."Apa ini?" tanyaku sambil menerawang cincin yang diberikan oleh Prof. Hora kepadaku. Aku tidak begitu mencurigai apa yang diberikannya kepadaku, tetapi tidak ada salahnya untuk terlebih dahulu memastikan benda apa itu sebelum menggunakannya."Cincin pernikahan kita," canda Prof. Hora yang membuatku melemparkan tatapan jijik kepadanya. Tidak kusangka dia masih dapat bergurau di situasi yang serius seperti ini. Selain itu, selera humornya benar-benar aneh, ya."Aku masih lurus," balasku sambil tersenyum miring. Prof. Hora tertawa ter
Prof. Hora melangkah melewatiku, berjalan menuju pintu. Tangannya menggenggam gagang pintu, tetapi dia tidak langsung menarik gagang pintu itu untuk membukanya.Prof. Hora membalikkan badannya dan melihat ke arahku. "Aku akan memeriksa keadaan di luar, kamu gunakan cincin itu untuk mengubah penampilanmu," ujarnya.Aku menganggukkan kepalaku mengerti. Aku membayangkan model rambutku belah samping kanan dan berwarna hitam sedangkan iris mataku berwarna cokelat.Tak lupa kubayangkan diriku mengenakan mantel lab putih seperti peneliti yang bekerja di fasilitas ini. Dengan begitu, penyamaranku akan tampak lebih natural.Prof. Hora menatapku dari atas ke bawah lalu tersenyum. "Kamu terlihat seperti peneliti sungguhan. Pasti tidak akan ada orang yang akan mengenalimu," ujarnya kepadaku.Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum puas. Seperti efek dari cincin itu bekerja padanya sehingga dia melihatku seperti apa yang kubayangkan sebelumnya.Prof. Ho
Setelah hampir 1 jam berpura-pura menjadi seorang peneliti di Laboratorium Pengendalian Arte sambil menunggu para personel pasukan elit negara dan Custodia meninggalkan gedung ini, akhirnya aku bisa pergi dari tempat ini.Sebelum aku pergi dari laboratorium itu, aku menanamkan beberapa bayanganku pada beberapa tempat sebagai penghubung untuk berteleportasi ke sana seandainya terjadi hal mendesak yang mengharuskanku untuk datang ke laboratorium.Selain itu, Prof. Hora memberikanku hadiah terakhir sebelum aku meninggalkan tempat kerjanya. Barang terakhir yang dia berikan kepadaku adalah sebuah pedang sihir.Kutatap sebilah pedang yang tersimpan dalam sarungnya yahg kuletakkan di samping kiriku. Pedang sihir itu bertingkat legenda dan sangat berharga. Aku tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan senjata legendaris dari Prof. Hora.Terkadang kebaikan hatinya itu membuatku bertanya-tanya, 'Apa dia tulus berbuat baik padaku? Atau dia mengharapkan imbalan dari pe
Ada 5 orang berbadan besar berdiri mengelilingi sedan kuning ini. Masing-masing dari mereka memiliki setidaknya sebuah senjata tajam.Orang-orang itu tampak menyerukan sesuatu, tetapi suara mereka tidak terdengar jelas karena semua jendela mobil ini tertutup rapat.Mereka memberikan isyarat seperti menyuruh kami untuk turun dari kendaraan yang kami tumpangi. Kaki mereka dengan kasarnya menendang-nendang bodi mobil hingga kendaraan beroda empat ini berguncang akibat ulah mereka.Aku berdecak kesal karena perlakuan mereka yang tidak punya etika. Kugenggam pedang yang berada di samping kiriku dengan tangan kiriku sedangkan tangan kananku meraih handle pintu mobil untuk keluar dari kendaraan ini.Tiba-tiba suara dari supir taksi ini menghentikan aku. "Tu-tuan ... ja-jangan keluar ... berbahaya." Dia memperingatiku dengan suara yang bergetar dan terbata-bata.Orang yang mengendarai sedan kuning ini tampak begitu ketakutan. Aku dapat melihat dirinya yang
Mata pria yang berdiri di hadapanku terfokus pada pedang yang kupegang dengan tangan kiriku untuk menahan tamparannya. Tampak jelas keserakahan pada tatapan matanya.Walaupun aku menarik senyuman miring pada bibirku, orang itu tidak menyadari perubahan ekspresi mukaku, dia terlalu fokus pada senjataku.Tangan kananku meraih pegangan pedang dan menggenggamnya dengan erat. Kutarik senjata tajam itu keluar dari sarungnya dan memukul leher pria itu dengan ujung pegangan pedang yang tumpul, tetapi keras dan kokoh.Pria itu tertohok saat ujung pedangku dengan tepat mengenai jakunnya. Dia melepaskan genggaman tangannya pada sarung senjataku lalu melangkah mundur."Ketua!" seru rekan-rekannya yang berlari menghampiri orang yang baru saja kuserang itu. Ternyata dia adalah ketua dari sekelompok pembegal ini.Mereka berusaha menenangkan ketuanya yang terbatuk-batuk parah dan tampak kesulitan bernapas. 'Serangan pada jakun itu pasti sangat menyakitkan dan memb
Terjadi keheningan sesaat setelah 2 orang dari kelompok pembegalan itu tumbang, atau mungkin 3 orang karena ketua mereka sudah tidak bergerak sama sekali sejak dia sesak napas akibat pukulan pada jakunnya.Dua orang yang tersisa berdiri diam dan menundukkan kepalanya. Kulihat tangan mereka bergetar, entah karena marah atau takut.Salah satu dari mereka terduduk di atas aspal dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas permukaan jalanan yang dilapisi oleh salju tipis.Dia mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. "Kamu ... akan kubunuh kamu!" teriaknya dengan cairan bening yang bercucuran keluar dari kedua matanya.Kurasakan getaran kecil pada jalanan tempat kakiku berpijak. Aspal yang keras itu retak dengan sendirinya. Aku terkejut melihat fenomena yang tidak biasa ini. 'Apa dia bisa mengendalikan gempa bumi?!'Tiba-tiba muncul akar tumbuhan berukuran besar keluar dari retakan aspal. Akar-akar yang tebal itu tumbuh dari dalam tanah dan mengara