"Mas minta maaf ya, Uni? Semua ini Mas lakukan karena terpaksa. Mas sama sekali tidak tau kalau kedua orang tua Mas telah mengatur pernikahan ini. Sekali lagi, maafkan Mas ya, Uni?"
Seruni termangu. Biantara Sadewa, kekasihnya sampai beberapa menit yang lalu, seperti menjatuhkan bom di hatinya. Dan mantan pacarnya itu sukses besar. Hatinya hancur porak poranda tak bersisa. Tadinya Seruni mengira kalau Bian tiba-tiba menyambangi rumahnya karena kangen. Tapi ternyata mantan kekasihnya itu datang untuk mengantar surat undangan.
Walau langit serasa runtuh di depan matanya, Seruni mencoba tersenyum tegar. Ya, apalagi yang bisa ia lakukan bukan? Berteriak atau menangis meraung-raung? Maaf-maaf saja. Saat ia dicampakkan pun, ia akan berusaha menerima dengan anggun. Sayang sekali kalau harga dirinya ia jadikan keset wellcome bukan?
"Kamu... kamu... tidak marah pada Mas? Tidak ingin berteriak atau memaki-maki Mas misalnya?"
Sosok gagah di hadapannya tampak bingung. Beribu tanya terbias dari kedua bola matanya.
"Apa dengan Uni marah dan memaki-maki Mas, pernikahan Mas dengan Nastiti bisa dibatalkan?" ucap Seruni datar. Kepala laki-laki gagah yang selama lima tahun ini memacarinya, menggeleng gelagapan. Kegelisahan terlihat dari gerak-geriknya yang tidak bisa diam.
"Tidak bisa, Uni. Mas tidak mungkin mempermalukan kedua orang tua, Mas."
Tapi mempermalukan pacar, mungkin saja kan, Mas?
"Nah, Mas sudah menjawab pertanyaan Mas sendiri. Jadi Uni tidak perlu menjawabnya lagi," Seruni beringsut dari kursi teras rumahnya. Terlalu lelah untuk mendengar pembelaan diri dari laki-laki yang lima tahun lalu mengaku mencintainya lebih dari apapun di dunia. Lidah memang tidak bertulang. Janji yang dulu begitu lantang dikumandangkan, ternyata begitu gampang dilupakan.
"Kenapa harus dengan Nastiti?" tanya Seruni penasaran. Nastiti adalah sahabat karibnya sejak berseragam merah putih. Mendengar pacar sendiri tiba-tiba akan dinikahkan saja, hatinya bagai diiris-iris. Apalagi saat tau bahwa calon istrinya adalah sahabat sendiri. Seruni seolah-olah merasa ada pisau tak kasat mata yang sengaja ditancapkan di punggungnya.
"Mas juga tidak tau, Uni. Tapi menurut ibu, bapak berhutang budi pada keluarga Nastiti. Terpilihnya bapak sebagai kepala desa bulan lalu, itu semua atas campur tangan Pak Hasto dan Bu Sari. Makanya Bapak ingin membalas budi dengan meminang Nastiti sebagai menantu. Hanya itu yang Mas tau," guman Bian lirih. Selama bercerita, Bian tidak sekalipun menatap matanya. Dan itu artinya Bian sedang berbohong. Lima tahun menjadi pacarnya, cukup membuat Seruni mengenali karakter Bian.
"Baiklah. Selamat menempuh hidup baru ya, Mas? Semoga Mas berbahagia dengan wanita pilihan Mas, oh iya, wanita pilihan orang tua Mas maksudnya," ralat Seruni pura-pura salah berbicara. Merahnya pipi Bian mengindikasikan sesuatu. Bian tau bahwa ia memang bermaksud menyindir. Mereka terlalu mengenal kepribadian satu sama lain.
"Uni terima ini undangannya ya, Mas? Uni masuk dulu." Seruni menggeser dingklik. Bermaksud masuk ke dalam rumah.
"Tunggu sebentar, Seruni!" Bian yang merasa belum selesai berbicara, menyambar pergelangan tangan Seruni.
"Ketahuilah Uni, walaupun minggu depan Mas akan menikahi Nastiti. Tapi di sini, di hati Mas ini, hanya kamu wanita yang paling Mas cintai. Percayalah, Uni," sergah Bian putus asa. Seruni tersenyum masygul mendengar kerancuan kalimat Bian.
"Apa, Mas? Uni adalah orang yang paling Mas cinta? Lihat Mas, cacing tanah saja sampai ingin tertawa mendengarnya!" sembur Seruni seraya menepis kasar tangan Bian. Ia tidak habis pikir dengan sikap Bian yang begitu kekanakan. Bian seperti anak kecil yang sibuk membela diri karena dianggap menelantarkan mainan lamanya, demi sebuah mainan baru. Menyedihkan.
