Pagi itu, Renjana terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih terasa berat akibat begadang, tetapi semangat dalam dirinya terlalu besar untuk membiarkan rasa kantuk menang.
Setelah mandi dan mengenakan setelan kerja yang rapi—blazer hitam, kemeja putih, dan celana panjang senada—ia menatap bayangannya di cermin.
"Aku harus terlihat profesional. Tidak boleh gugup."
Ia meraih tasnya, memastikan catatan dan rekorder kecilnya sudah masuk, lalu bergegas keluar dari apartemen.
---
Sesampainya di Grand Hall Tirta Group, tempat konferensi pers akan berlangsung, Renjana melihat suasana sudah ramai. Para wartawan dari berbagai media berkumpul di depan pintu masuk, beberapa di antaranya sibuk berbincang, sementara lainnya mempersiapkan perlengkapan mereka.
Keira, teman sesama anak magang, melambai ke arahnya. "Ren! Sini!"
Renjana berjalan mendekat. "Udah lama datang?"
"Baru aja. Tapi lihat tuh, suasananya udah gila banget." Keira menunjuk ke arah para wartawan yang tampak sibuk memasang kamera dan menyiapkan catatan mereka.
Renjana mengangguk, lalu melemparkan pandangannya ke atas panggung tempat para petinggi Tirta Group akan duduk. Ada lima kursi yang disiapkan, dan satu di antaranya pasti milik Sagara Bumantara Tirta.
"Di mana dia?"
Renjana mencari sosok itu, tapi belum menemukannya.
Tak lama kemudian, suara seorang staf menggema melalui mikrofon.
"Para hadirin, konferensi pers akan dimulai dalam lima belas menit. Mohon menempati tempat duduk masing-masing."
Renjana dan Keira segera bergerak ke area yang disediakan untuk media. Saat duduk, Renjana kembali membuka catatannya, mengulang pertanyaan-pertanyaan yang sudah ia persiapkan semalaman.
Keira menoleh padanya. "Kamu yakin bisa bikin Sagara jawab pertanyaanmu?"
Renjana tersenyum tipis. "Aku harus."
Tak lama setelah itu, pintu samping terbuka, dan sekelompok pria bersetelan gelap berjalan masuk.
Dan di antara mereka—berjalan di barisan paling depan—terlihat sosok pria dengan postur tegap, wajah tajam, dan aura dingin yang langsung memenuhi ruangan.
Semua mata tertuju padanya.
Sagara Bumantara Tirta telah tiba.
---
Suasana di dalam ruangan terasa semakin padat seiring dengan dimulainya sesi tanya jawab. Wartawan dari berbagai media berebut mengangkat tangan, suara mereka saling bertindihan, berusaha menarik perhatian pria yang duduk di tengah.
Sagara Bumantara Tirta.
Renjana duduk di baris depan, tepat di belakang beberapa jurnalis senior. Matanya tak lepas dari pria itu. Ia memperhatikan setiap gerak-geriknya, mencoba membaca ekspresi yang nyaris tak berubah sejak awal ia duduk di sana.
Sagara menunggu sejenak, membiarkan suara-suara gaduh memenuhi ruangan sebelum akhirnya memberikan anggukan kecil kepada salah satu wartawan senior yang duduk tak jauh dari Renjana.
"Tuan Sagara, bagaimana rencana ekspansi Tirta Group tahun ini?"
Sagara mengangkat sedikit wajahnya. "Kami sedang mempertimbangkan beberapa opsi strategis yang masih dalam tahap diskusi," jawabnya, suaranya tenang, dalam, dan datar tanpa emosi.
"Apakah benar ada akuisisi perusahaan baru?"
"Kami akan mengumumkannya jika waktunya sudah tepat."
"Bagaimana tanggapan Anda terhadap rumor merger dengan perusahaan asing?"
"Kami tidak menanggapi rumor."
Jawaban singkat. Tegas. Tanpa detail lebih lanjut.
Seorang wartawan lain mencoba mengejar, tetapi Sagara hanya menatapnya sebentar, lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada para petinggi Tirta Group di sampingnya.
Renjana menggigit bibirnya. Pria ini benar-benar sulit ditembus.
Ia menunggu dengan sabar.
Saat sesi tanya jawab hampir berakhir, dan beberapa wartawan sudah mulai menutup buku catatan mereka, Renjana tahu ini kesempatan terakhirnya.
