Terjadi keheningan sesaat setelah 2 orang dari kelompok pembegalan itu tumbang, atau mungkin 3 orang karena ketua mereka sudah tidak bergerak sama sekali sejak dia sesak napas akibat pukulan pada jakunnya.
Dua orang yang tersisa berdiri diam dan menundukkan kepalanya. Kulihat tangan mereka bergetar, entah karena marah atau takut.
Salah satu dari mereka terduduk di atas aspal dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas permukaan jalanan yang dilapisi oleh salju tipis.
Dia mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. "Kamu ... akan kubunuh kamu!" teriaknya dengan cairan bening yang bercucuran keluar dari kedua matanya.
Kurasakan getaran kecil pada jalanan tempat kakiku berpijak. Aspal yang keras itu retak dengan sendirinya. Aku terkejut melihat fenomena yang tidak biasa ini. 'Apa dia bisa mengendalikan gempa bumi?!'
Tiba-tiba muncul akar tumbuhan berukuran besar keluar dari retakan aspal. Akar-akar yang tebal itu tumbuh dari dalam tanah dan mengara
Para pembegal yang kini hanya berjumlah dua orang itu menyerangku dengan 'Arte' mereka. Serangan akar tumbuhan dari daratan dan serangan anak panah cahaya dari udara.Aku terus menghindari serangan mereka dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memotong anak panah itu karena begitu aku memotongnya, anak panah itu akan membelah diri dan menyerangku dari arah yang berbeda."Sial, dia mendekat!" panik salah satu dari kedua orang berbadan besar itu. Pria yang panik itu adalah orang yang menembakkan anak-anak panah yang menyebalkan itu. Aku akan membereskannya terlebih dahulu.Aku mengayunkan pedangku untuk memenggal kepala pria itu, tetapi akar tumbuhan yang tiba-tiba muncul di depanku menghalangiku. Serangan yang seharusnya memisahkan kepalanya dari badannya malah mengenai dinding yang terbuat dari akar tumbuhan.Aku berdecak kesal karena sekaranganku digagalkan oleh rekannya. Mereka memilihi kombinasi yang cukup merepotkan. Sulit bagiku untuk mendekati sala
"Sial. Aku malah membuat lebih banyak lagi orang kehilangan nyawanya, padahal aku sudah bertekad untuk tidak membunuh lagi," gumamku sambil menutup mataku dengan telapak tanganku.Air mataku bercucuran menuruni telapak tanganku ke lenganku lalu jatuh ke permukaan tanah yang kering. Itu bukan air mata kesedihan, tetapi rasa bersalah dan kekecewaan terhadap diri sendiri."Apa bedanya aku dengan mereka? Mencabut nyawa orang lain semudah membalikkan telapak tangan. Setelah itu, hidup tanpa beban di atas tumpukan mayat," lanjutku sambil tersenyum miris.Telingaku menangkap bunyi langkah kaki yang mendekat ke arahku. Kuangkat kepalaku yang ditundukkan lalu menolehkannya ke arah darimana bunyi itu terdengar.Bunyi langkah kaki itu berasal dari supir taksi yang keluar dari persembunyiannya dan menghampiriku."Terima kasih," ucapnya. Aku terdiam karena tidak tahu harus berkata apa. 'Kenapa dia berterima kasih kepadaku? Apa yang sudah kulakukan sehingga memb
Ada yang berubah dari rumah ini sejak terakhir kali aku berada di sini. Pintunya yang terbuat dari kayu itu melekuk ke dalam, terlihat hampir patah seperti terbentur sesuatu dengan keras.Selain itu, kaca jendelanya pecah dan ada bekas pertarungan di luar bangunan itu. Terlihat beberapa benda metal bertebaran di atas tumpukan salju tebal di perkarangan dan teras rumah.Tidak hanya itu, ada beberapa jarum es berukuran besar yang mencuat dari permukaan tanah yang dilapisi oleh salju tebal. Jarum-jarum es itu mengingatkanku pada anak perempuannya kakek dan nenek."Sebenarnya apa yang terjadi setelah aku dan Layla meninggalkan kampung ini?" heranku sambil memandang bangunan yang berantakan seperti kapal karam itu.Kuayunkan kakiku untuk masuk ke dalam rumah kayu itu. Interior di dalamnya tampak sama persis seperti yang ada di ingatanku. Tidak ada tanda-tanda pertarungan di dalam rumah ini melihat keadaannya yang rapi, tidak seperti di luar sana.Aku be