"Mas, cinta itu sejatinya tidak menyakiti. Tidak menghianati apalagi membodohi. Benar kan, Mas? Tapi mengapa cinta Mas mengandung ketiga unsur itu? Cinta model apa itu namanya, Mas?" sindir Seruni getas. Entah mengapa mendengar pengakuan cinta Bian tadi, membuatnya muak alih-alih bersedih. Ternyata cuma segini mental laki-laki yang kemarin masih ia gadang-gadang akan menemaninya seumur hidup. Lemah sekali!
"Satu hal yang harus Mas ketahui. Sekarang, Uni tidak lagi sedih Mas tinggal menikah dengan Nastiti. Tidak sama sekali. Mas tau kenapa?" cecar Seruni lagi. Bian menggeleng. Ia tidak tau lagi harus bersikap bagaimana menghadapi amukan Seruni.
"Karena hari ini, Uni telah melihat siapa diri Mas yang sebenarnya. Mas ini laki-laki yang tidak punya pendirian. Tidak punya tujuan dan tidak punya daya juang. Untung saja bukan Uni yang akan menjadi istri, Mas. Untung saja."
Seruni memuntahkan semua rasa marah, kecewa dan sakitnya pada Bian untuk terakhir kalinya. Ia berjanji, setelah hari ini, ia tidak akan pernah membiarkan sebutir pun air matanya jatuh untuk menangisi laki-laki ini.
"Tapi, Uni--"
"Pulanglah, Mas. Ingat baik-baik kata Uni ini. Mulai hari ini Mas jangan pernah menemui Uni lagi tanpa ada Nastiti di samping Mas. Uni bukan penghianat yang suka menikam dari belakang seperti beberapa orang. Uni masuk dulu."
Tanpa menunggu jawaban Bian, Seruni melangkah tertatih-tatih ke arah pintu. Membuka dan menutupnya sekaligus di depan hidung Bian. Selesai sudah. Tidak ada gunanya lagi ia menyesali masa lalu. Apalagi jika masa lalunya selemah itu.
"Jadi cuma begini akhir penantian lima tahunmu?" Sindiran tajam ayah tirinya membuat Seruni menghela napas panjang. Di ruang tamunya yang sederhana, ibu dan ayah tirinya duduk bersisian. Tidak perlu orang pintar untuk menebak maksud ayah tirinya yang tengah duduk manis menunggunya di sini. Tujuannya sudah pasti untuk mengejek nasib sialnya.
Jangan sekarang. Demi Tuhan, saat ini ia begitu capek saling berbalas sindiran untuk hal yang tidak lagi penting.
"Lima tahun kamu menunggunya berkarir di ibukota. Dan saat ia sudah berhasil jadi orang, kamu dicampakkan begitu saja seperti seonggok sampah. Begini ini laki-laki yang kamu gadang-gadang paling kamu cinta dan mencintaimu? Hah, cinta tah* kucing!"
Sabar Uni, sabar. Bagaimana pun kalimat itu memang pernah keluar dari mulutmu. Terimalah dengan besar hati.
"Lima tahun yang lalu memang begitulah kenyataannya, Yah. Mengenai mengapa Mas Bian sekarang berpaling hati, itu di luar kuasa Uni. Uni bukan Tuhan yang Maha membolak-balikkan perasaan seseorang," jawab Seruni datar. Beginilah hubungannya dengan ayah tirinya. Seperti anjing dan kucing. Mereka berdua memang tidak pernah akur.
"Kamu ini, setiap dinasehati orang tua, menyahut saja!" Ayah tirinya menggebrak meja. Wajahnya memerah karena emosi yang mulai naik.
"Menasehati? Menurut Ayah, bagian mana dari kalimat Ayah tadi yang mengandung nasehat? Uni tidak mendengarnya sama sekali." Gebrakan di meja bertambah kencang. Dan seperti biasa, ibunya menatapnya dengan pandangan menghiba. Isyarat tanpa kata agar ia mengalah saja.
Selalu begini. Lagi dan lagi.
"Sudah, jangan banyak bicara lagi. Berhubung kamu sekarang tidak mempunyai hubungan apapun lagi dengan Bian, sebaiknya kamu terima saja lamaran Pak Nyoto. Pak Nyoto 'kan tidak kalah kaya dengan si Bian. Kebun tebunya saja berhektar-hektar.
Dan istri-istrinya juga berjejer-jejer di sepanjang jalan desa!
"Kamu akan hidup senang seperti Siska, Dewi, Ratih, Tanti dan yang lainnya. Teman-temanmu yang dulunya melarat, kini sudah hidup senang semua karena menjadi istri konglomerat."