Ia mengangkat tangan dengan percaya diri.
"Tuan Sagara, saya Renjana dari Sentra Media. Saya ingin bertanya—"
Sagara tidak bergerak.
Tidak menoleh. Tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar.
Alih-alih menunggu pertanyaannya, pria itu malah berdiri.
Renjana terdiam.
Ia diabaikan.
Tanpa melihat sedikit pun ke arahnya, Sagara mengambil dokumen yang ada di meja, memberi isyarat kecil kepada para petinggi perusahaan di sampingnya, lalu berjalan keluar.
Para wartawan saling bertukar pandang, beberapa tampak kecewa karena sesi tanya jawab berakhir begitu saja.
"Kenapa cepat banget?" bisik Keira di sampingnya.
Renjana tidak menjawab. Matanya terpaku pada punggung Sagara yang menjauh, setiap langkahnya tegap dan penuh percaya diri.
Pria itu sama sekali tidak peduli dengan kehadirannya.
Seolah-olah ia tidak pernah ada di ruangan itu.
Renjana mengepalkan tangannya.
"Jadi ini caramu menghadapi pertanyaan yang tidak kau inginkan, Tuan Sagara?"
Baiklah. Jika pria itu berpikir ia bisa menghindarinya begitu saja…
Maka dia salah besar.
Renjana bukan tipe orang yang mudah menyerah.
Jika tidak bisa mendapat jawaban di konferensi pers, ia akan mencarinya dengan cara lain.
Dan satu hal yang pasti—ini baru permulaan.
---
Setelah konferensi pers berakhir, para wartawan mulai membubarkan diri, sebagian masih sibuk membahas betapa singkatnya sesi wawancara dengan Sagara Bumantara Tirta.
Namun, Renjana masih duduk diam di tempatnya.
Keira menyenggol lengannya. "Ren, ayo balik. Udah selesai."
Renjana menghela napas panjang, menutup buku catatannya dengan sedikit kesal. "Aku belum dapat jawabannya."
Keira menatapnya, lalu terkekeh. "Dari awal juga aku udah nebak kalau bakal susah. Sagara itu terkenal dingin dan nggak suka diwawancara. Bahkan wartawan senior aja susah dapet jawaban darinya, apalagi kita yang masih magang."
Renjana menatap kosong ke depan. Ia tidak suka menyerah, apalagi pada seseorang yang mengabaikannya begitu saja.
"Aku harus cari cara lain."
Sagara bukan tipe pria yang bisa didekati dengan cara biasa. Jika ia bisa dengan mudah mengabaikan pertanyaan wartawan di depan umum, maka satu-satunya cara adalah membuatnya tidak bisa menghindar.
"Aku nggak akan berhenti sampai dia menjawab pertanyaanku," gumamnya.
Keira mengangkat alis. "Serius? Kamu mau kejar Sagara lagi?"
Renjana tersenyum tipis. "Aku bukan tipe orang yang gampang menyerah."
---
Malam Hari – Apartemen Renjana
Setelah pulang dari kantor, Renjana langsung menyusun strategi.
Ia membuka laptopnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut tentang kebiasaan dan rutinitas Sagara. Tidak mudah, karena pria itu sangat tertutup dan hanya muncul di acara-acara besar.
"Sagara jarang tampil di media. Dia nggak punya media sosial. Hampir nggak ada wawancara eksklusif tentang dia…"
Semakin ia mencari, semakin jelas bahwa pria itu benar-benar menjaga privasinya.
Namun, ia menemukan sesuatu yang menarik.
Di salah satu artikel bisnis, disebutkan bahwa Sagara sering melakukan inspeksi mendadak ke berbagai anak perusahaan Tirta Group.
Renjana menyipitkan mata, berpikir keras.
"Kalau aku tahu di mana dan kapan dia akan muncul, mungkin aku bisa mencegatnya sebelum dia sempat menghindar."
Matanya berkilat penuh semangat.
Besok, ia akan mencari tahu lebih dalam tentang agenda Sagara. Dan kali ini, pria itu tidak akan bisa mengabaikannya lagi.
---
"Dia bukan orang yang bisa diwawancarai dengan mudah."