Akhirnya aku tiba di Kota Boreus. Sebelum mencari tempat tinggal, aku meminta supir taksi untuk mengantarkanku ke bank. Aku hampir lupa pada cek senilai 50.000 Moneta yang diberikan oleh Walikota Boreus kepadaku karena memenangkan kontes berburu.Setelah mencairkan uangku, aku meminta supir untuk mengantarkanku ke toko pakaian untuk membeli beberapa pasang pakaian luar yang tebal karena aku tidak memiliki satu pun pakaian luar yang cukup tebal untuk dipakai di wilayah utara yang sangat dingin.Untuk yang terakhir kalinya, aku memintanya untuk mengantarkanku ke indekos Luna, indekos yang pernah kusewa saat berada di kota ini sebelumnya. Aku terlalu lelah untuk memikirkan tempat tinggal lain sehingga tempat itulah yang pertama kali muncul dalam kepalaku.Sedan kuning yang kutumpangi berhenti tepat di depan bangunan bertingkat 3 yang memiliki banyak jendela terpasang pada setiap lantainya. Penampilan luar bangunan itu tampak sama persis seperti sebelumnya, tidak ad
Aku menatap kendaraan beroda empat itu memutar balik lalu bergerak meninggalkan tempat ini. Kupalingkan kepalaku ke arah bangunan bertingkat 3 yang ada di depanku. Akhirnya aku kembali ke indekos Luna. 'Kira-kira bu Luna bakal kaget tidak, ya, saat melihatku?' Aku tersenyum penasaran dengan reaksi pemilik indekos ini saat melihatku yang telah menghilang tanpa peringatan langsung kembali tanpa pemberitahuan. Rasa penasaranku langsung luntur saat teringat jika aku menggunakan cincin ilusi optis yang mengubah penampilanku, termasuk warna rambutku. 'Benar juga, dia hanya tahu warna rambut hijau gelapku dan mataku yang berwarna seperti batu emerald. 'Kalau dia melihat penampilanku yang sekarang, yang terlihat seperti seorang remaja berambut hitam, jelas dia tidak akan percaya kalau aku adalah mantan penghuni indekosnya yang bernama Orpheus. 'Apa itu artinya aku harus menggunakan nama samaran yang baru? Merepotkan sekali.' Aku menggeleng-gel
Beberapa hari telah berlalu sejak aku tiba di Kota Boreus dan tinggal di indekos Luna. Hari-hari yang kulalui berlalu dengan damai, tidak ada lagi konflik yang melibatkanku maupun orang-orang yang ada di sekitarku.Aku berdiri di depan jendela kamarku dan melihat ke luar. Pemandangan perkotaan dari lantai 3 ini tampak sibuk. Banyak kendaraan bermotor melintasi aspal yang dilapisi oleh salju tipis, juga ada orang-orang yang berjalan di trotoar dengan langkah kaki yang cepat.Mataku menangkap sebuah mobil berwarna hitam dengan lampu sirene yang menyala melaju di atas jalanan, kendaraan beroda empat itu adalah kendaraan milik Custodia. Selain itu, juga tampak beberapa personel Custodia bertanya-tanya pada warga kota yang berjalan di trotoar.Aku menyipitkan mataku dan memfokuskan penglihatanku untuk melihat apa yang ada di tangan personel itu, benda tipis berwarna putih. Karena mereka begitu jauh, aku tidak dapat melihat apa yang tertulis pada lembaran kertas itu.
Begitu aku turun ke lantai 1, aku disambut oleh bu Luna, pemilik indekos ini."Selamat siang, Cae, kamu mau kemana?" sapanya sambil tersenyum ramah kepadaku."Siang, Bu, saya mau keluar sebentar untuk menyegarkan pikiran," sahutku sembari tersenyum membalas senyumannya.Barusan dia memanggilku dengan sebutan Cae, itu adalah singkatan dari nama samaran yang kugunakan saat mengurus penyewaan kamar indekos. Saat ini aku menggunakan nama samaran yang baru, Caesa Sors Occidere.Tidak mungkin aku tetap menggunakan nama samaranku yang sebelumnya sebab penampilanku berbeda total dengan yang sebelumnya."Cae? Kamu dengar perkataan saya?" Pertanyaan dari wanita bertubuh gemuk yang berdiri di depanku membuatku tersadar dari lamunanku."Ah, maaf, tadi saya memikirkan hal lain. Bisa ulangi lagi perkataan Ibu?" ucapku meminta maaf dan memintanya untuk mengulangi perkataannya.Dia menghembuskan napasnya lalu mengulangi perkataannya sekali lagi, "Apa
Beberapa menit telah berlalu, aku telah mengambil semua bahan makanan yang ada di dalam daftar belanjaan yang dituliskan oleh bu Luna. Sekarang aku sedang menunggu antrian di kasir. Ada banyak orang yang berbelanja di sini hingga mencapai 3 baris antrian.Entah kenapa orang yang ada di depanku menghabiskan banyak waktu untuk mengurus barang belanjaannya. Orang-orang yang mengantri di belakangku mulai mengeluh.Aku pun mulai merasa kesal dengan antrian yang tak kunjung bergerak ini. 'Duh, kenapa yang di depan lama sekali sih? Sebenarnya berapa banyak barang yang dia beli sampai-sampai selama itu?'Kulangkahkan satu langkah ke depan untuk melihat kenapa antrian di depan sangat lama. Kulihat orang yang berdiri di depanku tampak seperti dalam masalah. Dia memeriksa dompetnya dan merogoh saku celananya dengan gelisah."Pak, bisa tolong bayar barang-barangnya sekarang? Antrian yang di belakang semakin memanjang," ujar kasir sambil menghembuskan napas lelah.
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s