"Pak Nyoto usianya bahkan lebih tua dari Ayah. Uni tidak sudi hidup seperti Siska, Dewi, Ratih, Tanti dan yang lainnya seperti kata Ayah. Dibalik kemewahan hidup mereka, tidak ada ketenangan hidup di dalamnya. Mereka semua saling fitnah, saling tikung dan bermuka dua hanya untuk menyenangkan seorang bandot tua yang sudah bau tanah. Uni tidak semenyedihkan itu!" desis Seruni geram.
Alangkah dangkalnya pemikiran orang-orang seperti ayah tirinya ini. Hanya karena ingin hidup enak, mereka merendahkan diri menjadi benalu, alih-alih berusaha meraih kesuksesan sendiri. Kemalasan memang dekat sekali dengan kebodohan.
"Jangan sok jual mahal kalau hidup kamu masih melarat, Uni! Sudah bagus Pak Nyoto mau melamar kamu yang cacat. Selain Pak Nyoto, apa ada orang yang mau melamar kamu lagi? Si Bian saja lebih memilih Nastiti yang normal dari pada kamu yang cacat!" amuk ayah tirinya. Kali ini bukan hanya wajah ayah tirinya saja yang merah. Urat-urat di lehernya pun terlihat bersembulan. Ayah tirinya benar-benar emosi kali ini.
"Kalau memang Ayah sangat mengagumi Pak Nyoto, kenapa tidak Ayah saja yang menikah dengannya."
Bunyi kursi yang jatuh terdengar seiring dengan pedasnya pipi kanannya. Seperti biasa, jika ayah tirinya tidak bisa membalas ucapannya, maka tangannya lah yang berbicara.
"Didik anak perempuanmu agar tau sopan santun, Bu. Ibu lihat sendiri 'kan, betapa kurang ajar sikapnya pada Ayah. Dasar, pengkor!"
Setelah menamparnya, kemarahan ayah tirinya kali ini dilampiaskan pada ibunya. Dan seperti biasa, ibunya pasti akan membela ayah tirinya, walau ayah tirinya ini sudah mengkata-katainya.
"Ayah ke rumah Pak Nyoto dulu, Bu. Kalau terus di sini, bisa-bisa darah tinggi Ayah kumat lagi." amuk ayah tirinya pedas.
"Ayah tidak mau tau, pokoknya Ibu harus menatar anak Ibu ini agar bisa berbakti pada orang tua. Dan salah satu caranya adalah dengan menerima lamaran Pak Nyoto secepatnya."
Setelah mengucapkan ancamannya, ayah tirinya keluar rumah dengan membanting pintu. Sejurus kemudian suara motor tuanya terdengar meninggalkan halaman rumah. Syukurlah, setidaknya ia bisa sedikit tenang sekarang.
"Kamu jangan kurang ajar begitu pada ayahmu, Nak."
"Begitu? Tapi kalau ayah yang kurang ajar pada Uni, boleh Bu?" tantang Uni sinis. Ia capek terus disalahkan dan tidak sedikit pun diberi keadilan. Budaya patriaki telah begitu melembaga di negeri ini. Tidak ada secuil pun keadilan bagi kaum perempuan. Mengenaskan.
"Lihat pipi Uni ini, Bu? Ayah menampar Uni. Apa Ibu tidak sakit hati darah daging Ibu disakiti orang?"
"Itu karena ucapan kamu juga kurang ajar, Nak. Bagaimana pun, dia kan ayahmu. Sudah seharusnya kamu menghargai dan menghormatinya. Maksud ayahmu itu--"
"Bukan. Dia bukan ayah Uni. Dia cuma suami Ibu yang kebetulan Uni panggil ayah. Ayah Uni yang sebenarnya sudah meninggal bertahun lalu. Titik."
Kalimat terakhirnya sukses membungkam omelan ibunya. Ya, apalagi yang bisa ibunya bantah kalau apa yang dikatakannya memang sebenar-benarnya kenyataan bukan?
Dengan langkah tertatih-tatih Seruni melanjutkan langkah ke dalam kamar. Air matanya terancam ambrol karena tidak kuasa menahan kesedihan. Hatinya sakit saat ayah tirinya memukulnya dan mengkata-katainya pengkor, tetapi ibunya malah membela ayah tirinya. Sebegitu takutnya kah ibunya kehilangan cinta seorang suami, sampai-sampai ia melupakan perasaan terluka anak kandungnya sendiri? Mungkin inilah contoh kalau seorang perempuan telah menghambakan kebahagiaannya pada manusia lain yang kebetulan ia sebut suami. Mereka jadi tidak tau lagi mana yang salah dan mana yang benar secara akal sehat. Yang mereka ikuti hanyalah ajaran masa lalu. Ajaran yang menyatakan bahwa seorang istri harus berbakti, tanpa kata tetapi kepada suami. Bahwasannya kedudukan seorang istri, berada pada posisi yang lebih rendah dari pada suami. Konsep feodal Jawa kuno di mana seorang istri wajib memperlakukan suami layaknya seorang dewa. Suami harus dipuji, ditakuti, dihormati tanpa kecuali. Omong kosong!