Kalimat itu terus terngiang di kepala Renjana sejak kemarin. Ia sudah merasakan sendiri bagaimana Sagara Bumantara Tirta mengabaikannya mentah-mentah di konferensi pers. Pria itu bahkan tidak menoleh sedikit pun saat ia mengajukan pertanyaan.
Bagi sebagian besar orang, itu mungkin adalah tanda untuk mundur. Tapi tidak bagi Renjana.
Sebagai jurnalis, ia tahu bahwa tidak ada berita yang bisa didapat tanpa perjuangan. Jika Sagara berpikir ia bisa menghindar selamanya, maka pria itu salah besar.
Renjana sudah memutuskan—ia akan mendapatkan wawancara eksklusif itu, bagaimanapun caranya.
---
Pagi Hari – Kantor Sentra Media
Renjana tiba di kantor lebih awal dari biasanya.
Ia langsung duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan mulai mencari informasi tentang rutinitas Sagara. Ia sudah membaca banyak artikel sebelumnya, tapi kali ini ia ingin menggali lebih dalam.
Keira yang baru datang menguap lebar. "Ren, jangan bilang kamu masih mikirin cara buat wawancara Sagara?"
Renjana menoleh sekilas. "Tentu saja."
Keira mendesah. "Kamu keras kepala juga, ya?"
Renjana tersenyum kecil. "Aku cuma nggak suka diabaikan. Apalagi oleh orang seperti dia."
Keira tertawa pelan. "Sagara itu CEO, bukan selebriti yang bisa kamu kejar-kejar. Kalau wartawan lain aja kesulitan, gimana kamu?"
"Tapi dia tetap manusia," balas Renjana. "Dan manusia pasti punya kebiasaan. Kalau aku bisa tahu di mana dan kapan dia akan muncul, aku bisa mencegatnya sebelum dia sempat menghindar."
Keira menatapnya dengan ekspresi kagum bercampur pasrah. "Oke, oke, Sherlock Holmes. Jadi, rencanamu apa?"
Renjana mengalihkan pandangannya kembali ke layar laptop.
"Aku membaca beberapa artikel lama. Ternyata Sagara sering melakukan inspeksi mendadak ke anak perusahaan Tirta Group. Dan dari yang aku lihat, kunjungan terakhirnya ke perusahaan konstruksi mereka adalah dua bulan lalu."
Keira mengernyit. "Terus?"
"Artinya, ada kemungkinan dia akan melakukan kunjungan lagi dalam waktu dekat," lanjut Renjana. "Aku sudah mencatat tiga lokasi yang paling sering dia datangi. Sekarang, aku tinggal mencari tahu jadwal inspeksinya."
Keira melipat tangan di dadanya. "Wow, kamu beneran serius, ya?"
Renjana tersenyum penuh arti.
"Tentu saja."
---
Siang Hari – Ruang Arsip Sentra Media
Renjana menghabiskan waktu istirahatnya di ruang arsip kantor. Ia membaca laporan-laporan lama tentang Tirta Group, mencari pola dari pergerakan Sagara.
Ia menelusuri berbagai berita bisnis, laporan keuangan, dan wawancara dengan para petinggi perusahaan. Dari semua itu, ia menemukan sesuatu yang menarik.
Sagara selalu melakukan inspeksi di hari Rabu atau Jumat.
Dan hari ini adalah Selasa.
Renjana menegakkan punggungnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Jika dugaannya benar, maka Sagara kemungkinan besar akan melakukan inspeksi besok atau lusa.
"Sekarang aku cuma perlu tahu lokasi pastinya."
Renjana mengambil napas panjang. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.
---
Sore Hari – Kembali ke Meja Kerja
Saat kembali ke mejanya, Renjana masih memikirkan langkah selanjutnya. Ia butuh lebih banyak informasi.
Ia melirik Mas Rakha, salah satu jurnalis senior di kantor itu. Ia sudah bekerja di Sentra Media selama bertahun-tahun dan punya banyak koneksi di dunia bisnis.
Renjana mendekatinya.
"Mas Rakha, boleh tanya sesuatu?"
Pria itu menoleh dari layar komputernya. "Apa?"
"Kamu tahu nggak jadwal inspeksi Sagara Bumantara Tirta minggu ini?"
Mas Rakha mengerutkan kening. "Kenapa kamu nanya soal itu?"
Renjana berpikir cepat. "Aku cuma penasaran. Dia jarang muncul di media, jadi aku ingin tahu kapan dia akan ada di lapangan."
