"Itu karena perjanjiannya dengan Tabella, yakni Layla harus menjadi dewan eksekutif yang akan berbagi tugas dengan Tabella," tutur Prof. Hora.
'Perjanjian dengan Nona Tabella, ya, tapi kenapa dia harus menjadi salah satu anggota Treis? Nona Tabella pasti punya niat terselubung untuk memaksa Layla berada di pihaknya.'
"Lalu apa yang akan dia dapatkan dengan bergabung dengan kalian?" tanyaku yang sudah lebih tenang dari sebelumnya.
Prof. Hora membalikkan badannya dan berjalan menuju mejanya. "Syarat yang diajukannya akan dikabulkan, yaitu agar kamu boleh hidup tanpa terikat oleh kontrak dengan Treis ... maksudku Quattor."
Aku menundukkan kepalaku dan terdiam setelah mendengarkan jawabannya. 'Jadi, semua ini dilakukannya demiku?' Kukepalkan tanganku yang berada di samping badanku. 'Padahal kamu tidak perlu sampai melakukannya sejauh ini, Layla.'
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang ganjil dari jawaban Prof. Hora barusan. Kuangkat kepalaku dan men
Keesokan harinya, aku datang ke Istana Putih untuk menemui Layla. Aku telah membulatkan tekadku untuk tidak akan pergi sebelum dia menjawab pertanyaanku. Aku duduk di tangga teras bangunan yang sangat besar ini. Sudah hampir 1 jam aku duduk diam di sini sambil melihat taman di depanku. Aku menghembuskan napas panjang karena bosan dan juga kesal. "Mau sampai kapan dia akan terus menghindariku begini?" Taman istana yang indah dan megah tampak membosankan bagiku setelah terlalu sering melihatnya, terlebih lagi karena aku telah menatapnya selama 1 jam penuh tanpa mengalihkan pandanganku ke tempat lain. "Kuharap dia mau berbicara denganku sebelum malam tiba. Aku tidak mau menghabiskan malamku dengan duduk seperti gelandangan di tempat ini," harapku lalu menghembuskan napas panjang lagi. Aku berdiri dari permukaan keramik putih yang kududuki lalu melakukan gerakan peregangan yang diikuti oleh bunyi punggungku yang bergemeretak. Rasanya lega sekali m
Aku mengungkapkan perasaan yang telah kupendam selama bertahun-tahun kepadanya, yakni bahwa aku mencintainya. Kuselipkan telapak tangan kiriku pada bagian belakang kepalanya. Aku mencondongkan mukaku ke mukanya dan mencium bibirnya yang lembut. Gerakan lidahku perlahan-lahan memasuki mulutnya kemudian menggerakan lidahku secara memutar di dalam mulutnya. Aku menatap manik biru pucatnya yang menatap balik mataku dengan tatapan kosong. Dia tidak bereaksi terhadap permainan lidahku. Pikirannya kosong setelah mendengarkan ungkapan cintaku. Tiba-tiba cahaya kembali tampak pada manik-manik biru pucatnya saat dia tersadar. Matanya melebar menyadari apa yang kulakukan padanya saat ini. Tangannya mendorong dadaku untuk menjauh darinya. Kulepaskan bibir kami yang saling bertaut dan menjauhkan mukaku darinya. Suara napas kami yang tersengal-sengal mengisi latar belakang yang sunyi ini. Mataku terkunci pada bibir merahnya yang menggoda. Aku ingin
Tiga minggu telah berlalu sejak Layla menolakku. Aku tidak lagi pergi ke Istana Putih untuk mencari-cari dia. Sudah cukup dia menghancurkan hatiku, aku tidak akan mempedulikan dia lagi. Saat ini, aku kembali bekerja di Custodia. Hanya berdiam dan tidak melakukan apa-apa di laboratorium milik Prof. Hora membuatku tidak betah karena bosan. Itu sebabnya aku memutuskan untuk kembali ke Custodia. Seorang pria berambut biru malam duduk di balik meja dengan tumpukan kertas di atasnya. Dia melipat tangannya di atas mejanya sambil menatapku dengan tatapan yang mengintimidasi. "Saya tidak menyangka kamu akan kembali ke sini, Trystan." Aku mengalihkan mukaku darinya dan tetap menutup rapat mulutku. 'Baru hampir 2 bulan tidak berjumpa dengannya, aura yang dikeluarkannya benar-benar menyeramkan.' Dia menghela napasnya dan berkata, "Yah, setidaknya kedatanganmu ke sini akan membantu kami. Kebetulan kami kekurangan personel sekuat dan sekompeten dirimu." Ter
"Bawa mereka ke penjara," perintahku kepada para personel yang melindungi tempat ini. Mereka menganggukkan kepalanya dan menjalankan perintahku. Orang-orang berjas hitam itu memborgol tangan ratusan orang berjubah hitam dan bertopeng putih yang menyerang tempat ini. Walaupun ada pemberontakan dari mereka, para personel itu mampu menahan mereka dan membawa mereka ke sel tahanan bawah tanah. "Sial ... mereka tidak bilang kalau Custodia punya personel sekuat ini," keluh salah satu anggota Fylax yang belum diborgol dan dibawa ke penjara. Kutatap dia yang duduk di samping kiriku dan masih terikat oleh jeratan bayanganku. Lalu kuayunkan kakiku menjauh darinya dan mengabaikan tatapan tajamnya yang menusuk punggungku. Berurusan dengannya hanya akan membuang waktuku saja. Jadi, lebih baik aku segera berangkat ke Istana Putih. Biar personel Custodia saja yang mengurus tempat ini. Beberapa menit telah berlalu, aku masih dalam perjalanan ke tempat tujuan