Getaran ponsel di saku, menghentikan lamunan Seruni. Ia kembali menarik napas panjang kala melihat nama Nastiti di layar ponsel.
Demi Tuhan. Drama apalagi ini?
"Ya, Ti. Ada apa?" Hening sejenak. Sepertinya Nastiti sedang mengumpulkan alibi untuk membela diri. Manusia memang beginilah adanya.
"Uni, aku tahu kalau kamu telah mengetahui semuanya. Mas Bian bilang, ia sudah mengantarkan undangan ke rumahmu."
Jeda kembali.
"Uni, aku cuma mau bilang kalau aku juga terpaksa menjalani pernikahan ini karena--"
"Karena terpaksa menuruti keinginan kedua orang tuamu 'kan?"
"Benar, Uni. Soalnya--"
"Sudahlah, Ti. Kamu tidak perlu menjelaskan apapun kepadaku. Toh sekarang Mas Bian bukan apa-apaku lagi. Selamat menempuh hidup baru ya, Ti? Semoga jodoh kalian berdua tetap jodoh sampai maut memisahkan. Oh, ya ngomong-ngomong kamu tidak dalam todongan senjata kan saat dipaksa kedua orang tuamu untuk menikah?"
Jeda lagi. Sepertinya Nastiti kaget saat mendengar sindiran frontalnya.
"Kalau memang kamu merasa berat sekali menjawabnya, tidak usah dijawab. Toh, kita berdua sudah sama-sama tau apa jawabannya? Aku tutup dulu teleponnya ya, Ti? Tidak ada gunanya juga membicarakan masalah yang tidak penting. Buang-buang pulsa saja." Seruni langsung mematikan ponsel. Ia capek hati karena harus terus bermain sandiwara sedari tadi.
Seruni meletakkan ponsel di atas meja kayu sederhana. Menyeret langkah mendekati ranjang tuanya. Merebahkan tubuh lelahnya setelah seharian bekerja di pabrik. Saat tidur-tidur ayam, ia mendengar suara ketukan pintu diiringi panggilan adik tirinya. Setelah ia menjawab masuk, kepala mungil Andini yang masih berusia delapan tahun, muncul di ambang pintu.
"Dini boleh masuk, Mbak?" tanya adiknya ragu-ragu.
"Boleh dong, Dini. Ayo, sini tidur-tiduran dengan, Mbak." Seruni mengembangkan pelukan. Adik kecilnya langsung berlari kan memeluknya erat. Wajah adik kecilnya begitu murung. Seperti ada sesuatu yang membebani hatinya.
"Lho, Dini kok murung? Ada apa? Putra nakal ya?" tebak Seruni. Anak tetangganya itu memang kerap menjahili Dini. Namanya juga anak-anak. Kepala mungil Dini menggeleng.
"Bukan. Dini sedih karena kata Putra dan Desi, Mas Bian sudah tidak sayang pada Mbak Uni lagi. Kata mereka Mas Bian sudah tidak sayang karena Mbak sekarang pengkor."
Astaghfirullahaladzim!
"Dini cuma mau bilang kalau Dini akan tetap mencintai Mbak, walau Mbak itu pengkor atau pun tidak. Mbak jangan sedih lagi ya?" Air mata Seruni membanjir tak kala Dini memeluk erat lehernya. Setelah seharian dikecewakan, dihina dan dihianati oleh orang-orang yang mengaku mencintainya. Dukungan tulus Dini menghangatkan hatinya yang telah patah arang. Dukungan kecil ini membuatnya lebih bersemangat menghadapi hidup.
"Terima kasih ya, Dini. Mbak tidak apa-apa kok, Dek. Mbak ini walau pengkor kan tetap strong. Mbaknya siapa dulu coba?" Seruni mencoba menghibur adik kecilnya.
"Mbaknya Dini dong. Hehehe." Tawa ceria adiknya memberi sedikit semangat di hati Seruni. Sembari memeluk tubuh mungil adiknya, ia memanjatkan sepenggal doa. Semoga saja di hari-hari ke depan, hatinya akan tetap ikhlas menerima cobaan, dan punggungnya tetap kokoh dalam menerima segala beban. Karena ia yakin, bahwa hidup bukan tentang mendapatkan semua yang ia inginkan. Akan tetapi tentang mensyukuri apa yang ia miliki, dan sabar menanti yang akan menghampiri. Aamiin.