Mas Rakha mengamati Renjana sebentar, lalu mendesah. "Dengar, Sagara itu bukan orang yang suka diekspos. Wartawan lain aja kesulitan buat wawancara dia, apalagi kamu yang masih magang."
"Aku tahu," kata Renjana cepat. "Tapi aku ingin mencoba."
Mas Rakha menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku nggak tahu pasti, tapi kabarnya besok dia akan ke salah satu proyek konstruksi Tirta Group di pinggiran kota."
Renjana menahan napas.
"Besok. Itu artinya dugaanku benar."
"Lokasinya di mana?" tanyanya cepat.
"Aku nggak tahu pasti, tapi mungkin di proyek perumahan baru mereka di Candra Land."
Renjana mencatat nama itu di ponselnya.
"Terima kasih, Mas."
Mas Rakha menggeleng sambil terkekeh. "Kamu ini keras kepala juga, ya? Semoga beruntung."
Renjana tersenyum. "Aku pasti berhasil."
---
Malam Hari – Apartemen Renjana
Saat tiba di apartemennya, Renjana langsung menyusun strategi.
Besok, ia akan pergi ke proyek Candra Land lebih awal. Jika benar Sagara akan datang ke sana, maka ia akan mencari cara untuk mendekatinya.
Ia tidak peduli jika pria itu mencoba menghindarinya lagi. Kali ini, ia tidak akan membiarkan Sagara lolos begitu saja.
Ia menatap catatan di tangannya, jantungnya berdebar penuh antisipasi.
"Besok, aku akan berhadapan langsung dengannya."
Dan kali ini…
Sagara Bumantara Tirta tidak akan bisa mengabaikannya lagi.
---
Renjana menatap pantulan dirinya di cermin apartemen. Kantong matanya sedikit menggelap akibat kurang tidur semalam, tapi semangatnya masih menyala. Hari ini, ia tidak boleh gagal.
Sagara Bumantara Tirta harus menjawab pertanyaannya.
Ia merapikan blazer abu-abu yang ia kenakan di atas kemeja putih sederhana, lalu menarik napas panjang.
"Ayo, Renjana. Ini kesempatanmu."
Setelah memastikan semua perlengkapan ada di dalam tas—buku catatan, perekam suara, dan pulpen cadangan—ia keluar dari apartemen dan segera menuju lokasi proyek Candra Land.
---
Pagi Hari – Proyek Candra Land
Begitu sampai, Renjana disambut oleh suara dentuman mesin dan suara pekerja yang bersahutan. Proyek Candra Land adalah salah satu pengembangan perumahan elit di bawah naungan Tirta Group, dan dari yang ia lihat, proyek ini masih dalam tahap awal pembangunan.
Ia melangkah dengan percaya diri, berusaha mencari tanda-tanda kedatangan Sagara Bumantara Tirta.
"Maaf, Mbak siapa ya?" tanya seorang pria dengan rompi proyek, tampak sedikit curiga melihatnya.
"Oh, saya Renjana dari Sentra Media," jawabnya cepat, memperlihatkan kartu pers magangnya. "Saya sedang meliput proyek ini. Apa benar Tuan Sagara akan datang hari ini?"
Pria itu menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Iya, kabarnya sih begitu. Tapi beliau bukan orang yang suka diwawancara, Mbak."
Renjana tersenyum tipis. "Saya hanya ingin melihat langsung dan, kalau bisa, bertanya sedikit tentang proyek ini."
Pria itu tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk sebelum kembali ke pekerjaannya.
Renjana melirik jam tangannya. Pukul 08.30.
"Sagara pasti akan datang dalam satu jam ke depan. Aku harus bersiap."
---
09.45 – Kedatangan Sagara
Suasana di proyek mendadak berubah.
Beberapa orang berbaju formal mulai berdatangan, membuat pekerja yang sebelumnya sibuk dengan pekerjaan mereka tampak lebih berhati-hati.
Lalu, sebuah SUV hitam berhenti di depan proyek.
Seorang pria berpakaian jas hitam dengan postur tegap dan mata tajam keluar lebih dulu, membuka pintu belakang dengan penuh kehormatan.
Dan kemudian, dia muncul.
Sagara Bumantara Tirta.