Sampailah aku di Istana Putih. Sebenarnya masih beberapa ratus meter dari gerbang masuk, tetapi area ini masih bisa dibilang termasuk wilayah istana. "Ini gila ...," gumamku setelah melihat keributan yang ada di depan. Dua kubu berjumlah besar yang berlawanan saling berhadapan satu sama lain. Orang-orang berseragam biru navy sedang mengadang orang-orang berjubah hitam yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak daripada mereka. Aku tercengang melihat pemandangan itu. 'Sebelum aku sampai di sini, sepanjang jalan aku terus dihalang oleh anggota Fylax yang ada dimana-mana. Sebenarnya berapa banyak anggota mereka sekarang? Padahal dulu tidak sampai 200 orang. Darimana mereka dapat orang sebanyak ini?' Kulihat orang-orang Fylax itu mulai menyerang pasukan elit negara dengan frontal. Personel militer itu terdesak oleh orang-orang berjubah hitam itu. 'Ini buruk, mereka kalah jumlah dan semangat tempur.' Tiba-tiba terdengar suara seruan dari belakanhk
"Kami tidak mungkin menyerah begitu saja setelah semua pengorbanan yang sudah kami lakukan!" Puluhan anggota Fylax yang tersisa memilih untuk tetap menyerangku. Mereka tidak menyerah setelah melihat rekan-rekannya terbantai dalam sekejap mata. Aku menggertakkan gigiku dan menatap kesal mereka yang tetap ingin melawanku. "Dasar pemberontak keras kepala, padahal sudah diberi kesempatan untuk hidup, tapi malah lebih memilih untuk mati." Orang-orang berjubah hitam dan bertopeng putih berlari ke arahku sambil mengangkat senjatanya dan melemparkan serangan jarak jauh kepadaku. Mereka membuatku tidak memiliki pilihan lain selain menghabisi mereka. "Jangan membenciku karena membunuh kalian," ujarku sambil mengarahkan pedangku ke mereka. "Aku hanya menjalankan tugasku." Aku menerjang ke arah kelompok Fylax yang juga berlari ke arahku. Setiap tebasan yang kulakukan diikuti oleh suara pekikkan yang menyakitkan. Dari puluhan orang yang berusaha untuk memb
Aku menahan tangannya agar tidak semakin memperbesar robekan pada dada kirinya. Aku juga tidah tahu kenapa aku sampai melakukan ini kepada orang yang tadi mencoba membunuhku.Suara tawa keluar dari mulutnya dan diikuti oleh suara batuk. "Biarkan aku mati, Nak," ujarnya dengan suara serak.Mataku terbelalak setelah mendengar suaranya yang terdengar familier di telingaku. Tangan kiriku langsung memegang topeng putihnya lalu melepaskannya dari mukanya. Tampak wajah yang familier dari balik benda yang menutupi wajahnya.Topeng itu terlepas dari pegangan tanganku dan jatuh ke permukaan aspal. Mulutku menganga, tetapi tidak mengeluarkan suara."Lama tidak jumpa, Trystan," sapa orang yang duduk di hadapanku. Senyuman kecil terpasang pada wajahnya dengan cairan merah yang mengalir keluar dari mulutnya seperti air terjun."Kakek Fero ...," ucapku menyebut nama orang yang berada di depanku dengan suara kecil. Perasaanku bercampur aduk, haru karena akhirnya b
"Kakek?" Aku menyentuh bahunya dengan tangan yang bergetar hebat. Dia tidak membalasku yang memanggil namanya.Kulihat wajahnya yang pucat pasi dan berlumuran darah yang mengucur keluar dari hidung dan mulutnya. Kedua matanya tertutup rapat seperti tertidur nyenyak untuk selama-lamanya.Aku mengguncang-guncangkan bahunya dan terus memanggil namanya dengan setengah berteriak. "Buka matamu, Kakek Fero!" raungku sambil memeluk badannya yang dingin.Aku berteriak sejadi-jadinya dan mempererat pelukanku pada tubuh yang tak bernyawa ini. "Kenapa kalian harus mati di tanganku? Kenapa?!" raungku dengan pedih. "Kalau saja aku tidak kembali ke Custodia ... mungkin kalian tidak akan menghadapi akhir seperti ini!"Kulepaskan pelukanku darinya dan menurunkan tubuhnya ke permukaan jalanan yang digenangi oleh cairan merah. "Menangisi kematian orang lain tidak akan membawa mereka kembali hidup. Aku harus berhenti terpuruk seperti ini, tapi ...."Aku menundukkan ke