Notes.
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap wanita, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki serta menempatkan posisi wanita di bawah laki-laki.
Sejak Seruni menginjakkan kakinya di pabrik gula, kasak kusuk berkelompok sesama buruh terlihat di mana-mana. Dimulai dari bagian divisi penggilingan tebu, pemurnian, kristalisasi hingga penguapan, semua membentuk tim ghibah berkelompok. Setiap ia melintas, kumpulan pekerja di atas lima orang berbisik-bisik sembari meliriknya berkali-kali. Topik ghibah mereka sudah jelas ; bahwa ia telah dicampakkan Bian setelah lima tahun berpacaran. Tatapan kasihan dan sebagian lagi tatapan menyukuri membayangi punggungnya. Begitulah sifat manusia. Ada saja celah bagi mereka untuk mengurusi kehidupan manusia lainnya.Seruni mendekati mesin penggiling tebu. Memeriksa cairan tebu manis yang telah digiling dan siap dimasukkan dalam boiler. Cairan yang sudah dipanaskan akan menjadi ekstraksi jus yang mengandung sekitar 50 % air, 15% gula dan serat residu atau bagasse. Tugasnya di pabrik ini adalah memeriksa jus ekstraksi sebelu
"Ni... Uni... bangun. Kita sudah sampai di Jakarta." Sayup-sayup Seruni mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Seruni memaksa membuka matanya yang masih terasa lengket karena mengantuk. Mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Mencoba menyesuaikan pandangan karena silau akan cahaya lampu mobil. Saat pandangannya sudah fokus, barulah Seruni memperhatikan dengan seksama di mana sekarang ia berada. Mobil yang ia dan Mayang tumpangi berhenti di depan sebuah kompleks perumahan kecil. Rumah-rumah mungil bermodel dan bercat sama berjejer rapi. Ada sekitar dua puluhan rumah di sana."Ini mess karyawan tempat Mbak bekerja, Uni. Ayo kita masuk," ajak Mayang ramah. Seruni mengangguk. Karena tidak membawa apa-apa, ia hanya lenggang kangkung saat keluar dari mobil. Sementara supir mengeluarkan satu tas travelling yang cukup besar milik Mayang."Atasan Mbak Mayang pasti baik sekali ya, Mbak?" guman Seruni sambil berja
Sembari menyetrika jas mahal Antonio, Seruni terus berpikir. Sebenarnya apa maksud kalimat ayam jadi-jadian yang kemarin dituduhkan Antonio padanya. Ia tidak mengerti sama sekali. Ternyata predikat sebagai murid teladan saat masih sekolah dulu, tidak ada apa-apanya bila dipraktekkan di ibukota ini. Mengartikan ayam jadi-jadian saja ia tidak bisa. Kalau mahkluk jadi-jadian sih ia tau. Di kampungnya, mereka menyebut jenglot, yaitu makhluk jadi-jadian. Tapi kalau ayam jadi-jadian sampai sekarang belum ada."Hah, ayam jadi-jadian? Maksud Bapak apa?" "Jangan berlagak pilon ya kamu, ayam bersepatu? Kalau kamu memang ayamnya Astronomix, ya mengaku saja. Untuk apa kamu bersikap sok innocent segala. Ini kartu nama saya. Kalau jas saya sudah bersih seperti sedia kala, hubungi saya!"Pembicaraannya dengan Antonio terus terbayang-bayang di benaknya. Setelah mengatainya ayam jadian-jadian, Antonio kembali me
Dengan tangan gemetaran Seruni mengorder ojek online. Ia ingin secepatnya meninggalkan tempat penuh dosa ini. Bayangan Mayang yang mabuk serta Nella dan Fika yang tengah beraksi, membuatnya mual. Ia memang sudah tau apa pekerjaan mereka semua. Hanya saja ketika di hadapkan pada praktek nyata di depan mata, lain lagi ceritanya."Kamu salah dua kali hari ini," suara dari balik bahunya membuat Seruni sadar kalau ia tidak sendiri. Xander masih mengikuti di belakangnya."Apa itu, Pak?""Kotak itu bukan permen, dan saya bukan karyawan club ini." Setelah mengucapkan dua kalimat singkat itu, Xander membalikkan tubuh. Meninggalkan Seruni yang berdiri termangu."Kalau dugaan saya salah, jadi kebenarannya apa?" Seruni mengejar Xander. Menghadang langkah Xander yang akan masuk kembali ke dalam club."Tanya saja pada Mayang," sahut Xander acuh seraya menggeser tubuh Seruni ke samping.
