Prof. Hora menarik tangan kananku dan meletakkan sesuatu ke dalamnya tanpa menjelaskan apa-apa. Benda yang Prof. Hora berikan kepadaku memiliki ukuran yang kecil, bahkan lebih kecil dari genggaman tanganku.
Kulihat benda apa yang dia berikan kepadaku. Benda itu berbentuk lingkaran dengan lubang pada tengahnya seperti sebuah cincin. Cincin itu berwarna perak dan memiliki ukiran mantra sihir yang terukir pada permukaan metal itu.
"Apa ini?" tanyaku sambil menerawang cincin yang diberikan oleh Prof. Hora kepadaku. Aku tidak begitu mencurigai apa yang diberikannya kepadaku, tetapi tidak ada salahnya untuk terlebih dahulu memastikan benda apa itu sebelum menggunakannya.
"Cincin pernikahan kita," canda Prof. Hora yang membuatku melemparkan tatapan jijik kepadanya. Tidak kusangka dia masih dapat bergurau di situasi yang serius seperti ini. Selain itu, selera humornya benar-benar aneh, ya.
"Aku masih lurus," balasku sambil tersenyum miring. Prof. Hora tertawa ter
Prof. Hora melangkah melewatiku, berjalan menuju pintu. Tangannya menggenggam gagang pintu, tetapi dia tidak langsung menarik gagang pintu itu untuk membukanya.Prof. Hora membalikkan badannya dan melihat ke arahku. "Aku akan memeriksa keadaan di luar, kamu gunakan cincin itu untuk mengubah penampilanmu," ujarnya.Aku menganggukkan kepalaku mengerti. Aku membayangkan model rambutku belah samping kanan dan berwarna hitam sedangkan iris mataku berwarna cokelat.Tak lupa kubayangkan diriku mengenakan mantel lab putih seperti peneliti yang bekerja di fasilitas ini. Dengan begitu, penyamaranku akan tampak lebih natural.Prof. Hora menatapku dari atas ke bawah lalu tersenyum. "Kamu terlihat seperti peneliti sungguhan. Pasti tidak akan ada orang yang akan mengenalimu," ujarnya kepadaku.Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum puas. Seperti efek dari cincin itu bekerja padanya sehingga dia melihatku seperti apa yang kubayangkan sebelumnya.Prof. Ho
Setelah hampir 1 jam berpura-pura menjadi seorang peneliti di Laboratorium Pengendalian Arte sambil menunggu para personel pasukan elit negara dan Custodia meninggalkan gedung ini, akhirnya aku bisa pergi dari tempat ini.Sebelum aku pergi dari laboratorium itu, aku menanamkan beberapa bayanganku pada beberapa tempat sebagai penghubung untuk berteleportasi ke sana seandainya terjadi hal mendesak yang mengharuskanku untuk datang ke laboratorium.Selain itu, Prof. Hora memberikanku hadiah terakhir sebelum aku meninggalkan tempat kerjanya. Barang terakhir yang dia berikan kepadaku adalah sebuah pedang sihir.Kutatap sebilah pedang yang tersimpan dalam sarungnya yahg kuletakkan di samping kiriku. Pedang sihir itu bertingkat legenda dan sangat berharga. Aku tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan senjata legendaris dari Prof. Hora.Terkadang kebaikan hatinya itu membuatku bertanya-tanya, 'Apa dia tulus berbuat baik padaku? Atau dia mengharapkan imbalan dari pe
Ada 5 orang berbadan besar berdiri mengelilingi sedan kuning ini. Masing-masing dari mereka memiliki setidaknya sebuah senjata tajam.Orang-orang itu tampak menyerukan sesuatu, tetapi suara mereka tidak terdengar jelas karena semua jendela mobil ini tertutup rapat.Mereka memberikan isyarat seperti menyuruh kami untuk turun dari kendaraan yang kami tumpangi. Kaki mereka dengan kasarnya menendang-nendang bodi mobil hingga kendaraan beroda empat ini berguncang akibat ulah mereka.Aku berdecak kesal karena perlakuan mereka yang tidak punya etika. Kugenggam pedang yang berada di samping kiriku dengan tangan kiriku sedangkan tangan kananku meraih handle pintu mobil untuk keluar dari kendaraan ini.Tiba-tiba suara dari supir taksi ini menghentikan aku. "Tu-tuan ... ja-jangan keluar ... berbahaya." Dia memperingatiku dengan suara yang bergetar dan terbata-bata.Orang yang mengendarai sedan kuning ini tampak begitu ketakutan. Aku dapat melihat dirinya yang