Pria itu mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, celana hitam slim fit, dan jam tangan mahal di pergelangan tangan kirinya. Ia berdiri tegak dengan aura dominan yang langsung membuat orang-orang di sekitarnya menundukkan kepala penuh hormat.
Tatapan matanya—tajam, dingin, dan penuh wibawa—menyapu seluruh area proyek.
Bahkan sebelum ia berbicara, semua orang sudah bersiap menerima instruksinya.
Jantung Renjana berdebar.
"Ini dia."
Kesempatan yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang.
Renjana menyesuaikan langkahnya, berusaha mendekati pria itu tanpa terlihat mencolok.
Saat Sagara mulai berjalan ke arah kantor proyek, Renjana menyusul dengan cepat dan akhirnya berdiri di sampingnya.
"Ingin wawancara, Tuan Sagara?"
Langkah pria itu langsung terhenti.
Sagara perlahan menoleh, memandangnya dengan ekspresi kosong.
Tatapan itu begitu tajam hingga Renjana nyaris mundur selangkah, tapi ia menahan dirinya.
Beberapa detik berlalu dalam kesunyian yang menegangkan.
Kemudian, Sagara melanjutkan langkahnya tanpa sepatah kata pun.
Seolah Renjana tidak ada di sana.
Renjana mengerjapkan mata. Ia benar-benar diabaikan.
Namun, ia tidak menyerah begitu saja.
Ia mempercepat langkahnya, kembali berdiri sejajar dengan Sagara.
"Maaf, Tuan Sagara," katanya dengan nada lebih tegas. "Saya Renjana, jurnalis magang dari Sentra Media. Saya ingin bertanya tentang proyek ini dan peran Anda di dalamnya."
Sagara tetap diam.
Renjana mengepalkan tangannya di samping tubuhnya.
"Dia benar-benar tidak peduli…"
"Tuan Sagara," lanjutnya lagi, mencoba strategi lain. "Saya tahu bahwa Anda jarang berbicara dengan media, tapi masyarakat ingin tahu—"
"Aku tidak menerima wawancara."
Renjana membeku.
Bukan hanya karena kata-kata dingin itu, tapi juga karena cara Sagara mengatakannya.
Suara pria itu dalam dan tegas, seolah memberikan perintah yang tidak bisa dibantah.
Namun, Renjana tidak akan menyerah hanya karena itu.
"Tapi Tuan—"
Sagara menghentikan langkahnya lagi, kali ini menoleh sepenuhnya.
Tatapannya membuat napas Renjana tertahan sejenak.
"Kau tidak mengerti bahasa manusia?" tanyanya pelan, namun dengan nada mengintimidasi.
Beberapa orang yang ada di sekitar mereka mulai melirik dengan waspada.
Renjana bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat, tapi ia tidak boleh mundur.
Ia mengangkat dagunya sedikit.
"Saya mengerti, Tuan Sagara," katanya dengan tenang. "Tapi sebagai jurnalis, saya punya tugas untuk bertanya. Anda tidak perlu menjawab, tapi saya juga tidak akan berhenti mencoba."
Mata Sagara sedikit menyipit, seolah sedang menilai dirinya.
Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia berbalik dan kembali berjalan.
Meninggalkan Renjana yang masih berdiri di tempatnya.
Tanpa jawaban.
Tanpa sedikit pun perhatian lebih.
---
10.15 – Setelah Pertemuan
Renjana berdiri di pojok proyek, mencoba menenangkan debaran jantungnya.
Keira menelepon.
"Ren! Gimana? Kamu berhasil?"
Renjana mendesah, menekan ponselnya ke telinga.
"Kalau dibilang berhasil, aku setidaknya sudah berdiri tepat di sampingnya."
Keira terkekeh. "Tapi?"
"Tapi dia mengabaikanku seolah aku tidak ada."
"Aww," Keira tertawa. "Dingin banget, ya?"
Renjana mengembuskan napas panjang.
"Ya, dia memang dingin," gumamnya. "Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja."
"Aku tahu kamu nggak akan," sahut Keira. "Terus rencanamu apa sekarang?"
Renjana menatap ke arah SUV hitam Sagara yang masih terparkir di proyek.
Matanya menyipit.
"Aku akan mencari cara lain untuk mendekatinya."
"Apa kamu yakin?"
Renjana tersenyum tipis.
"Sangat yakin."
---