"Selamat siang, Tuan. Ini jas Tuan. Sudah saya cuci bersih seperti sedia kala."Seruni menyerahkan bungkusan jas dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Sikap sopan ini memang wajib dilakukan. Setiap kali briefing, managernya tidak pernah lupa untuk mengingatkan. Air muka penuh senyum dan gestur tubuh sopan adalah halwajib yang harus diutamakan.Kata-kata Seruni hanya disambut dengusan oleh Antonio. Sejenak Seruni sempat bertatapan dengan Bian. Namun sikap Bian yang pertama kaget dan segera membuang pandangan, mengindikasikan satu hal. Bian tidak ingin dikenali. Walau memang sikap seperti ini juga yang ia harapkan, tak urung hatinya sakit juga. Hanya seperti ini sikap seorang laki-laki yang bulan lalu masih mengaku mencintainya melebihi apapun juga."Kalau tidak ada hal lainnya, saya permisi, Tuan." Seruni kembali membungkuk sopan. Bersiap-siap menghindar sejauh mungkin dari duo biang masalah di hada
Seruni membetulkan ikatan apronnya yang kendor. Ia baru saja keluar dari toilet. Ramainya pengunjung di restaurant, memaksanya menahan keinginan untuk buang air kecil. Dan kini setelah kantung air seninya kosong, barulah ia merasa lega. "Girang sekali kamu sehabis bertransaksi? Apa si Miguel tau kalau kamu suka jualan daging mentah di sini?" Si mulut mercon kembali beraksi.Seruni tidak langsung menjawab. Ia memikirkan posisinya. Setiap kalimat yang ia keluarkan pasti akan berimbas pada pekerjaannya. Makanya ia masih berusaha bersabar bagai hatinya panas menahan amarah. Bagaimanapun ia membutuhkan pekerjaan ini. Ya Tuhan, panjangkanlah sabarku."Saya tidak seperti--
Dari kejauhan saja Seruni sudah sangat mengagumi rumah baru Xander. Ia seperti melihat rumah di film-film Eropa kuno ada di depan matanya. Rumah Xander sangat luas dan bergaya klasik. Seruni merasa seperti sedang masuk ke dalam mesin waktu zaman victorian era, begitu pintu ruang utama dibuka.Pada bagian ruang tamu, terdapat sofa letter L berwarna krem yang mewah. Mejanya terbuat dari kaca penuh ukiran, disertai hamparan karpet bulu berwarna senada yang terhampar di bawahnya. Pada bagian dinding, dipenuhi dengan ornamen-ornamen antik abstrak yang tersusun rapi dari bebatuan marmer. Kemegahan lain terlihat dari tirai yang menjulang tinggi pada bagian jendela kaca berukir. Sebuah lampu hias spiral berbahan kristal, semakin melengkapi kemewahan ruangan. Satu hal yang paling menarik perhatian Seruni adalah,
Sudah seminggu ini Seruni tinggal di rumah baru Xander. Dan selama itu juga hatinya gundah gulana. Sejak ia tinggal di rumah mewah ini, ia selalu merasa bersalah terhadap keluarganya di kampung setiap kali ia akan mengisi perut. Bayangkan saja, saat di kampung dulu, lauk sehari-hari mereka begitu sederhana. Tempe, tahu, telur, kerupuk dan sayur bening, adalah menu utama mereka. Bila ia gajian, barulah ada menu ikan atau ayam di meja makan. Kalau daging, mereka hanya bisa berharap pada jatah pembagian daging kurban dari masjid setempat.Dan kini saat ia dihadapkan dengan berbagai macam menu-menu lezat menggoda selera, rasa bersalahnya kian merajalela. Di sini ia bisa makan enak hingga kenyang, sementara ibu dan adiknya di kampung entah bisa mengisi perut mereka dengan layak atau tidak. Dilema ini selalu muncul di kala ia dihadapkan pada makanan kesukaan adik kecilnya, yaitu rendang daging. Bayangan adiknya yang selalu berangan-angan bisa menikmati menu kesu
Antonio merasa waktu seakan terhenti. Suara musik, orang-orang yang berbicara, bahkan kru EO yang tengah berbicara padanya, seolah-olah menghilang. Pandangannya hanya tertuju pada Seruni seorang. Ia seperti melihat putri Cinderlla keluar begitu saja dari buku dongeng tua, dan dirinya terpesona.Mbak Wita memberi kode pada kru-krunya agar meninggalkan sepasang pengantin baru ini. Tatapan keduanya telah mengungkapkan segala. Mbak Wita perlahan juga ikut menjauh. Ia juga pernah muda."Kamu cantik sekali, Seruni. Mas sampai tidak kuasa mengalihkan tatapan Mas darimu." Antonio memandangi Seruni dengan tatapan seperti bermimpi."Terima kasih, Mas. Ini semua berkat riasan dan pakaian yang Uni kenakan. Semua keindahan yang Mas lihat ini hanyalah tempelan. Jangan terbius oleh keindahan sementara ini, Mas."Seruni mengangkat ujung gaunnya perlahan. Ia menghampiri Antonio yang hanya berdiri terpaku di pelami