Mata pria yang berdiri di hadapanku terfokus pada pedang yang kupegang dengan tangan kiriku untuk menahan tamparannya. Tampak jelas keserakahan pada tatapan matanya.Walaupun aku menarik senyuman miring pada bibirku, orang itu tidak menyadari perubahan ekspresi mukaku, dia terlalu fokus pada senjataku.Tangan kananku meraih pegangan pedang dan menggenggamnya dengan erat. Kutarik senjata tajam itu keluar dari sarungnya dan memukul leher pria itu dengan ujung pegangan pedang yang tumpul, tetapi keras dan kokoh.Pria itu tertohok saat ujung pedangku dengan tepat mengenai jakunnya. Dia melepaskan genggaman tangannya pada sarung senjataku lalu melangkah mundur."Ketua!" seru rekan-rekannya yang berlari menghampiri orang yang baru saja kuserang itu. Ternyata dia adalah ketua dari sekelompok pembegal ini.Mereka berusaha menenangkan ketuanya yang terbatuk-batuk parah dan tampak kesulitan bernapas. 'Serangan pada jakun itu pasti sangat menyakitkan dan memb
Terjadi keheningan sesaat setelah 2 orang dari kelompok pembegalan itu tumbang, atau mungkin 3 orang karena ketua mereka sudah tidak bergerak sama sekali sejak dia sesak napas akibat pukulan pada jakunnya.Dua orang yang tersisa berdiri diam dan menundukkan kepalanya. Kulihat tangan mereka bergetar, entah karena marah atau takut.Salah satu dari mereka terduduk di atas aspal dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas permukaan jalanan yang dilapisi oleh salju tipis.Dia mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. "Kamu ... akan kubunuh kamu!" teriaknya dengan cairan bening yang bercucuran keluar dari kedua matanya.Kurasakan getaran kecil pada jalanan tempat kakiku berpijak. Aspal yang keras itu retak dengan sendirinya. Aku terkejut melihat fenomena yang tidak biasa ini. 'Apa dia bisa mengendalikan gempa bumi?!'Tiba-tiba muncul akar tumbuhan berukuran besar keluar dari retakan aspal. Akar-akar yang tebal itu tumbuh dari dalam tanah dan mengara
Para pembegal yang kini hanya berjumlah dua orang itu menyerangku dengan 'Arte' mereka. Serangan akar tumbuhan dari daratan dan serangan anak panah cahaya dari udara.Aku terus menghindari serangan mereka dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memotong anak panah itu karena begitu aku memotongnya, anak panah itu akan membelah diri dan menyerangku dari arah yang berbeda."Sial, dia mendekat!" panik salah satu dari kedua orang berbadan besar itu. Pria yang panik itu adalah orang yang menembakkan anak-anak panah yang menyebalkan itu. Aku akan membereskannya terlebih dahulu.Aku mengayunkan pedangku untuk memenggal kepala pria itu, tetapi akar tumbuhan yang tiba-tiba muncul di depanku menghalangiku. Serangan yang seharusnya memisahkan kepalanya dari badannya malah mengenai dinding yang terbuat dari akar tumbuhan.Aku berdecak kesal karena sekaranganku digagalkan oleh rekannya. Mereka memilihi kombinasi yang cukup merepotkan. Sulit bagiku untuk mendekati sala
"Sial. Aku malah membuat lebih banyak lagi orang kehilangan nyawanya, padahal aku sudah bertekad untuk tidak membunuh lagi," gumamku sambil menutup mataku dengan telapak tanganku.Air mataku bercucuran menuruni telapak tanganku ke lenganku lalu jatuh ke permukaan tanah yang kering. Itu bukan air mata kesedihan, tetapi rasa bersalah dan kekecewaan terhadap diri sendiri."Apa bedanya aku dengan mereka? Mencabut nyawa orang lain semudah membalikkan telapak tangan. Setelah itu, hidup tanpa beban di atas tumpukan mayat," lanjutku sambil tersenyum miris.Telingaku menangkap bunyi langkah kaki yang mendekat ke arahku. Kuangkat kepalaku yang ditundukkan lalu menolehkannya ke arah darimana bunyi itu terdengar.Bunyi langkah kaki itu berasal dari supir taksi yang keluar dari persembunyiannya dan menghampiriku."Terima kasih," ucapnya. Aku terdiam karena tidak tahu harus berkata apa. 'Kenapa dia berterima kasih kepadaku? Apa yang sudah kulakukan sehingga memb
Ada yang berubah dari rumah ini sejak terakhir kali aku berada di sini. Pintunya yang terbuat dari kayu itu melekuk ke dalam, terlihat hampir patah seperti terbentur sesuatu dengan keras.Selain itu, kaca jendelanya pecah dan ada bekas pertarungan di luar bangunan itu. Terlihat beberapa benda metal bertebaran di atas tumpukan salju tebal di perkarangan dan teras rumah.Tidak hanya itu, ada beberapa jarum es berukuran besar yang mencuat dari permukaan tanah yang dilapisi oleh salju tebal. Jarum-jarum es itu mengingatkanku pada anak perempuannya kakek dan nenek."Sebenarnya apa yang terjadi setelah aku dan Layla meninggalkan kampung ini?" heranku sambil memandang bangunan yang berantakan seperti kapal karam itu.Kuayunkan kakiku untuk masuk ke dalam rumah kayu itu. Interior di dalamnya tampak sama persis seperti yang ada di ingatanku. Tidak ada tanda-tanda pertarungan di dalam rumah ini melihat keadaannya yang rapi, tidak seperti di luar sana.Aku be