Seruni melewati gerbang pabrik dengan perasaan dejavu. Rasa-rasanya baru kemarin ia masih berlalu lalang di tempat ini. Padahal sepuluh bulan telah berlalu. Dulu ia menghabiskan banyak waktu dan tenaga di pabrik gula ini. Bekerja dari pagi hingga petang, dengan gaji satu juta tiga ratus ribu rupiah. Jauh di bawah UMR Banjarnegara yang mencapai satu juta delapan ratus lima ribu rupiah.Dan kini ia memasuki pabrik dalam status yang berbeda. Sebagai calon istri pemilik 65% saham pabrik gula yang baru. Antonio memang telah membeli sahan pabrik ini. Ia beralasan ingin memberikan lapangan pekerjaan dalam skup yang lebih luas. Selain itu Antonio juga berjanji akan mengkaji ulang soal upah para buruh. Antonio berencana akan menaikkan gaji para buruh sesuai dengan UMR yang ditetapkan oleh pemerintah. Seruni sangat bahagia mendengarnya.
Semilir angin sepoi-sepoi membelai ringan kulit Seruni di teras rumah orang tuanya. Setelah hampir dua minggu di rumah sakit dan sebulan penuh beristirahat di rumah, kini ia telah kembali ke Banjarnegara. Antonio memberinya cuti selama dua minggu untuk melepas rindu pada orang-orang terkasihnya di kampung halaman. Dan hari ini tepat seminggu sudah ia di berada kampung halaman.Yang paling gembira atas kepulangannya tentu saja ibu dan adik perempuannya. Istimewa ia pulang dengan kaki yang sudah nyaris sempurna. Diantar oleh seorang laki-laki nyaris sempurna pula. Kepulangannya dengan mobil mewah serta didampingi oleh Antonio, menjadi topik terhangat di seluruh penjuru desa. Beberapa warga yang telah mengetahui siapa Antonio yang sesungguhnya, mengelu-elukannya. Mereka mengatakan bahwa Seruni sangat beruntung. Karena bukan hanya berhasil mendapatkan pasangan orang kaya, melainkan orang yang super kaya. Sangat dermawan pula. Nama Brata Kesuma di belakang nama
"Sungguh Pak, saya tidak punya niat untuk membuat siapa pun celaka. Apalagi Seruni. Sumpah, Pak!"Gita gemetaran saat diinterogasi secara marathon oleh Juru Periksa kepolisian. Sebagai orang yang menghire EO, ia dimintai keterangan oleh pihak kepolisian sebagai saksi. Namun secara tersirat Antonio kemarin sempat mengancam bahwa status saksi bisa saja berubah menjadi terdakwa, apabila ia tidak bersedia bekerjasama dengan pihak kepolisian. Bagaimana ia tidak gentar karenanya.Keluarga Brata Kesuma secara resmi telah melaporkan peristiwa berdarah yang menimpa Seruni pada pihak yang berwajib. Staff EO di hari kejadian telah lebih dulu diperiksa. Hanya saja pihak kepolisian tidak bisa memeriksa pimpinan EO. Karena sang pimpinan sudah terlebih dahulu melarikan diri. Hanya staff yang bertugas pada hari nahas itu lah yang sempat diamankan. Menurut pengakuan mereka, semua yang mereka lakukan hanya berdasarkan instruksi sa
Seruni kebingungan. Semakin jauh ia berjalan, semakin ia tidak menemukan jalan pulang. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat gumpalan-gumpalan kabut putih. Sebenarnya ia berada di mana saat ini? Lelah berjalan, ia menghentikan langkah sejenak. Sesuatu bayangan mengusik rasa ingin taunya.Seruni menyipitkan mata. Memfokuskan pandangan ke depan. Ia seperti melihat bayang-bayang seseorang. Bayang-bayang itu sejenak berhenti dan berpaling ke arahnya. Kedua mata Seruni terbelalak lebar. Ia seperti melihat bayangan almarhum ayahnya. Penasaran, Seruni mempercepat langkah. Namun semakin cepat ia melangkah, bayangan yang menyerupai almarhum ayahnya itu berjalan semakin jauh.Tidak mau kehilangan jejak, Seruni mulai berlari. Seperti tadi, semakin cepat ia berlari, bayangan itu juga semakin cepat mendahuluinya."Jangan mengejar Ayah, Seruni. Waktumu belum sampai, Nak. Kembalilah!"Itu suara ayahnya!
Beberapa menit sebelumnya.Antonio berjalan menuju meja keluarga Haris tanpa semangat. Kedua kakinya seakan-akan enggan bekerjasama dengan tujuannya. Teringat pada Seruni yang ia tinggalkan di meja khusus keluarga, hatinya begitu tidak rela. Tetapi mau bagaimana lagi. Perjuangan mereka masih menemui jalan buntu. Opa dan ayahnya, masih tetap pada rencana mereka semula. Yaitu menjodohkannya dengan Anandita.Satu hal yang ia syukuri adalah ibunya ternyata mendukung hubungannya dengan Seruni. Begitu pula dengan Om Arkan dan Tante Ibell. Mereka juga terang-terangan memberi suara untuk Seruni. Rasa khawatirnya jadi sedikit teredam karenanya.Antonio mempercepat langkah. Ia semakin tidak sabar untuk mengakhiri acara ini. Semakin cepat acara usai, maka semakin cepat pula ia bisa membesarkan hati kekasihnya lagi. Ia toh hanya akan memberikan pidato kata sambutan ala kadarnya. Selebihnya acara akan dilanjutkan dengan sesi h
Begitu menjejakkan kaki ke hotel mewah tempat acara ulah tahun perusahaan diselenggarakan, Seruni sudah merasakan atmosfer yang berbeda. Ia seperti berada di zaman victorian era. Di mulai dari megahnya gedung, tirai-tirai tinggi berwarna emas yang hangat, hingga lampu hias kerlap kerlip yang disebut chandelier oleh Antonio.Seruni sedikit menggigil saat memasuki ballroom. Suhu di ruangan ini ternyata dua kali lipat lebih dingin dari lobby hotel. Sementara pakaian model tarzan yang disebut goddess style oleh Antonio tadi mulai meresahkannya. Bukan apa-apa. Ia merasa pakaian model seperti ini akan membuatnya masuk angin sepulangnya dari acara. Kadang Seruni bingung melihat cara berpakaian orang-orang kota. Model pakaian bagus-bagus malah dilubangi semua. Seperti pakaian yang dikenakan mbak-mbak penerima tamu misalnya. Pakaiannya sudah sangat indah. Gaun lengan panjang dengan rok lebar menjuntai. Tetapi saat si mba
"Galau memikirkan Mas, sebenarnya. Tapi karena tiba-tiba Masnya sekarang sudah muncul, nggak jadi deh galaunya," Seruni nyengir.Ia tau kalau Antonio ini sedang dalam mode cemburu. Jadi tidak diperlukan penjelasan masuk akal untuk meredamnya. Cocoknya, ya dielus saja egonya. Trik ini ia pelajari dari Mayang. Mayang pernah mengatakan bahwa banyak laki-laki yang mencari wanita malam seperti dirinya, sebenarnya bukan melulu karena nafsu. Lebih seringnya karena mereka itu ingin dielus egonya. Bahasa gampangnya mereka ingin dipuji, didamba dan dianggap sebagai makhluk paling hebat sejagat raya. Lebay? Memang. Tapi begitulah kenyataannya. Laki-laki dan ego, tidak dapat dipisahkan.Kalau mereka tidak mendapatkan pengakuan itu dari pasangan, maka mereka akan mencarinya di luar. Apabila ada seseorang yang mampu mengelus ego mereka agar dianggap hebat dan sebagainya, maka biasanya orang tersebut mampu membuat si laki-laki terus merasa keter
Sore yang mendung. Seruni yang tengah berdiri di gerbang kantor,berulang kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 17.40 WIB. Namun taksi online yang dipesannya belum juga tiba. Supir taksi tadi mengatakan kalau ia terjebak macet. Seruni mengerti, kalau jam-jam seperti ini memang rawan macet. Karena jam para pekerja pulang kantor, seperti dirinya juga.Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dengan cepat Seruni mengangkatnya. Pasti sang supir taksi ingin memberitahu kalau ia telah dekat dengan lokasinya. Namun harapannya sia-sia. Alih-alih dijemput, sang supir taksi malah membatalkan pesanan. Macetnya terlalu panjang alasannya. Dengan apa boleh buat, Seruni kembali membuka aplikasi. Bermaksud mengorder taksi online yang lain.Baru saja Seruni ingin membuka aplikasi, sesuatu menarik perhatiannya. Di sisi jalan, tampak kerumunan yang tidak biasa. Orang-orang merubungi sesuatu. Penasaran, Seruni menghampiri k